Rabu, 13 Mei 2020

Kisah Perjalanan ke Gunung Bawakaraeng




15 Agustus 2012. Saya, Ayi, Nurul, Kak Fajrin, dan Kak Aco berangkat dari Makassar menuju Malino, tujuan kami saat itu ingin mendaki ke Gunung Bawakaraeng. Perjalanan ke Gunung Bawakaraeng merupakan simulasi perjalanan sebelum kami berangkat untuk mendaki ke Gunung Semeru agar nantinya tidak kaget saat mendaki salah satu gunung yang tertinggi di Indonesia itu. Meskipun waktu itu bulan puasa kami tetap berangkat, disamping ingin merayakan 17 Agustus di puncak kami juga mempertimbangkan jadwal keberangkatan kami menuju Gunung Semeru yang sudah terjadwal selepas lebaran. 

Sore hari kami berangkat dari Makassar dengan terlebih dahulu mampir ke rumah Mochink, salah satu anggota Maestro yang merupakan teman angkatan kami. Rumah Mochink hanya berjarak sekitar 1 jam menuju Lembanna, starting point menuju ke Gunung Bawakaraeng. Kami tiba di rumah Mochink ketika hari sudah gelap, akhirnya kami langsung istirahat dan mempersiapkan diri untuk perjalanan keesokan harinya. Subuh harinya mamanya Mochink membangunkan kami untuk sahur, setelah sahur kami pun bersiap-siap untuk berangkat menuju ke Lembanna. Setibanya di Lembanna kami bertemu dengan banyak kelompok pendaki yang memiliki dua tujuan lokasi yang berbeda, ada yang ingin ke Gunung Bawakaraeng dan ada juga yang ingin menuju ke Lembah Ramma’ dengan tujuan yang sama yakni mengibarkan sang saka merah putih sebagai salah satu bentuk semangat nasionalisme.

Sebelum memulai pendakian terlebih dahulu kami mampir ke rumah Tata’ Rasyid, basecamp para pendaki sebelum memulai perjalanan. Saat itu kami tiba sekitar pukul 05.00 pagi, kami tidur sejenak dan memulai perjalanan ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Awalnya kami menapaki jalan beraspal, selanjutnya menyusuri sawah, dan tiba di pohon pinus. Tak lama kemudian kami memasuki kawasan hutan dan tiba di pos 1. Di pos 1 ini akan ditemui jalan bercabang, ke kiri arah ke Gunung Bawakarang ke kanan arah ke Lembah Ramma’. Kami berisitirahat sejenak di Pos 1, Kak Aco’ mengeluarkan rokok dan berbuka puasa di pagi hari, hahaha astaghfirullah. Saya, Ayi, Nurul, dan Kak Fajrin masih teguh dan tidak tergoda untuk berbuka puasa. Setelah satu batang rokok Kak Aco habis kami melanjutkan perjalanan. Berkali-kali kami berhenti karena langkah kaki semakin melambat seiring dengan lelah yang begitu terasa, di samping sungai kecil antara pos 2 dan pos 3 semua puasa batal. Kami akhirnya mengeluarkan ransum untuk makan.

Jalur Bawakaraeng tak semudah yang kubayangkan, jalurnya begitu menguras tenaga. Saat melihat kami yang lesu dan tidak pernah bicara Kak Fajrin dan Kak Aco mulai menggoda, “tumben kalian diam, sudah capek ya”? Kak Fajrin lalu mengeluarkan kamera DSLR yang sejak berangkat digendongnya, jadi Kak Fajrin dan Kak Aco ini merupakan senior sekaligus pendamping perjalanan kami. Satu-satunya hal yang membuat kami bisa menyunggingkan senyum adalah ketika berhadapan dengan kamera. Perjalanan dari pos tiga menuju empat tempatnya terbuka jadi mata kami leluasa bisa menyapu pemandangan sekitar, panoramanya begitu indah untuk mengabadikan moment. Setelah istirahat dan foto-foto kami melanjutkan dan tibalah kami di pos 5. Keadaan pos 5 tidak seperti pos-pos sebelumnya, di pos 5 keadaannya lebih gersang, pohon-pohonnya gosong. Konon di pos 5 pernah terjadi kebakaran yang mengakibatkan tempat tersebut gersang tanpa pohon yang rindang seperti pos-pos sebelumnya. Kami beristirahat sejenak di pos 5 di bawah pohon tumbang, Kak Aco lalu membentangkan flysheet sebagai atap kami.

Di tempat yang tidak begitu jauh dari lokasi kami bernaung, nampak dua rombongan lain yang sedang berjalan menyusuri jalur. “Kak ngerokok dulu aja satu atau dua batang baru melanjutkan perjalanan”, kataku. “Ah, paling itu Cuma alibi kami biar bisa lebih lama istirahat”, jawab mereka lalu disambung dengan gelak tawa kami semua. Memang benar sih, itu alibiku saja agar bisa lebih lama istirahat hahaha. Jadi ketika kakak pendamping kami merokok disitulah kesempatan bagi kami meluruskan punggung dan memejamkan mata meski hanya beberapa detik, dengan merokok artinya kami pasti istirahat karena kedua pendamping kami tersebut tidak sangat menghindari membawa beban di punggung dan berjalan sambil merokok.

Di pos 7 kami berhenti lagi, kali ini dengan durasi yang jauh lebih lama. Ayi’ mengeluarkan alat masak yang dibawanya di tas, tak lama kemudian ada beberapa mahasiswa Unhas dan pendaki dari Bima yang juga berhenti. Kak Aco dan Kak Fajrin sangat nyambung mengobrol dengan pendaki dari Bima ini, maklum saja mereka berdua beberapa waktu sebelumnya mendaki di Gunung Rinjani, Tambora, dan Agung sehingga bisa saling bertukar pengalaman. Jadi, dulu saat kami sering mendaki ketika bertemu dengan para pendaki entah dari manapun dapat dipastikan akan selalu terjalin obrolan antara kami, entah topic apapun, bertemu dengan sesama pendaki di gunung sama seperti bertemu dengan teman lama, kami akan sangat akrab hanya dengan hitungan detik.

Sekitar 45 menit istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan, jarak antara pos 7 menuju 8 jalannya teasa sangaaat panjang. Kakiku sudah lelah melangkah, dingin pun sudah menembus ke tulang-tulang. Kami tidak bisa terlalu lama istirahat, semakin lama kami istirahat semakin malas pula kami melanjutkan perjalanan. Kata Kak Aco “kita akan bermalam di pos 9”, kami pun semangat berjalan dengan asumsi setelah ini kami tiba di pos 8 dan jarak ke pos 9 pasti sudah dekat. Badan kami sudah sangat rindu tempat yang datar untuk meluruskan punggung. Pos 8 tak kunjung kelihatan, jarak dari pos 7 menuju 8 merupakan perjalanan yang lumayan panjang dengan berbagai prasasti di kanan dan kiri jalur yang menandakan pernah ada orang yang menghembuskan nafas terakhir di tempat tersebut.
Akhirnya sampai juga kami di pos 8 setelah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Masih ada satu pos lagi yang butuh diperjuangkan. Jalur pos 8 menuju 9 membuatku sempat menangis dan meminta untuk berhenti dan bermalam disitu. Mereka (Kak Aco dan Kak Fajrin) duduk tanpa suara menungguku.”Sem, ayok jalan”, kata mereka. “Jalan duluan aja kak, aku udah gak sanggup, tinggalin aja aku di sini”, kataku. Kak Fajrin hanya tersenyum dan menyemangatiku dengan nyanyi-nyanyi memberikan semangat. “Saya jalan duluan ya”, kata Kak Aco. Jadi Kak Aco punya riwayat mengalami hypothermia jadi dia tidak mampu berlama-lama berdiam diri di tempat dingin, tinggallah kami berempat (Saya, Ayi, Nurul, Kak Fajrin). “Sem, kita gak bisa nginap di sini, gak ada tempat lapang, gak ada sumber air”, kata Kak Fajrin.

Mengingat kondisi Kak Aco saya pun dengan semangat dan energy yang tersisa memaksa diri untuk melanjutkan perjalanan meski hanya selangkah demi selangkah yang penting bergerak. Ternyata jarak antara pos 8 menuju 9 tidak begitu jauh, hanya saja jalurnya yang sangat ekstrem. Langit nampak berwarna jingga saat kami tiba di pos 9. Kak Aco yang sudah jalan duluan ternyata sudah mendirikan tenda dan memasak kopi. Alhamdulillah, tiba juga di pos 9, sahutku. Kondisi pos 9 tempat kami berhenti dan ngecamp  lumayan datar dengan hamparan pohon yang membantu menahan terpaan angin yang semakin menggila. Sudah ada sekitar 10 tenda di dekat tenda yang kami dirikan. Ada dari rombongan KPA, Mapala, Sispala, dan rombongan tenaga medis yang siaga mengantisipasi adanya orang yang cidera mengingat banyaknya pendaki saat momentum 17-an. Kami menghabiskan malam di pos 9 sambil bercerita, makan dan tidur tentu saja.

Setelah beberapa waktu kami tidak kami mendengar keributan di luar tenda, kami pun bangun untuk memasak dan siap-siap untuk berangkat menuju puncak. Suasana pagi yang cerah ditemani cuaca yang dingin membekukan tubuh, kami lalu stretching dan berangkat menuju puncak dengan berbekal kopi panas beserta cemilan, barang-barang lain disimpan di tenda agar tidak menambah beban kami dalam perjalanan ke puncak. Jadi, entah karena naluriah atau sudah menjadi sebuah kebiasaan kami memiliki rasa yang percaya yang begitu tinggi ketika pergi mendaki, meninggalkan barang-barang di tenda disaat kami menuju ke puncak adalah sesuatu yang lumrah dan dilakukan oleh hampir semua orang.

Jarak dari pos 9 menuju 10 tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar sejam. Sekitar 50 meter dari pos 10 sudah nampak trianggulasi sebagai penanda puncak Gunung Bawakaraeng. Kami singgah sejenak di pos 10 dan menyapa orang-orang yang kami temui. Langkah demi langkah kami lalui menuju ke puncak. Sekitar 20 meter sebelum kami tiba di puncak kami berhenti untuk saling menertawai satu sama lain, upacara sudah selesai dan niat kami untuk ikut upacara pupus sudah. Kami akhirnya melanjutkan untuk saling sapa dan mengenal satu sama lain dengan sesame pendaki yang kami temui di puncak.

Salah satu hal yang paling saya sukai ketika mendaki adalah suasana keakraban dan kekeluargaan yang langsung tercipta ketika kami berkenalan. Satu persatu saling memperkenalkan diri dan dilanjutkan dengan foto-foto di sekitar bendera, mengabadikan setiap moment di puncak Bawakaraeng dengan latar belakang awan, serasa di negeri di atas awan dalam dunia dongeng. Selain latar belakang awan ada juga background yang lain seperti trianggulasi dan bunga edelweiss yang tidak kalah indahnya.

Selesai foto-foto kami lalu bergegas turun menuju tempat camp. Ternyata tenda sudah dibongkar oleh Kak Aco jadi kami sisa membereskan barang-barang bawaan kami yang mesti dimasukkan ke kerel. Setelah beres packing dan sarapan kami memulai perjalanan turun. Kondisi jalan saat kami balik otomatis berbanding terbalik saat kami naik, kini jalannya kebanyakan menurun. Tergoda untuk cepat sampai saya berlari menapaki jalur dan menjadikan kaki serta lutut sebagai rem, dan seperti yang sudah diprediksi berdasarkan pengalama sebelum-sebelumnya lututku mengalami keram sehingga langkah kakiku menjadi melambat karena terasa sangat sakit. Semakin jalan menurun semakin terasa sakitnya. Melihat kondisiku yang seperti itu teman-teman yang lain mengimbangi langkahku, karena jalan kami yang lambat kami baru tiba di pohon pinus saat azan maghrib berkumandang. Kakiku semakin berat untuk kulangkahkan, menyeretnya pun susah. Tiba-tiba muncul ide gila dari Kak Fajrin untuk menyanyi ala-ala India yang berpindah dari satu pohon ke pohon pinus yang lain, tawaku pun pecah. Karena menikmati suasana tawa itu saya pun tak fokus merasakan sakit yang kurasakan. Akhirnya dengan lika liku perjalanan yang kami lalui kami baru tiba di basecamp sekitar pukul 19.00, kami lalu makan dan siap-siap untuk balik ke Makassar.

Cerita ini sudah terjadi sekitar 8 tahun yang lalu dan menuliskannya kembali dalam blog hasil menyalin dari catatan harian yang kutulis sekitar tahun 2015. Waktu yang terbilang sudah cukup lama tapi mampu membawa ingatan dengan jelas mengingat setiap peristiwanya, satu hal yang sangat saya syukuri adalah pernah bertemu dan menjadi keluarga dengan orang-orang di Maestro. Orang-orang yang secara langsung atau tidak sedikit banyak membentuk karakter saya hingga hari ini, orang-orang yang tidak pernah meninggalkan dalam kondisi sesulit apapun. Dulu sering mendengar istilah kalau mau tau sifat asli seseorang ajak dia mendaki, dan dari proses mendaki demi mendaki tersebut kutemukan benar-benar arti sebuah kata saudara tak sedarah.











13 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...