Tanggal
16 Agustus 2015, tepat di hari minggu. Saya bertolak ke Bandara Sultan
Hasanuddin diantar oleh papa, mama, Dian dan Nurul yang merupakan sepupu yang
tinggal di rumah serta Winda sahabat SMAku yang sengaja datang kerumah untuk
mengantarku ke Bandara. Pukul 01:00 kami sudah meluncur ke Bandara, di Bandara
sudah ada Kak Rizad, partnertku yang akan bersama ke Papua sudah ada di ruang
tunggu, pesawatnya dari Bandara Juanda telah sampai di Bandara Sultan Hasanuddin
sekitar pukul 12. Saya mengalami kerepotan, memakai wedges, menenteng laptop, mengurusi jilbab, mengangkat tas dan
kresek Dunkin Donald dan menarik koper, tampak tak ada bedanya dengan TKW yang
baru datang. Kuminta mamaku menemaniku ke tempat check in karena saya sudah sangat yakin kalau barang bawaanku over
bagasi. Hasilnya tetap nihil, di tempat check
in aturannya sangat semrawut, penumpang jurusan Papua digabung, tak ada
perbedaan tempat antara orang orang yang mau ke Jayapura, Nabire, Biak, Manokwari
ataupun ke Sorong. Beda ketika mau ke Jawa, akan ada tempat khusus ke tempat
yang dituju, akhirnya kutelefon Kak Rizad untuk turun agar nantinya bisa
membantuku mengangkat barang. Saya masih tak mampu membayangkan menenteng
banyak barang dengan keadaan pake rok dan wedges.
Dan benar saja saat tiba giliranku check
in bagasiku lebih 10 kg dan itu harus bayar 250.000, tentu saja saya tak
mau 250.000 bukan nominal sedikit, apalagi saya hanya diberi bekal uang
300.000, akhirnya Kak Rizad muncul dengan muka kebingungan mencariku. Kak tolong
bantu angkat ya ka, hahahaha. Tadi saya panggil Kak Rizad turun biar bisa bantu
angkat
Setelah
urusan dunia per check in-an selesai
kami keluar di terminal keberangkatan, akhirnya Kak Rizad membayarkan uang
kelebihan bagasi hahaha. Kami pamitan lalu berangkat. Alhamdulillah saya
diantar dengan senyum bukan dengan tangis lagi, saya dan Kak Rizad lalu
berjalan menuju ruang tunggu, Kak Rizad dengan langkah tergopoh menenteng tas
yang berisi pakaian dan buku, sampai di ruang tunggu baru dia protes, kamu bawa
apa sih Tin banyak banget, gak bawa apa-apa kok ka, cuman bawa pakaian sama
buku aja, hahhaha.
Kami
pun mencari tempat duduk dan menunggu sampai jadwal keberangkatan tiba, waktu
itu masih ada sekitar 90 menit sampai akhirnya waktu keberangkatan tiba. Tak
lama kemudian ada kakak-kakak dari Jayapura yang kebetulan ke Makassar untuk
dinas kantor, mereka dibiayai oleh pemerintah untuk mengikuti seminar, tidurnya
di Hotel Aryaduta. Hotel yang termahal di Makassar karena lokasinya yang
strategis, menghadap ke Pantai Losari. Kakak itu bercerita banyak tentang
kehidupan di Papua, tak berapa lama kemudian pesawat kakak itu sudah mau
berangkat dan dia akhirnya pamitan. Kembalilah saya berdua lagi dengan Kak
Rizad, Kak Rizad tampaknya kelelahan sampai akhirnya dia tertidur di kursi dan
saya melanjutkan untuk mengobrol bersama Ani ditelefon.
Sekitar
pukul 03:00 WITA sudah ada panggilan untuk penumpang tujuan Manokwari dan
Sorong, ternyata pesawat Sriwijaya yang kami tumpangi juga akan mengangkut
penumpang yang bertujuan ke Sorong, dalam perjalanan menuju ke pesawat pakaian
dan bukuku yang dibawa oleh Kak Rizad ditahan oleh petugas karena ukurannya
yang nampak besar dan tidak bisa dibawa masuk ke Kabin, barang tersebut ditukar
dengan secarik kertas yang berisi keterangan kalau kami setuju andaikata
barangnya tidak bersamaan sampai dengan orangnya. Sesampainya di pesawat
orang-orang Papua sudah tampak memenuhi hampir semua kursi yang ada di pesawat,
baru kali ini saya naik pesawat dengan orang sepadat itu dengan barang yang
bejibun. Untung saja tasnya ditahan tadi karena sudah tak ada lagi tempat di
kabin pesawat.
Perjalanan
Makassar Manokwari ditempuh kurang lebih 3 jam, perjalanan terpanjang yang
pernah kutempuh, semburan AC pesawat sukses membuat seisi pesawat menggigil
kedinginan, baru kali ini pula dapat makanan berat di pesawat mungkin karena
perjalanan jauh. Ada rasa jenuh berada di ketinggian dalam waktu yang lama,
gendang gendang telinga pun mengalami nyut nyut saking lamanya berada di
ketinggian, sekitar pukul setengah 7 awak pesawat mengumumkan sebentar lagi
pesawat akan landing di Bandara
Rendani, nama bandara yang ada di Manokwari. Rasanya mimpi bisa menginjakkan
kaki di tanah Papua, berbeda dengan penerbangan-penerbanganku sebelumnya ke
beberapa kota yang ada di Indonesia, kalau di kota yang lain saat mau landing mata akan disuguhkan suasana
kota yang padat merayap oleh kendaraan dan bangunan, tapi di Papua yang
kelihatan hanya hutan dan laut. Ada rasa khawatir, kalau saja pilot salah
tempat landing karena tak ada tanda
tanda pemukiman, yang ada hanya hutan rapat, pikiranku langsung bergentayangan
ke cerita cerita kecelakaan pesawat yang jatuh ke hutan atau pegunungan dan tak
ada yang selamat. Tampak dari atas tak ada kehidupan di bawah, waktu landing semakin dekat, hati semakin deg
degan melihat di bawah yang ada hanya hutan tak ada tempat untuk pesawat landing. Untungnya beberapa menit
kemudian pesawat bisa landing di jalur
yang tepat dan benar saja kiri kanan depan belakang yang ada hanyalah hutan,
wajar saja sebelum landing yang
kelihatan dari atas hanya hutan, bandaranya pun tak sebesar bandara-bandara
yang pernah kulihat sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan Terminal
Purwodadi Solo jauh lebih bagus Terminal Purwodadi, kata Kak Rizad ini sudah
lebih bagus dibanding waktu Kak Rizad pertama kali ke Papua, ini sudah ada
renovasi.
Manokwari
merupakan ibu kota provinsi dari Papua Barat, cukup syok juga pas sampai di
tempat pengambilan bagasi, tempatnya sangat sederhana dan saat saya ingin
mencari troli Kak Rizad bilang kalau troli itu hanya untuk orang orang yang
memakai jasa kurir, saya langsung menertawakan kebodohanku yang masih
membayangkan kalau Bandara Rendani mirip dengan suasana di Bandara Internasional
Sultan Hasanuddin. Di tempat parkir sudah ada supir mobil yang akan menjemput
kami dan mengantarkan kami ke Bintuni, mobil Hilux, yah mobil yang baru pertama
kali saya tumpangi seumur hidup, sangat elit untuk ukuran ojek mobil. Fikiranku
sudah mual bahkan sebelum berangkat apalagi mendengar cerita Kak Rizad tentang
jalanan menuju bintuni yang berkelok kelok. Segede ini saya masih saja mabuk
kendaraan. Kak rizad duduk di depan samping pak supir saya duduk dibelakang
bersama barang barang, kami bagai tamu penting yang dijemput menggunakan mobil elit
dan penumpangnya khusus kami berdua.
Mobil
pun melaju keluar bandara, Kak Rizad bilang ke pak supir untuk mampir ke atm
terlebih dahulu, saat mobil berkeliling mencari atm saya menyaksikan wajah Manokwari
dari satu sisi, lebih rame pare dibanding kota manokwari. Setelah dari atm
mobil langsung melaju menuju ke Bintuni, kata pak supir perjalanan akan
ditempuh dalam waktu 7-8 jam, saya langsung tidur untuk menghindari mabuk
perjalanan, sebenarnya ingin menyaksikan perjalanan tapi apa daya perut tak
bisa diajak kompromi, mual. Sempat kuterbangun sekali dan kusaksikan sebuah
pantai yang sangat indah di pinggir jalan tapi tak lama kutinggal tidur lagi.
Sekitar 2 jam kami sampai di daerah Trans Bari, konon Trans Bari merupakan nama
daerah untuk penduduk transmigran, kami pun bangun karena dibangunkan oleh pak
supir yang mengingatkan untuk makan. Karena mabuk perjalanan baik saya maupun Kak
Rizad sudah lupa untuk makan. Setelah makan soto di daerah Trans Bari kami
melanjutkan perjalanan ke Bintuni, masih ada 5-6 jam perjalanan lagi yang harus
kami tempuh.
Saya
diberikan obat anti mabuk oleh Kak Rizad yang sukses membuatku tidur sampai
masuk di Kabupaten Bintuni, itupun dibangunkan saat sudah sampai di depan
kantor bupati, Tin bangun sudah dekat, kata Kak Rizad. Saya pun bangun dan
merapikan jilbab serta memakan donat. Di kiri kanan masih dipenuhi hutan hutan,
rumah tak sepadat di Sulawesi apalagi di Jawa, masih sangat asri, kendaraan pun
cuman ada satu dua. Saya sudah tak sabar sampai apalagi Kak Rizad bilang bentar
lagi kita sampai.
Ternyata
masih sekitar 45 menit sampai akhirnya kami tiba di Terpadu. Akhirnya sampai
juga, akhirnya bisa melihat langsung kondisi dan situasinya. Mobil bisa
langsung naik di depan asrama, dan saya sempat kaget saat mendengar nominal yang
mesti dibayar adalah 2.5 juta harga yang sangat fantastis. Di asrama kami
disambut Pak Budi, disusul Bu Nur, Bu Nuning serta Bu Sari. Barang barang awalnya
di ungsikan di asrama putra sambil menunggu Pak Kholid yang katanya ke SP
(Satuan Pemukiman). Tak lama kemudian Bu Sari dan Bu Nur pulang, mereka
memanggilku ikut serta untuk istirahat, awalnya saya sungkan tapi akhirnya
baring dan tertidur karena kecapean, sedang Kak Rizad tetap di asrama putra
bersama Pak Budi.
Sore
harinya Kak Rizad yang sudah mandi dan berpakaian rapi datang memanggilku, kami
diajak Pak Budi dan Pak Kholid untuk ke kota buat makan, ternyata kota yang
dimaksud adalah kota Kabupaten Bintuni, saya berboncengan dengan Kak Rizad sedang
Pak Kholid berboncengan dengan Pak Budi, di tengah perjalanan kami berhenti
karena melihat ada polisi yang sweeping
sedang kami tidak memakai helm, kami akhirnya memutar balikkan motor dan
memutuskan makan soto serta ikan bakar. Setelah makan kami lalu lanjut ke toko furniture untuk membeli bantal dan payung,
lalu kembali ke asrama.
Saya
dan Kak Rizad untuk sementara tidur di
asrama putri, tentu saja dengan kamar yang berbeda. Dikamar sudah ada kasur dan
kipas angin, tak berapa lama kemudian Pak Kholid datang membawa semprot baygon
serta sabun, odol, air minum dan sikat gigi. Saya kaget sampai hal seperti itu
dibelikan, tapi Alhamdulillah banget sih. Setelah itu kami tidur dan besoknya
sudah tanggal 17 Agustus. Bu desi pagi pagi menelfon mengajak kami ikut upacara
tapi Kak Rizad enggan untuk pergi, akhirnya saya pun juga tidak ikut pergi dan
tidak bisa menyaksikan pakaian pakaian adat Papua yang digunakan orang-orang
saat upacara 17 Agustus.
Sore
harinya anak anak sudah berdatangan untuk tes. Anak-anak yang sudah ikut English Camp tahun lalu histeris
memanggil Kak Rizad yang notabene tutor English
Camp mereka tahun lalu. Tesnya hanya formalitas karena toh yang diambil 40
orang adalah putra putri daerah sedang 12 lainnya adalah anak nusantara. Nama-nama
peserta sudah dikantongi, keesokan harinya tepatnya tanggal 18 agustus
anak-anak diberikan undangan orang tua wali sebagai penyambutan atau temu orang
tua wali dan pengurus serta tutor English
Camp, di hari yang sama pula anak-anak sudah masuk di asrama dan membawa
barang barang mereka serta bersih bersih asrama. Puluhan tas serta koeer
berhamburan di asrama, mirip dengan korban pengungsian atau tenaga kerja
hahahha.
Itulah
hari pertama saya bertemu dengan calon calon muridku. Keesokan harinya tanggal
19 agustus baru kelas dimulai, mereka dikumpulkan di depan kelas delapan dekat
lapangan lalu perkenalan nama serta pembagian kelompok A dan B, untuk sementara
saya menghandle kelas B dan Kak Rizad di kelas A. Tanggal 19 merupakan hari
rabu yang artinya ada dua minggu waktu sebelum tanggal 31 Agustus untuk melihat
potensi anak-anak yang cocok ditempatkan di kelas A dan B, mereka dibagi
menjadi dua kelas karena tingkat kemampuan penangkapan mereka berbeda, kelas A
dominan lebih cepat dan B cenderung lebih lambat. Pembagian kelas ini
dimaksudkan agar transfer materinya jadi lebih “mudah” dengan menyesuaikan
kondisi siswa. Saya menghandle kelas
A untuk sementara dan kelas B di handle
oleh Kak Rizad.
Cerita
ini ditulis tanggal 04 Oktober 2015
Cerita
yang lain tentang kisah di Papua akan diunggah dalam cerita yang lain.
Sebelum
mengunggah tulisan ini ke blog saya merapikan kembali tulisan dan memperbaiki typo, dalam proses memperbaiki
penulisannya ingatan saya kembali diajak bernostalgia kisah 5 tahun lalu yang
masih melekat di ingatan. Ada rasa kesal sendiri saat melihat tulisan banyak
sekali perbandingan yang saya lakukan. Dasar aku! Setelah perjalanan beberapa
bulan di Papua saya belajar banyak hal, berambisi untuk berjalan lebih sering
dan lebih jauh lagi agar bisa melihat dunia jauh lebih luas agar pikiran tidak
sempit dan tidak mudah melakukan justifikasi apalagi perbandingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar