Rabu, 10 Juni 2020

Perjalanan Makassar-Teluk Bintuni

Tanggal 16 Agustus 2015, tepat di hari minggu. Saya bertolak ke Bandara Sultan Hasanuddin diantar oleh papa, mama, Dian dan Nurul yang merupakan sepupu yang tinggal di rumah serta Winda sahabat SMAku yang sengaja datang kerumah untuk mengantarku ke Bandara. Pukul 01:00 kami sudah meluncur ke Bandara, di Bandara sudah ada Kak Rizad, partnertku yang akan bersama ke Papua sudah ada di ruang tunggu, pesawatnya dari Bandara Juanda telah sampai di Bandara Sultan Hasanuddin sekitar pukul 12. Saya mengalami kerepotan, memakai wedges, menenteng laptop, mengurusi jilbab, mengangkat tas dan kresek Dunkin Donald dan menarik koper, tampak tak ada bedanya dengan TKW yang baru datang. Kuminta mamaku menemaniku ke tempat check in karena saya sudah sangat yakin kalau barang bawaanku over bagasi. Hasilnya tetap nihil, di tempat check in aturannya sangat semrawut, penumpang jurusan Papua digabung, tak ada perbedaan tempat antara orang orang yang mau ke Jayapura, Nabire, Biak, Manokwari ataupun ke Sorong. Beda ketika mau ke Jawa, akan ada tempat khusus ke tempat yang dituju, akhirnya kutelefon Kak Rizad untuk turun agar nantinya bisa membantuku mengangkat barang. Saya masih tak mampu membayangkan menenteng banyak barang dengan keadaan pake rok dan wedges. Dan benar saja saat tiba giliranku check in bagasiku lebih 10 kg dan itu harus bayar 250.000, tentu saja saya tak mau 250.000 bukan nominal sedikit, apalagi saya hanya diberi bekal uang 300.000, akhirnya Kak Rizad muncul dengan muka kebingungan mencariku. Kak tolong bantu angkat ya ka, hahahaha. Tadi saya panggil Kak Rizad turun biar bisa bantu angkat

Setelah urusan dunia per check in-an selesai kami keluar di terminal keberangkatan, akhirnya Kak Rizad membayarkan uang kelebihan bagasi hahaha. Kami pamitan lalu berangkat. Alhamdulillah saya diantar dengan senyum bukan dengan tangis lagi, saya dan Kak Rizad lalu berjalan menuju ruang tunggu, Kak Rizad dengan langkah tergopoh menenteng tas yang berisi pakaian dan buku, sampai di ruang tunggu baru dia protes, kamu bawa apa sih Tin banyak banget, gak bawa apa-apa kok ka, cuman bawa pakaian sama buku aja, hahhaha.

Kami pun mencari tempat duduk dan menunggu sampai jadwal keberangkatan tiba, waktu itu masih ada sekitar 90 menit sampai akhirnya waktu keberangkatan tiba. Tak lama kemudian ada kakak-kakak dari Jayapura yang kebetulan ke Makassar untuk dinas kantor, mereka dibiayai oleh pemerintah untuk mengikuti seminar, tidurnya di Hotel Aryaduta. Hotel yang termahal di Makassar karena lokasinya yang strategis, menghadap ke Pantai Losari. Kakak itu bercerita banyak tentang kehidupan di Papua, tak berapa lama kemudian pesawat kakak itu sudah mau berangkat dan dia akhirnya pamitan. Kembalilah saya berdua lagi dengan Kak Rizad, Kak Rizad tampaknya kelelahan sampai akhirnya dia tertidur di kursi dan saya melanjutkan untuk mengobrol bersama Ani ditelefon.

Sekitar pukul 03:00 WITA sudah ada panggilan untuk penumpang tujuan Manokwari dan Sorong, ternyata pesawat Sriwijaya yang kami tumpangi juga akan mengangkut penumpang yang bertujuan ke Sorong, dalam perjalanan menuju ke pesawat pakaian dan bukuku yang dibawa oleh Kak Rizad ditahan oleh petugas karena ukurannya yang nampak besar dan tidak bisa dibawa masuk ke Kabin, barang tersebut ditukar dengan secarik kertas yang berisi keterangan kalau kami setuju andaikata barangnya tidak bersamaan sampai dengan orangnya. Sesampainya di pesawat orang-orang Papua sudah tampak memenuhi hampir semua kursi yang ada di pesawat, baru kali ini saya naik pesawat dengan orang sepadat itu dengan barang yang bejibun. Untung saja tasnya ditahan tadi karena sudah tak ada lagi tempat di kabin pesawat.

Perjalanan Makassar Manokwari ditempuh kurang lebih 3 jam, perjalanan terpanjang yang pernah kutempuh, semburan AC pesawat sukses membuat seisi pesawat menggigil kedinginan, baru kali ini pula dapat makanan berat di pesawat mungkin karena perjalanan jauh. Ada rasa jenuh berada di ketinggian dalam waktu yang lama, gendang gendang telinga pun mengalami nyut nyut saking lamanya berada di ketinggian, sekitar pukul setengah 7 awak pesawat mengumumkan sebentar lagi pesawat akan landing di Bandara Rendani, nama bandara yang ada di Manokwari. Rasanya mimpi bisa menginjakkan kaki di tanah Papua, berbeda dengan penerbangan-penerbanganku sebelumnya ke beberapa kota yang ada di Indonesia, kalau di kota yang lain saat mau landing mata akan disuguhkan suasana kota yang padat merayap oleh kendaraan dan bangunan, tapi di Papua yang kelihatan hanya hutan dan laut. Ada rasa khawatir, kalau saja pilot salah tempat landing karena tak ada tanda tanda pemukiman, yang ada hanya hutan rapat, pikiranku langsung bergentayangan ke cerita cerita kecelakaan pesawat yang jatuh ke hutan atau pegunungan dan tak ada yang selamat. Tampak dari atas tak ada kehidupan di bawah, waktu landing semakin dekat, hati semakin deg degan melihat di bawah yang ada hanya hutan tak ada tempat untuk pesawat landing. Untungnya beberapa menit kemudian pesawat bisa landing di jalur yang tepat dan benar saja kiri kanan depan belakang yang ada hanyalah hutan, wajar saja sebelum landing yang kelihatan dari atas hanya hutan, bandaranya pun tak sebesar bandara-bandara yang pernah kulihat sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan Terminal Purwodadi Solo jauh lebih bagus Terminal Purwodadi, kata Kak Rizad ini sudah lebih bagus dibanding waktu Kak Rizad pertama kali ke Papua, ini sudah ada renovasi.

Manokwari merupakan ibu kota provinsi dari Papua Barat, cukup syok juga pas sampai di tempat pengambilan bagasi, tempatnya sangat sederhana dan saat saya ingin mencari troli Kak Rizad bilang kalau troli itu hanya untuk orang orang yang memakai jasa kurir, saya langsung menertawakan kebodohanku yang masih membayangkan kalau Bandara Rendani mirip dengan suasana di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Di tempat parkir sudah ada supir mobil yang akan menjemput kami dan mengantarkan kami ke Bintuni, mobil Hilux, yah mobil yang baru pertama kali saya tumpangi seumur hidup, sangat elit untuk ukuran ojek mobil. Fikiranku sudah mual bahkan sebelum berangkat apalagi mendengar cerita Kak Rizad tentang jalanan menuju bintuni yang berkelok kelok. Segede ini saya masih saja mabuk kendaraan. Kak rizad duduk di depan samping pak supir saya duduk dibelakang bersama barang barang, kami bagai tamu penting yang dijemput menggunakan mobil elit dan penumpangnya khusus kami berdua.

Mobil pun melaju keluar bandara, Kak Rizad bilang ke pak supir untuk mampir ke atm terlebih dahulu, saat mobil berkeliling mencari atm saya menyaksikan wajah Manokwari dari satu sisi, lebih rame pare dibanding kota manokwari. Setelah dari atm mobil langsung melaju menuju ke Bintuni, kata pak supir perjalanan akan ditempuh dalam waktu 7-8 jam, saya langsung tidur untuk menghindari mabuk perjalanan, sebenarnya ingin menyaksikan perjalanan tapi apa daya perut tak bisa diajak kompromi, mual. Sempat kuterbangun sekali dan kusaksikan sebuah pantai yang sangat indah di pinggir jalan tapi tak lama kutinggal tidur lagi. Sekitar 2 jam kami sampai di daerah Trans Bari, konon Trans Bari merupakan nama daerah untuk penduduk transmigran, kami pun bangun karena dibangunkan oleh pak supir yang mengingatkan untuk makan. Karena mabuk perjalanan baik saya maupun Kak Rizad sudah lupa untuk makan. Setelah makan soto di daerah Trans Bari kami melanjutkan perjalanan ke Bintuni, masih ada 5-6 jam perjalanan lagi yang harus kami tempuh.

Saya diberikan obat anti mabuk oleh Kak Rizad yang sukses membuatku tidur sampai masuk di Kabupaten Bintuni, itupun dibangunkan saat sudah sampai di depan kantor bupati, Tin bangun sudah dekat, kata Kak Rizad. Saya pun bangun dan merapikan jilbab serta memakan donat. Di kiri kanan masih dipenuhi hutan hutan, rumah tak sepadat di Sulawesi apalagi di Jawa, masih sangat asri, kendaraan pun cuman ada satu dua. Saya sudah tak sabar sampai apalagi Kak Rizad bilang bentar lagi kita sampai.

Ternyata masih sekitar 45 menit sampai akhirnya kami tiba di Terpadu. Akhirnya sampai juga, akhirnya bisa melihat langsung kondisi dan situasinya. Mobil bisa langsung naik di depan asrama, dan saya sempat kaget saat mendengar nominal yang mesti dibayar adalah 2.5 juta harga yang sangat fantastis. Di asrama kami disambut Pak Budi, disusul Bu Nur, Bu Nuning serta Bu Sari. Barang barang awalnya di ungsikan di asrama putra sambil menunggu Pak Kholid yang katanya ke SP (Satuan Pemukiman). Tak lama kemudian Bu Sari dan Bu Nur pulang, mereka memanggilku ikut serta untuk istirahat, awalnya saya sungkan tapi akhirnya baring dan tertidur karena kecapean, sedang Kak Rizad tetap di asrama putra bersama Pak Budi.

Sore harinya Kak Rizad yang sudah mandi dan berpakaian rapi datang memanggilku, kami diajak Pak Budi dan Pak Kholid untuk ke kota buat makan, ternyata kota yang dimaksud adalah kota Kabupaten Bintuni, saya berboncengan dengan Kak Rizad sedang Pak Kholid berboncengan dengan Pak Budi, di tengah perjalanan kami berhenti karena melihat ada polisi yang sweeping sedang kami tidak memakai helm, kami akhirnya memutar balikkan motor dan memutuskan makan soto serta ikan bakar. Setelah makan kami lalu lanjut ke toko furniture untuk membeli bantal dan payung, lalu kembali ke asrama.

Saya dan Kak Rizad untuk sementara tidur  di asrama putri, tentu saja dengan kamar yang berbeda. Dikamar sudah ada kasur dan kipas angin, tak berapa lama kemudian Pak Kholid datang membawa semprot baygon serta sabun, odol, air minum dan sikat gigi. Saya kaget sampai hal seperti itu dibelikan, tapi Alhamdulillah banget sih. Setelah itu kami tidur dan besoknya sudah tanggal 17 Agustus. Bu desi pagi pagi menelfon mengajak kami ikut upacara tapi Kak Rizad enggan untuk pergi, akhirnya saya pun juga tidak ikut pergi dan tidak bisa menyaksikan pakaian pakaian adat Papua yang digunakan orang-orang saat upacara 17 Agustus.

Sore harinya anak anak sudah berdatangan untuk tes. Anak-anak yang sudah ikut English Camp tahun lalu histeris memanggil Kak Rizad yang notabene tutor English Camp mereka tahun lalu. Tesnya hanya formalitas karena toh yang diambil 40 orang adalah putra putri daerah sedang 12 lainnya adalah anak nusantara. Nama-nama peserta sudah dikantongi, keesokan harinya tepatnya tanggal 18 agustus anak-anak diberikan undangan orang tua wali sebagai penyambutan atau temu orang tua wali dan pengurus serta tutor English Camp, di hari yang sama pula anak-anak sudah masuk di asrama dan membawa barang barang mereka serta bersih bersih asrama. Puluhan tas serta koeer berhamburan di asrama, mirip dengan korban pengungsian atau tenaga kerja hahahha.

Itulah hari pertama saya bertemu dengan calon calon muridku. Keesokan harinya tanggal 19 agustus baru kelas dimulai, mereka dikumpulkan di depan kelas delapan dekat lapangan lalu perkenalan nama serta pembagian kelompok A dan B, untuk sementara saya menghandle kelas B dan Kak Rizad di kelas A. Tanggal 19 merupakan hari rabu yang artinya ada dua minggu waktu sebelum tanggal 31 Agustus untuk melihat potensi anak-anak yang cocok ditempatkan di kelas A dan B, mereka dibagi menjadi dua kelas karena tingkat kemampuan penangkapan mereka berbeda, kelas A dominan lebih cepat dan B cenderung lebih lambat. Pembagian kelas ini dimaksudkan agar transfer materinya jadi lebih “mudah” dengan menyesuaikan kondisi siswa. Saya menghandle kelas A untuk sementara dan kelas B di handle oleh Kak Rizad.

Cerita ini ditulis tanggal 04 Oktober 2015

Cerita yang lain tentang kisah di Papua akan diunggah dalam cerita yang lain.

Sebelum mengunggah tulisan ini ke blog saya merapikan kembali tulisan dan memperbaiki typo, dalam proses memperbaiki penulisannya ingatan saya kembali diajak bernostalgia kisah 5 tahun lalu yang masih melekat di ingatan. Ada rasa kesal sendiri saat melihat tulisan banyak sekali perbandingan yang saya lakukan. Dasar aku! Setelah perjalanan beberapa bulan di Papua saya belajar banyak hal, berambisi untuk berjalan lebih sering dan lebih jauh lagi agar bisa melihat dunia jauh lebih luas agar pikiran tidak sempit dan tidak mudah melakukan justifikasi apalagi perbandingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...