Dasar aku, makluk emosional. Detik ini bisa senang gak ketulungan, beberapa detik kemudian tanpa sebab langsung uring-uringan. Niatnya membuka sosial media untuk menghibur diri malah mendapati diri makin aut-autan, melihat dan menyaksikan wajah terbaik orang-orang di sosial media yang tengah mempertontonkan kesibukan, keberhasilan, kebahagiaan, dan betapa berdayanya mereka malah membuatku makin ciut, aku meratapi diriku sendiri yang diam tak ngapa-ngapain. Situasi hatiku malah makin porak poranda. Akhirnya aku memutuskan berjarak dengan sosial media yang membuatku malah makin meratapi nasib. Aku berkali-kali menstimulus fikiran untuk menikmati semua ini namun sisiku yang lain menganggap itu sebuah toxic positivity.
Aku bosan, aku jenuh, dan aku menerima segala emosi tersebut, namun salahnya aku yang mencari pelarian dan cara untuk "bahagia" dari luar diri aku yang membuatku bukannya mendapatkan kebahagiaan malah menimbulkan iri hati dan dengki.
Kucoba hal lain, bermain game seperti yang biasa kulakukan. Namun, itu pun tidak cukup membantu. Bermain game membuat emosiku malah campur aduk, terkadang malah dibuat kesal dan jantung berdetak lebih cepat saat kalah. Ini sama sekali tidak sehat.
Mood belakangan ini sama dengan kurva corona yang naik turun. Awalnya biasa aja, kesenengan, kesel, bosan, jenuh, terus kembali biasa lagi. Gitu aja terus sampe lebaran monyet.
Dalam kesempatan yang lain aku coba membuka obrolan yang intim dengan teman-teman dekat untuk memvalidasi rasa yang kumiliki, ternyata rasa yang kurasakan bukan cuman milikku seorang, banyak yang merasakan hal yang sama, bahkan orang-orang yang selama ini kulihat mempertontonkan ketawa ketiwi di media sosial sekalipun mengalami mood yang semriwing. Ah, media sosial memang adalah panggung untuk menampilkan versi terbaik dari hidup kita, dan menyimpan bolong-bolong kehidupan yang terkadang membuat kita bertatap nanar dan menangis di kegelapan.
Tinggal di rumah dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan bagiku yang terbiasa beraktifitas di luar dan ketemu dengan orang-orang menjadi sesuatu yang sangat menjemukan. Namun, dalam kondisi seperti ini aku pun tak memiliki alasan untuk keluar, kutekan egoku untuk tetap berada di rumah berharap ini adalah keputusan yang terbaik untuk aku maupun keluargaku.
Dasar aku, kadang kufur nikmat. Disaat diberikan waktu luang yang banyak malah merindukan kesibukan, disaat sibuk tak jarang malah mengeluh kelelahan.
Dasar aku, disaat diberikan waktu untuk istirahat malah ingin beraktifitas. Padahal nikmat banget tinggal di rumah dengan segala fasilitas dan kemudahan, tanpa harus berfikir besok mau makan apa untuk menyambung hidup tapi masih aja mengeluh kebosanan.
Dasar aku š
Tidak ada komentar:
Posting Komentar