Jumat, 12 Juni 2020

Tujuan Hidup


Saban hari aku bersama teman-teman pernah terlibat dalam sebuah games yang salah satu pertanyaannya itu berbunyi gini “Apa kegagalan terbesar dalam hidupmu”? Saat tiba giliranku untuk menjawab pertanyaan itu kujawab “tidak ada, karena bagiku kegagalan adalah saat kita terjatuh dan tidak bisa bangkit lagi dan aku gak pernah berada di posisi itu”. Temanku pun menimpali, “ya jelas aja kamu gak pernah merasa gagal kamu kan emang gak punya tujuan hidup”. Dalam kesempatan yang lain dengan teman yang berbeda aku pernah dibilangin “kamu gak punya warna, bingung untuk melihat kamu fokusnya ke mana”. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata yang nadanya bercanda itu tapi sukses membuat sakit. Di waktu yang lain aku pernah bercerita tentang mimpiku ke salah seorang teman dan responnya “oh masih memikirkan hal yang seperti itu, hidup itu harusnya realistis bla bla bla”. Aku pun kembali merasakan sakit tak berdarah mendapatkan hujanan kata-kata seperti itu. Kata-kata yang muncul dari teman-teman yang selama ini kuanggap teman baik.

Aku kemudian mempertanyakan diriku sendiri, apa benar aku tidak memiliki tujuan hidup? Apa benar aku tidak memiliki warna? Apa benar aku tidak realistis? Apa karena aku “berbeda” dari orang kebanyakan jadi orang pun bisa seenaknya menjustifikasi aku tidak memiliki masa depan? Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan demi bulan aku lalui dan kata-kata itu seakan melengket di kepala dan terus aku pikirkan. Aku kemudian mencoba menjadi seperti orang kebanyakan. Penuh ambisi untuk meraih sederet pencapaian. Namun, aku kelelahan. Tak jarang di malam-malam yang aku lalui sebelum tidur aku menangis karena kelelahan. Lelah bukan karena fisik tapi lelah batin. Jiwaku tidak di sana. Aku sudah berusaha tapi aku tidak nyaman. Tiba-tiba ada suara yang muncul entah dari mana “kamu bukannya gak bisa cuman gak mau aja”. Kata-kata yang terus menghantuiku hingga aku kembali memaksa untuk menjalani rutinitas dan ambisi yang dilakukan orang kebanyakan. Tapi, aku kembali merasa kelelahan.

Dalam situasi pandemi seperti ini yang mengharuskan tinggal di rumah, ada rasa syukur karena tidak harus bertemu dan bersosialisasi dengan orang-orang yang selama ini kutemui. Aku tak perlu mengalami kelelahan karena berambisi ingin seperti mereka yang sebenarnya aku tak inginkan. Aku tak mesti harus berpura-pura semangat dan tersenyum untuk mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya aku tak suka.

Kalau dibilang aneh mungkin memang aku aneh. Tujuan hidupku tidak muluk-muluk, hanya ingin terlibat langsung dalam kegiatan kemasyarakatan. Tapi jalan itu dianggap sesuatu yang tidak “realistis” setidaknya bagi orang-orang yang ada di sekitarku saat ini. Yang dianggap realistis adalah bekerja yang diakui semua orang adalah sebuah “pekerjaan”, pergi ke kantor dan menerima gaji setiap bulan sehingga bisa menghasilkan hidup yang lebih stabil. Bukan hidup dalam ketidakpastian. Semua orang pasti tidak suka hidup dalam ketidakpastian karena memang tidak menyenangkan. Tapi kadar ketidakpastian setiap orang kan berbeda, bisa jadi menurut sebagian orang tidak mendapat gaji setiap bulan adalah sebuah ketidakpastian tapi menurut orang lain bisa jadi berbeda. Setelah ada dua pernyataan seperti ini akan selalu ada orang-orang yang bilang “jalani apa yang kamu inginkan, tidak usah memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau katakan”. Benar, kata-kata itu sangat benar adanya, cuman terkadang teorinya tidak selalu semulus aplikasinya, apalagi jika kata-kata itu hampir setiap saat dialamatkan kepada kita dan orang-orang yang berkata seperti itu adalah orang-orang terdekat, keluarga dan teman-teman dekat. Mudah saja untuk cuek ketika orang lain atau orang yang tidak begitu akrab berkomentar seperti itu, cuman ketika orang-orang dekat yang berkomentar rasanya sedikit lebih berat untuk menghadapinya. 

Aku terkadang bingung untuk mendefinisikan “pekerjaan” itu apa? Apa harus selalu terlihat ke kantor setiap hari dan menerima gaji yang pasti setiap bulan baru dikatakan adalah sebuah pekerjaan? Aku yang dulu pernah berjualan online dan mendapat omset setiap bulan bahkan lebih banyak daripada teman-temanku yang bekerja di kantoran dianggap tidak bekerja karena hanya kelihatan tinggal di rumah. Hal yang membuatku semakin bingung menentukan ukuran kerja itu apa. Sedangkan dalam pikiran hematku yang namanya “bekerja” adalah saat bisa mendapat imbalan uang, jadi pekerjaan kantoran maupun tidak kantoran ya sama-sama bekerja yang jelas mendapatkan uang.
Mungkin juga karena saat ini aku masih berada di situasi “aman” jadi aku tidak merasa terdesak untuk sekadar “bekerja keras” untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Mungkin juga karena alasan itu tujuan hidupku yang dianggap “aneh” masih terus kupertahankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...