Gambar dari google
Alkisah,
suatu sore di alun-alun kidul, langit yang sedari siang begitu mendung,
tiba-tiba menumpahkan airnya dengan begitu keras. Semua yang lagi asyik beraktifitas
di seputar pohon beringing berlarian menuju ke tenda yang kebetulan sore itu berdiri
gagah di lapangan alun-alun kidul. Tak terkecuali si mbah penjual sate. Si mbah
dengan susah payah mengangkat barang dagangannya untuk berteduh. Awalnya beliau
mengangkat nampan yang berisikan sate. Mbah yang sudah memasuki usia senja
melakukannya dengan tenaga yang masih tersisa. Saya yang melihatnya spontan
berlari kecil menuju tempat si mbah, membantu menyelamatkan tempat pembakaran
yang berisi bara dari guyuran air hujan. Disusul temanku dari belakang membantu
mengangkat barang si mbah yang masih tersisa diluar tenda. Setelah memastikan
semua barangnya aman dibawah tenda, mbah berterimakasih kepada kami.
Samar
kudengar, temanku berceloteh kepada teman yang lain, dasar. Jiwa volunteernya kambuh. Saya hanya
membalasnya dengan senyuman. Sembari merasakan bahagia dan haru bisa melihat si
mbah berteduh dengan kepanikan yang sudah berkurang. Bagiku, itu bukan sebuah
aksi volunteering, tapi sebuah
dorongan kemanusiaan dan panggilan jiwa. Selalu saja merasa terketuk ketika
melihat seseorang berada di kondisi kesusahan.
Setelah
hujan agak reda, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju balai bebakaran
di depan alun-alun utara. Kami memesan makanan dan mengobrol satu sama lain. Tak
lama kemudian, pelayannya datang membawa makanan dan minuman yang cukup banyak.
Ketika melihat mas pelayannya yang cukup kesusahan menurunkan makanan dan
minuman yang berada di tangan kiri dan kanannya, tanganku kembali bergerak
untuk membantu masnya. Tiba-tiba temanku spontan memukul tanganku, meski tidak
keras tapi mampu membuatku begitu kaget. “Jiwa volunteernya ditahan”, celotehnya padaku. Saya hanya tersenyum dan
kembali membantu masnya menurunkan makanan yang berada di tangan kanannya.
Mendengar
kata volunteer sebanyak dua kali
dalam rentetan waktu yang tidak begitu lama, membuatku lantas berfikir. Masa mau
membantu orang harus mengkondisikan waktu dan tempat. Seyogyanya ya ketika
melihat seseorang kesusahan, dan ternyata kita mampu untuk membantu, ya kenapa
tidak? Volunteer bukan tentang kita
bernaung di komunitas atau organisasi apa. Tapi tentang bagaimana kita bisa
melunturkan ego untuk bersuka dan rela membantu seseorang ketika mereka
membutuhkan bantuan. Karena kebaikan bukan sebuah identitas, bukan tentang
pengakuan, bukan tentang pujian. Tapi panggilan jiwa, dan ketukan nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar