Banyak yang berkata masa paling
indah adalah masa remaja, masa dimana kita sudah merasakan apa yang namanya
cinta monyet, masa dimana kita sudah mempunyai perasaan terhadap lawan jenis,
tapi seiring berkembangnya zaman dari masa ke masa masa, remaja itu bukan lagi
masa terindah, bahkan saat ini anak kelas 1 SD pun sudah mengenal yang namanya
pacaran dan cinta monyet, besarnya pengaruh media memberi banyak dampak kepada
generasi penerus bangsa.
2004 adalah tahun dimana saya
merasakan masa peralihan dari masa kanak kanak ke masa remaja, masa dari SD ke
SMP. Tahun dimana saya menjadi seorang gadis. Di tahun yang sama saya pindah
domisili dari soppeng ke sengkang untuk mondok. Pondok yang mengharuskanku
tinggal di asrama karena jarak tempuh rumah dan sekolah lumayan jauh. Tinggal
di asrama adalah hal yang sudah kusetujui sebelum akhirnya memutuskan sekolah
di pondok pesantren. Aspuri yah Aspuri singkatan dari Asrama Putri merupakan
tempatku bernaung bersama sekitar 100 anak-anak pondok yang lain. Asrama
bertingkat tiga dengan ranjang bertingkat disetiap kamar yang ada di lantai
satu, kasur melantai dilantai dua dan tempat jemuran dilantai tiga. Asrama
tempatku menghabiskan tiga tahun masa SMPku bersama teman teman dan kakak serta
adek kelas. Setiap kamar yang ada dibawah dihuni sekitar 10 orang anak dengan
lemari yang dibawah sendiri dari rumah, yang disediakan hanyalah kasur serta
tempat tidur dan televise kecil umum, ruang tamu di bagian paling depan,
disusul kamar Pembina didekat ruang tamu dekat tangga serta kantin didepan
ruang tamu dan kamar Pembina.
Sehari harinya kulewati waktu dari
subuh sampai malam hari untuk belajar. Mulai dari bangun jam 4 untuk mandi
dilanjutkan ke mesjid untuk sholat berjamaah serta pengajian subuh, pulang
sarapan dan berangkat ke sekolah. Saya masih ingat jelas menu sarapan setiap
paginya, nasi goreng atau nasi kuning berpasangan dengan kerupuk atau nasi
putih berpasangan sama “bajabu” atau telur dadar tipis.
Dari pagi sampai siang kami
menghabiskan waktu di sekolah, MTS As’Adiyah PI 1 Pusat Sengkang merupakan nama
sekolah yang kutempati belajar, bangunannya bersambung dengan Mesjid Jami’
tempat para hafidz. Pada saat waktu Dhuhur tiba kami akan pulang turun ke
tempat wudhu untuk mengambil air wudhu lalu sholat berjamaah. Sekitar jam 2
siang kami sudah pulang ke asrama, makan siang dan tidur, sorenya kami ke
mesjid lagi untuk sholat ashar. Lalu pulang ke asrama santai santai hingga
akhirnya sore hari kami mandi dan siap siap sholat maghrib berjamaah, lalu
dilanjutkan pengajian sampai waktu isya tiba. Kami akan balik ke asrama setelah
selesai sholat isya. Jadi kami sholat 5 waktu selalu berjamaah di mesjid.
Sepulang sholat isya baru kami makan malam lalu lanjut belajar.
Di asrama ada bel yang selalu
berbunyi di beberapa waktu, pertama untuk membangunkan santri asrama untuk
siap-siap ke mesjid, kedua ada telefon umum yang berada di ruang tamu yang
bertujuan menerima telefon dari orang tua serta aka nada piket yang bertugas
menerima tamu dan telefon. Ketiga ada ketua asrama serta seksinya masing
masing, ketua asrama bertuga mengontrol semua gerak gerik santri asrama, seksi
seksi memiliki tugasnya asing masing. Seksi pendidikan akan mencatat sapa yang
tidak belajar disaat waktu belajar sudah tiba di malam hari, seksi kebersihan mengontrol
kebersihan, seksi ibadah mengontrol siapa yang tidak ikut sholat berjamaah
serta seksi keamanan yang akan mencatat siapa yang tidak tidur diwaktu yang
sudah ditentukan.
Kondisi kamar yang hanya dipisahkan
tembok yang menjulang 3/4 memungkinkan kami bisa menjelajah ke kamar tetangga
hanya dengan menaiki ranjang beringkat lalu berjalan diatas tembok lalu kami
bisa sampai dikamar tetangga. Jangan pernah berfikir dengan adanya seksi seksi
yang banyak itu kami bisa taati aturan, jika waktu pemeriksaan untuk belajar
kai akan terlihat memegang buku, jika pemeriksaan tidur kami akan terlihat
memejamkan mata tapi setelah ketua seksi sudah kembali kekamarnya kami akan
ramai dan bergosip. Hukuman bagi yang melanggar aturan akan membersihkan got
yang ada di depan asrama setelah sholat subuh. Tapi itu tidak membuat kami jera
untuk melanggar aturan aturan yang ada. Kami seolah tak ada lelahnya, meski
waktu tidur hanya 3-4 jam kami tetap semangat menjalani hari, meski kami harus
terkapar disekolah pada saat jam kosong atau bahkan pada saat jam istirahat
karena kurang tidur. Kami juga mempunyai kebiasaan menampung air di ember yang
dibawa dari rumah sebelum tidur agar bisa leluasa mandi di pagi hari tanpa
antri.
Pelajaran yang mesti kami pelajari
pada saat di pesantren itu hampir 30 mata pelajaran, terbagi atas pelajaran
umum 12 dan sisanya pelajaran Bahasa Arab, kedengarannya banyak sekali tapi
kami tetap enjoy dan mampu belajar sebanyak itu. Jiwa muda menjadikan kami
semangat dalam menjalani hari dan menghafal serta melakukan banyak aktifitas,
melanggar banyak aturan dan ngeyel saat diberitahu. Akhirnya waktu 3 tahun
telah usai dan menutup lembaran SMP dan harus melanjutkan ke jenjang
selanjutnya ke SMK, 3 tahun waktu yang cepat dan menorehkan banyak cerita
selama di pondok, sekarang teman teman adik serta kakak kelas sudah berada di
jalur kesuksesanya masing-masing.
11 tahun kemudian, tepatnya di
tahun 2015 suasana asrama saya temukan kembali, namun dalam bingkai yang
berbeda, bukan lagi saya dalam status sebagai santri, tapi sebagai tutor
English Camp di tanah Papua tepatnya di Kabupaten Teluk Bintuni. Suasana dan
kondisi yang tak jauh berbeda, suasana asrama dan jiwa muda. Kalau dulu di
Aspuri kami harus membayar 100 ribu untuk mendapat jatah tinggal dan makan
sekarang kondisinya jauh berbeda, mereka mendapat makan mewah dan tinggal
secara Cuma Cuma alias gratis dan semuanya ditanggulangi oleh Dinas Pendidikan.
Kalau dulunya kami makan pas pasan sekarang makanannya mewah, dulu kami sarapan
pagi bajabu’ dan telur dadar tipis disini mereka sarapan ayam, sosis dan ikan.
Dulunya kami makan siang dengan telur rebus sepotong dan sayuran yang hanya
rasa sayur dipenuhi air yang melimpah disini mereka makan siang ikan, telur
utuh, ayam, udang, tahu tempe ditambah sayur yang berisi. Dulunya kami makan
malam dengan bakwan atau telur satu biji
tempe disini mereka makan udang, soto, tiga tempe dicampur tahu. Dulu ketika
kami tidak mau makan jatah kami bisa diberikan ke teman yang mau. Disini juga
disediakan susu untuk mereka konsumsi untuk menambah gizi.
Kelengkapan fasilitas dan kemewahan
yang disuguhkan ternyata tidak banyak menumbuhkan kesadaran bagi mereka untuk
belajar giat, masih banyak yang ogah ogahan dan malas belajar, serta banyak
mengeluh. Dulu meski dalam kondisi yang serba pas pasan kami selalu giat
belajar dan menghargai tata krama serta adat istiadat meskipun tak jarang kami
tidak disekolah karena kelelahan dan kurang tidur. Kami tetap semangat belajar
puluhan mata pelajaran ditambah lagi pengajian setiap pagi dan malam dimesjid. Ternyata kemewahan bukan suatu jaminan
orang akan belajar giat, malah hal itu membuat banyak orang terlena dan berleha
leha karena mendapatkannya dengan cuma cuma tanpa perjuangan.
Persamaan yang paling menonjol yang
kulihat adalah saat mereka ditegur bagai masuk ditelinga kanan keluar ditelinga
kiri tak ada yang tinggal, saat disuruh tidur awalnya seolah pura pura tidur
namun ketika sang penegur telah pergi mereka akan kembali rame lagi. Saya
jarang menegur dan menyuruh mereka ini dan itu, karena saya pernah berada di
posisi mereka dan saya tau bagaimana cara mereka menyikapi perintah dan
teguran. Meskipun kutau akibat dari mereka begadang akan membuat mereka
terlelap dikelas saat guru mereka menjelaskan. Usia belasan memang usia yang
penuh semangat, tak mengenal lelah dan juga acapkali melanggar aturan dan tak
mengindahkan perintah. Meski resikonya mereka akan mendapat hardikan, ceramah
yang tak berkesudahan dari guru guru mereka.
Kubiarkan mereka menggapku seperti
teman mereka agar tercipta hubungan emosional antara kami, meski kutau itu
bertentangan dengan kemauan guru guru mereka yang ada disini yang mau kami
berjarak dengan siswa. Dalam fikiran hemat saya dengan menganggap mereka
seperti seorang teman itu akan lebih mudah untuk mengajar mereka dalam kondisi
aktif, karena mereka tak akan ada rasa takut untuk bertanya ketika mereka tidak
paham, akan mudah untuk menasehati mereka dan juga mereka akan leluasa
bercerita apapun karena tak ada sekat guru dan murid, meski hal ini mendapat
banyak teguran dan pertentangan dari banyak pihak. Saya akan tetap mengaggap
mereka sebagai teman tanpa ada benteng besar yang menegaskan status antara guru
dan murid. Karena saya pun seperti itu ketika saya dekat dengan seorang guru
saya akan lebih cepat menangkap apa yang disampaikannya ketimbang guru yang
saya takuti.
Teluk Bintuni, 05 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar