Jumat, 22 Mei 2020

Gegar Budaya


Foto dari google
Ini bukan pertama kalinya saya merantau sebelumnya sudah pernah tinggal di Pare Kediri lebih dari setahun dan di Papua selama 5 bulan. Cuman perantauan kali ini benar-benar kerasa, tinggal di indekost selama dua tahun, bertemu dan berteman dengan orang-orang dari berbagai latar belakang suku, budaya, dan kebiasaan. Jogja, kota yang penuh keberagaman. Karena bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang beragam maka terjadi beragam kontak budaya juga. Saya ingin berbagi cerita tentang beberapa pengalaman gegar budaya yang saya alami selama hidup di perantauan.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan Bugis Makassar yang kental dengan beragam kebiasaan yang sudah mendarah daging ketika merantau dan ketemu dengan budaya lain sudah bisa dipastikan ada banyak kebiasaan yang bergesekan. Sebut saja soal makanan, di keluarga dan dalam lingkaran pertemanan saya selama ini membaui makanan sebelum menyantapnya adalah hal yang biasa, hal tersebut dilakukan untuk mengecek apakah makanan tersebut masih bagus atau sudah basi ataukah untuk membedakan rasanya manis atau asin melalui indra penciuman. Namun, saat berada di lingkungan teman-teman yang Jawa hal tersebut dianggap tidak sopan, berkali-kali saya mendapat teguran karena secara refleks sering membaui makanan sebelum disantap. Dalam peristiwa yang lain masih soal makanan, ketika mendapat kotak makanan saya terbiasa membuka untuk melihat isinya apa, berkali-kali kebiasaan ini pun sering mendapat teguran dari teman-teman karena dianggap tidak sopan. Harusnya ketika mendapat sesuatu ya terima aja, tidak usah mengecek isinya apa, apalagi jika masih di depan orang yang memberikan.

Dalam kasus yang lain, ini beberapa kali terjadi di kostan. Saya sebagai orang Bugis terbiasa menerima tamu bahkan sampai menginap beberapa hari pun bukan sebuah masalah, menerima tamu dan menyajikan makanan adalah hal yang sangat biasa bahkan sudah menjadi kebiasaan, terang saja saya selalu membeli stok makanan yang banyak untuk disimpan di kostan sebagai persiapan jika ada teman-teman yang lagi berkunjung ke kost, beberapa kali saya sampaikan ke teman-teman untuk langsung memakan makanan yang ada tanpa saya persilahkan sebelumnya dan menyampaikan ke mereka untuk menganggap kamar saya sebagai kamar mereka sendiri. Setelah beberapa bulan saya baru mengetahui bahwa hal tersebut dianggap kurang sopan dan juga baru mengetahui kalau ternyata kebanyakan orang Jawa untuk mempersilahkan makan harus tiga kali, berbanding terbalik dengan orang Bugis Makassar jika dipersilahkan sebaiknya langsung ambil karena jika sudah sampai tiga kali maka hal tersebut malah dianggap tidak sopan.

Banyak yang bilang orang Jawa itu memiliki sifat tidak enakan yang tinggi, tapi menurut saya sifat tidak enakan itu dimiliki oleh personal bukan karena latar belakang budaya, meskipun latar belakang budaya sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan seseorang. Dulu pernah pas pulang dari kampus sebelum menuju ke kamar saya menyapa ibu kost yang waktu itu sedang memasak sambel petai, kami berbincang sejenak hingga akhirnya ibu kost menawarkan sambel petainya. Selama ini saya selalu mendapat ajaran bahwa kalau diberi sesuatu jangan suka menolak karena bisa jadi orang tersebut enggan menawarkan lagi ketika ada sesuatu. Jadi saat ditanya oleh ibu kost “Mbak suka petai” saya langsung aja jawab iya bu suka, waktu itu lagi bareng Naya yang juga berasal dari Sulawesi. Kami serempak menjawab suka. Singkat cerita ibu kost memberikan kami sepiring sambel petai. Setibanya di lantai dua lokasi dimana kamarku berada saya lalu memberikan sambel petai itu kepada Naya, ternyata jeng jeng jeng kami berdua tidak ada yang suka makan sambel petai. Tadi pas ditawarin ibu kost Naya berfikir saya beneran suka, dan saya pun berfikir sebaliknya. Akhirnya kami pergi menawarkan sambel petai itu ke anak-anak kost yang lain sambil bilang “ini ada sambel petai dikasi oleh ibu kost”. Hahaha untung dari 16 kamar, ada satu orang yang suka.

Beberapa bulan sebelum saya meninggalkan Jogja saya ke kost teman karena ada keperluan, teman yang saat itu baru kelar masak menawarkan makan di kostnya tapi berhubung saya masih kenyang saya jawab “ntar aja ya pas balik”. Teman saya ini merupakan salah satu orang Jawa yang koplak dan sudah akrab banget dengan saya karena kami sekelas hampir dua tahun. Singkat cerita urusan kami di luar sudah selesai dan kami langsung siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba perutku terasa keroncongan dan ingat tadi sebelum keluar ditawarin makan, saya langsung bilang aja “An, saya lapar gak usah makan di luar ya makan di kostmu aja”, sontak teman saya tertawa dan bilang “Dasar kamu ya, kelamaan bergaul sama kamu aku ra jawani lagi ntar”, lalu kutanya “memangnya kenapa? Tadi kan kamu nawarin makan. Dari pada saya makan di luar mending makan di kostmu aja”, lalu kami berdua ketawa. Kemudian dijelasin kalau di Jawa itu meminta makan adalah hal yang tabu. 

Ada satu lagi cerita masih soal makan. Dulu ada teman yang lagi belajar di kost, kami belajar dari siang sampai malam. Malam harinya saya mengajaknya keluar untuk makan karena sudah lapar, tapi dia menolak dan bilang mau pulang ke kost aja dan makan di kost. Belakangan baru saya tau bahwa dia menolak untuk makan diluar waktu itu karena sedang tidak membawa uang dan mengatakan hal tersebut ternyata bukan sebuah kewajaran bagi sebagian orang Jawa. Padahal saya mah mikirnya waktu itu kita sudah akrab, sudah berteman lama, tinggal bilang aja sedang tidak membawa uang dengan ngomong seperti saya tidak akan mungkin membiarkannya pulang dan tidak ikut keluar makan.

Sudah ya soal makan, sudah terlalu banyak cerita hanya dari persoalan makanan hahaha. Kita beralih ke cerita yang lain. 

Kasus yang lain perihal memegang kepala, dalam pemahaman saya memegang kepala adalah bentuk kasih sayang, apalagi sampai mengelus-ngelus kepala tapi berbeda hal dengan orang Jawa. Di Jawa memegang kepala dianggap tidak sopan, dan seringkali kata-kata kepala dijadikan umpatan seperti “kepalamu”.

Tak ketinggalan cerita lagi-lagi pas di kostan. Saya tinggal di kost yang satu atap dengan pemilik kostan, lantai satu ditempati ibu kost sekeluarga sedang lantai dua dan tiga ditempati anak-anak kost. Pemilik kost tempat saya tinggal adalah orang Jogja, sangaat baik dan sering memberikan makanan kepada anak-anak kostan hehe, kami pun diberikan masing-masing dua kunci agar bebas keliar masuk meskipun sebenarnya ada aturan jam malam cuman sampai jam 9. Satu kunci kamar dan satu kunci rumah, kost saya memiliki pintu samping dan tangga di samping yang berada tepat di samping dapur ibu kost. Pernah beberapa kali saya pulang lewat dari jam 9 dan ketemu dengan ibu kost saat memasukkan motor pas waktu itu ibu kost lagi masak sesuatu di dapur, ibu lalu nanya “baru pulang mbak?” “Iya bu, tadi ngerjain tugas di luar sama teman-teman”, jawabku. Saat saya ceritakan kepada teman-teman ternyata jika diberikan pertanyaan tersebut itu merupakan sindiran halus untuk tidak sering pulang malam. Hahaha. Tapi bagaimanapun ibu kost tidak pernah marah sama sekali, selalu baik, ramah, dan pengertian. hihii

Ini menjadi cerita penutup gegar budaya yang saya alami ketika kuliah di Jogja. Persoalan menginap. Hampir setiap bulan saya selalu menerima tamu di kostan untuk menginap ada yang sehari, dua hari, bahkan ada yang berminggu-minggu. Hal tersebut bukan sebuah masalah bagi saya malah merasa senang karena ada teman ngobrol sebelum tidur. Ternyata bagi sebagian besar orang di Jawa hal tersebut bukan sebuah kewajaran, nginap itu maksimal tiga hari jika lebih dari tiga hari maka bukan numpang nginap lagi namanya tapi tinggal. Hahaha 

Dulu sih pas kuliah di Makassar pernah dapat materi tentang cross cultural understanding tentang perbedaan budaya tapi waktu itu yang diajarkan cuman fase-fase gegar budaya yang ketika baru datang akan merasa senang sekali karena melihat lingkungan baru terus bosen, homesick, lalu menyesuaikan diri. Nyatanya, saya tidak pernah merasa bosan dan homesick tapi gegar budaya yang saya alami kebanyakan tidak sopan dan memalukan. Hahahaha

Cerita-cerita di atas baru perihal kebiasaan. Perihal kata-kata sopan dan kasar stoknya lebih banyak. Untuk orang Sulawesi dan Sumatera sedikit banyak memiliki kesamaan baik dari penilaian kesopanan bahasa maupun intonasi saat bicara, tapi berbeda dengan orang Jawa. Kadang saat kami berbicara dengan cara yang biasa aja tak jarang malah dianggap kasar atau sedang marah-marah hahahaha

Sekian beberapa cerita yang saya alami selama dua tahun kuliah di Jogja, cerita yang penuh warna, kaya akan pengetahuan dan pengalaman, dan menambah banyak referensi tentang toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Kita berbeda tapi tidak lantas menjadikan kita terpecah belah, malah perbedaan tersebut bisa mengajarkan kami secara langsung untuk saling mengenal budaya satu sama lain.
22 Mei 2020

3 komentar:

  1. Wuah iya soal ngelus kepala, aku ngalamin. Akukan gak masalah ya kalau kepalaku dielus, tandanya kan maksudnya baik. Terus aku keceplosan cerita sama temenku yang orang Jawa, eh dia langsung bilang "ih gak sopan banget itu orang" aku kaget. Dulu kadang kalau ada yang temen cewek yang kepalanya tiduran di pangkuanku, kuelus supaya nyaman gitukan. Eh keceplosan gitu juga, untung dia bilang "sebenarnya sih aku gak suka kalau kepalaku dipegang, gak sopan, tapi sama memed gapapa" kaget aku, jadi gak enak. Entah udah beberapa kali jugakan ditegur garagara omongan, menurutku itu omongan biasa eh malah dibilang kasar ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚sampai dibilang "memed kok kasar sih sekarang" padahal menurutku itu omongan "akrab" yang biasa untuk orang terdekat. Lucu aja sih๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Hahaha iyaa, banyak hal yg bikin tercengang selama di Jogja. Gegar budaya yg bikin menganga krn terheran-heran.


    Toss Med ๐Ÿ™Œ๐Ÿ™Œ. Km Medan aku Makassar yg memang suaranya rada keras ya, jadi sudah familiar dibilangin kasar padahal kan biasa aja ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

    BalasHapus

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...