Kamis, 12 Oktober 2017

Terbuang!



Salah seorang teman pernah melontarkan pernyataan seperti ini “kamu dibuang dimanapun, kami masih tetap bisa bertahan”. Tanpa tau apa makna dan tujuan dari ucapannya tersebut, saya hanya membalasnya dengan senyum.

Waktu melesat begitu cepat, hingga saya benar-benar “terbuang”. Disebuah kota impian yang tidak ada keluarga sama sekali. Sahabat yang dulu sempat menorehkan janji bersama di kota ini, pun telah pergi. Jleb, saya terpaksa dan benar-benar dipaksa untuk sendiri dan mandiri. 

Instingtif seorang manusia yang mampu untuk bertahan karena “terdesak” akhirnya muncul, tepat disaat kita tidak punya siapa-siapa di tanah rantau yang jauh dari keluarga. Mau atau tidak, suka atau tidak suka. Kita harus bisa mencari cara untuk tetap bisa bertahan hidup, mencari teman, juga keluarga. Karena harus disadari, seseorang yang akan langsung menolong jika terjadi apa-apa, bukanlah keluarga yang berada di kampung halaman, namun teman-teman dan “keluarga” yang sama-sama berada di tanah rantau.

Sebelum sampai dititik ini, ada banyak hal yang kukhawatirkan. Mungkinkah saya bisa mendapat teman akrab, seperti keakraban yang saya dapatkan sebelum merantau. Mungkinkah saya bisa mendapatkan “keluarga”, yang notabene sebelumnya saya tak kenal siapa-siapa? Membayangkannya saja sudah begitu mengerikan. Hidup sendiri di kota orang, tanpa siapa-siapa!

Keadaan membuatku berinisiatif untuk membuka selebar-lebarnya jaringan pertemanan. Berbagai kegiatan kuikuti, menjadi sok asyik, berbaur dengan banyak orang, menanggalkan ego pribadi, masuk kedalam “dunia” orang lain, dan terus melakukan yang terbaik.

Hasilnyaaa, diluar dugaan. Tak hanya sekedar teman, “keluarga” pun saya dapatkan. Kamar kostan yang saya bayangkan akan selalu sepi, nyatanya setiap hari selalu ada diskusi dan gelak tawa. Hampir tiap hari kamar kostku dijadikan tempat untuk nongkrong dan belajar. Ibu bapak kost yang dulu saya bayangkan akan begitu menyebalkan, nyatanya beliau menjadi benar-benar orang tua asuh di tanah rantau, pulang kekostan tak ada bedanya dengan pulang kerumah sendiri, berangkat kekampus pun selalu penuh keberkahan karena selalu diiringi doa dan senyum ibu bapak kost. 

Teman akrab yang kudapatkan pun tak banyak berbeda dengan sahabat yang sudah lama kukenal. Teman yang selalu kemana-mana pasti akan selalu bersama, perpus, kantin, nongkrong, belajar, bahkan ke toilet pun kadang selalu bareng. Teman yang tidak pernah kesal sedikitpun meski harus menjelaskan berulang kali menjelaskan materi yang kadang belum saya mengerti. Teman yang rela catatnnya di fotocopy karena catatan sendiri tidak bisa terbaca. Teman yang selalu ikhlas untuk meluruskan ketika saya keluar “jalur”. 

Tak jarang pula rejeki dikirim Allah melalui tangan teman-teman. Dibawain bekal kekampus misalnya, atau tiba-tiba main kekost dan bawa kue. Subhanallah banget. Rejeki bukan hanya tentang uang. Pertemanan dan bumbu-bumbu traktiran adalah rejeki yang tak kalah luar biasanya dengan rupiah.

Kemudian saya tersadar bahwa ternyata terbuang tak selalu buruk, malah karena terbuang akhirnya bisa lebih banyak belajar. Tidak hanya bidang akademisi, tapi jauh lebih banyak tentang ilmu kehidupan, belajar untuk bisa tetap survive disaat tidak ada siapa-siapa.

Allah begitu baik. Maka teruslah berbaik sangka kepada-Nya. Teruslah melakukan kebaikan, karena tak ada kebaikan yang jatuh percuma ditanah. Teruslah berbuat kebaikan, karena kebaikan itu bukan hanya akan bermanfaat bagi orang lain, tapi jauh lebih memberi manfaat bagi diri sendiri.
Ketika kita baik, maka kita akan “menarik” jauh lebih banyak orang baik untuk terlibat dalam hidup kita. Jadi jangan ragu untuk terus melakukan kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...