15
Agustus 2012. Saya, Ayi, Nurul, Kak Fajrin, dan Kak Aco berangkat dari Makassar
menuju Malino, tujuan kami saat itu ingin mendaki ke Gunung Bawakaraeng. Perjalanan
ke Gunung Bawakaraeng merupakan simulasi perjalanan sebelum kami berangkat
untuk mendaki ke Gunung Semeru agar nantinya tidak kaget saat mendaki salah
satu gunung yang tertinggi di Indonesia itu. Meskipun waktu itu bulan puasa
kami tetap berangkat, disamping ingin merayakan 17 Agustus di puncak kami juga
mempertimbangkan jadwal keberangkatan kami menuju Gunung Semeru yang sudah
terjadwal selepas lebaran.
Sore
hari kami berangkat dari Makassar dengan terlebih dahulu mampir ke rumah
Mochink, salah satu anggota Maestro yang merupakan teman angkatan kami. Rumah Mochink
hanya berjarak sekitar 1 jam menuju Lembanna, starting point menuju ke Gunung Bawakaraeng. Kami tiba di rumah
Mochink ketika hari sudah gelap, akhirnya kami langsung istirahat dan
mempersiapkan diri untuk perjalanan keesokan harinya. Subuh harinya mamanya Mochink
membangunkan kami untuk sahur, setelah sahur kami pun bersiap-siap untuk
berangkat menuju ke Lembanna. Setibanya di Lembanna kami bertemu dengan banyak
kelompok pendaki yang memiliki dua tujuan lokasi yang berbeda, ada yang ingin
ke Gunung Bawakaraeng dan ada juga yang ingin menuju ke Lembah Ramma’ dengan
tujuan yang sama yakni mengibarkan sang saka merah putih sebagai salah satu bentuk
semangat nasionalisme.
Sebelum
memulai pendakian terlebih dahulu kami mampir ke rumah Tata’ Rasyid, basecamp para pendaki sebelum memulai
perjalanan. Saat itu kami tiba sekitar pukul 05.00 pagi, kami tidur sejenak dan
memulai perjalanan ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Awalnya kami
menapaki jalan beraspal, selanjutnya menyusuri sawah, dan tiba di pohon pinus. Tak
lama kemudian kami memasuki kawasan hutan dan tiba di pos 1. Di pos 1 ini akan
ditemui jalan bercabang, ke kiri arah ke Gunung Bawakarang ke kanan arah ke
Lembah Ramma’. Kami berisitirahat sejenak di Pos 1, Kak Aco’ mengeluarkan rokok
dan berbuka puasa di pagi hari, hahaha astaghfirullah. Saya, Ayi, Nurul, dan
Kak Fajrin masih teguh dan tidak tergoda untuk berbuka puasa. Setelah satu
batang rokok Kak Aco habis kami melanjutkan perjalanan. Berkali-kali kami
berhenti karena langkah kaki semakin melambat seiring dengan lelah yang begitu
terasa, di samping sungai kecil antara pos 2 dan pos 3 semua puasa batal. Kami akhirnya
mengeluarkan ransum untuk makan.
Jalur
Bawakaraeng tak semudah yang kubayangkan, jalurnya begitu menguras tenaga. Saat
melihat kami yang lesu dan tidak pernah bicara Kak Fajrin dan Kak Aco mulai
menggoda, “tumben kalian diam, sudah capek ya”? Kak Fajrin lalu mengeluarkan
kamera DSLR yang sejak berangkat digendongnya, jadi Kak Fajrin dan Kak Aco ini
merupakan senior sekaligus pendamping perjalanan kami. Satu-satunya hal yang
membuat kami bisa menyunggingkan senyum adalah ketika berhadapan dengan kamera.
Perjalanan dari pos tiga menuju empat tempatnya terbuka jadi mata kami leluasa
bisa menyapu pemandangan sekitar, panoramanya begitu indah untuk mengabadikan moment. Setelah istirahat dan foto-foto
kami melanjutkan dan tibalah kami di pos 5. Keadaan pos 5 tidak seperti pos-pos
sebelumnya, di pos 5 keadaannya lebih gersang, pohon-pohonnya gosong. Konon di
pos 5 pernah terjadi kebakaran yang mengakibatkan tempat tersebut gersang tanpa
pohon yang rindang seperti pos-pos sebelumnya. Kami beristirahat sejenak di pos
5 di bawah pohon tumbang, Kak Aco lalu membentangkan flysheet sebagai atap kami.
Di
tempat yang tidak begitu jauh dari lokasi kami bernaung, nampak dua rombongan
lain yang sedang berjalan menyusuri jalur. “Kak ngerokok dulu aja satu atau dua
batang baru melanjutkan perjalanan”, kataku. “Ah, paling itu Cuma alibi kami
biar bisa lebih lama istirahat”, jawab mereka lalu disambung dengan gelak tawa
kami semua. Memang benar sih, itu alibiku saja agar bisa lebih lama istirahat
hahaha. Jadi ketika kakak pendamping kami merokok disitulah kesempatan bagi
kami meluruskan punggung dan memejamkan mata meski hanya beberapa detik, dengan
merokok artinya kami pasti istirahat karena kedua pendamping kami tersebut
tidak sangat menghindari membawa beban di punggung dan berjalan sambil merokok.
Di
pos 7 kami berhenti lagi, kali ini dengan durasi yang jauh lebih lama. Ayi’
mengeluarkan alat masak yang dibawanya di tas, tak lama kemudian ada beberapa
mahasiswa Unhas dan pendaki dari Bima yang juga berhenti. Kak Aco dan Kak
Fajrin sangat nyambung mengobrol dengan pendaki dari Bima ini, maklum saja
mereka berdua beberapa waktu sebelumnya mendaki di Gunung Rinjani, Tambora, dan
Agung sehingga bisa saling bertukar pengalaman. Jadi, dulu saat kami sering
mendaki ketika bertemu dengan para pendaki entah dari manapun dapat dipastikan
akan selalu terjalin obrolan antara kami, entah topic apapun, bertemu dengan sesama
pendaki di gunung sama seperti bertemu dengan teman lama, kami akan sangat
akrab hanya dengan hitungan detik.
Sekitar
45 menit istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan, jarak antara pos 7
menuju 8 jalannya teasa sangaaat panjang. Kakiku sudah lelah melangkah, dingin
pun sudah menembus ke tulang-tulang. Kami tidak bisa terlalu lama istirahat,
semakin lama kami istirahat semakin malas pula kami melanjutkan perjalanan.
Kata Kak Aco “kita akan bermalam di pos 9”, kami pun semangat berjalan dengan
asumsi setelah ini kami tiba di pos 8 dan jarak ke pos 9 pasti sudah dekat. Badan
kami sudah sangat rindu tempat yang datar untuk meluruskan punggung. Pos 8 tak
kunjung kelihatan, jarak dari pos 7 menuju 8 merupakan perjalanan yang lumayan
panjang dengan berbagai prasasti di kanan dan kiri jalur yang menandakan pernah
ada orang yang menghembuskan nafas terakhir di tempat tersebut.
Akhirnya
sampai juga kami di pos 8 setelah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Masih
ada satu pos lagi yang butuh diperjuangkan. Jalur pos 8 menuju 9 membuatku
sempat menangis dan meminta untuk berhenti dan bermalam disitu. Mereka (Kak Aco
dan Kak Fajrin) duduk tanpa suara menungguku.”Sem, ayok jalan”, kata mereka. “Jalan
duluan aja kak, aku udah gak sanggup, tinggalin aja aku di sini”, kataku. Kak
Fajrin hanya tersenyum dan menyemangatiku dengan nyanyi-nyanyi memberikan
semangat. “Saya jalan duluan ya”, kata Kak Aco. Jadi Kak Aco punya riwayat
mengalami hypothermia jadi dia tidak
mampu berlama-lama berdiam diri di tempat dingin, tinggallah kami berempat
(Saya, Ayi, Nurul, Kak Fajrin). “Sem, kita gak bisa nginap di sini, gak ada
tempat lapang, gak ada sumber air”, kata Kak Fajrin.
Mengingat
kondisi Kak Aco saya pun dengan semangat dan energy yang tersisa memaksa diri
untuk melanjutkan perjalanan meski hanya selangkah demi selangkah yang penting
bergerak. Ternyata jarak antara pos 8 menuju 9 tidak begitu jauh, hanya saja
jalurnya yang sangat ekstrem. Langit nampak berwarna jingga saat kami tiba di
pos 9. Kak Aco yang sudah jalan duluan ternyata sudah mendirikan tenda dan
memasak kopi. Alhamdulillah, tiba juga di pos 9, sahutku. Kondisi pos 9 tempat
kami berhenti dan ngecamp lumayan datar dengan hamparan pohon yang
membantu menahan terpaan angin yang semakin menggila. Sudah ada sekitar 10
tenda di dekat tenda yang kami dirikan. Ada dari rombongan KPA, Mapala,
Sispala, dan rombongan tenaga medis yang siaga mengantisipasi adanya orang yang
cidera mengingat banyaknya pendaki saat momentum 17-an. Kami menghabiskan malam
di pos 9 sambil bercerita, makan dan tidur tentu saja.
Setelah
beberapa waktu kami tidak kami mendengar keributan di luar tenda, kami pun
bangun untuk memasak dan siap-siap untuk berangkat menuju puncak. Suasana pagi
yang cerah ditemani cuaca yang dingin membekukan tubuh, kami lalu stretching dan berangkat menuju puncak
dengan berbekal kopi panas beserta cemilan, barang-barang lain disimpan di
tenda agar tidak menambah beban kami dalam perjalanan ke puncak. Jadi, entah
karena naluriah atau sudah menjadi sebuah kebiasaan kami memiliki rasa yang
percaya yang begitu tinggi ketika pergi mendaki, meninggalkan barang-barang di
tenda disaat kami menuju ke puncak adalah sesuatu yang lumrah dan dilakukan
oleh hampir semua orang.
Jarak
dari pos 9 menuju 10 tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar sejam. Sekitar
50 meter dari pos 10 sudah nampak trianggulasi sebagai penanda puncak Gunung
Bawakaraeng. Kami singgah sejenak di pos 10 dan menyapa orang-orang yang kami
temui. Langkah demi langkah kami lalui menuju ke puncak. Sekitar 20 meter
sebelum kami tiba di puncak kami berhenti untuk saling menertawai satu sama
lain, upacara sudah selesai dan niat kami untuk ikut upacara pupus sudah. Kami akhirnya
melanjutkan untuk saling sapa dan mengenal satu sama lain dengan sesame pendaki
yang kami temui di puncak.
Salah
satu hal yang paling saya sukai ketika mendaki adalah suasana keakraban dan
kekeluargaan yang langsung tercipta ketika kami berkenalan. Satu persatu saling
memperkenalkan diri dan dilanjutkan dengan foto-foto di sekitar bendera,
mengabadikan setiap moment di puncak Bawakaraeng dengan latar belakang awan,
serasa di negeri di atas awan dalam dunia dongeng. Selain latar belakang awan
ada juga background yang lain seperti
trianggulasi dan bunga edelweiss yang tidak kalah indahnya.
Selesai
foto-foto kami lalu bergegas turun menuju tempat camp. Ternyata tenda sudah dibongkar oleh Kak Aco jadi kami sisa
membereskan barang-barang bawaan kami yang mesti dimasukkan ke kerel. Setelah beres
packing dan sarapan kami memulai
perjalanan turun. Kondisi jalan saat kami balik otomatis berbanding terbalik
saat kami naik, kini jalannya kebanyakan menurun. Tergoda untuk cepat sampai
saya berlari menapaki jalur dan menjadikan kaki serta lutut sebagai rem, dan
seperti yang sudah diprediksi berdasarkan pengalama sebelum-sebelumnya lututku
mengalami keram sehingga langkah kakiku menjadi melambat karena terasa sangat
sakit. Semakin jalan menurun semakin terasa sakitnya. Melihat kondisiku yang
seperti itu teman-teman yang lain mengimbangi langkahku, karena jalan kami yang
lambat kami baru tiba di pohon pinus saat azan maghrib berkumandang. Kakiku semakin
berat untuk kulangkahkan, menyeretnya pun susah. Tiba-tiba muncul ide gila dari
Kak Fajrin untuk menyanyi ala-ala India yang berpindah dari satu pohon ke pohon
pinus yang lain, tawaku pun pecah. Karena menikmati suasana tawa itu saya pun
tak fokus merasakan sakit yang kurasakan. Akhirnya dengan lika liku perjalanan
yang kami lalui kami baru tiba di basecamp
sekitar pukul 19.00, kami lalu makan dan siap-siap untuk balik ke Makassar.
Cerita
ini sudah terjadi sekitar 8 tahun yang lalu dan menuliskannya kembali dalam
blog hasil menyalin dari catatan harian yang kutulis sekitar tahun 2015. Waktu yang
terbilang sudah cukup lama tapi mampu membawa ingatan dengan jelas mengingat
setiap peristiwanya, satu hal yang sangat saya syukuri adalah pernah bertemu
dan menjadi keluarga dengan orang-orang di Maestro. Orang-orang yang secara
langsung atau tidak sedikit banyak membentuk karakter saya hingga hari ini,
orang-orang yang tidak pernah meninggalkan dalam kondisi sesulit apapun. Dulu sering
mendengar istilah kalau mau tau sifat asli seseorang ajak dia mendaki, dan dari
proses mendaki demi mendaki tersebut kutemukan benar-benar arti sebuah kata
saudara tak sedarah.
13
Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar