Setelah
beberapa minggu mengumpulkan niat, akhirnya saya menulis cerita ini. Tujuannya
untuk mengabadikan moment yang mungkin beberapa bulan atau tahun kedepan sudah
pudar dari memori karena tergantikan cerita yang lain. Saya masih percaya bahwa
ingatan itu terbatas, namun tulisan akan tetap hidup. Cerita ini berisi cerita
narasi deskripsi.
Berawal
dari pikiran suram akan melewati tahun baru tanpa kesan di Jogja, saya iseng
mengajak beberapa teman untuk backpacker. Ajakanku ternyata bersambut. Beberapa
teman menanggapinya dengan antusias. Dibuatlah rencana perjalanan, dengan rute
Jogja-Banyuwangi (Baluran dan Ijen)-Bali- lalu kembali ke Jogja. Kala itu
orang-orang yang terlibat dalam pembuatan rencana cukup banyak. Seperti biasa,
dalam tahap rencana orang-orang akan lebih banyak dibanding saat tahap
realisasi.
Dasarnya
saya bukan orang planner, beberapa
kali membuat rencana perjalanan namun tak kunjung rampung. Akhirnya rencana
perjalanan diambil alih oleh Rayhan. Salah seorang teman mengusulkan untuk naik
bis, dengan dalih naik bis lebih seru, bisa merasakan sensasi roller coaster gratis. Kita sepakat
untuk naik bis, dibuktikan dengan tidak lagi melirik tiket kereta yang saat itu
emang sudah rawan habis disebabkan liburan natal dan tahun baru sudah didepan
mata.
4
hari sebelum berangkat, seniorku yang sejak bulan 10 mengajakku untuk nanjak ke
Rinjani kembali mengabari. Menanyakan kepastianku untuk mendaki Rinjani. Toeng
toeng, pening seketika. Salahku sih memang, sejak bulan 10 itu saya sudah
sepakat dengan seniorku untuk mendaki ke Rinjani, saya berangkat dari Jogja dan
dia berangkat dari Makassar. Cuman beberapa bulan tak ada kabar, saya akhirnya
membuat rencana lain. Padahal bulan 10 itu kami sudah sepakat. Saya hanya
khawatir jangan sampai rencana hanya sebatas rencana, apalagi tidak ada tindak
lanjut pembicaraan, makanya saya membuat rencana backpackeran dengan
teman-teman di Jogja dengan rute yang sudah disebutkan diatas.
3
hari sebelum berangkat, saya mengabarkan berita “buruk” itu ke teman-teman
backpacker. Saya mengabarkan kalau nantinya saya hanya akan ikut setengah
perjalanan, karena saya pun tak bisa menolak untuk ke Rinjani. Jadi saya ikut
sampai Bali, lalu teman-teman melanjutkan perjalanan sesuai rencana dan saya
lanjut ke Rinjani dan balik sendiri ke Jogja. Responnya tentu saja kaget dan
juga sedikit kesal. “Kamu yang buat rencana untuk backpackeran, terus kamu yang
tiba-tiba ingin meninggalkan ditengah perjalanan”, “kamu kan sebagai ketua perjalanan”, “bilang sama seniormu untuk
menunda perjalanan ke Rinjani aja dulu, bulan depan kan masih bisa, toh juga
masih libur”. Itu beberapa kalimat yang dilontarkan teman-temanku.
Saya
mencoba bernegoisiasi dengan seniorku, kalau saja saya bisa mengundurkan waktu
untuk ke Rinjani. “Kak sudah beli tiket
belum ke Lombok”, tanyaku. Tak dijawab ya atau tidak, hanya dikirimkan foto
tiket Pelni Makassar-Lombok. Toeng toeng. Kembali pening. Chat itu hanya kubaca
dan tak kurespon. Selang sejam kemudian, mungkin karena tak ada respon,
seniorku kembali mengirimkan chat “jadijako
toh, jangan sampai kau PHPka”. Tak ada pilihan lagi, pikirku. Saya harus
bisa memutuskan. Akhirnya, senin malam tepatnya tanggal (25 desember 2017), 2
hari sebelum keberangkatan, bertempat di ASP (Ayam Saos Pedas) saat makan malam
bersama saya memberanikan diri bicara kondisi yang sebenarnya. Responnya
seperti yang sebelumnya, saya berada di posisi yang bersalah. Namun bagiku tak
ada pilihan, saya harus menjalani dua-duanya. Ini bukan saatnya memilih, namun
sebuah keharusan untuk menjalani.
Saat
berita itu kusampaikan, tiba-tiba Rayhan nyeletuk, ya sudah kalau seperti itu,
backpacker ini gak jadi. Saat itu perasaan bersalah menyerangku, memang
posisinya lagi lagi saya diposisi yang bersalah. Untuk mengakomodir semuanya,
langsung kubuat grup untuk memudahkan kordinasi. Ku invite orang-orang yang
pasti untuk ikut. Saat itu Rayhan left group, tapi kuinvite lagi. Kubagikan
informasi bis yang saat sore itu habis saya survey. Kuajak Rayhan untuk
sekalian ke Lombok lalu lanjut ke Rinjani, tapi dia menolak, dengan alasan
malas membawa banyak pakaian dank arena pastinya dana akan membengkak. Singkat
cerita perjalanan itupun terlaksana dengan penuh drama. Mas Anim pamit
berangkat sehari sebelum jadwal kami berangkat karena ingin pulang kerumahnya.
Erik yang mengusulkan untuk naik bis tiba-tiba mengabarkan kalau dirinya tak
jadi ikut karena ada hal penting yang mesti dia lakukan. Tersisa saya, Dila,
Masiti dan Rayhan.
Sehari
sebelum berangkat, Fatiha yang katanya mau ikut dengan menyusul lewat Kediri
nyatanya juga tak jadi ikut, dengan alasan taka da transportasi menuju
Banyuwangi, tiket kereta pun telah ludes. Fazat yang juga ada digrup itu tidak
jadi ikut karena ada acara tanggal 30. Tiba-tiba (lagi) Fatiha mengabarkan
kalau ada temannya yang ingin ikut, namanya mbak Putri. Hanay bertanya
alakadarnya, mbak Putri memutuskan untuk ikut. Selanjutnya saya invite masuk ke
grup. Yang aktif komentar di grup hanya Masiti, yang notabene orang Bali dan
tau kondisi perjalanan dan transportasi. Akhirnya tanggal 27 pun tiba, hari
keberangkatan.
HARI PERTAMA, HARI KEBERANGKATAN
Kami
kumpul di kostku, lalu berangkat bersama menuju ke terminal Giwangan. Mbak
Putri yang kostannya berada di jl.Kaliurang kami jemput lalu gocar melaju
menuju terminal. Sesampainya di terminal kami langsung buru-buru naik di bis
yang waktu itu sudah akan berangkat. Awalnya kita duduk ditengah, namun saat
Rayhan menoleh ke bagian belakang tempat orang-orang istirahat untuk merokok
itu kosong, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung mengajak kami
berempat untuk pindah duduk di belakang. Pilihannya tepat, di belakang itu
tempat duduknya memanjang dan sebenarnya muat untuk 6 orang, jadi kami berlima
bisa duduk leluasa dan bisa mencari posisi nyaman untuk tidur meskipun AC-nya
tidak sedingin di tempat duduk “penumpang normal”. Bis meluncur menuju
Banyuwangi. Hanya sekali bis singgah, itupun tak lama, hanya setengah jam untuk
makan dan sholat subuh. Bisnya berhenti di daerah Prbolinggo. Saya ingat cerita
yang begitu berkesaat, saat itu makanan yang kami pesan lama banget datangnya,
hingga saat makanan kami disajikan, para penumpang sudah berbondong-bondong
naik di bis. Baru satu dua suap, klakson bis memekakkan telinga dibunyikan,
sekali, dua kali, hingga tiga kali dan kami pura-pura gila dan tak berusaha
tidak merasa terganggu dengan suara klakson bis tersebut. Hingga seorang
emak-emak teriak dengan intonasi marah dan sempat menghardik kami yang
disangkanya begitu lamban, saya, Rayhan dan Masiti berjalan menuju ke Bis,
membiarkan Dila dan Putri menghabiskan makanannya. Saya dan Masiti mengambil
jalan kanan, mengindari emak-emak yang ngomel tanpa ampun, Rayhan pasang badang
menghadapi emak-emak yang garang itu, dan dengan sabar mendengarkannya
mengomel. Berselang beberapa menit kemudian, Putri dan Dila berlari menuju bis,
seketika penumpang bis menoleh ke kami saat kami semua sudah berada di bis. Ada
satu keuntungan lagi kita berada di tempat duduk paling belakang, ruangannya
kedap suara, jadi kami tidak mesti mendengar ocehan dan omelan seisi bis, dan
kami pun bisa menertawakan kekonyolan yang terjadi saat itu.
HARI KEDUA,
Semalaman
kita menghabiskan waktu di bis, perjalanan yang lumayan jauh dari
Jogja-Banyuwangi. Sekitar pukul 7 pagi, kami sudah sampai di Banyuwangi dan
lanjut naik angkot menuju Lembar. Setibanya di pelabuhan Lembar kami segera
membeli tiket Ferry menuju ke Padang Bai. Biaya tiket bis yakni Rp 6.500 dengan
fasilitas Ferry yang sangat berkelas dengan harga seminim itu. Selang sejam
setelah kami naik di Ferry, Ferry berlayar menuju Padang Bai. Hanya butuh waktu
45 menit, kapal sudah bersandar di pelabuhan Padang Bai. Waktu yang sangat
singkat. Ada rasa haru dan bahagia bisa menginjakkan kaki di Bali, kota yang
tak pernah masuk dalam bucket list perjalananku. “Welcome to Bali”, papan yang
berada di pelabuhan Padang Bai menjadi penanda kalau kami sudah sampai di Bali
dan jam di hp otomatis berubah menjadi zona Waktu Indonesia Barat, lalu kami
bergegas mengambil barang-barang dan turun, berjalan keluar pelabuhan
melangkahkan kaki untuk berfoto dibawah patung Wisnu yang berada di dekat
pelabuhan, lalu melanjutkan mengayuh langkah menuju pos pemeriksaan identitas.
Oh iya, Bali menjadi kota yang katanya selalu ada pemeriksaan identitas (Sebisa
mungkin KTP), katanya untuk mengantisipasi teroris masuk ke Bali. Setelah
pemeriksaan identitas dinyatakan aman, kami berjalan mencari makan sembari
menunggu bapak Masiti datang menjemput. Di Bali kita akan sangat sulit mencari
penjual makanan halal, jadi selektif untuk memilih makanan, kalau belum
lapar-lapar amat mending makan dirumah, lebih aman dan dijamin halal. Tapi
karena saat itu lapar sudah tak terbendung, kami mengalamatkan perut yang sudah
keroncongan pada penjual bakso pinggir jalan yang penjualnya memakai kerudung.
Meskipun makanannya tidak begitu lezat, tapi setidaknya itu mampu mengisi perut
yang cacingnya sudah ngamuk, tak berselang berapa lama, belum juga baksonya
habis, bapak Masiti sudah sampai di TKP. Kami menyegerakan menghabiskan makanan
lalu bergegas untuk menuju ke mobil yang akan mengantarkan kami kerumahnya
Masiti. Sebelum tiba dirumah, terlebih dahulu Masiti dan bapaknya mampir di
pasar dan membeli buah-buahan. Setibanya dirumahnya Masiti, kami masuk di kamar
masing-masing (kamar yang sudah disediakan oleh Masiti dan keluarganya, terbagi
atas kamar cewek untuk saya Dila dan Putri, dan kamar cowok untuk Rayhan yang
hari itu masih seorang Diri karena mas Anim belum berangkat). Sampai dirumah
Masiti hanya ada Arif (adeknya Masiti), ibunya tak ada dirumah karena masih di
kantor. Kami lalu bersih-bersih dan langsung tepar. Sebenarnya sepanjang
perjalanan kami menghabiskan waktu untuk tidur, tapi kualitas tidur di
kendaraan dan di tempat datar jauh sangat berbeda. Tak sadar kami tidur sampai
sore. Sorenya kami dibangunkan, dan tadaa makanan sudah siap santap. Rejeki
tamu yang niatnya backpackeran dan Alhamdulillah dapat berkah. Sebelum makan,
kami mandi terlebih dahulu biar seger, lalu bergegas keluar kamar untuk
bersalaman dengan ibu MAsiti yang sore itu sudah kembali kerumah, lalu kami
lanjut makan. Setelah kenyang, kami melampiaskan hasrat jalan-jalan, pilihan
jalan-jalannya jatuh pada Pantai belakang rumah, pantai yang dipakai para
nelayan untuk mengawali sorenya mengais rejeki di malam hari untuk mencari
ikan. Di pantai ini kita akan melihat gambaran kecil kehidupan nelayan, ada
lebih dari 100 kapal kecil pencari ikan yang berjejer sepanjang bibir pantai,
beberapa nelayan bersiap untuk berangkat, ibu-ibu dengan sepenuh hati membantu
para laki-laki yang hendak berlayar mendorong kapalnya menuju ke laut,
anak-anak dengan riang gembira bermain pasir di pantai. Argh, pemandangan yang
sangat indah, pemandangan yang membuatku ingin melanjutkan petualangan demi
petualangan, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik selama perjalanan, ada
banyak orang yang bisa ditemui, dan ada banyak pengalaman yang bisa disimpan di
memori. Semua hanya bisa dinikmati dan dirasakan apabila kita melakukan
perjalanan.
Saya teringat kata miss uun saat
saya ikut kelas Bahasa “siapa bilang siang itu hanya dipakai kerja dan mala
dipakai untuk istirahat, terus kalau kalian berfikir seperti itu, bagaimana
dengan nelayan, yang malamnya dipakai untuk kerja dan siangnya dipake
istirahat”, hmmmp benar juga ya. Itu memberikan kita pelajaran bahwasanya
jangan saklek melihat sesuatu hanya dari satu perspektif saja.
Kunikmati sore itu dipinggir pantai
yang pasirnya hitam tanpa senja dengan suasana hati yang sangat bahagia,
berlari di pantai dan bermain pasir. Beban dan masalah seakan sirna, ditelan
kencangnya ombak dan pekatnya sore. Sebagiannya lagi sibuk berfoto,
mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi.
Menjelang maghrib, kami berjalan kembali
kerumah Masiti. Tempat yang pertama kami tuju adalah toilet, menanggalkan
pakaian yang kotor karena saling lempar pasir di pantai, lalu yang sholat
segera menunaikan kewajiban sholat maghrib selanjutnya kami makan malam. Malam
itu tak banyak obrolan yang tercipta, kami sudah cukup kelelahan jadi menuju kasur
lebih awal.
HARI KETIGA, BALI
Yeaay, tibalah hari dimana kita akan
berjalan-jalan. Rencana awalnya ingin berangkat jam 6, agar banyak tempat
wisata yang kami kunjungi, namun apadaya, manusia hanya bisa berencana,
ketetapan hanya milik Allah. Kami mengulur waktu lebih siang untuk menunggu mas
Anim yang subuh itu baru berangkat dari Jember menuju Bali menggunakan motor.
Karena beberapa alasan teknis, sehingga mas Anim baru bisa bergabung di hari
ketiga, jam 7 lewat mas Anim baru mengabarkan kalo dirinya baru naik kapal.
Jadi kami memutuskan untuk berangkat dan janjian ketemu dijalan. Awalnya kami
janjian bertemu di Pantai Madewi, pantai yang kurang 30 menit dari rumah
Masiti, Pantai Madewi cukup terkenal dengan ombak yang besar, cocok untuk
dipakai surfing. Ditempat ini, untuk
pertama kali saya melihat orang-orang surfing
secara nyata, biasanya hanya melihatnya lewat tayangan televisi. Hanya
orang-orang yang punya adrenalin dan keahlian berenang yang mampu melakukan
ini. Kelihatannya mudah, tapi untuk melakukannya nampaknya cukup sulit. “Menantang”
ombak dan bermain diatas gulungan ombak yang cukup besar. Biaya masuk di pantai
Madewi ini gratis, dan tak ada tukang parkir, jadi gratis total.
Hampir
sejam menunggu mas Anim yang tak kunjung datang, kami melanjutkan perjalann
menuju pantai Soka, di pantai Soka kami janjian lagi dengan mas Anim untuk
bertemu. Di Pantai Soka ini, selain pantai juga menjadi rest area. Pantai Soka memiliki minimarket yang menjadi tempat
untuk membeli oleh-oleh, dan didepannya terdapat tempat duduk yang bisa dipakai
untuk nongkrong menghilangkan penat sepanjang perjalanan. Tempatnya lumayan
bagus, pantai yang bersih dengan pasir yang coklat kehitaman, ada banyak
hamparan batu-batu besar yang berada di bibir pantai. Pantai ini sepi, yang ada
hanya kami, pantai ini selayaknya pantai pribadi kami. Biaya masuknya 5.000,
namun saat itu tidak ada petugas loket jadi kami masuknya gratis. Di tempat ini
kami mampir sekitar 2 jam. Menikmati pantai, istiraha sembari menunggu mas Anim
datang. Ditempat ini kami bertemu mas Anim dan menjadi tempat penitipan motor.
15 menit ketika mas Anim sudah datang, kami melanjutkan perjalanan menuju Bedugul
yang sekarang menjadi tempat hitz di Bali. Dalam perjalanan, hampir setiap
lampu merah ada pedagang asongan menjajakkan barang dagangannya. Kami membeli
telur puyuh dan klelepon. Ada satu cerita yang tak terlupakan mengenai
klelepon, oh ya kalau di tempatku di Makassar klelepon ini namanya onde-onde.
Tragedi saat makan klelepon, ukurannya yang tidak terlalu besar tapi juga tak
kecil, membuatku ingin makan satu klelepon bertahap, dibagi dua kali gigit,
tapi saya tak menyangka gula dari klelepon tersebut cair dan meluber, sekali
gigit gulanya muncrat kemana-mana, parahnya muncrat ke baju yang dikenakan
Rayhan yang waktu itu kebetulan menggunakan baju putih, jadi bekas gula yang
muncrat ke bajunya Nampak begitu jelas, ada sedikit rasa bersalah, tapi lebih
banyak ketawanya. Rasa bersalah karena meningglakn noda di baju putihnya yang
akan dipakai untuk sholat jumat, tapi ya mau gimana lagi, udah terjadi.
Karena
hari itu hari jumat, kami mencari masjid ketika jarum jam sudah hampir pukul
12.00 ini disebabkan alasan susahnya menemukan masjid di daerah Bali, jadi
mending menunggu agak lama dibandingkan Rayhan dan mas Anim gak sholat karena
gak menemukan masjid. Meski saat itu radio mesjid belum sholawat, tapi kami
memutuskan singgah saat sudah menemukan masjid, tepatnya di jl.raya
Denpasar-Gilimanuk. Beberapa meter dari
masjid ada alfamart yang biasa dipake untuk rest area, terdapat beberapa kursi
dan dua buah meja yang berada di halaman depan alfamart, juga terdapat colokan.
Saat kami tiba, ada dua orang cowok yang lagi istirahat dan minum minuman segar
yang baru dibelinya dari alfamart. Selang 10 menit minuman dua cowok tersebut
sudah dihabiskan dan mereka melanjutkan perjalanan. Giliran kami mengambil alih
tempat duduknya. Kami mengambil makanan yang sebelum berangkat sudah
dibungkuskan oleh ibunya Masiti, bungkus makanan bertujuan untuk menghemat
budget biar kami gak jajan dijalan dan yang paling pokok tujuannya adalah
karena susahnya mencari makanan halal.
Karena
hanya dua meja, jadi kami makan berembuk. Satu kertas nasi ditempati makan oleh
beberapa orang. Karena alasan kebersamaan dan karena lapar, semuanya terasa
nikmat dan lezat, semuanya makan begitu lahap. Saat makanan sudah diembat
hampir habis, suara adzan di masjid pun mulai di kumandangkan, mas Anim, Rayhan
dan Arif bergegas kemesjid menunaikan sholat jumat. Saya, Dila, Masiti dan mbak
putri masih duduk di depan alfamart. Tak lama kemudian mereka bertiga juga
pamit hendak ke toilet masjid. Tinggallah saya seorang diri menjaga barang-barang
yang ditinggal para pemiliknya.
Tak
selang berapa lama kemudian, datang rombongan buk ibuk dan nak anaknya yang
baru keluar dari alfamart dan meminta ijin untuk menggunakan satu meja dan
beberapa kursi yang sebelumnya kami gunakan, saya memindahkan barang
teman-teman yang masih berserakan dan menyatukannya di satu meja, akhirnya buk
ibuk dan anak-anaknya bisa duduk leluasa dan nyaman. Mereka datangd dari Blitar
dan ke Bali untuk liburan. Anaknya yang paling tua mengajakku mengobrol, kami
mengobrolkan beberapa hal, saling tanya aktifitasnya apa, ternyata dia baru
saja menyelesaikan kuliahnya dan sekarang honor di salah satu sekolah. Dia
balik menanyaiku saya kuliah dimana dan semester berapa, saat kujawab baru
masuk. Ada nada dan raut muka senioritas yang Nampak, tak nyaman dengan kondisi
seperti itu, lalu kusambung bahwa saya maba pascasarjana. Bukan bermaksud
sombong, hanya ingin membuatnya tahu saya lebih senior hahahahahaha.
Keahliannya berbicara ternyata dilatar belakangi karena disamping mengajar, dia
juga menjadi semacam marketing salah satu travel. Dia menyodorkanku selebaran
dan kartu nama untuk umroh. Kuambil dan kubaca, lalu kusimpan kartu nama dan
selebaran yang dia berikan. Tak berapa lama kemudia, Rayhan dan mas Anim
datang, keluarga teman baruku itu pun yang namanya sudah saya lupa juga sudah
datang. Mereka melanjutkan perjalanan, sedang kami menung cewek-cewek yang lagi
ke toilet, sholat dan lagi dandan datang dan kami bisa melanjutkan perjalan.
Lebih dari setengah jam kemudian baru mereka bertiga muncul dan kami pun
melanjutkan perjalanan menuju Bedugul.
Kontur
jalannya lumayan berkelok dan nanjak, namun keindahan kiri kanannya mampu
menghalau rasa mabok. Sekitar 90 menit kemudian kami sampai di Bedugul, suasana
Bedugul sore itu padat merayap, dari turis lokal hingga turis mancanegara.
Tempat ini terdapat banyak patung yang menjadi ciri khas Bali, mungkin ini
menjadi salah satu alasan ramainya tempat ini. Kami membayar uang registrasi
lalu masuk berfoto di tempat yang strategis dan bisa mendukung eksistensi serta
sebagai bukti bahwa kita pernah ada di Bali hahaha (Adult jaman now). ada yang
lebih menarik perhatian selain foto, yakni naik speedboat berkeliling mengitari
danau. Cukup banyak orang yang antri ingin merasakan sensasi mengelilingi danau
yang sore itu dipayungi langit abu-abu. Ada dua pilihan, satunya perahu
berukuran lumayan besar dan menampung lebih dari 5 orang, namun resiko
mendayung dan itu dipastikan akan sangat melelahkan. Kedua naik speedboat
dengan bayaran yang lumayan mahal, maksimal 5 orang namun bisa merasakan
sensasi dan menikmati keliling danau. Kami berembuk dan menghasilkan keputusan
kami akan naik speedboat, mas Anim memilih untuk tidak ikutan. Meski mas Anim
gak ikutan, jumlah kami masih 6 orang, karena ada Arif adeknya Masiti. Kami
berenam menuju loket karcis untuk naik speedboat. Saya menunjukkan Arif ke
bapak penjaga loket “pak kami berenam ya mau naik speedboat, gapapa kan pak,
ini satunya anak kecil”, bapaknya membolehkan. Saya dalam hati, “dari segi umur
memang Arif kecil, tapi dari segi badan saya dengan Dila lebih kecil dari
Arif”. Kami duduk di pinggir dermaga menanti antrian, saat tiba antrian kami,
bapak pengemudi speedboat awalnya tidak membolehkan berenam, mungkin karena
melihat badan Arif yang lumayan besar, tapi kami berusaha meyakinkan bapaknya
kalo Arif ini masih kecil. Tak mau lama berdebat, atau mungkin bapak pengemudi
sepeboatnya tau kalo emak-emak selalu benar, maka kami berenam diijinkan untuk
naik. Bapak dengan lincah mengemudikan speedboat mengelilingi danau, kami
menikmati terpaan angina sembari foto dan membuat video perjalanan diatas
danau. Hanya 15 menit, danau sudah habis dikelilingi dan speedboat kembali
merapat ke dermaga tempat kami awalnya naik. Tak terasa kataku, ekspektasiku
ada ombak yang menghempaskan kapal yang bisa memberikan sensasi dan kami bisa
berteriak sekencang-kencangnya karena panic dan takut, kembali lagi ekspektasi
kadang berbeda dengan realita.
Setelah
turun dari speedboat kami keliling mencari mas Anim yang menghilang, kami
menemukan mas Anim sibuk foto-foto, lalu kami bergeser mencari tempat yang
eyecatching untuk mengabadikan moment. Setiap sudut kami cari dan akhirnya
menemukan beberapa tempat yang bagus, sekali dua kali hingga berkali-kali
jepretan, akhirnya sudah merasa puas dan bergegas untuk pindah tempat. Karena
diburu waktu, dari satu tempat ke temapt yang lain kami hanya sebentar, hanya
sekedar cekrak cekrek lalu buru-buru bergeser.
Setelah
Bedugul tempat selanjutnya yang ingin kami tuju adalah pantai kuta, pantai yang
sangat terkenal di Bali. Waktu itu sudah setengah 5 lewat. Perkiraan kita bisa
menikmati sunset di Kuta, tapi lagi lagi manusia hanya bisa berencana. Satu
kilo sebelum sampai di pantai kuta, kita terjebak macet parah. Mobil tidak
bergerak sama sekali, kalaupun bergerak, gerakannya hanya beberapa centi.
Perjalanan yang harusnya hanya 5 menit ditempuh lebih dari 2 jam. Karena sudah
capek, bête dan hari pun sudah malam, ketika sudah sampai di beachwalk tempat
kami parkir menuju pantai kuta dan bertemu dengan temannya Rayhan, kami sudah
tidak berselera. Mukanya sudah pada bête dan sebel. Tapi diantara semua yang
harusnya bête dan lelah itu Rayhan. Karena doi yang bawa mobil. Sempat ketika
mencari parkiran, mungkin karena sudah lelah dan sebel karena lama terjebak
macet, saya yang sedari awal bawel dan berusaha menunjukkan tempat parkir yang
lowong malah diomelin, huhuhu Rayhan jahat. Saya kan niatnya baik mau bantuin
nyari lowongan, hahaha. Au ah bête.
Setelah
parkir, kami bergegas ke masjid menunaikan sholat maghrib dan isya sekaligus
dijamak. Saya dan mbak putri ke toilet, karena waktu itu kami lagi tidak
sholat. “Mbak, toiletnya mana ya”, tanyaku ke mbak-mbak yang lagi telefonan.
Dia menunjuk ruangan samping seadanya. Dalam keadaan lelah saya bergegas ke
lokasi yang ditunjuk mbaknya, baru membuka pintu saya sudah meraskan keanehan,
dari cermin kulihat seorang lelaki berdiri sedang pipis. Saya dengan nyantai
tanpa rasa bersalah menutup kembali pintu lalu keluar tertawa. Hahahaha, mbak
putri pun demikian. Mbak yang sebelumnya menunjukkan lokasi toilet kepadaku
muncul dengan muka merasa bersalah, dan menunjukkan toilet wanita. Sesampainya
di toilet wanita saya kembali tertawa menertawakan kegeblekanaku yang masuk di
toilet cowok hahahaha.
Setelah
semuanya selesai, kami bertemu dengan teman Rayhan di depan Musholla dan
berjalan menuju pantai kuta yang berada tepat di depan beachwalk. Tak ada yang
special, hanya gelap gulita, sejauh mata memandang hanya melihat kegelapan, dan
mendengar deru ombak. Kami duduk diatas pasir meninkmati gelapnya malam dan
rintik yang mulai turun. 15 menit kemudian, kami bergegas untuk pindah bergeser
mencari makan. Tempat makanan halal berada sekitar 15 menitan dari pantai kuta,
kami janjian dengan temannya Rayhan bertemu di warung makan. Dia berangkat
lebih awal karena menggunakan motor dan di parkir di depan. Kami berangkat
belakangan karena mesti turun di basement tempat mobil parkir. Perjalanan
pulang tidak semacet waktu kami pergi, perjalanan pulang jauh lebih bersahabat
meskipun tak juga bisa disebut lengang. Kiri kanan jalan di penuhi took-toko
yang selama ini sering saya lihat di film-film FTV yang Bali menjadi kota latar
belakang film itu syuting. Satu kata menggambarkan tempat sekitar pantai kuta
Glamour. Kiri kanan jalan banyak bule bule yang jalan, berada di tempat ini
serasa tidak lagi berada di Indonesia.
Untuk
menuju ke warung tempat kami dan teman Rayhan janjian, kami bermodalkan map.
Hingga lorong yang harus kami belok kami lewati, sehingga harus lewat dijalan
yang lain, akibatnya waktu tempuh jauh lebih lama. Perjalanan yang harusnya
bisa ditempuh dalam waktu 15 menit menjadi hampir sejam. Setibanya di lokasi,
temannya Rayham sudah tak ada, dia sudah balik lebih dulu, mungkin karena sudah
terlalu lama menunggu. Setengah 12 baru kami tiba di warung makan. Meskipun
dalam keadaan ngantuk, kami makan begitu lahap.
Perjalanan
pulang merupakan tantangan berat. Antara ngantuk dan ingin menemani Rayhan
mengobrol. Jangan sampai Rayhan yang membawa mobil juga ngantuk. Satu persatu
mulai tepar. Tak terkecuali denganku. Malam itu hujan mulai turun, malam
semakin malam, seisi mobil sudah mulai tidur. Saya kadang tertidur, tapi kalau
merasakan mobil sudah masuk lobang saya kembali terbangun, jalan menuju rumah
Masiti pun banyak tikungan dan mobil besar yang melintas, hal ini menjadi salah
satu alasan ketidaktenangan kalau ngantuk apalagi sampai tertidur. Ngobrol sama
Rayhan pun sebatas “Han, kamu jangan ngantuk ya, atau Han km baik-baik aja kan,
atau Han pelan-pelan aja, atau hanya sekedar manggil nama Rayhan aja kalo
ngerasa dia membawa mobilnya sudah aneh Han Han Han”. Perjalanan yang terasa
sangat lama dan sangat panjaang.
Pukul
setengah 2 dinihari, kami sampai di Pantai Soka, mas Anim turun mengambil
motornya dan lanjut perjalanan menuju rumah Masiti menggunakan motor dan jas
hujan. Waktu itu saya bimbang, gak tega mas Anim sendiri naik motor, tapi juga
gak bisa meninggalkan Rayhan jangan sampai yang lain tidur dan dia ngantuk. Sempat
sih kepikiran turun dan ijin “Aku naik
motor nemenin mas Anim ya, kasian dia sendiri”, kataku. “Gak usah, ntar kamu
sakit, apalagi mau mendaki kan”, kata Rayhan. Seketika itu rasanya mau teriak
karena terharu, tumben amat tuh anak perhatian, biasanya ngebully doing
bisanya, mungkin efek ngantuk dan capek jadi dia ngigau perhatian hahahahahaha.
Setelah
mas Anim turun, saya sudah tak pernah tidur lagi. Kubantu Rayhan melihat
kendaraan yang melaju didepan mobil. Sesekali kupanggil namanya “Han” hanya
untuk memastikan kalau dia tidak tidur. Saat dia udah kesel karena keseringan
kupanggil, dia pasti akan jawab gini “iyaa, apa sih” hahaha pengen ngakak aja
denger dia jawab kayak gitu dengan suara khas orang ngantuk hahaha. Awalnya mas
Anim berada di depan, tapi tak lama kemudia dia pindah jalur ke belakang.
Hingga jam 02.15 menit akhirnyaaaa kami tiba juga kembali dirumah masiti dengan
selamat. Alhamdulillah. Saat tiba, bapak Masiti ternyata belum tidur. Seperti
kebanyakan orang tua, beliau tidak bisa tidur tenang saat anaknya belum tiba
dirumah, apalagi saat itu Arif adeknya masiti yang kecil ikut dalam perjalanan
kami. Alhamdulillah, sampai dan kami ke kamar masing-masing untuk istirahat.
HARI KEEMPAT
Rencana ingin berangkat jam 5 subuh agar
bisa sampai di Padang Bai jam 6 pagi biar bisa langsung berangkat ke Lembar,
tapi saya menyadari saya tidak bisa selalu memaksakan kehenda. Rencana hanyalah
rencana, melihat kondisi teman-teman yang kelelahan, jam 6 pagi baru sepenuhnya
sadar, lalu bergegas mandi dan siap-siap lalu sarapan. Kami yang awalnya ingin
berangkat berenam ke Lombok akhirnya hanya berangkat berlima, Masiti menunda
berangkat bersama kami karena harus menyelesaikan proposal yang ingin dikutkan
dana hibah. Pagi harinya sekitar jam 8 baru semuanya siap dan sarapan, setelah
sarapan kami berembuk dengan orang tua Masiti mengenai kendaraan yang akan kami
gunakan menuju Padang Bai. Setelah melihat di map, ternyata jarak rumah Masiti
dan Padang Bai lumayan jauh, 3 jam lebih. Bapak Masiti sempat menawarkan untuk
mengantar. Kalaupun mau naik bis jamnya belum tentu. Setelah itu baru kami
berembuk kembali tanpa Masiti dan orang tuanya. Dan dengan tebal muka kuminta
mas Anim bicara dengan masiti untuk menyampaikan ke bapaknya kalau kami mau
diantar. Sebenarnya sih gak enak, apalagi jaraknya yang gak dekat, tapi itu
satu-satunya jalan agar bisa tiba di Padang Bai dengan cepat. Apalagi waktu itu
kak Ale’ seniorku dari Makassar terus-terusan menanyakan keberadaanku dimana,
saya sudah panic dan mencoba mencari cara tercepat untuk sampai di Lombok.
Niatnya hari itu juga bisa sampai di kaki gunung Rinjani dan bisa langsung
nanjak. Rencana hanyalah rencana.
Nyatanya
kami baru meninggalkan rumah Masiti pukul 10.00, dan baru sampai di pelabuhan
padang bai 20 menit menjelang pukul 3 sore. Tak mau terlalu lama, kami langsung
salaman dan pamit kepada orang tua Masiti lalu membeli tiket dan segera naik di
kapal. Berharapnya waktu itu kapal berangkat pukul 3 sore jadi bisa sampai di
Lembar tidak terlalu malam. Lagi lagi, harapan hanyalah harapan, kenyataan
berkata lain. Kapal baru berangkat pada pukul 5 sore, 2 jam setelah kami naik
di kapal. Kapal yang bersih, nyaman dan full fasilitas sangat worth it untuk
harga 46.000. kita bebas memilih ingin duduk dimana, fasilitas tempat duduknya
tidak jauh beda dari fasilitas tempat duduk di pesawat, sangat amat nyaman. Di
dek paling atas ada beberapa tempat duduk seperti di pantai-pantai dan kita
bebas memilih mau duduk dimana selagi tempat duduk itu kosong, dan kita bisa
melihat hamparan laut luas di selat Bali. Jam 5 kapal mulai berlayar
meninggalkan pelabuhan padang Bai menuju pelabuhan Lembar di Lombok. 10 menit
di awal saya masih betah dibawa, makan dan duduk manis. Setelah itu sudah mulai
merasa mual, karena tidak makan antimo. Akhirnya saya memutuskan naik di dek
paling atas, bersama dengan mas Anim. Hampir sejam kami ngobrol, mengobrolkan
banyak hal, mulai dari masalah kuliah hingga masalah yang penting dan gak
penting sama sekali. Saat saya melihay hp, sudah ada chat dari anak-anak yang
dibawah, menyuruh kami turun biar bisa gentian naik diatas. Saya meminta mas
Anim untuk turun memanggil anak-anak meninggalkan barang-barang dan kita
bareng-bareng diatas, saya sudah tak kuat lagi untuk turun, perut sudah sangat
mual.
Tak
lama kemudian, semuanya sudah naik. Mengambil barang berharga ditempatkan
disatu tas, dan barang-barang yang lain dibiarkan di tempat duduk yang kami
tempati dibawah. Semua senang, semua menikmati, semua tertawa, semua foto-foto,
dan saya hanya termangu menahan mual. Hikz. Tak ada lagi senyum maupun ketawa
yang selama ini tak pernah pudar dari bibirku, semua dirampas oleh rasa mual
yang tak tertahankan. Saat mereka semua ketawa ketiwi foto-foto saya lebih
memilih baring beratapkan langit luas dan terpaan angin yang semakin lama
semakin kencang. Menjelang maghrib, entah waktu itu siapa yang mengajak turun,
dan semuanya ikut turun. Saya berlari mendahului mereka, saya menuju ke toilet
menumpahkan segalanya yang sedari tadi berlomba untuk keluar. Setelah semuanya
“keluar” baru berasa enakan. Saya kembali ke tempat duduk dan mencari posisi
enak untuk tidur. Tidur pulas dan berkualitas. Baru tersadar saat kapal akan
sandar di pelabuhan lembar. Kulirik jam yang ada di hp, sudah menunjukkan pukul
9 malam. Kuperiksa chat yang begitu banyak, mataku tertuju pada chat yang
dikirimkan kak ale beberapa jam yang lalu hingga beberapa chat. Awalnya
menanyakan keberadaanku dimana, terus memberitahukan untuk stay di Lembar dulu
mencari masjid atau pos polisi, pokoknya tempat aman. Karena hari sudah malam
dan sudah tak ada lagi mobil yang berangkat menuju Lembar. Kujawab chat kak
Ale, kuberitahukan bahwa aku bersama teman-temanku dan memberikan penjelasan
panjang lebar mengenai keberadaan teman-temanku.
Saat
kapal sudah hampir berhenti, mas Anim menghubungi Dedi yang waktu itu lagi di
Lombok, awalnya kami berencana untuk nginap di kost Dedi. Dedi dihubungi
sebelum kapal sandar hingga kami terdampar di polisi nomor Dedi sama sekali tak
bisa dihubungi. Rina pun kuhubungi yang malam itu sudah sampai di Lombok tapi
hpnya pun tak aktif. Kuhubungi kak Ale untuk langsung ke Sembalun malam itu
juga. Setelah turun dari kapal, kami menuju pos polisi, tempat yang paling aman
untuk berteduh dari berbagai kejahatan. Kebetulan saat itu 1 hari menjelang
tahun baru jadi didirikan pos keamanan dadakan di dekat pelabuhan. Bapak polisi
yang lagi di posko waktu itu menyambut kami dengan ramah, mempersilahkan kami
duduk dan membuatkan kopi untuk kami. Tak lupa mereka menawarkan makanan yang
baru saja dibeli oleh salah satu anggotanya. “Pelayan” public yang sungguh
ramah. Kami berdiam di posko polisi untuk mencari titik cerah kemana kami harus
pergi.
Kak
Ale mengirimkan lokasi tempatnya menginap, satu2nya tempat yang saya pikir bisa
untuk kami tuju ya Sembalun. Karena tak ada algi yang bisa diharapkan di Lombok
malam itu. Sama sekali sudah kalaf tak tau harus menghubungi siapa, apalagi
malam itu sudah hampir jam 10 malam. Dila menghubungi temannya untuk menitipkan
beberapa barang, karena barang-barang yang kami bawah tak mungkin bisa diboyong
semuanya mendaki di Rinjani. Temannya Dila memberikan alamat. Kemudian pak
Polisi menelefon nomor salah seorang supir yang bisa kami gunakan mobilnya
menuju sembalun. Setelah nego sebentar, bapak supir memberikan kami harga Rp
500.000 untuk 5 orang, mungkin salah satu faktornya karena yang menghubunginya
pak polisi yang katanya sudah akrab dengan bapak supir.
Setengah
11 malam, mobil pak haji supir meluncur menuju Sembalun, namun sebelumnya kami
mampir dirumah temannya Dila untuk menitipkan barang. Saat sampai dirumah
temannya Dila, semua turun, terkecuali saya. Saya memilih tidur karena mabuk
dan karena tak ada barang yang ingin saya titipkan. Saat semua turun, pak haji
menyetir mobilnya meninggalkan rumah tersebut, sontak saya bangun karena kaget
dan bertanya “pak ini mau kemana”? tanyaku. Oh ada orang, “gapapa mbak, gak
usah takut, saya tak akan bawa lari, tadi saya kira ndak ada orang, saya mau mutar
di depan sana mbak biar nanti gak susah buat keluar”, kata bapak supir. “ooh
gitu ya, iya pak, saya mabok, jadi malas turun”, kataku. Saya pun tidak
melanjutkan tidur melainkan mengobrol dengan bapak supir, mendengarkan beliau
bercerita tentang kehidupannya dan anak-anaknya. Tak terasa karena mengobrol,
teman-teman yang menitipkan barang akhirnya kembali ke mobil. Saat mereka semua
sudah masuk ke mobil, saya melanjutkan tidur, dan mobil melanjutkan perjalanan
menuju Sembalun.
Sepanjang
perjalananan saya menghabiskannya untuk tidur, sekali dua kali saya bangun.
Pertama kali saat dengar mas Anim bilang kalau dia melihat makhluk tak kasat
mata, kedua kalinya saat semuanya sudah tegang karena jalanan berkelok-kelok
dan penuh embun, sampai pak supir meminta tolong mas Anim untuk menghapuskan
embun yang berada tepat didepan mukanya karena beliau tak sanggup lagi untuk
melihat jalan. Hanya itu yang kuingat, selebihnya saya menghabiskannya untuk
tidur.
HARI KELIMA, Sembalun (31 Januari
2017)
Minggu
dini hari, sekitar setengah 2 pagi saya di bangunkan, saat mobil sudah sampai
di depan resort taman nasional Rinjani. ‘mbak tin, sudah nyampe, coba kakakmu
dihubungi”, kata mas Anim. Oh iyaa mas, sambil membenarkan posisi duduk dan
jilbab lalu mengambil hp. Kuhubungi kak Ale, dia mengirimkan lokasi, kami
mencari lokasi yang dikirimkan itu namun tak kunjung ketemu, kak Ale pun tak
bisa menjelaskan detail lokasinya dimana. Bapak supir tidak secepat dan setega
itu menurunkan dan meninggalkan kami, beliau membantu kami mencari basecamp.
Ada lebih dari 3 basecamp yang kami datangi namun semuanya kosong, tempat yang
biasanya rame kata pak Supir juga mendadak sepi. Mungkin karena malam itu sudah
malam terakhir menuju penutupan Rinjani. Semua rumah tertutup. Motor yang
katanya biasanya ramai juga sepi tak ada orang. Semua sudah kelelahan, kita
lagi-lagi terdampar tak tau arah mau kemaa, ditambah lagi dinginnya Sembalun
yang begitu menusuk. Pilihan satu-satunya kembali ke resort. Setibanya di
resort kami mengecek lokasi dan sama sekali tak ada tanda-tanda ada orang.
Untungnya ada bale-bale yang cukup besar yang bisa menjadi sandaran kami
semalaman.”pak disini aja pak, kami tidur disini saja malam ini”, kata kami
kepada pak supir. Barang-barang pun diturunkan dan disimpan di bale-bale. Pak
supir juga turun istirahat sejenak. Kami lalu mencari toilet dan bergantian ke
toilet.
Setelah
memastikan semuanya baik-baik saja, dan satu batang rokoknya sudah habis. Pak
supir pamit untuk kembali ke Mataram. Kami membenarkan posisi tidur untuk
segera meluruskan badan yang sudah kelelahan. Ditengah dinginnya bale-bale
resort, kami hanya dihangatkan dengan satu buah Sleeping Bag. Itupun hanya
cukup untuk saya, Dila dan mbak putri. Sedangkan mas Anim dan Rayhan tidur
dengan pakaian seadanya. Kami bertiga tidur dengan pulas. Mas Anim juga
sepertinya bisa tidur meskipun gak nyenyak. Rayhan yang sama sekali tidak bisa
tidur karena kedinginan. Diantara kami berlima, Rayhan yang paling cepat
beranjak bangun. Setengah 5 saat radio masjid berbunyi (masjid berada pas di
depan resort), dia segera mengambil air wudhu dan menuju ke masjid. Saya dan
mbak Putri yang lagi tidak sholat melanjutkan tidur. Ketika matahari sudah
menampakkan cahayanya, Rayhan datang membawa kabar dimana kami harus memulai
perjalanan, jam berapa atm buka (oh iya, salah satu kebodohan yang kami lakukan
adalah kami tidak mengambil uang di atm saat tiba di Mataram, alhasil tak ada
sama sekali yang ounya uang cash, uang yang dipakai bayar mobil pun adalah uang
hasil kumpul-kumpul hingga tercukupi 500.000, awalnya mas Anim diberitahu
Rayhan untuk bilang sama pak supirnya untuk singgah di atm, tapi doi gak dengar
akhirnya kita gak singgah di atm), dan dimana tempat penyewaan alat. Nah
selanjutnya saya ceritakan, ini adalah kekonyolan juga kenekatan. Ingin mendaki
gunung sekelas Rinjani tanpa persiapan apapun, baik fisik maupun alat, itupun
kemauan hanya setengah-setengah.
Dari
semuanya yang paling siap mendaki hanya saya. Dan ketika dalam perjalanan
mereka menyatakan diri mau ikut, saya pun tak enak untuk melarang mereka.
Berkali-kali kutanyakan, siap ndak nanjak? Kalau tidak, gapap. Saya bisa
berangkat sendiri. Toh awalnya memang sudah niat untuk berangkat sendiri. Tapi
semuanya menyatakan kesiapan untuk ikut. Hal ini pun yang membuat kak Ale
begitu marah besar kepadaku saat saya memberitahukan kalau teman-temanku ingin
ikut. Beberapa pertanyaan ditanyakannya, mengenai kesiapan fisik, kesiapan alat
dan juga memarahiku berkali-kali. Saya terima semuanya karena saya memang salah
tidak bilang sejak awal, tapi pembelaanku adalah teman-temanku ini menyatakan
ingin ikut saat kami sudah dalam perjalanan, dan saya tidak enak untuk
melarangnya. Saya pasang badan, berusaha berbagai cara agar kak Ale menerima
teman-temanku untuk ikut. Berbagai macam cara kulakukan hingga akhirnya kak Ale
mengiyakan.
Jam
6 pagi, saya dan Rayhan nongkrong di warung samping resort untuk ngeteh dan
mengobrol dengan penduduk setempat. Keindahan alam, dinginnya pagi yang begitu
menenangkan, ramahnya penduduk tak mampu mencairkan kepanikanku akan hal-hal
yang mungkin akan terjadi dalam perjalanan, dan memikirkan bagaimana respon kak
Ale setelah bertemu denganku nantinya. Saya memikirkan teman-temanku yang
berangkat tanpa persiapan sama sekali dan tanpa alat sama sekali. Di depan kami
lalu lalang orang orang yang semalam menginap di penginapan lumayan mewah di
kaki gunung. Mereka sepertinya sengaja datang ke Sembalun untuk liburan,
menikmati kemewahan dan keindahan khas pedesaan kaki gunung.
Jam
pagi, mereka berempat (Rayhan, Anim, Dila dan mbak Putri) berjalan menuju ke
ATM dan membeli logistic. Saya berkali kali mengecek pintu resort untuk
registrasi. Tapi tak kunjung terbuka. Kak Ale pun sudah menghubungi terus
menerus karena dia sudah siap jalan. Berbagai alasan kunyatakan untuk sedikit
mengulur waktu. Menunggu atm dan tempat penyewaan alat buka. Setengah 8 baru
registrasi buka. Saat mereka berempat pergi ke atm dan pasar, saya masuk untuk
registrasi. Tariff per orang adalah 25.000.
Tak
lama kemudian, mereka datang membawa logistic. Tapi belum menyewa alat. Saat
kutanya, jawabannya tempat penyewaan alatnya tutup. Akhirnya kami segera
berkemas. Disaat yang bersamaan seorang supir mobil sayur menawarkan jasanya.
Saat yang lain masih berkemas, saya mengobrol dengan kakak supir mobil
tersebut. Dari obrolan kami, saya mengetahui bahwa orang ini yang awalnya sudah
dipesankan sama kak Ale untuk menjemput saya di Lembar, orang ini adalah orang
yang sama yang menjemput kak Ale dan mengantarnya ke basecamp. Saya memina diantarkan
ke tempat kak Ale, tariff yang diberikan yakni 150.000, kami menawarnya
100.000, tapi tak bisa. Harga yang di sepakati 110.000, barang diangkat naik ke
mobil dan sebelum ke tempat kak Ale kami terlebih dahulu menuju tempat
penyewaan alat.
Tempat
pertama tutup, tempat kedua buka tapi dengan harga yang lumayan mahal. Tak apa,
resiko menyewa di kaki gunung. Oh iya, di Sembalun banyak tempat penyewaan
alat. Tapi tidak direkomendasikan untuk berangkat tanpa persiapan, harusnya
ketika ingin mendaki sudah harus siap segalanya sebelum berangkat. Di tempat
penyewaan alat kami menyewa 1 carrier, 1 tenda 4, 4 SB, 2 headlamp, 2 matras
dan 1 kompor. Setelah selesai transaksi. Barang di packing dan kami melanjutkan
perjalanan ke tempat kak Ale, terlebih dahulu kami singgah di koperasi untuk
membeli gas dan mbak putri membeli sandal gunung.
Setelah
semuanya beres, mobil melaju ke tempatnya kak Ale. Sesampainya di basecamp yang
ditempati kak Ale bermalam, saya melihat kak Ale duduk didepan rumah sudah
dengan muka bt. Saya langsung turun menyalaminya dan meminta maaf, tak lama
kemudia kak Ira yang merupakan pacar kak Ale keluar dari rumah dan kami
salaman. Kemudian kami kembali ke atas, ke tempat starting poin untuk memulai
perjalanan menuju Rinjani.
PERJALANAN RINJANI DI MULAI
09.00
kami memulai perjalanan melewati pemukiman penduduk, lalu malintasi sungai
kering lalu sampai di padang Savana. Pemandangan yang sangat indah.
Untuk
sementara nulis tabulasi perjalanannya dulu aja, kalau niatnya sudah terkumpul
baru nulis rinciannya hihihi
PERJALANAN
RINJANI
|
||
Hari, Tanggal
|
Waktu
|
Kegiatan
|
Minggu, 31 Desember 2017
|
07.34
|
registrasi (Rp 25.000)
|
07.40
|
perjalanan menuju camp kak Ale (Rp 110.000 open cup)
|
|
09.00
|
start perjalanan
|
|
11.10
|
sampai di pos 1
|
|
11.45
|
sampai di pos 2 (Makan-sholat-istirahat)
|
|
13.20
|
melanjutkan perjalanan menuju pos 3
|
|
15.00
|
sampai pos 3
|
|
16.20
|
sampai pos bayangan (Istirahat
sebentar)
|
|
16.25
|
melanjutkan perjalanan
|
|
Dalam perjalanan akan ada 2 bukit
penyesalan
|
||
19.15
|
sampai di pelawangan 1 (ngecamp)
|
|
20.00
|
ambil air
|
|
21.00
|
makan
|
|
22.30
|
tidur
|
|
SENIN, 01 JANUARI 2018
|
03.30
|
summit dari pelawangan 2
Nyasar, jangan sekali-kali mengambil
jalur kanan ketika dari pelawangan 4 menuju puncak. Itu jalur yang salah,
ujung jalan itu patahan dan jurang
|
08.50
|
sampai puncak
|
|
10.11
|
turun dari puncak
|
|
13.06
|
sampai di pelawangan 2 (tendanya kak
Ale)
Lanjut perjalanan
|
|
13.15
|
sampai pelawangan 1
|
|
Istirahat sehari memulihkan tenaga dan
melanjutkan perjalanan esok harinya
|
||
SELASA, 02 JANUARI 2018
|
09.23
|
jalan turun dari pelawangan 1
|
09.51
|
tiba di bukit penyesalan 1
|
|
10.08
|
tiba di bukit penyesalan 2
|
|
10.23
|
tiba di pos bayangan
|
|
11.23
|
tiba di pos 3
|
|
Istirahat sejenak, foto, pipis
|
||
11.34
|
lanjut perjalanan k epos 2
|
|
11.50
|
sampai pos bayangan
|
|
12.30
|
sampai di pos 2
|
|
14.35
|
melanjutkan perjalanan ke pos 1
|
|
15.04
|
tiba di pos 1
|
|
15.58
|
sampai di pos bayangan menuju pos 0
|
|
16.58
|
sampai di kaki gunung
|
|
18.00
|
berangkat dari Sembalun menuju Mataram
(650.000 ber 7)
|
|
22.53
|
tiba dirumahnya Rina
|
Sudah beberapa kali diupload tapi teatap terpotong, jadi tabulasinya menjadi arsip di laptop aja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar