Minggu, 10 Mei 2020

Ekspedisi Ungu Semeru

Gunung Semeru atau Sumeru dikenal pula sebagai gunung para dewata dengan puncaknya Mahameru yang merupakan gunung berapi tertinggi di pulau Jawa yakni terletak pada ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl) dengan kawahnya yang terkenal yaitu kawah Jonggring Saloko. Gunung yang berkedudukan di wilayah pentadbiran kabupaten Malang dan kabupaten Lumajang dengan letak geografisnya pada 8°06′ LS dan 120°55′ BT serta memiliki kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Sedangkan akses jalur menuju Mahameru sendiri ada beberapa yakni jalur Gubuk Klakah, Ranu Pani, Ayek-ayek dan Poncokusumo. Akan tetapi jalur yang merupakan jalur umum atau yang mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat dengan memberikan misalnya penanda dalam bentuk pos-pos pada jalur, papan peringatan, papan informasi jarak pos ke pos dan sebagainya yang mempermudah para pendaki dalam perjalanan menuju puncak yaitu jalur ranu pani yang mana jalur inilah tim ekspedisi Ungu Semeru melakukan orientasi dan observasi untuk membandingkan setiap perubahannya pada tahun 2012 ini dengan pada masa Soe Hok Gie yakni tahun 1969.
Tim Ekspedisi Ungu Semeru mengawali langkah mulai dari pencarian dan pengumpulan data sekunder yang relevan dengan judul penelitian maupun perombakan-perombakan yang terjadi baik dalam pemilihan judul penelitian maupun personil dalam tim ekspedisi itu sendiri yang sampai pada kejelasannya pada saat melakukan seminar judul di penghujung bulan juli kemarin. Adapun pada seminar judul tersebut maka ditetapkanlah semua komponen penelitian Ekspedisi Ungu Semeru dengan ditetapkannya Ahmad Muzayyin sebagai ketua tim, Fitriani Aulia Rizka, Kartini dan Nurul Farita Achsan sebagai anggota yang mana kemudian berangkat dengan mengusung judul “Perbandingan Kondisi Jalur Ranu Pani Gunung Semeru tahun 2012 dan Pada Masa Gie 1969”. Dan setelah proses panjang selama kurang lebih 3 bulan pra ekspedisi akhirnya keberangkatan tim pun terlaksana pada tanggal 3 bulan 9 tahun 2012 dengan KM. Lambelu menuju Surabaya selama 24 jam, yakni berangkat dari pelabuhan Makassar pada pukul 19.00 WITA dan tiba di Tanjung Perak pukul 19.00 WIB.
Setibanya di Tanjung Perak tim disambut hangat oleh kawan saudara sekode etik dari Mapala Wanala Universitas Airlangga (UNAIR) yang telah memberikan kami ijin untuk menempati sekretnya sebagai camp pertama sembari membantu pengurusan administrasi yang masih harus diselesaikan di Surabaya. Setelah selesai pengurusan di Surabaya perjalanan pun dilanjutkan menuju Malang dengan menggunakan kereta api selama kurang lebih 3 jam perjalanan dan tiba di stasiun Gembong Malang. Adapun setibanya kami disini langsung dijemput lagi oleh kawan saudara kode etik dari Mapalipma yang mana dengan sambutan yang begitu hangat dari saudara saudara yang kian mengikat keakraban kami mulai dari awal perkenalan sampai detik ini. Dan, setelah kembali melengkapi persiapan perjalanan seperti belanja ransum, logistic dan persiapan lainnya yakni surat keterangan sehat untuk kelengkapan administrasi di TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru).
Setelah packing dan prepare keberangkatan menuju desa Tumpang pun dimulai yang mana personil ekspedisi terdiri dari 1 orang ketua tim, 3 orang anggota, 1 orang pendamping dan 3 orang guide dari kawan Mapalipma dan Vignecvara. Desa Tumpang, tepatnya di rumah Cak Laman kami disambut oleh secerek teh hangat yang sedikit mampu mengimbangi suasana dingin yang menusuk tulang. Seperti yang diceritakan kawan-kawan yang sudah lebih dulu menapakkan kakinya di Mahameru bahwasanya nikmatnya udara dingin di tumpang hanyalah pengantar belaka sebelum menuju kaki Semeru, bayangan udara dingin yang maha dahsyat pun tiba-tiba menggerogoti batin kami. Di rumah Cak Laman ini kami bukanlah satu satunya tim namun ada juga kawan kawan dari tim Malaysia dan kawan kawan dari Tim Universitas Indonesia dengan tujuan yang berbeda-beda. Camp semalam berteman hawa dingin tak lagi terasa seiring dengan canda tawa yang bahagia.Pagi hari sekitar pukul 07.45 perjalanan pun berlanjut dari desa Tumpang menuju desa terakhir sebelum pendakian yakni desa Ranu Pani. Selama kurang lebih 2 jam perjalanan dengan menumpangi fuso yang memang sudah lazim digunakan untuk mengantar baik para pendaki maupun masyarakat sekitar yang melalui medan tanjakan dan sangat terjal adalah suatu hal yang biasa. Selama perjalanan pun kami dimanjakan oleh eloknya pemandangan Bromo dan kegagahan Mahameru di sisi kiri kanan jalanan serta aktivitas masyarakat yang begitu mengesankan dengan suasana kearifan lokalnya yang begitu kental dan menunjukkan keharmonisan dan ketenangan jiwa masyarakat pedesaan.
Tak lama kemudian kami tiba di desa Ranu Pani dan langsung menyelesaikan administrasi berupa ijin pendakian di TNBTS dan surat-surat yang harus disampaikan ke kepala desa setempat demi kelancaran dan keabsahan Ekspedisi Ungu Semeru. Tak lupa pula bersama dengan para pendaki yang lain kami pun turut menikmati sedapnya nasi rawon sebagai sarapan sekaligus isi ulang tenaga yang terkuras. Setelah semua selesai langkah awal yang mantap dimulai menuju Mahameru, tak lupa kami sempatkan untuk dokumentasi di gerbang yang bertuliskan “Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru”.
Perjalanan menapaki tanah kuning berbatu yang diselimuti debu debu tebal pun menyambut, adapun angin sepoi sepoi yang sekilas mengimbangi juga semakin mengharuskan kami untuk menggunakan masker demi kenyamanan. Jalur yang berdebu yang merupakan jalur konvensional atau jalur umum yang sudah sangat jelas tersentuh oleh perhatian pemerintah dengan dibuatnya pos pos untuk beristirahat, adanya papan papan informasi tentang jarak-jarak tiap pos dari pos 1 sampai pos pos selanjutnya, serta jalur itu sendiri yang mana terdapat puffing mulai dari gerbang pendakian sampai ke pos 1 yang dimaksudkan untuk mempermudah para pendaki pendaki.
Pendakian yang dimulai sekitar pukul 10.40 WIB dengan meniti medan yang berupa puffing sampai di pos 1 dan agak landai sampai pos 3 akan tetapi mulai dari pos 3 menuju Ranu Kumbolo tanjakan berbatu dan berdebu menyambut dengan jarak tempuh pun yang lumayan jauh. Namun tiba di pos 4 rasa penat pun sedikit terbayarkan dengan pesona ranu kumbolo di depan mata dan pemandangan tanjakan cinta yang penuh cerita pun menjadi bahan yang hangat diperbincangkan sembari mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan yang sesuai rencana yakni camp di kalimati dan makan siang di tepian danau Ranu Kumbolo. Selanjutnya, medan berupa turunan terjal pun menyambut dari lereng bukit di pos 4 menuju lembah danau di Ranu Kumbolo dengan ekstra hati-hati penurunan terjal pun berhasil kami lalui sambil mencari lokasi yang tepat dan nyaman untuk mulai memasak dan bersantap siang.
Kurang lebih 1 jam memasak dan makan, setelah packing kami pun menyusul teman-teman yang sudah berangkat lebih dulu menuju kalimati. Perkiraan waktu sekitar 4 jam dimulai dari pukul 14.50 dilanjutkan sampai pada tanjakan cinta yang harus dilalui untuk keluar dari lembah ranu kumbolo menuju padang rumput oro-oro ombo. Tanjakan cinta yang penuh dengan mitos pun berhasil kami lalui saatnya menuju padang rumput oro-oro ombo. Setelah beberapa menit berjalan kami pun menemukan padang rumput yang terhampar luas di hadapan kami akan tetapi jalur yang mengikuti padang begitu terjal dan kondisi fisik yang sudah tidak stabil lagi setelah melewati tanjakan cinta dan juga cahaya mentari yang semakin meredup memaksa kami untuk menggunakan jalur lain meskipun sedikit lebih jauh akan tetapi karena beberapa pertimbangan maka dipilihlah jalur yang sedikit lebih jauh namun lebih aman yakni kembali meniti penurunan yang tidak terlalu terjal di lereng bukit menuju padang oro-oro ombo.
Selepas dari padang luas tersebut kami pun mulai kembali menghadapi medan yang menanjak dan dipenuhi oleh pohon cemara yang sangat tinggi, inilah cemoro kandang. Cemoro kandang merupakan hutan cemara atau populasi pohon cemara yang tumbuh memenuhi 1 kawasan dan tampak dari pohonnya yang tumbuh padat dan sangat besar dan beberapa pohonnya yang sudah tumbang.Selepas dari cemoro kandang kami pun beristirahat di jambangan untuk melepas penat sebelum melanjutkan ke kalimati.Dari jambangan tempat kami beristirahat kembali kami dimanjakan oleh kegagahan mahameru dan megah megah jingga dibelakangnya. Laksana ilalang oro-oro ombo yang tersulut api, semangat kami kembali terpacu untuk segera melanjutkan perjalanan tak sabar rasanya ingin cepat-cepat berdiri dan mengibarkan Sang Saka Maestro disana. Estimasi waktu kurang lebih 1 jam lagi sampai di kalimati dengan headlamp sebagai penerang yang setia mengiringi tapak kaki kami menuju titik-titik cahaya pendaki-pendaki lain di kalimati yang sudah samar-samar tampak dari kejauhan semakin memantapkan langkah kami tanpa ingin sedikitpun membuang waktu.
Pukul 17.40 WIB kami pun akhirnya tiba di kalimati dan langsung mendirikan tenda, memasak lalu menyantap hidangan ala kadarnya yang terasa sangat memuaskan, malam yang begitu dingin di kalimati bukanlah penghalang bagi kami untuk tetap konsisten melanjutkan langkah kami menuju Mahameru. Istirahat. Merebahkan pundak dan punggung yang terasa kaku dan kaki kram sementara mata perlahan terpejam dan harus terpejam beberapa saat meski hanya sekitar 4 sampai 5 jam saja sudah cukup untuk menstabilkan tenaga kembali untuk bekal ke puncak.
Menurut data-data yang kami peroleh dan cerita-cerita dari kawan-kawan yang sebelumnya pernah mendaki di Semeru bahwa perjalanan dari Kalimati hingga ke Mahameru ialah kurang lebih 6 sampai 7 jam dan harus kembali ke Kalimati sebelum jam 9 pagi atau sebelum angin bertiup kencang dan berbalik arah yang akan membawa racun gas belerang dari kawah Jonggring Saloko atau terjadi badai pasir dan sebagainya. Setelah packing dengan membawa 1 depek tim yang berisi air minum dan snack snack pengganjal perut sedangkan carrier sengaja ditinggal di lokasi camp bersama dengan tenda dan peralatan lainnya. Hal ini lumrah dilakukan para pendaki dengan faktor pertimbangan medan yang akan dilalui yakni tanjakan di kalimati sampai arcopodo di batas vegetasi menuju lautan pasir ke Mahameru.
Pendakian ke puncak pun dimulai pukul 01.00 WIB. Berbekal semangat dan komitmen jalur yang menanjak pun menjadi kawan dalam setiap ayunan langkah. Peluh keringat dan desah nafas yang tertekan adalah irama yang turut menjadi saksi setia terhadap konsistensi menghadapi seberat apapun tantangan yang menghadang serta himbauan dari pendamping yang kian membakar dengan menyatakan bahwa dalam menghadapi medan seperti ini maka dibutuhkan mental 90 % dan fisik 10 % . Lelah, kantuk, sakit, penat, kram, menjadi 1 rasa yang tak tertahankan ditambah lagi setiap tanjakan yang memancing rasa haus di tengah medan yang tanpa setetespun sumber air terdekat. Tantangan di tengah gelap gulitanya pertautan malam dan subuh yang tanpa terasa membawa kami menuju lautan pasir yang terhampar di depan mata.Sejenak merebahkan diri dengan bersandar di bebatuan dengan menenggelamkan kaki kedalam pasir untuk menekan berat badan agar tidak tergelincir dan berakibat fatal sambil sesekali melepas masker penutup debu dan mencuri-curi nafas lebih leluasa sebelum kembali menggunakan masker biru yang berubah coklat.
Hanya sebentar saja, mengejar waktu secepat mungkin untuk tiba di puncak sebelum jam 09.00 sambil mengejar sunrise yang biasanya tampak indah di Mahameru. Ujian mental adalah sebuah kezaliman. Kali ini benar-benar dapat dimunculkan seperti apa jiwa seseorang, bagaimana perangai dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya, bagaimana ia menghadapi ujian dihadapannya apakah mundur atau terus melangkah meski dengan darah ataupun tulang patah. Beban pasir yang seolah terus menarik-narik kaki untuk kembali ke dasar dan serasa berjalan ditempat tanpa bisa menebak dimana ujung dari langkah ini adalah bagian dari kerasnya perjuangan demi mencapai target dan konsistensi terhadap rencana-rencana dan kesepakatan yang telah dibuat pra ekspedisi dan disoraki tepukan tangan penyemangat pada saat seminar judul. Hal yang tentu saja membuat kami tidak boleh berhenti meski mentari mulai menyembul dan beberapa pendaki juga memilih jalan pulang tanpa sedikit mempertimbangkan perjuangannya yang sia-sia karena terhenti ditengah jalan. Melangkah dan melangkah meski hanya 1 depan saja, perlahan tapi pasti, rasa sakit tidak terpikirkan lagi sampai pada akhirnya tepat di sebuah jalur yang sedikit berbelok dibalik sebuah batu besar kibaran merah putih tampak seperti lambaian tangan yang terus memaksa kami untuk segera mendekat padanya dengan posisi tegak dan hormat.
Mahameru, keindahan yang tidak terbantahkan. Rasa haru seketika menyelimuti. Uluran tangan para sahabat yang saling menjabat mengucapkan selamat dan sukses adalah kepuasan tersendiri yang tak pernah terbayangkan dan tak bisa dituangkan dengan kalimat seindah apapun, karena kelu lidah hanya mampu tersenyum tatkala tim Ekspedisi Ungu Semeru dengan khidmat disaksikan angin Mahameru, kawah jonggring saloko, dan saksi bisu prasasti Soe Hok Gie mengibarkan bendera MAESTRO tepat di tanah tertinggi dipulau Jawa, puncak para dewata.
HIDUP MAESTRO…….!!!
Tulisan ini diambil dari blog MPAS Maestro yang ditulis oleh Ahmad Muzayyin, tahun 2012 saya belum aware untuk menulis, pun toh saat sekarang mau merangkai semua kisah yang sudah dilalui sepertinya banyak bagian yang akan terlewati. Tulisan ini saya simpan di blog untuk mengoleksi kenangan dan kisah perjalanan di gunung, mengingat kembali bahwa pernah sekuat itu, pernah memiliki keberanian dan kegilaan untuk berjelajah ke sana ke mari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...