Kamis, 11 Juni 2020

Masalah

Terkadang, sesuatu itu bukan sebuah masalah hingga seseorang mempermasalahkannya.

 
     Sumber gambar : Google

Kasian banget ya, sayang banget ya, atau bisa ya dengan ekspresi heran. Tiga kalimat yang sering banget saya ataupun mungkin kamu juga sering dengar. Sebut saja saat kita lagi pergi ke sebuah desa yang tidak memiliki listrik apalagi akses jaringan, tak jarang kita mendengar kalimat "bisa ya orang-orang di sini hidup tanpa listrik", buktinya mereka banyak yang hidup kan artinya bisa. Atau kalimat kasian banget ya anak-anak itu berlarian tanpa sandal, memakai baju pramuka rok merah, tampil cemong karena gak mandi ke sekolah. Menurut kita mereka kasian, tapi mereka ternyata menikmati aja tuh kondisi yang seperti itu. Atau kalimat sayang banget ya udah sekolah tinggi-tinggi malah jadi honorer atau sayang banget ya karirnya udah bagus malah memilih menjadi ibu rumah tangga. Atau menyoal pasangan dan buah hati, pasti kita sering mendengar atau mungkin kita yang sering mengatakan ini "kasian banget ya cantik-cantik suaminya biasa-biasa aja atau kebalikannya", atau komentar yang sering bilang "kok bisa ya anakmu putih bersih sedangkan kamu hitam pekat, untung dia gak mirip kamu ya".

Percayalah, dibalik sebuah keputusan besar yang diambil seseorang itu sudah melewati banyak pertimbangan yang tidak harus dia jelaskan kepada semua orang. Percayalah, kata-kata yang mungkin bagi kita becandaan bisa jadi bisa melukai seseorang. Percayalah, orang-orang yang kita anggap kasian itu bisa jadi hidupnya lebih tenang, lebih bahagia dibanding kita yang sudah terpapar arus informasi, teknologi, dan modernisasi.

Jangan buru-buru menjustifikasi kehidupan seseorang kasian hanya dari asumsi “ideal” kita, asumsi kehidupan "kota" yang kita miliki. Seseorang tidak "sama" dengan kehidupan yang kita jalani maupun lihat selama ini bukan berarti kehidupan mereka lebih "buruk" dibanding kehidupan kita.

Berkata baik atau diam. Kata-kata yang sering kita dengar untuk menjadi pengingat agar kita menjaga lisan, karena seringkali lisan kita melukai orang lain, atau mungkin lisan kita menjadi seseorang memaksa diri untuk berubah. Dari yang awalnya orang itu mungkin biasa aja dengan kehidupan yang dia jalani selama ini dan tak ada masalah, cuman karena kita mempermasalahkan akhirnya mereka pun juga mempermasalahkan kehidupan yang selama ini sudah mereka nikmati.

Saya pun pernah berada di posisi orang yang menyebalkan itu. Pernah seolah-olah melihat kehidupan yang dijalani orang sebagai sebuah "masalah" karena saya memakai standar yang saya miliki, seperti saat seorang teman lelaki saya bercerita kalau dia harus sudah berada di rumah sebelum maghrib, maghrib baginya adalah jam malam. Saya yang tidak pernah bertemu dengan orang seperti itu sebelumnya secara spontan saya langsung merespon "kok bisa ya hidup dengan aturan seperti itu". Kenyataannya dia hidup sampai sekarang dan menikmati aturan yang dibuat di rumahnya. Cerita yang lain saat salah satu teman laki-laki saya habis kehujanan dalam durasi beberapa detik, tak lama kemudian dia langsung flu. Saya kembali terheran-heran melihat kondisi itu dan bertanya-tanya kok bisa sih kehujanan sebentar aja langsung sakit. Dan beberapa cerita yang lain yang mengandung unsur penghakiman.

Semakin banyak saya bertemu dengan orang, semakin sering saya berjalan lebih jauh saya kemudian belajar banyak hal bahwa tak semua yang berbeda dari yang selama ini saya ketahui adalah sebuah masalah. Bisa jadi bagi saya itu adalah sebuah masalah tapi belum tentu dianggap masalah bagi orang lain. Cara saya merespon sesuatu yang berbeda dari saya bisa jadi itu yang akan menjadi awal masalah bagi orang lain dan mereka akhirnya mempermasalahkan hidup yang selama ini mereka sudah jalani. Sejak saat itu saya pun belajar menahan diri untuk tidak mudah menghakimi kehidupan seseorang.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...