Mudik adalah ritual yang identik dengan lebaran, ini kali kedua eid fitri saya tidak mudik. Pertama kali waktu belajar di Pare dan kali kedua sekarang, saat masih struggling untuk menyelesaikan urusan akademik di kampus. Terlalu sayang uang tiketnya yang melangit demi untuk pulang beberapa hari saja.
Mengetahui saya tidak mudik, ekspresi heran dan kaget datang silih berganti dari teman-teman, tak jarang yang iba dan menyayangkan. Tak sedikit pula yang memanggil ke kediamannya untuk berlebaran, sungguh lebaran di kostan seakan-akan adalah sesuatu yang begitu menyedihkan. Namun, saya menanggapinya biasa-biasa saja. Tak ada hal serius yang mesti diratapi. Toh, sekarang teknologi sudah sedemikian berkembangnya, hingga bisa mendekatkan yang jauh melalui media. Ada fitur video call yang membuat diri ini bisa merasa berada ditengah-tengah keriuhan keluarga meskipun raga terpisah ribuan kilometer.
Menjadi satu dari segelintir orang yang gak mudik di kota ini, di Jogja ini. Menjadi saksi betapa Jogja yang dulunya ramai mendadak menjadi sepi. Menjadi saksi kompleks yang tidak pernah memberlakukan tutup portal akhirnya hanya bisa melewati satu jalan karena portal pada tutup. Menyaksikan satu persatu warung dan kafe tutup. Melihat betapa Jogja begitu istimewa.
Lebaran, tak banyak yang berubah. Pemulung masih tetap melakukan pekerjaannya. Penjual koran masih tetap berjualan. Dan banyak lagi profesi lain yang jangankan memikirkan mudik, berfikir besok masih bisa melanjutkan hidup atau gak saja mereka sudah tertatih.
Terima kasih ramadhan, lebaran, dan makna mudik. Telah mengajarkan banyak hal.
Foto sepulang sholat ied di alun-alun utara
Jogjakarta, 06 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar