Kamis, 19 Oktober 2017

Volunteer bukan gaya hidup



 Gambar dari google

Alkisah, suatu sore di alun-alun kidul, langit yang sedari siang begitu mendung, tiba-tiba menumpahkan airnya dengan begitu keras. Semua yang lagi asyik beraktifitas di seputar pohon beringing berlarian menuju ke tenda yang kebetulan sore itu berdiri gagah di lapangan alun-alun kidul. Tak terkecuali si mbah penjual sate. Si mbah dengan susah payah mengangkat barang dagangannya untuk berteduh. Awalnya beliau mengangkat nampan yang berisikan sate. Mbah yang sudah memasuki usia senja melakukannya dengan tenaga yang masih tersisa. Saya yang melihatnya spontan berlari kecil menuju tempat si mbah, membantu menyelamatkan tempat pembakaran yang berisi bara dari guyuran air hujan. Disusul temanku dari belakang membantu mengangkat barang si mbah yang masih tersisa diluar tenda. Setelah memastikan semua barangnya aman dibawah tenda, mbah berterimakasih kepada kami. 

Samar kudengar, temanku berceloteh kepada teman yang lain, dasar. Jiwa volunteernya kambuh. Saya hanya membalasnya dengan senyuman. Sembari merasakan bahagia dan haru bisa melihat si mbah berteduh dengan kepanikan yang sudah berkurang. Bagiku, itu bukan sebuah aksi volunteering, tapi sebuah dorongan kemanusiaan dan panggilan jiwa. Selalu saja merasa terketuk ketika melihat seseorang berada di kondisi kesusahan.

Setelah hujan agak reda, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju balai bebakaran di depan alun-alun utara. Kami memesan makanan dan mengobrol satu sama lain. Tak lama kemudian, pelayannya datang membawa makanan dan minuman yang cukup banyak. Ketika melihat mas pelayannya yang cukup kesusahan menurunkan makanan dan minuman yang berada di tangan kiri dan kanannya, tanganku kembali bergerak untuk membantu masnya. Tiba-tiba temanku spontan memukul tanganku, meski tidak keras tapi mampu membuatku begitu kaget. “Jiwa volunteernya ditahan”, celotehnya padaku. Saya hanya tersenyum dan kembali membantu masnya menurunkan makanan yang berada di tangan kanannya.

Mendengar kata volunteer sebanyak dua kali dalam rentetan waktu yang tidak begitu lama, membuatku lantas berfikir. Masa mau membantu orang harus mengkondisikan waktu dan tempat. Seyogyanya ya ketika melihat seseorang kesusahan, dan ternyata kita mampu untuk membantu, ya kenapa tidak? Volunteer bukan tentang kita bernaung di komunitas atau organisasi apa. Tapi tentang bagaimana kita bisa melunturkan ego untuk bersuka dan rela membantu seseorang ketika mereka membutuhkan bantuan. Karena kebaikan bukan sebuah identitas, bukan tentang pengakuan, bukan tentang pujian. Tapi panggilan jiwa, dan ketukan nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...