Salah seorang
teman pernah melontarkan pernyataan seperti ini “kamu dibuang dimanapun, kami masih tetap bisa bertahan”. Tanpa tau
apa makna dan tujuan dari ucapannya tersebut, saya hanya membalasnya dengan senyum.
Waktu melesat
begitu cepat, hingga saya benar-benar “terbuang”. Disebuah kota impian yang
tidak ada keluarga sama sekali. Sahabat yang dulu sempat menorehkan janji
bersama di kota ini, pun telah pergi. Jleb, saya terpaksa dan benar-benar
dipaksa untuk sendiri dan mandiri.
Instingtif seorang
manusia yang mampu untuk bertahan karena “terdesak” akhirnya muncul, tepat
disaat kita tidak punya siapa-siapa di tanah rantau yang jauh dari keluarga.
Mau atau tidak, suka atau tidak suka. Kita harus bisa mencari cara untuk tetap
bisa bertahan hidup, mencari teman, juga keluarga. Karena harus disadari,
seseorang yang akan langsung menolong jika terjadi apa-apa, bukanlah keluarga
yang berada di kampung halaman, namun teman-teman dan “keluarga” yang sama-sama
berada di tanah rantau.
Sebelum sampai
dititik ini, ada banyak hal yang kukhawatirkan. Mungkinkah saya bisa mendapat
teman akrab, seperti keakraban yang saya dapatkan sebelum merantau. Mungkinkah saya
bisa mendapatkan “keluarga”, yang notabene sebelumnya saya tak kenal
siapa-siapa? Membayangkannya saja sudah begitu mengerikan. Hidup sendiri di
kota orang, tanpa siapa-siapa!
Keadaan membuatku
berinisiatif untuk membuka selebar-lebarnya jaringan pertemanan. Berbagai kegiatan
kuikuti, menjadi sok asyik, berbaur dengan banyak orang, menanggalkan ego
pribadi, masuk kedalam “dunia” orang lain, dan terus melakukan yang terbaik.
Hasilnyaaa,
diluar dugaan. Tak hanya sekedar teman, “keluarga” pun saya dapatkan. Kamar kostan
yang saya bayangkan akan selalu sepi, nyatanya setiap hari selalu ada diskusi
dan gelak tawa. Hampir tiap hari kamar kostku dijadikan tempat untuk nongkrong
dan belajar. Ibu bapak kost yang dulu saya bayangkan akan begitu menyebalkan,
nyatanya beliau menjadi benar-benar orang tua asuh di tanah rantau, pulang
kekostan tak ada bedanya dengan pulang kerumah sendiri, berangkat kekampus pun
selalu penuh keberkahan karena selalu diiringi doa dan senyum ibu bapak kost.
Teman akrab
yang kudapatkan pun tak banyak berbeda dengan sahabat yang sudah lama kukenal. Teman
yang selalu kemana-mana pasti akan selalu bersama, perpus, kantin, nongkrong,
belajar, bahkan ke toilet pun kadang selalu bareng. Teman yang tidak pernah
kesal sedikitpun meski harus menjelaskan berulang kali menjelaskan materi yang
kadang belum saya mengerti. Teman yang rela catatnnya di fotocopy karena
catatan sendiri tidak bisa terbaca. Teman yang selalu ikhlas untuk meluruskan
ketika saya keluar “jalur”.
Tak jarang
pula rejeki dikirim Allah melalui tangan teman-teman. Dibawain bekal kekampus
misalnya, atau tiba-tiba main kekost dan bawa kue. Subhanallah banget. Rejeki
bukan hanya tentang uang. Pertemanan dan bumbu-bumbu traktiran adalah rejeki
yang tak kalah luar biasanya dengan rupiah.
Kemudian saya
tersadar bahwa ternyata terbuang tak
selalu buruk, malah karena terbuang akhirnya bisa lebih banyak belajar. Tidak hanya
bidang akademisi, tapi jauh lebih banyak tentang ilmu kehidupan, belajar untuk
bisa tetap survive disaat tidak ada
siapa-siapa.
Allah begitu
baik. Maka teruslah berbaik sangka kepada-Nya. Teruslah melakukan kebaikan,
karena tak ada kebaikan yang jatuh percuma ditanah. Teruslah berbuat kebaikan,
karena kebaikan itu bukan hanya akan bermanfaat bagi orang lain, tapi jauh
lebih memberi manfaat bagi diri sendiri.
Ketika kita
baik, maka kita akan “menarik” jauh lebih banyak orang baik untuk terlibat
dalam hidup kita. Jadi jangan ragu untuk terus melakukan kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar