Kontekstual.
Kata yang berulang kali diulang oleh Kak Butet saat proses diskusi. Kata yang
selalu ditekankan untuk dilakukan. Saat membangun komunitas, membuat project,
bergerak secara individu atau berada di bawah naungan institusi untuk melakukan
pengabdian seyogyanya pendidikan dan literature
itu kontekstual (sesuai konteks). Jangan datang sebagai “juru selamat” yang
membawa idealisme kota dan berfikir bahwa orang di desa atau pedalaman butuh
kita untuk melakukan project tersebut
atau butuh kita untuk membawa sesuatu yang kita pikir mereka butuh.
Banyak
sekali dari kita ketika melihat masyarakat adat, masyarakat pedalaman,
masyarakat desa yang berbeda dengan kita sering muncul stigma kalau mereka itu
“primitif”, “bodoh”, “liar”, “kotor” dan lain sebagainya. Itu merupakan stigma
yang lahir dari sebuat perspektif orang kota yang melihat sesuatu yang berbeda
dari yang selama ini dilihat sehingga kita semacam memiliki dorongan untuk
membuat perubahan yang “lebih baik”. Tapi benarkah mereka primitif, bodoh,
kotor, dan lain sebagainya seperti yang kita pikirkan? Pernah tidak kita menyelami
lebih dalam kenapa mereka nampak “berbeda” dari kita? Pernah tidak belajar dan
bertanya kenapa mereka berpakaian seperti itu atau kenapa mereka melakukan itu?
Contoh
sederhananya kenapa suku anak dalam di Jambi atau suku-suku di Papua yang
tinggal di hutan tidak menggunakan baju? Apa benar mereka primitif seperti yang
disangkakan? Ternyata tidak, memakai baju bagi orang-orang yang tinggal di
hutan tersebut hanya akan menyulitkan ketika dikejar binatang buas, dengan baju
yang mereka kenakan bisa saja nyangkut kiri kanan yang akan menyebabkan mereka
diterkam binatang buas. Itu baru satu persoalan. Contoh yang lain yakni
sepatunisasi, dulu ada komunitas yang datang berdonasi sepatu karena berfikir
masyarakat itu butuh sepatu karena kasihan kaki mereka berjalan atau berlari
dengan telanjang. Tapi, pernah tidak berfikir bahwa ketika sepatu itu rusak
kaki yang awalnya sudah terbiasa tidak beralas bahkan sudah keras bagaikan batu
akan mengalami penyesuaian, malah akan luka karena terbiasa memakai sepatu
selama beberapa tahun, hal tersebut membuat ketergantungan, bukan malah
menyelesaikan masalah tapi menambah masalah yang baru, modal niat baik saja
tidak cukup jika tidak kontekstual. Belum lagi cerita ada yang menyumbang
speaker untuk hiburan, komputer agar melek teknologi, dan lain lain. Tapi apakah
itu semua relevan untuk orang yang tinggal di sebuah daerah yang listrik aja
tidak ada?
Jangan
jadi “juru selamat”. Berdampak itu bukan dilihat dari kemampuan kita
menyelesaikan masalah mereka dengan kehadiran kita, tapi saat mereka bisa
menyelesaikan masalah mereka sendiri, bisa tetap bertahan disaat kita sudah
meninggalkan lokasi tersebut, jika kita membuat mereka ketergantungan itu
artinya membawa masalah yang baru.
Ketika
datang ke suatu tempat bersikaplah rendah hati dan siap untuk belajar, bukan
mengubah tatanan yang sudah ada. Datang dengan mindset apa yang bisa saya
pelajari dari murid-murid, bukan apa yang murid-murid tersebut bisa pelajari
dari saya. Seberapa persen sih pengetahuan kita yg bisa dibagi. Kita jangan datang
dengan niatan ingin menjadi panutan yang mana selama ini kita hanya mendapatkan
sekitar 10% ilmu aplikatif dari selama ini kita pelajari di bangku sekolah
formal.
Ada
beberapa pertanyaan yang diajukan dalam sesi diskusi kemarin oleh moderator dan
dijawab dengan lugas oleh Kak Butet. “Menurut Kak Butet bagaimana dengan
pemerataan pendidikan yang ada di Indonesia, apa kak Butet setuju? Dijawab oleh
Kak Butet “Saya setuju dengan pemerataan tapi bukan penyeragaman. Pendidikan
itu harusnya kontekstual, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
setempat. Pemerataan keadilan mendapatkan akses pendidikan bukan pemerataan
kurikulum. Pendidikan itu harus memberikan manfaat saat itu juga, kalau
sekarang pendidikannya benar bisa dijamin untuk kedepannya akan benar juga.
Selama ini yang saya ajarkan adalah pendidikan dan berfikir kritis, agar
anak-anak itu bisa menjadi tuan atas perubahannya sendiri dan tau resiko-resiko
apa yang diambil”.
Pertanyaan
lainnya saat ditanya “Dengan perkembangan yang begitu pesat apa Kak Butet
setuju dengan modernisme”? “Modernisme dalam artian apa nih yang dimaksud?
Kalau modernisme dipahami sebagai sesuatu yang bermanfaat orang rimba sudah
melakukannya sejak lama, contohnya saja mereka tidak membuang sesuatu dan tidak
memakai sabun di sungai karena menganggap bahwa sungai jalannya para dewa jadi
tidak ada banjir, nah di kota seperti apa kejadiannya? Orang di rimba tidak ada
yang miskin dan tidak ada yang kaya, mereka sama rata saling berbagi, orang
yang tidak memiliki pohon akan diberikan pohon dari mereka yang berlebih. Tidak
ada yang kelaparan disaat yang lain berlimpah makanan. Tidak ada yang mengambil
sesuatu yang bukan miliknya. Dulu saat saya mengajak anak-anak ke Jakarta dan
makan di restoran mereka tidak mau makan karena melihat ada pengemis di luar
restoran yang tidak makan, mereka protes saat orang-orang naik mobil dan
asapnya mengenai orang-orang yang naik motor, lanjut Kak Butet bercerita”. Sebuah
cerita yang miris, menggelikan, dan “menampar”. Kisah pemikiran kritis dari
anak-anak yang selama ini dianggap primitif dan “bodoh”.
Pesan
yang masih terngiang yakni ketika kalian datang baik secara individu maupun
organisasi untuk memberi “dampak” datanglah sebagai sosok yang membumi, rendah
hati, memiliki kemampuan continues
learning yang siap untuk belajar bukan menghakimi, yang siap untuk memuji,
bukan menyudutkan, yang siap untuk memberikan sesuatu yang kontekstual bukan
yang teoretis.
Ini
beberapa catatan yang bisa saya tuliskan dari banyaknya pengetahuan-pengetahuan
baru yang nyata dan menohok dari sesi diskusi kemarin. Banyak sekali PRnya,
banyak sekali hal yang mesti dipelajari dan dibenahi dalam membuat sebuah
gerakan yang bertujuan untuk “kesejahteraan” dan “pemberdayaan” masyarakat. Jangan
sampai datang sebagai juru selamat yang menyebalkan.
20
Mei 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar