Kamis, 13 Desember 2018

Katanya Backpacker --> Jogja, Bali, Rinjani, Lombok, Jember (Belum selesai tulisannya)



RENCANA
Setelah beberapa minggu mengumpulkan niat, akhirnya saya menulis cerita ini. Tujuannya untuk mengabadikan moment yang mungkin beberapa bulan atau tahun kedepan sudah pudar dari memori karena tergantikan cerita yang lain. Saya masih percaya bahwa ingatan itu terbatas, namun tulisan akan tetap hidup. Cerita ini berisi cerita narasi deskripsi.
Berawal dari pikiran suram akan melewati tahun baru tanpa kesan di Jogja, saya iseng mengajak beberapa teman untuk backpacker. Ajakanku ternyata bersambut. Beberapa teman menanggapinya dengan antusias. Dibuatlah rencana perjalanan, dengan rute Jogja-Banyuwangi (Baluran dan Ijen)-Bali- lalu kembali ke Jogja. Kala itu orang-orang yang terlibat dalam pembuatan rencana cukup banyak. Seperti biasa, dalam tahap rencana orang-orang akan lebih banyak dibanding saat tahap realisasi.
Dasarnya saya bukan orang planner, beberapa kali membuat rencana perjalanan namun tak kunjung rampung. Akhirnya rencana perjalanan diambil alih oleh Rayhan. Salah seorang teman mengusulkan untuk naik bis, dengan dalih naik bis lebih seru, bisa merasakan sensasi roller coaster gratis. Kita sepakat untuk naik bis, dibuktikan dengan tidak lagi melirik tiket kereta yang saat itu emang sudah rawan habis disebabkan liburan natal dan tahun baru sudah didepan mata.
4 hari sebelum berangkat, seniorku yang sejak bulan 10 mengajakku untuk nanjak ke Rinjani kembali mengabari. Menanyakan kepastianku untuk mendaki Rinjani. Toeng toeng, pening seketika. Salahku sih memang, sejak bulan 10 itu saya sudah sepakat dengan seniorku untuk mendaki ke Rinjani, saya berangkat dari Jogja dan dia berangkat dari Makassar. Cuman beberapa bulan tak ada kabar, saya akhirnya membuat rencana lain. Padahal bulan 10 itu kami sudah sepakat. Saya hanya khawatir jangan sampai rencana hanya sebatas rencana, apalagi tidak ada tindak lanjut pembicaraan, makanya saya membuat rencana backpackeran dengan teman-teman di Jogja dengan rute yang sudah disebutkan diatas.
3 hari sebelum berangkat, saya mengabarkan berita “buruk” itu ke teman-teman backpacker. Saya mengabarkan kalau nantinya saya hanya akan ikut setengah perjalanan, karena saya pun tak bisa menolak untuk ke Rinjani. Jadi saya ikut sampai Bali, lalu teman-teman melanjutkan perjalanan sesuai rencana dan saya lanjut ke Rinjani dan balik sendiri ke Jogja. Responnya tentu saja kaget dan juga sedikit kesal. “Kamu yang buat rencana untuk backpackeran, terus kamu yang tiba-tiba ingin meninggalkan ditengah perjalanan”, “kamu kan sebagai ketua perjalanan”, “bilang sama seniormu untuk menunda perjalanan ke Rinjani aja dulu, bulan depan kan masih bisa, toh juga masih libur”. Itu beberapa kalimat yang dilontarkan teman-temanku.
Saya mencoba bernegoisiasi dengan seniorku, kalau saja saya bisa mengundurkan waktu untuk ke Rinjani. “Kak sudah beli tiket belum ke Lombok”, tanyaku. Tak dijawab ya atau tidak, hanya dikirimkan foto tiket Pelni Makassar-Lombok. Toeng toeng. Kembali pening. Chat itu hanya kubaca dan tak kurespon. Selang sejam kemudian, mungkin karena tak ada respon, seniorku kembali mengirimkan chat “jadijako toh, jangan sampai kau PHPka”. Tak ada pilihan lagi, pikirku. Saya harus bisa memutuskan. Akhirnya, senin malam tepatnya tanggal (25 desember 2017), 2 hari sebelum keberangkatan, bertempat di ASP (Ayam Saos Pedas) saat makan malam bersama saya memberanikan diri bicara kondisi yang sebenarnya. Responnya seperti yang sebelumnya, saya berada di posisi yang bersalah. Namun bagiku tak ada pilihan, saya harus menjalani dua-duanya. Ini bukan saatnya memilih, namun sebuah keharusan untuk menjalani.
Saat berita itu kusampaikan, tiba-tiba Rayhan nyeletuk, ya sudah kalau seperti itu, backpacker ini gak jadi. Saat itu perasaan bersalah menyerangku, memang posisinya lagi lagi saya diposisi yang bersalah. Untuk mengakomodir semuanya, langsung kubuat grup untuk memudahkan kordinasi. Ku invite orang-orang yang pasti untuk ikut. Saat itu Rayhan left group, tapi kuinvite lagi. Kubagikan informasi bis yang saat sore itu habis saya survey. Kuajak Rayhan untuk sekalian ke Lombok lalu lanjut ke Rinjani, tapi dia menolak, dengan alasan malas membawa banyak pakaian dank arena pastinya dana akan membengkak. Singkat cerita perjalanan itupun terlaksana dengan penuh drama. Mas Anim pamit berangkat sehari sebelum jadwal kami berangkat karena ingin pulang kerumahnya. Erik yang mengusulkan untuk naik bis tiba-tiba mengabarkan kalau dirinya tak jadi ikut karena ada hal penting yang mesti dia lakukan. Tersisa saya, Dila, Masiti dan Rayhan.
Sehari sebelum berangkat, Fatiha yang katanya mau ikut dengan menyusul lewat Kediri nyatanya juga tak jadi ikut, dengan alasan taka da transportasi menuju Banyuwangi, tiket kereta pun telah ludes. Fazat yang juga ada digrup itu tidak jadi ikut karena ada acara tanggal 30. Tiba-tiba (lagi) Fatiha mengabarkan kalau ada temannya yang ingin ikut, namanya mbak Putri. Hanay bertanya alakadarnya, mbak Putri memutuskan untuk ikut. Selanjutnya saya invite masuk ke grup. Yang aktif komentar di grup hanya Masiti, yang notabene orang Bali dan tau kondisi perjalanan dan transportasi. Akhirnya tanggal 27 pun tiba, hari keberangkatan.

HARI PERTAMA, HARI KEBERANGKATAN
Kami kumpul di kostku, lalu berangkat bersama menuju ke terminal Giwangan. Mbak Putri yang kostannya berada di jl.Kaliurang kami jemput lalu gocar melaju menuju terminal. Sesampainya di terminal kami langsung buru-buru naik di bis yang waktu itu sudah akan berangkat. Awalnya kita duduk ditengah, namun saat Rayhan menoleh ke bagian belakang tempat orang-orang istirahat untuk merokok itu kosong, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mengajak kami berempat untuk pindah duduk di belakang. Pilihannya tepat, di belakang itu tempat duduknya memanjang dan sebenarnya muat untuk 6 orang, jadi kami berlima bisa duduk leluasa dan bisa mencari posisi nyaman untuk tidur meskipun AC-nya tidak sedingin di tempat duduk “penumpang normal”. Bis meluncur menuju Banyuwangi. Hanya sekali bis singgah, itupun tak lama, hanya setengah jam untuk makan dan sholat subuh. Bisnya berhenti di daerah Prbolinggo. Saya ingat cerita yang begitu berkesaat, saat itu makanan yang kami pesan lama banget datangnya, hingga saat makanan kami disajikan, para penumpang sudah berbondong-bondong naik di bis. Baru satu dua suap, klakson bis memekakkan telinga dibunyikan, sekali, dua kali, hingga tiga kali dan kami pura-pura gila dan tak berusaha tidak merasa terganggu dengan suara klakson bis tersebut. Hingga seorang emak-emak teriak dengan intonasi marah dan sempat menghardik kami yang disangkanya begitu lamban, saya, Rayhan dan Masiti berjalan menuju ke Bis, membiarkan Dila dan Putri menghabiskan makanannya. Saya dan Masiti mengambil jalan kanan, mengindari emak-emak yang ngomel tanpa ampun, Rayhan pasang badang menghadapi emak-emak yang garang itu, dan dengan sabar mendengarkannya mengomel. Berselang beberapa menit kemudian, Putri dan Dila berlari menuju bis, seketika penumpang bis menoleh ke kami saat kami semua sudah berada di bis. Ada satu keuntungan lagi kita berada di tempat duduk paling belakang, ruangannya kedap suara, jadi kami tidak mesti mendengar ocehan dan omelan seisi bis, dan kami pun bisa menertawakan kekonyolan yang terjadi saat itu.


HARI KEDUA,
Semalaman kita menghabiskan waktu di bis, perjalanan yang lumayan jauh dari Jogja-Banyuwangi. Sekitar pukul 7 pagi, kami sudah sampai di Banyuwangi dan lanjut naik angkot menuju Lembar. Setibanya di pelabuhan Lembar kami segera membeli tiket Ferry menuju ke Padang Bai. Biaya tiket bis yakni Rp 6.500 dengan fasilitas Ferry yang sangat berkelas dengan harga seminim itu. Selang sejam setelah kami naik di Ferry, Ferry berlayar menuju Padang Bai. Hanya butuh waktu 45 menit, kapal sudah bersandar di pelabuhan Padang Bai. Waktu yang sangat singkat. Ada rasa haru dan bahagia bisa menginjakkan kaki di Bali, kota yang tak pernah masuk dalam bucket list perjalananku. “Welcome to Bali”, papan yang berada di pelabuhan Padang Bai menjadi penanda kalau kami sudah sampai di Bali dan jam di hp otomatis berubah menjadi zona Waktu Indonesia Barat, lalu kami bergegas mengambil barang-barang dan turun, berjalan keluar pelabuhan melangkahkan kaki untuk berfoto dibawah patung Wisnu yang berada di dekat pelabuhan, lalu melanjutkan mengayuh langkah menuju pos pemeriksaan identitas. Oh iya, Bali menjadi kota yang katanya selalu ada pemeriksaan identitas (Sebisa mungkin KTP), katanya untuk mengantisipasi teroris masuk ke Bali. Setelah pemeriksaan identitas dinyatakan aman, kami berjalan mencari makan sembari menunggu bapak Masiti datang menjemput. Di Bali kita akan sangat sulit mencari penjual makanan halal, jadi selektif untuk memilih makanan, kalau belum lapar-lapar amat mending makan dirumah, lebih aman dan dijamin halal. Tapi karena saat itu lapar sudah tak terbendung, kami mengalamatkan perut yang sudah keroncongan pada penjual bakso pinggir jalan yang penjualnya memakai kerudung. Meskipun makanannya tidak begitu lezat, tapi setidaknya itu mampu mengisi perut yang cacingnya sudah ngamuk, tak berselang berapa lama, belum juga baksonya habis, bapak Masiti sudah sampai di TKP. Kami menyegerakan menghabiskan makanan lalu bergegas untuk menuju ke mobil yang akan mengantarkan kami kerumahnya Masiti. Sebelum tiba dirumah, terlebih dahulu Masiti dan bapaknya mampir di pasar dan membeli buah-buahan. Setibanya dirumahnya Masiti, kami masuk di kamar masing-masing (kamar yang sudah disediakan oleh Masiti dan keluarganya, terbagi atas kamar cewek untuk saya Dila dan Putri, dan kamar cowok untuk Rayhan yang hari itu masih seorang Diri karena mas Anim belum berangkat). Sampai dirumah Masiti hanya ada Arif (adeknya Masiti), ibunya tak ada dirumah karena masih di kantor. Kami lalu bersih-bersih dan langsung tepar. Sebenarnya sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu untuk tidur, tapi kualitas tidur di kendaraan dan di tempat datar jauh sangat berbeda. Tak sadar kami tidur sampai sore. Sorenya kami dibangunkan, dan tadaa makanan sudah siap santap. Rejeki tamu yang niatnya backpackeran dan Alhamdulillah dapat berkah. Sebelum makan, kami mandi terlebih dahulu biar seger, lalu bergegas keluar kamar untuk bersalaman dengan ibu MAsiti yang sore itu sudah kembali kerumah, lalu kami lanjut makan. Setelah kenyang, kami melampiaskan hasrat jalan-jalan, pilihan jalan-jalannya jatuh pada Pantai belakang rumah, pantai yang dipakai para nelayan untuk mengawali sorenya mengais rejeki di malam hari untuk mencari ikan. Di pantai ini kita akan melihat gambaran kecil kehidupan nelayan, ada lebih dari 100 kapal kecil pencari ikan yang berjejer sepanjang bibir pantai, beberapa nelayan bersiap untuk berangkat, ibu-ibu dengan sepenuh hati membantu para laki-laki yang hendak berlayar mendorong kapalnya menuju ke laut, anak-anak dengan riang gembira bermain pasir di pantai. Argh, pemandangan yang sangat indah, pemandangan yang membuatku ingin melanjutkan petualangan demi petualangan, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik selama perjalanan, ada banyak orang yang bisa ditemui, dan ada banyak pengalaman yang bisa disimpan di memori. Semua hanya bisa dinikmati dan dirasakan apabila kita melakukan perjalanan.
            Saya teringat kata miss uun saat saya ikut kelas Bahasa “siapa bilang siang itu hanya dipakai kerja dan mala dipakai untuk istirahat, terus kalau kalian berfikir seperti itu, bagaimana dengan nelayan, yang malamnya dipakai untuk kerja dan siangnya dipake istirahat”, hmmmp benar juga ya. Itu memberikan kita pelajaran bahwasanya jangan saklek melihat sesuatu hanya dari satu perspektif saja.
            Kunikmati sore itu dipinggir pantai yang pasirnya hitam tanpa senja dengan suasana hati yang sangat bahagia, berlari di pantai dan bermain pasir. Beban dan masalah seakan sirna, ditelan kencangnya ombak dan pekatnya sore. Sebagiannya lagi sibuk berfoto, mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi.
      Menjelang maghrib, kami berjalan kembali kerumah Masiti. Tempat yang pertama kami tuju adalah toilet, menanggalkan pakaian yang kotor karena saling lempar pasir di pantai, lalu yang sholat segera menunaikan kewajiban sholat maghrib selanjutnya kami makan malam. Malam itu tak banyak obrolan yang tercipta, kami sudah cukup kelelahan jadi menuju kasur lebih awal.



HARI KETIGA, BALI
      Yeaay, tibalah hari dimana kita akan berjalan-jalan. Rencana awalnya ingin berangkat jam 6, agar banyak tempat wisata yang kami kunjungi, namun apadaya, manusia hanya bisa berencana, ketetapan hanya milik Allah. Kami mengulur waktu lebih siang untuk menunggu mas Anim yang subuh itu baru berangkat dari Jember menuju Bali menggunakan motor. Karena beberapa alasan teknis, sehingga mas Anim baru bisa bergabung di hari ketiga, jam 7 lewat mas Anim baru mengabarkan kalo dirinya baru naik kapal. Jadi kami memutuskan untuk berangkat dan janjian ketemu dijalan. Awalnya kami janjian bertemu di Pantai Madewi, pantai yang kurang 30 menit dari rumah Masiti, Pantai Madewi cukup terkenal dengan ombak yang besar, cocok untuk dipakai surfing. Ditempat ini, untuk pertama kali saya melihat orang-orang surfing secara nyata, biasanya hanya melihatnya lewat tayangan televisi. Hanya orang-orang yang punya adrenalin dan keahlian berenang yang mampu melakukan ini. Kelihatannya mudah, tapi untuk melakukannya nampaknya cukup sulit. “Menantang” ombak dan bermain diatas gulungan ombak yang cukup besar. Biaya masuk di pantai Madewi ini gratis, dan tak ada tukang parkir, jadi gratis total.
Hampir sejam menunggu mas Anim yang tak kunjung datang, kami melanjutkan perjalann menuju pantai Soka, di pantai Soka kami janjian lagi dengan mas Anim untuk bertemu. Di Pantai Soka ini, selain pantai juga menjadi rest area. Pantai Soka memiliki minimarket yang menjadi tempat untuk membeli oleh-oleh, dan didepannya terdapat tempat duduk yang bisa dipakai untuk nongkrong menghilangkan penat sepanjang perjalanan. Tempatnya lumayan bagus, pantai yang bersih dengan pasir yang coklat kehitaman, ada banyak hamparan batu-batu besar yang berada di bibir pantai. Pantai ini sepi, yang ada hanya kami, pantai ini selayaknya pantai pribadi kami. Biaya masuknya 5.000, namun saat itu tidak ada petugas loket jadi kami masuknya gratis. Di tempat ini kami mampir sekitar 2 jam. Menikmati pantai, istiraha sembari menunggu mas Anim datang. Ditempat ini kami bertemu mas Anim dan menjadi tempat penitipan motor. 15 menit ketika mas Anim sudah datang, kami melanjutkan perjalanan menuju Bedugul yang sekarang menjadi tempat hitz di Bali. Dalam perjalanan, hampir setiap lampu merah ada pedagang asongan menjajakkan barang dagangannya. Kami membeli telur puyuh dan klelepon. Ada satu cerita yang tak terlupakan mengenai klelepon, oh ya kalau di tempatku di Makassar klelepon ini namanya onde-onde. Tragedi saat makan klelepon, ukurannya yang tidak terlalu besar tapi juga tak kecil, membuatku ingin makan satu klelepon bertahap, dibagi dua kali gigit, tapi saya tak menyangka gula dari klelepon tersebut cair dan meluber, sekali gigit gulanya muncrat kemana-mana, parahnya muncrat ke baju yang dikenakan Rayhan yang waktu itu kebetulan menggunakan baju putih, jadi bekas gula yang muncrat ke bajunya Nampak begitu jelas, ada sedikit rasa bersalah, tapi lebih banyak ketawanya. Rasa bersalah karena meningglakn noda di baju putihnya yang akan dipakai untuk sholat jumat, tapi ya mau gimana lagi, udah terjadi.
Karena hari itu hari jumat, kami mencari masjid ketika jarum jam sudah hampir pukul 12.00 ini disebabkan alasan susahnya menemukan masjid di daerah Bali, jadi mending menunggu agak lama dibandingkan Rayhan dan mas Anim gak sholat karena gak menemukan masjid. Meski saat itu radio mesjid belum sholawat, tapi kami memutuskan singgah saat sudah menemukan masjid, tepatnya di jl.raya Denpasar-Gilimanuk.  Beberapa meter dari masjid ada alfamart yang biasa dipake untuk rest area, terdapat beberapa kursi dan dua buah meja yang berada di halaman depan alfamart, juga terdapat colokan. Saat kami tiba, ada dua orang cowok yang lagi istirahat dan minum minuman segar yang baru dibelinya dari alfamart. Selang 10 menit minuman dua cowok tersebut sudah dihabiskan dan mereka melanjutkan perjalanan. Giliran kami mengambil alih tempat duduknya. Kami mengambil makanan yang sebelum berangkat sudah dibungkuskan oleh ibunya Masiti, bungkus makanan bertujuan untuk menghemat budget biar kami gak jajan dijalan dan yang paling pokok tujuannya adalah karena susahnya mencari makanan halal.
Karena hanya dua meja, jadi kami makan berembuk. Satu kertas nasi ditempati makan oleh beberapa orang. Karena alasan kebersamaan dan karena lapar, semuanya terasa nikmat dan lezat, semuanya makan begitu lahap. Saat makanan sudah diembat hampir habis, suara adzan di masjid pun mulai di kumandangkan, mas Anim, Rayhan dan Arif bergegas kemesjid menunaikan sholat jumat. Saya, Dila, Masiti dan mbak putri masih duduk di depan alfamart. Tak lama kemudian mereka bertiga juga pamit hendak ke toilet masjid. Tinggallah saya seorang diri menjaga barang-barang yang ditinggal para pemiliknya.
Tak selang berapa lama kemudian, datang rombongan buk ibuk dan nak anaknya yang baru keluar dari alfamart dan meminta ijin untuk menggunakan satu meja dan beberapa kursi yang sebelumnya kami gunakan, saya memindahkan barang teman-teman yang masih berserakan dan menyatukannya di satu meja, akhirnya buk ibuk dan anak-anaknya bisa duduk leluasa dan nyaman. Mereka datangd dari Blitar dan ke Bali untuk liburan. Anaknya yang paling tua mengajakku mengobrol, kami mengobrolkan beberapa hal, saling tanya aktifitasnya apa, ternyata dia baru saja menyelesaikan kuliahnya dan sekarang honor di salah satu sekolah. Dia balik menanyaiku saya kuliah dimana dan semester berapa, saat kujawab baru masuk. Ada nada dan raut muka senioritas yang Nampak, tak nyaman dengan kondisi seperti itu, lalu kusambung bahwa saya maba pascasarjana. Bukan bermaksud sombong, hanya ingin membuatnya tahu saya lebih senior hahahahahaha. Keahliannya berbicara ternyata dilatar belakangi karena disamping mengajar, dia juga menjadi semacam marketing salah satu travel. Dia menyodorkanku selebaran dan kartu nama untuk umroh. Kuambil dan kubaca, lalu kusimpan kartu nama dan selebaran yang dia berikan. Tak berapa lama kemudia, Rayhan dan mas Anim datang, keluarga teman baruku itu pun yang namanya sudah saya lupa juga sudah datang. Mereka melanjutkan perjalanan, sedang kami menung cewek-cewek yang lagi ke toilet, sholat dan lagi dandan datang dan kami bisa melanjutkan perjalan. Lebih dari setengah jam kemudian baru mereka bertiga muncul dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju Bedugul.
Kontur jalannya lumayan berkelok dan nanjak, namun keindahan kiri kanannya mampu menghalau rasa mabok. Sekitar 90 menit kemudian kami sampai di Bedugul, suasana Bedugul sore itu padat merayap, dari turis lokal hingga turis mancanegara. Tempat ini terdapat banyak patung yang menjadi ciri khas Bali, mungkin ini menjadi salah satu alasan ramainya tempat ini. Kami membayar uang registrasi lalu masuk berfoto di tempat yang strategis dan bisa mendukung eksistensi serta sebagai bukti bahwa kita pernah ada di Bali hahaha (Adult jaman now). ada yang lebih menarik perhatian selain foto, yakni naik speedboat berkeliling mengitari danau. Cukup banyak orang yang antri ingin merasakan sensasi mengelilingi danau yang sore itu dipayungi langit abu-abu. Ada dua pilihan, satunya perahu berukuran lumayan besar dan menampung lebih dari 5 orang, namun resiko mendayung dan itu dipastikan akan sangat melelahkan. Kedua naik speedboat dengan bayaran yang lumayan mahal, maksimal 5 orang namun bisa merasakan sensasi dan menikmati keliling danau. Kami berembuk dan menghasilkan keputusan kami akan naik speedboat, mas Anim memilih untuk tidak ikutan. Meski mas Anim gak ikutan, jumlah kami masih 6 orang, karena ada Arif adeknya Masiti. Kami berenam menuju loket karcis untuk naik speedboat. Saya menunjukkan Arif ke bapak penjaga loket “pak kami berenam ya mau naik speedboat, gapapa kan pak, ini satunya anak kecil”, bapaknya membolehkan. Saya dalam hati, “dari segi umur memang Arif kecil, tapi dari segi badan saya dengan Dila lebih kecil dari Arif”. Kami duduk di pinggir dermaga menanti antrian, saat tiba antrian kami, bapak pengemudi speedboat awalnya tidak membolehkan berenam, mungkin karena melihat badan Arif yang lumayan besar, tapi kami berusaha meyakinkan bapaknya kalo Arif ini masih kecil. Tak mau lama berdebat, atau mungkin bapak pengemudi sepeboatnya tau kalo emak-emak selalu benar, maka kami berenam diijinkan untuk naik. Bapak dengan lincah mengemudikan speedboat mengelilingi danau, kami menikmati terpaan angina sembari foto dan membuat video perjalanan diatas danau. Hanya 15 menit, danau sudah habis dikelilingi dan speedboat kembali merapat ke dermaga tempat kami awalnya naik. Tak terasa kataku, ekspektasiku ada ombak yang menghempaskan kapal yang bisa memberikan sensasi dan kami bisa berteriak sekencang-kencangnya karena panic dan takut, kembali lagi ekspektasi kadang berbeda dengan realita.
Setelah turun dari speedboat kami keliling mencari mas Anim yang menghilang, kami menemukan mas Anim sibuk foto-foto, lalu kami bergeser mencari tempat yang eyecatching untuk mengabadikan moment. Setiap sudut kami cari dan akhirnya menemukan beberapa tempat yang bagus, sekali dua kali hingga berkali-kali jepretan, akhirnya sudah merasa puas dan bergegas untuk pindah tempat. Karena diburu waktu, dari satu tempat ke temapt yang lain kami hanya sebentar, hanya sekedar cekrak cekrek lalu buru-buru bergeser.
Setelah Bedugul tempat selanjutnya yang ingin kami tuju adalah pantai kuta, pantai yang sangat terkenal di Bali. Waktu itu sudah setengah 5 lewat. Perkiraan kita bisa menikmati sunset di Kuta, tapi lagi lagi manusia hanya bisa berencana. Satu kilo sebelum sampai di pantai kuta, kita terjebak macet parah. Mobil tidak bergerak sama sekali, kalaupun bergerak, gerakannya hanya beberapa centi. Perjalanan yang harusnya hanya 5 menit ditempuh lebih dari 2 jam. Karena sudah capek, bête dan hari pun sudah malam, ketika sudah sampai di beachwalk tempat kami parkir menuju pantai kuta dan bertemu dengan temannya Rayhan, kami sudah tidak berselera. Mukanya sudah pada bête dan sebel. Tapi diantara semua yang harusnya bête dan lelah itu Rayhan. Karena doi yang bawa mobil. Sempat ketika mencari parkiran, mungkin karena sudah lelah dan sebel karena lama terjebak macet, saya yang sedari awal bawel dan berusaha menunjukkan tempat parkir yang lowong malah diomelin, huhuhu Rayhan jahat. Saya kan niatnya baik mau bantuin nyari lowongan, hahaha. Au ah bête.
Setelah parkir, kami bergegas ke masjid menunaikan sholat maghrib dan isya sekaligus dijamak. Saya dan mbak putri ke toilet, karena waktu itu kami lagi tidak sholat. “Mbak, toiletnya mana ya”, tanyaku ke mbak-mbak yang lagi telefonan. Dia menunjuk ruangan samping seadanya. Dalam keadaan lelah saya bergegas ke lokasi yang ditunjuk mbaknya, baru membuka pintu saya sudah meraskan keanehan, dari cermin kulihat seorang lelaki berdiri sedang pipis. Saya dengan nyantai tanpa rasa bersalah menutup kembali pintu lalu keluar tertawa. Hahahaha, mbak putri pun demikian. Mbak yang sebelumnya menunjukkan lokasi toilet kepadaku muncul dengan muka merasa bersalah, dan menunjukkan toilet wanita. Sesampainya di toilet wanita saya kembali tertawa menertawakan kegeblekanaku yang masuk di toilet cowok hahahaha.
Setelah semuanya selesai, kami bertemu dengan teman Rayhan di depan Musholla dan berjalan menuju pantai kuta yang berada tepat di depan beachwalk. Tak ada yang special, hanya gelap gulita, sejauh mata memandang hanya melihat kegelapan, dan mendengar deru ombak. Kami duduk diatas pasir meninkmati gelapnya malam dan rintik yang mulai turun. 15 menit kemudian, kami bergegas untuk pindah bergeser mencari makan. Tempat makanan halal berada sekitar 15 menitan dari pantai kuta, kami janjian dengan temannya Rayhan bertemu di warung makan. Dia berangkat lebih awal karena menggunakan motor dan di parkir di depan. Kami berangkat belakangan karena mesti turun di basement tempat mobil parkir. Perjalanan pulang tidak semacet waktu kami pergi, perjalanan pulang jauh lebih bersahabat meskipun tak juga bisa disebut lengang. Kiri kanan jalan di penuhi took-toko yang selama ini sering saya lihat di film-film FTV yang Bali menjadi kota latar belakang film itu syuting. Satu kata menggambarkan tempat sekitar pantai kuta Glamour. Kiri kanan jalan banyak bule bule yang jalan, berada di tempat ini serasa tidak lagi berada di Indonesia.
Untuk menuju ke warung tempat kami dan teman Rayhan janjian, kami bermodalkan map. Hingga lorong yang harus kami belok kami lewati, sehingga harus lewat dijalan yang lain, akibatnya waktu tempuh jauh lebih lama. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu 15 menit menjadi hampir sejam. Setibanya di lokasi, temannya Rayham sudah tak ada, dia sudah balik lebih dulu, mungkin karena sudah terlalu lama menunggu. Setengah 12 baru kami tiba di warung makan. Meskipun dalam keadaan ngantuk, kami makan begitu lahap.
Perjalanan pulang merupakan tantangan berat. Antara ngantuk dan ingin menemani Rayhan mengobrol. Jangan sampai Rayhan yang membawa mobil juga ngantuk. Satu persatu mulai tepar. Tak terkecuali denganku. Malam itu hujan mulai turun, malam semakin malam, seisi mobil sudah mulai tidur. Saya kadang tertidur, tapi kalau merasakan mobil sudah masuk lobang saya kembali terbangun, jalan menuju rumah Masiti pun banyak tikungan dan mobil besar yang melintas, hal ini menjadi salah satu alasan ketidaktenangan kalau ngantuk apalagi sampai tertidur. Ngobrol sama Rayhan pun sebatas “Han, kamu jangan ngantuk ya, atau Han km baik-baik aja kan, atau Han pelan-pelan aja, atau hanya sekedar manggil nama Rayhan aja kalo ngerasa dia membawa mobilnya sudah aneh Han Han Han”. Perjalanan yang terasa sangat lama dan sangat panjaang.
Pukul setengah 2 dinihari, kami sampai di Pantai Soka, mas Anim turun mengambil motornya dan lanjut perjalanan menuju rumah Masiti menggunakan motor dan jas hujan. Waktu itu saya bimbang, gak tega mas Anim sendiri naik motor, tapi juga gak bisa meninggalkan Rayhan jangan sampai yang lain tidur dan dia ngantuk. Sempat sih kepikiran turun dan ijin “Aku  naik motor nemenin mas Anim ya, kasian dia sendiri”, kataku. “Gak usah, ntar kamu sakit, apalagi mau mendaki kan”, kata Rayhan. Seketika itu rasanya mau teriak karena terharu, tumben amat tuh anak perhatian, biasanya ngebully doing bisanya, mungkin efek ngantuk dan capek jadi dia ngigau perhatian hahahahahaha.
Setelah mas Anim turun, saya sudah tak pernah tidur lagi. Kubantu Rayhan melihat kendaraan yang melaju didepan mobil. Sesekali kupanggil namanya “Han” hanya untuk memastikan kalau dia tidak tidur. Saat dia udah kesel karena keseringan kupanggil, dia pasti akan jawab gini “iyaa, apa sih” hahaha pengen ngakak aja denger dia jawab kayak gitu dengan suara khas orang ngantuk hahaha. Awalnya mas Anim berada di depan, tapi tak lama kemudia dia pindah jalur ke belakang. Hingga jam 02.15 menit akhirnyaaaa kami tiba juga kembali dirumah masiti dengan selamat. Alhamdulillah. Saat tiba, bapak Masiti ternyata belum tidur. Seperti kebanyakan orang tua, beliau tidak bisa tidur tenang saat anaknya belum tiba dirumah, apalagi saat itu Arif adeknya masiti yang kecil ikut dalam perjalanan kami. Alhamdulillah, sampai dan kami ke kamar masing-masing untuk istirahat.



HARI KEEMPAT
      Rencana ingin berangkat jam 5 subuh agar bisa sampai di Padang Bai jam 6 pagi biar bisa langsung berangkat ke Lembar, tapi saya menyadari saya tidak bisa selalu memaksakan kehenda. Rencana hanyalah rencana, melihat kondisi teman-teman yang kelelahan, jam 6 pagi baru sepenuhnya sadar, lalu bergegas mandi dan siap-siap lalu sarapan. Kami yang awalnya ingin berangkat berenam ke Lombok akhirnya hanya berangkat berlima, Masiti menunda berangkat bersama kami karena harus menyelesaikan proposal yang ingin dikutkan dana hibah. Pagi harinya sekitar jam 8 baru semuanya siap dan sarapan, setelah sarapan kami berembuk dengan orang tua Masiti mengenai kendaraan yang akan kami gunakan menuju Padang Bai. Setelah melihat di map, ternyata jarak rumah Masiti dan Padang Bai lumayan jauh, 3 jam lebih. Bapak Masiti sempat menawarkan untuk mengantar. Kalaupun mau naik bis jamnya belum tentu. Setelah itu baru kami berembuk kembali tanpa Masiti dan orang tuanya. Dan dengan tebal muka kuminta mas Anim bicara dengan masiti untuk menyampaikan ke bapaknya kalau kami mau diantar. Sebenarnya sih gak enak, apalagi jaraknya yang gak dekat, tapi itu satu-satunya jalan agar bisa tiba di Padang Bai dengan cepat. Apalagi waktu itu kak Ale’ seniorku dari Makassar terus-terusan menanyakan keberadaanku dimana, saya sudah panic dan mencoba mencari cara tercepat untuk sampai di Lombok. Niatnya hari itu juga bisa sampai di kaki gunung Rinjani dan bisa langsung nanjak. Rencana hanyalah rencana.
Nyatanya kami baru meninggalkan rumah Masiti pukul 10.00, dan baru sampai di pelabuhan padang bai 20 menit menjelang pukul 3 sore. Tak mau terlalu lama, kami langsung salaman dan pamit kepada orang tua Masiti lalu membeli tiket dan segera naik di kapal. Berharapnya waktu itu kapal berangkat pukul 3 sore jadi bisa sampai di Lembar tidak terlalu malam. Lagi lagi, harapan hanyalah harapan, kenyataan berkata lain. Kapal baru berangkat pada pukul 5 sore, 2 jam setelah kami naik di kapal. Kapal yang bersih, nyaman dan full fasilitas sangat worth it untuk harga 46.000. kita bebas memilih ingin duduk dimana, fasilitas tempat duduknya tidak jauh beda dari fasilitas tempat duduk di pesawat, sangat amat nyaman. Di dek paling atas ada beberapa tempat duduk seperti di pantai-pantai dan kita bebas memilih mau duduk dimana selagi tempat duduk itu kosong, dan kita bisa melihat hamparan laut luas di selat Bali. Jam 5 kapal mulai berlayar meninggalkan pelabuhan padang Bai menuju pelabuhan Lembar di Lombok. 10 menit di awal saya masih betah dibawa, makan dan duduk manis. Setelah itu sudah mulai merasa mual, karena tidak makan antimo. Akhirnya saya memutuskan naik di dek paling atas, bersama dengan mas Anim. Hampir sejam kami ngobrol, mengobrolkan banyak hal, mulai dari masalah kuliah hingga masalah yang penting dan gak penting sama sekali. Saat saya melihay hp, sudah ada chat dari anak-anak yang dibawah, menyuruh kami turun biar bisa gentian naik diatas. Saya meminta mas Anim untuk turun memanggil anak-anak meninggalkan barang-barang dan kita bareng-bareng diatas, saya sudah tak kuat lagi untuk turun, perut sudah sangat mual.
Tak lama kemudian, semuanya sudah naik. Mengambil barang berharga ditempatkan disatu tas, dan barang-barang yang lain dibiarkan di tempat duduk yang kami tempati dibawah. Semua senang, semua menikmati, semua tertawa, semua foto-foto, dan saya hanya termangu menahan mual. Hikz. Tak ada lagi senyum maupun ketawa yang selama ini tak pernah pudar dari bibirku, semua dirampas oleh rasa mual yang tak tertahankan. Saat mereka semua ketawa ketiwi foto-foto saya lebih memilih baring beratapkan langit luas dan terpaan angin yang semakin lama semakin kencang. Menjelang maghrib, entah waktu itu siapa yang mengajak turun, dan semuanya ikut turun. Saya berlari mendahului mereka, saya menuju ke toilet menumpahkan segalanya yang sedari tadi berlomba untuk keluar. Setelah semuanya “keluar” baru berasa enakan. Saya kembali ke tempat duduk dan mencari posisi enak untuk tidur. Tidur pulas dan berkualitas. Baru tersadar saat kapal akan sandar di pelabuhan lembar. Kulirik jam yang ada di hp, sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kuperiksa chat yang begitu banyak, mataku tertuju pada chat yang dikirimkan kak ale beberapa jam yang lalu hingga beberapa chat. Awalnya menanyakan keberadaanku dimana, terus memberitahukan untuk stay di Lembar dulu mencari masjid atau pos polisi, pokoknya tempat aman. Karena hari sudah malam dan sudah tak ada lagi mobil yang berangkat menuju Lembar. Kujawab chat kak Ale, kuberitahukan bahwa aku bersama teman-temanku dan memberikan penjelasan panjang lebar mengenai keberadaan teman-temanku.
Saat kapal sudah hampir berhenti, mas Anim menghubungi Dedi yang waktu itu lagi di Lombok, awalnya kami berencana untuk nginap di kost Dedi. Dedi dihubungi sebelum kapal sandar hingga kami terdampar di polisi nomor Dedi sama sekali tak bisa dihubungi. Rina pun kuhubungi yang malam itu sudah sampai di Lombok tapi hpnya pun tak aktif. Kuhubungi kak Ale untuk langsung ke Sembalun malam itu juga. Setelah turun dari kapal, kami menuju pos polisi, tempat yang paling aman untuk berteduh dari berbagai kejahatan. Kebetulan saat itu 1 hari menjelang tahun baru jadi didirikan pos keamanan dadakan di dekat pelabuhan. Bapak polisi yang lagi di posko waktu itu menyambut kami dengan ramah, mempersilahkan kami duduk dan membuatkan kopi untuk kami. Tak lupa mereka menawarkan makanan yang baru saja dibeli oleh salah satu anggotanya. “Pelayan” public yang sungguh ramah. Kami berdiam di posko polisi untuk mencari titik cerah kemana kami harus pergi.
Kak Ale mengirimkan lokasi tempatnya menginap, satu2nya tempat yang saya pikir bisa untuk kami tuju ya Sembalun. Karena tak ada algi yang bisa diharapkan di Lombok malam itu. Sama sekali sudah kalaf tak tau harus menghubungi siapa, apalagi malam itu sudah hampir jam 10 malam. Dila menghubungi temannya untuk menitipkan beberapa barang, karena barang-barang yang kami bawah tak mungkin bisa diboyong semuanya mendaki di Rinjani. Temannya Dila memberikan alamat. Kemudian pak Polisi menelefon nomor salah seorang supir yang bisa kami gunakan mobilnya menuju sembalun. Setelah nego sebentar, bapak supir memberikan kami harga Rp 500.000 untuk 5 orang, mungkin salah satu faktornya karena yang menghubunginya pak polisi yang katanya sudah akrab dengan bapak supir.
Setengah 11 malam, mobil pak haji supir meluncur menuju Sembalun, namun sebelumnya kami mampir dirumah temannya Dila untuk menitipkan barang. Saat sampai dirumah temannya Dila, semua turun, terkecuali saya. Saya memilih tidur karena mabuk dan karena tak ada barang yang ingin saya titipkan. Saat semua turun, pak haji menyetir mobilnya meninggalkan rumah tersebut, sontak saya bangun karena kaget dan bertanya “pak ini mau kemana”? tanyaku. Oh ada orang, “gapapa mbak, gak usah takut, saya tak akan bawa lari, tadi saya kira ndak ada orang, saya mau mutar di depan sana mbak biar nanti gak susah buat keluar”, kata bapak supir. “ooh gitu ya, iya pak, saya mabok, jadi malas turun”, kataku. Saya pun tidak melanjutkan tidur melainkan mengobrol dengan bapak supir, mendengarkan beliau bercerita tentang kehidupannya dan anak-anaknya. Tak terasa karena mengobrol, teman-teman yang menitipkan barang akhirnya kembali ke mobil. Saat mereka semua sudah masuk ke mobil, saya melanjutkan tidur, dan mobil melanjutkan perjalanan menuju Sembalun.
Sepanjang perjalananan saya menghabiskannya untuk tidur, sekali dua kali saya bangun. Pertama kali saat dengar mas Anim bilang kalau dia melihat makhluk tak kasat mata, kedua kalinya saat semuanya sudah tegang karena jalanan berkelok-kelok dan penuh embun, sampai pak supir meminta tolong mas Anim untuk menghapuskan embun yang berada tepat didepan mukanya karena beliau tak sanggup lagi untuk melihat jalan. Hanya itu yang kuingat, selebihnya saya menghabiskannya untuk tidur.

HARI KELIMA, Sembalun (31 Januari 2017)
Minggu dini hari, sekitar setengah 2 pagi saya di bangunkan, saat mobil sudah sampai di depan resort taman nasional Rinjani. ‘mbak tin, sudah nyampe, coba kakakmu dihubungi”, kata mas Anim. Oh iyaa mas, sambil membenarkan posisi duduk dan jilbab lalu mengambil hp. Kuhubungi kak Ale, dia mengirimkan lokasi, kami mencari lokasi yang dikirimkan itu namun tak kunjung ketemu, kak Ale pun tak bisa menjelaskan detail lokasinya dimana. Bapak supir tidak secepat dan setega itu menurunkan dan meninggalkan kami, beliau membantu kami mencari basecamp. Ada lebih dari 3 basecamp yang kami datangi namun semuanya kosong, tempat yang biasanya rame kata pak Supir juga mendadak sepi. Mungkin karena malam itu sudah malam terakhir menuju penutupan Rinjani. Semua rumah tertutup. Motor yang katanya biasanya ramai juga sepi tak ada orang. Semua sudah kelelahan, kita lagi-lagi terdampar tak tau arah mau kemaa, ditambah lagi dinginnya Sembalun yang begitu menusuk. Pilihan satu-satunya kembali ke resort. Setibanya di resort kami mengecek lokasi dan sama sekali tak ada tanda-tanda ada orang. Untungnya ada bale-bale yang cukup besar yang bisa menjadi sandaran kami semalaman.”pak disini aja pak, kami tidur disini saja malam ini”, kata kami kepada pak supir. Barang-barang pun diturunkan dan disimpan di bale-bale. Pak supir juga turun istirahat sejenak. Kami lalu mencari toilet dan bergantian ke toilet.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, dan satu batang rokoknya sudah habis. Pak supir pamit untuk kembali ke Mataram. Kami membenarkan posisi tidur untuk segera meluruskan badan yang sudah kelelahan. Ditengah dinginnya bale-bale resort, kami hanya dihangatkan dengan satu buah Sleeping Bag. Itupun hanya cukup untuk saya, Dila dan mbak putri. Sedangkan mas Anim dan Rayhan tidur dengan pakaian seadanya. Kami bertiga tidur dengan pulas. Mas Anim juga sepertinya bisa tidur meskipun gak nyenyak. Rayhan yang sama sekali tidak bisa tidur karena kedinginan. Diantara kami berlima, Rayhan yang paling cepat beranjak bangun. Setengah 5 saat radio masjid berbunyi (masjid berada pas di depan resort), dia segera mengambil air wudhu dan menuju ke masjid. Saya dan mbak Putri yang lagi tidak sholat melanjutkan tidur. Ketika matahari sudah menampakkan cahayanya, Rayhan datang membawa kabar dimana kami harus memulai perjalanan, jam berapa atm buka (oh iya, salah satu kebodohan yang kami lakukan adalah kami tidak mengambil uang di atm saat tiba di Mataram, alhasil tak ada sama sekali yang ounya uang cash, uang yang dipakai bayar mobil pun adalah uang hasil kumpul-kumpul hingga tercukupi 500.000, awalnya mas Anim diberitahu Rayhan untuk bilang sama pak supirnya untuk singgah di atm, tapi doi gak dengar akhirnya kita gak singgah di atm), dan dimana tempat penyewaan alat. Nah selanjutnya saya ceritakan, ini adalah kekonyolan juga kenekatan. Ingin mendaki gunung sekelas Rinjani tanpa persiapan apapun, baik fisik maupun alat, itupun kemauan hanya setengah-setengah.
Dari semuanya yang paling siap mendaki hanya saya. Dan ketika dalam perjalanan mereka menyatakan diri mau ikut, saya pun tak enak untuk melarang mereka. Berkali-kali kutanyakan, siap ndak nanjak? Kalau tidak, gapap. Saya bisa berangkat sendiri. Toh awalnya memang sudah niat untuk berangkat sendiri. Tapi semuanya menyatakan kesiapan untuk ikut. Hal ini pun yang membuat kak Ale begitu marah besar kepadaku saat saya memberitahukan kalau teman-temanku ingin ikut. Beberapa pertanyaan ditanyakannya, mengenai kesiapan fisik, kesiapan alat dan juga memarahiku berkali-kali. Saya terima semuanya karena saya memang salah tidak bilang sejak awal, tapi pembelaanku adalah teman-temanku ini menyatakan ingin ikut saat kami sudah dalam perjalanan, dan saya tidak enak untuk melarangnya. Saya pasang badan, berusaha berbagai cara agar kak Ale menerima teman-temanku untuk ikut. Berbagai macam cara kulakukan hingga akhirnya kak Ale mengiyakan.
Jam 6 pagi, saya dan Rayhan nongkrong di warung samping resort untuk ngeteh dan mengobrol dengan penduduk setempat. Keindahan alam, dinginnya pagi yang begitu menenangkan, ramahnya penduduk tak mampu mencairkan kepanikanku akan hal-hal yang mungkin akan terjadi dalam perjalanan, dan memikirkan bagaimana respon kak Ale setelah bertemu denganku nantinya. Saya memikirkan teman-temanku yang berangkat tanpa persiapan sama sekali dan tanpa alat sama sekali. Di depan kami lalu lalang orang orang yang semalam menginap di penginapan lumayan mewah di kaki gunung. Mereka sepertinya sengaja datang ke Sembalun untuk liburan, menikmati kemewahan dan keindahan khas pedesaan kaki gunung.
Jam pagi, mereka berempat (Rayhan, Anim, Dila dan mbak Putri) berjalan menuju ke ATM dan membeli logistic. Saya berkali kali mengecek pintu resort untuk registrasi. Tapi tak kunjung terbuka. Kak Ale pun sudah menghubungi terus menerus karena dia sudah siap jalan. Berbagai alasan kunyatakan untuk sedikit mengulur waktu. Menunggu atm dan tempat penyewaan alat buka. Setengah 8 baru registrasi buka. Saat mereka berempat pergi ke atm dan pasar, saya masuk untuk registrasi. Tariff per orang adalah 25.000.
Tak lama kemudian, mereka datang membawa logistic. Tapi belum menyewa alat. Saat kutanya, jawabannya tempat penyewaan alatnya tutup. Akhirnya kami segera berkemas. Disaat yang bersamaan seorang supir mobil sayur menawarkan jasanya. Saat yang lain masih berkemas, saya mengobrol dengan kakak supir mobil tersebut. Dari obrolan kami, saya mengetahui bahwa orang ini yang awalnya sudah dipesankan sama kak Ale untuk menjemput saya di Lembar, orang ini adalah orang yang sama yang menjemput kak Ale dan mengantarnya ke basecamp. Saya memina diantarkan ke tempat kak Ale, tariff yang diberikan yakni 150.000, kami menawarnya 100.000, tapi tak bisa. Harga yang di sepakati 110.000, barang diangkat naik ke mobil dan sebelum ke tempat kak Ale kami terlebih dahulu menuju tempat penyewaan alat.
Tempat pertama tutup, tempat kedua buka tapi dengan harga yang lumayan mahal. Tak apa, resiko menyewa di kaki gunung. Oh iya, di Sembalun banyak tempat penyewaan alat. Tapi tidak direkomendasikan untuk berangkat tanpa persiapan, harusnya ketika ingin mendaki sudah harus siap segalanya sebelum berangkat. Di tempat penyewaan alat kami menyewa 1 carrier, 1 tenda 4, 4 SB, 2 headlamp, 2 matras dan 1 kompor. Setelah selesai transaksi. Barang di packing dan kami melanjutkan perjalanan ke tempat kak Ale, terlebih dahulu kami singgah di koperasi untuk membeli gas dan mbak putri membeli sandal gunung.
Setelah semuanya beres, mobil melaju ke tempatnya kak Ale. Sesampainya di basecamp yang ditempati kak Ale bermalam, saya melihat kak Ale duduk didepan rumah sudah dengan muka bt. Saya langsung turun menyalaminya dan meminta maaf, tak lama kemudia kak Ira yang merupakan pacar kak Ale keluar dari rumah dan kami salaman. Kemudian kami kembali ke atas, ke tempat starting poin untuk memulai perjalanan menuju Rinjani.

PERJALANAN RINJANI DI MULAI
09.00 kami memulai perjalanan melewati pemukiman penduduk, lalu malintasi sungai kering lalu sampai di padang Savana. Pemandangan yang sangat indah.
Untuk sementara nulis tabulasi perjalanannya dulu aja, kalau niatnya sudah terkumpul baru nulis rinciannya hihihi
PERJALANAN RINJANI
Hari, Tanggal
Waktu
Kegiatan
Minggu, 31 Desember 2017
07.34
registrasi (Rp 25.000)
07.40
perjalanan menuju camp kak Ale (Rp 110.000 open cup)
09.00
start perjalanan
11.10
sampai di pos 1
11.45
sampai di pos 2 (Makan-sholat-istirahat)
13.20
melanjutkan perjalanan menuju pos 3
15.00
sampai pos 3
16.20
sampai pos bayangan (Istirahat sebentar)
16.25
melanjutkan perjalanan
Dalam perjalanan akan ada 2 bukit penyesalan
19.15
sampai di pelawangan 1 (ngecamp)
20.00
ambil air
21.00
makan
22.30
tidur
SENIN, 01 JANUARI 2018

03.30
summit dari pelawangan 2
Nyasar, jangan sekali-kali mengambil jalur kanan ketika dari pelawangan 4 menuju puncak. Itu jalur yang salah, ujung jalan itu patahan dan jurang

08.50
sampai puncak
10.11
turun dari puncak
13.06
sampai di pelawangan 2 (tendanya kak Ale)
Lanjut perjalanan
13.15
sampai pelawangan 1
Istirahat sehari memulihkan tenaga dan melanjutkan perjalanan esok harinya
SELASA, 02 JANUARI 2018
09.23
jalan turun dari pelawangan 1
09.51
tiba di bukit penyesalan 1
10.08
tiba di bukit penyesalan 2
10.23
tiba di pos bayangan
11.23
tiba di pos 3
Istirahat sejenak, foto, pipis
11.34
lanjut perjalanan k epos 2
11.50
sampai pos bayangan
12.30
sampai di pos 2
14.35
melanjutkan perjalanan ke pos 1
15.04
tiba di pos 1
15.58
sampai di pos bayangan menuju pos 0
16.58
sampai di kaki gunung
18.00
berangkat dari Sembalun menuju Mataram (650.000 ber 7)
22.53
tiba dirumahnya Rina

Tabulasi selama 10 hari perjalanan

Sudah beberapa kali diupload tapi teatap terpotong, jadi tabulasinya menjadi arsip di laptop aja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...