Rabu, 20 Mei 2020

"Juru Selamat"


Kontekstual. Kata yang berulang kali diulang oleh Kak Butet saat proses diskusi. Kata yang selalu ditekankan untuk dilakukan. Saat membangun komunitas, membuat project, bergerak secara individu atau berada di bawah naungan institusi untuk melakukan pengabdian seyogyanya pendidikan dan literature itu kontekstual (sesuai konteks). Jangan datang sebagai “juru selamat” yang membawa idealisme kota dan berfikir bahwa orang di desa atau pedalaman butuh kita untuk melakukan project tersebut atau butuh kita untuk membawa sesuatu yang kita pikir mereka butuh. 

Banyak sekali dari kita ketika melihat masyarakat adat, masyarakat pedalaman, masyarakat desa yang berbeda dengan kita sering muncul stigma kalau mereka itu “primitif”, “bodoh”, “liar”, “kotor” dan lain sebagainya. Itu merupakan stigma yang lahir dari sebuat perspektif orang kota yang melihat sesuatu yang berbeda dari yang selama ini dilihat sehingga kita semacam memiliki dorongan untuk membuat perubahan yang “lebih baik”. Tapi benarkah mereka primitif, bodoh, kotor, dan lain sebagainya seperti yang kita pikirkan? Pernah tidak kita menyelami lebih dalam kenapa mereka nampak “berbeda” dari kita? Pernah tidak belajar dan bertanya kenapa mereka berpakaian seperti itu atau kenapa mereka melakukan itu?

Contoh sederhananya kenapa suku anak dalam di Jambi atau suku-suku di Papua yang tinggal di hutan tidak menggunakan baju? Apa benar mereka primitif seperti yang disangkakan? Ternyata tidak, memakai baju bagi orang-orang yang tinggal di hutan tersebut hanya akan menyulitkan ketika dikejar binatang buas, dengan baju yang mereka kenakan bisa saja nyangkut kiri kanan yang akan menyebabkan mereka diterkam binatang buas. Itu baru satu persoalan. Contoh yang lain yakni sepatunisasi, dulu ada komunitas yang datang berdonasi sepatu karena berfikir masyarakat itu butuh sepatu karena kasihan kaki mereka berjalan atau berlari dengan telanjang. Tapi, pernah tidak berfikir bahwa ketika sepatu itu rusak kaki yang awalnya sudah terbiasa tidak beralas bahkan sudah keras bagaikan batu akan mengalami penyesuaian, malah akan luka karena terbiasa memakai sepatu selama beberapa tahun, hal tersebut membuat ketergantungan, bukan malah menyelesaikan masalah tapi menambah masalah yang baru, modal niat baik saja tidak cukup jika tidak kontekstual. Belum lagi cerita ada yang menyumbang speaker untuk hiburan, komputer agar melek teknologi, dan lain lain. Tapi apakah itu semua relevan untuk orang yang tinggal di sebuah daerah yang listrik aja tidak ada?
Jangan jadi “juru selamat”. Berdampak itu bukan dilihat dari kemampuan kita menyelesaikan masalah mereka dengan kehadiran kita, tapi saat mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri, bisa tetap bertahan disaat kita sudah meninggalkan lokasi tersebut, jika kita membuat mereka ketergantungan itu artinya membawa masalah yang baru.

Ketika datang ke suatu tempat bersikaplah rendah hati dan siap untuk belajar, bukan mengubah tatanan yang sudah ada. Datang dengan mindset apa yang bisa saya pelajari dari murid-murid, bukan apa yang murid-murid tersebut bisa pelajari dari saya. Seberapa persen sih pengetahuan kita yg bisa dibagi. Kita jangan datang dengan niatan ingin menjadi panutan yang mana selama ini kita hanya mendapatkan sekitar 10% ilmu aplikatif dari selama ini kita pelajari di bangku sekolah formal.

Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dalam sesi diskusi kemarin oleh moderator dan dijawab dengan lugas oleh Kak Butet. “Menurut Kak Butet bagaimana dengan pemerataan pendidikan yang ada di Indonesia, apa kak Butet setuju? Dijawab oleh Kak Butet “Saya setuju dengan pemerataan tapi bukan penyeragaman. Pendidikan itu harusnya kontekstual, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Pemerataan keadilan mendapatkan akses pendidikan bukan pemerataan kurikulum. Pendidikan itu harus memberikan manfaat saat itu juga, kalau sekarang pendidikannya benar bisa dijamin untuk kedepannya akan benar juga. Selama ini yang saya ajarkan adalah pendidikan dan berfikir kritis, agar anak-anak itu bisa menjadi tuan atas perubahannya sendiri dan tau resiko-resiko apa yang diambil”.

Pertanyaan lainnya saat ditanya “Dengan perkembangan yang begitu pesat apa Kak Butet setuju dengan modernisme”? “Modernisme dalam artian apa nih yang dimaksud? Kalau modernisme dipahami sebagai sesuatu yang bermanfaat orang rimba sudah melakukannya sejak lama, contohnya saja mereka tidak membuang sesuatu dan tidak memakai sabun di sungai karena menganggap bahwa sungai jalannya para dewa jadi tidak ada banjir, nah di kota seperti apa kejadiannya? Orang di rimba tidak ada yang miskin dan tidak ada yang kaya, mereka sama rata saling berbagi, orang yang tidak memiliki pohon akan diberikan pohon dari mereka yang berlebih. Tidak ada yang kelaparan disaat yang lain berlimpah makanan. Tidak ada yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Dulu saat saya mengajak anak-anak ke Jakarta dan makan di restoran mereka tidak mau makan karena melihat ada pengemis di luar restoran yang tidak makan, mereka protes saat orang-orang naik mobil dan asapnya mengenai orang-orang yang naik motor, lanjut Kak Butet bercerita”. Sebuah cerita yang miris, menggelikan, dan “menampar”. Kisah pemikiran kritis dari anak-anak yang selama ini dianggap primitif dan “bodoh”.

Pesan yang masih terngiang yakni ketika kalian datang baik secara individu maupun organisasi untuk memberi “dampak” datanglah sebagai sosok yang membumi, rendah hati, memiliki kemampuan continues learning yang siap untuk belajar bukan menghakimi, yang siap untuk memuji, bukan menyudutkan, yang siap untuk memberikan sesuatu yang kontekstual bukan yang teoretis.

Ini beberapa catatan yang bisa saya tuliskan dari banyaknya pengetahuan-pengetahuan baru yang nyata dan menohok dari sesi diskusi kemarin. Banyak sekali PRnya, banyak sekali hal yang mesti dipelajari dan dibenahi dalam membuat sebuah gerakan yang bertujuan untuk “kesejahteraan” dan “pemberdayaan” masyarakat. Jangan sampai datang sebagai juru selamat yang menyebalkan.

20 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...