Tak ada emosi yang salah pun yang
benar, pada dasarnya semua emosi itu netral. Yang salah adalah cara
menyampaikan emosi. Emosi bukan hanya marah dan sedih, seperti yang sering kita
dengar saat orang marah seringnya mengatakan “saya lagi emosi”, bahagia dan
senang pun juga termasuk sebuah emosi.
Well, emotional intelligence
kemudian menjadi sebuah soft skill yang
banyak ditawarkan di platform dengan
harga yang fantastis. Belakangan saya baru menyadari bahwa pengelolaan emosi
memang sebuah PR yang harus terus dilatih. Dalam hidup akan selalu ada hal yang
membuat kita emosi, namun kita memiliki kendali untuk meresponnya seperti apa. Sama
halnya saat kita dikecewakan atau seseorang membuat kita marah, kita selalu
memiliki dua opsi yang bisa kita lakukan. Membalas kekecewaan dan kemarahan
tersebut atau kita mencoba berdamai dan meninggalkan sesuatu yang membuat kita
emosi. Berdamai bukan berarti ignore bahwa
emosi itu ada, melainkan menyadari bahwa kita memiliki emosi tapi kita
mengelolanya dengan cara yang elegan. Melampiaskan emosi dengan cara yang “buruk”
dapat dipastikan selalu berakhir penyesalan.
Saya ingin bercerita mengenai
pengalaman yang saya alami kemarin, sehari sebelumnya saya merencanakan sebuah
diskusi online via chat, semua sepakat namun saat diskusi tak semua bisa
koperatif dan aktif diskusi, sejam pun berlalu tanpa hasil yang jelas. Kecewa? Pasti.
Saya pun begitu emosional hingga kepikiran terus sampai pagi. Saya kemudian
memilih untuk menuliskan emosi-emosi saya tersebut dalam sebuah tulisan, namun
belum cukup membantu, saya kemudian bercerita ke orang-orang yang bisa saya
percaya untuk melampiaskan kekesalan yang saya miliki, untungnya saya memilih
orang yang tepat untuk bercerita. Teman yang mencoba merasionasilasikan emosi
yang saya miliki hingga saya bisa berdamai dan menerima bahwa belum tentu apa
yang saya fikirkan itu benar adanya. Oh iya seringkali ketika kita emosi begitu
banyak asumsi-asumsi yang muncul di kepala yang belum tentu benar, baiknya
ketika emosi kita menenangkan diri dan tidak langsung reaktif, ketika sudah
tenang barulah membuka obrolan dan sebisa mungkin untuk mengkonfirmasi
asumsi-asumsi yang sebelumnya gentayangan di kepala kita langsung ke orangnya.
Malamnya kami kembali diskusi
dengan tim yang lengkap menggunakan video call. Diluar dugaan saya, semua
sangat koperatif bahkan menyiapkan Power point dengan sangat niat beserta
ide-ide yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Melihat hal
tersebut saya malu sendiri dengan asumsi-asumsi dan emosi yang meledak-ledak
sebelumnya. Dari kejadian tersebut saya belajar mengenai pola dari tim saya
yang dominan cowok, mereka memiliki kebutuhan bicara yang terbatas dan tidak
terlalu suka untuk berdialog melalui teks. Pantas saja saat diskusi via chat
hampir semua nampak ogah-ogahan. Banyak hal yang saya pelajari dari kejadian
ini, salah satunya bahwa saya tidak boleh selalu memposisikan diri dan karakter
saya kepada mereka. Saya yang memiliki kebutuhan bicara tinggi, sering
berbasa-basi, suka berdialog baik teks maupun melalui obrolan, ternyata tidak
demikian dengan mereka. Pelajaran untuk kedepannya agar mencari media yang bisa
menyatukan kami untuk mengekspresikan apa yang kami pikirkan.
Pengelolaan emosi merupakan hal
yang sangat penting untuk dilatih, demi terciptanya hubungan yang harmonis
antar keluarga, teman, maupun rekan kerja.
12 Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar