Kamu kerena ya, kamu hebat ya, kamu kok luar biasa banget sih. Sering dengar pujian-pujian seperti itu? Atau mungkin kita yang pernah atau bahkan sering mendapat pujian seperti itu. Sesungguhnya manusia melihat kita sebagai seseorang yang keren, hebat, luar biasa atau apapun pujian-pujian lainnya itu karena Allah menutup aib kita.
Secara sadar kita tau bahwa banyak hal yang kita sembunyikan dari mata manusia, yang kita tampilkan adalah versi terbaik kita agar manusia lainnya tidak tau bahwa kita adalah makluk yang penuh aib.
Ketika kita sebegitu rapatnya menutup aib kita dan Allah pun menutup aib kita sehingga kita tampil sebagai seseorang yang baik di hadapan manusia yang lain, wajarkah kita membongkar aib saudara kita disaat Allah pun telah menutup dengan rapat aibnya?
Tulisan ini merupakan tulisan refleksi. Beberapa hari belakangan saya merasa berada di obrolan yang toxic, dimana aib orang lain adalah bahan yang asyik untuk diobrolkan. Saya tiba-tiba teringat sebuah kalimat “Kalau kamu tidak memiliki bahan obrolan jangan aib temanmu yang kau jadikan bahan demi melengkapi obrolanmu”.
Aib itu apa sih? Aib itu adalah sesuatu yang ketika orang yang bersangkutan mendengarnya dia merasa marah, sedih, atau tidak nyaman. Ketika kita tidak suka aib kita digunjingkan oleh orang lain, kita pun harusnya tidak melakukan hal yang sama karena pasti orang lain pun merasakan ketidaksukaan seperti yang kita alami.
Saya ingin menambahkan tulisan yang berkaitan dengan hal ini yang saya kutip dari laman muslim.or.id
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menyamakan orang yang mengghibah saudaranya seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Apa rahasia dari penyamaan ini?
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, “Ini adalah permisalan yang amat mengagumkan, diantara rahasianya adalah:
Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya. Mengoyak kehormatan atau harga diri, tentu lebih buruk keadaannya.
Kedua, Allah ta’ala menjadikan “bangkai daging saudaranya” sebagai permisalan, bukan daging hewan. Hal ini untuk menerangkan bahwa ghibah itu amatlah dibenci.
Ketiga, Allah ta’ala menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai mayit. Karena orang yang sudah mati, dia tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang sedang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya.
Keempat, Allah menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, agar hamba-hambaNya menjauhi dan merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Lihat: Tafsir Al-Qurtubi 16/335), lihat juga: I’laamul Muwaqqi’iin 1/170).
Semoga kita bisa menjaga lisan kita agar tidak menyakiti orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar