Foto dari google
Ini
bukan pertama kalinya saya merantau sebelumnya sudah pernah tinggal di Pare Kediri lebih
dari setahun dan di Papua selama 5 bulan. Cuman perantauan kali ini benar-benar
kerasa, tinggal di indekost selama dua tahun, bertemu dan berteman dengan
orang-orang dari berbagai latar belakang suku, budaya, dan kebiasaan. Jogja,
kota yang penuh keberagaman. Karena bertemu dengan banyak orang dengan latar
belakang yang beragam maka terjadi beragam kontak budaya juga. Saya ingin
berbagi cerita tentang beberapa pengalaman gegar budaya yang saya alami selama
hidup di perantauan.
Tumbuh
dan besar dalam lingkungan Bugis Makassar yang kental dengan beragam kebiasaan
yang sudah mendarah daging ketika merantau dan ketemu dengan budaya lain sudah
bisa dipastikan ada banyak kebiasaan yang bergesekan. Sebut saja soal makanan,
di keluarga dan dalam lingkaran pertemanan saya selama ini membaui makanan
sebelum menyantapnya adalah hal yang biasa, hal tersebut dilakukan untuk
mengecek apakah makanan tersebut masih bagus atau sudah basi ataukah untuk
membedakan rasanya manis atau asin melalui indra penciuman. Namun, saat berada di
lingkungan teman-teman yang Jawa hal tersebut dianggap tidak sopan,
berkali-kali saya mendapat teguran karena secara refleks sering membaui makanan
sebelum disantap. Dalam peristiwa yang lain masih soal makanan, ketika mendapat
kotak makanan saya terbiasa membuka untuk melihat isinya apa, berkali-kali
kebiasaan ini pun sering mendapat teguran dari teman-teman karena dianggap
tidak sopan. Harusnya ketika mendapat sesuatu ya terima aja, tidak usah
mengecek isinya apa, apalagi jika masih di depan orang yang memberikan.
Dalam
kasus yang lain, ini beberapa kali terjadi di kostan. Saya sebagai orang Bugis
terbiasa menerima tamu bahkan sampai menginap beberapa hari pun bukan sebuah
masalah, menerima tamu dan menyajikan makanan adalah hal yang sangat biasa
bahkan sudah menjadi kebiasaan, terang saja saya selalu membeli stok makanan
yang banyak untuk disimpan di kostan sebagai persiapan jika ada teman-teman
yang lagi berkunjung ke kost, beberapa kali saya sampaikan ke teman-teman untuk
langsung memakan makanan yang ada tanpa saya persilahkan sebelumnya dan
menyampaikan ke mereka untuk menganggap kamar saya sebagai kamar mereka
sendiri. Setelah beberapa bulan saya baru mengetahui bahwa hal tersebut
dianggap kurang sopan dan juga baru mengetahui kalau ternyata kebanyakan orang
Jawa untuk mempersilahkan makan harus tiga kali, berbanding terbalik dengan
orang Bugis Makassar jika dipersilahkan sebaiknya langsung ambil karena jika
sudah sampai tiga kali maka hal tersebut malah dianggap tidak sopan.
Banyak
yang bilang orang Jawa itu memiliki sifat tidak enakan yang tinggi, tapi
menurut saya sifat tidak enakan itu dimiliki oleh personal bukan karena latar
belakang budaya, meskipun latar belakang budaya sedikit banyak mempengaruhi
kebiasaan seseorang. Dulu pernah pas pulang dari kampus sebelum menuju ke kamar
saya menyapa ibu kost yang waktu itu sedang memasak sambel petai, kami
berbincang sejenak hingga akhirnya ibu kost menawarkan sambel petainya. Selama ini
saya selalu mendapat ajaran bahwa kalau diberi sesuatu jangan suka menolak
karena bisa jadi orang tersebut enggan menawarkan lagi ketika ada sesuatu. Jadi
saat ditanya oleh ibu kost “Mbak suka petai” saya langsung aja jawab iya bu
suka, waktu itu lagi bareng Naya yang juga berasal dari Sulawesi. Kami serempak
menjawab suka. Singkat cerita ibu kost memberikan kami sepiring sambel petai. Setibanya
di lantai dua lokasi dimana kamarku berada saya lalu memberikan sambel petai
itu kepada Naya, ternyata jeng jeng jeng kami berdua tidak ada yang suka makan
sambel petai. Tadi pas ditawarin ibu kost Naya berfikir saya beneran suka, dan
saya pun berfikir sebaliknya. Akhirnya kami pergi menawarkan sambel petai itu
ke anak-anak kost yang lain sambil bilang “ini ada sambel petai dikasi oleh ibu
kost”. Hahaha untung dari 16 kamar, ada satu orang yang suka.
Beberapa
bulan sebelum saya meninggalkan Jogja saya ke kost teman karena ada keperluan, teman
yang saat itu baru kelar masak menawarkan makan di kostnya tapi berhubung saya
masih kenyang saya jawab “ntar aja ya pas balik”. Teman saya ini merupakan salah
satu orang Jawa yang koplak dan sudah akrab banget dengan saya karena kami
sekelas hampir dua tahun. Singkat cerita urusan kami di luar sudah selesai dan
kami langsung siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba perutku terasa keroncongan dan
ingat tadi sebelum keluar ditawarin makan, saya langsung bilang aja “An, saya
lapar gak usah makan di luar ya makan di kostmu aja”, sontak teman saya tertawa
dan bilang “Dasar kamu ya, kelamaan bergaul sama kamu aku ra jawani lagi ntar”,
lalu kutanya “memangnya kenapa? Tadi kan kamu nawarin makan. Dari pada saya
makan di luar mending makan di kostmu aja”, lalu kami berdua ketawa. Kemudian dijelasin
kalau di Jawa itu meminta makan adalah hal yang tabu.
Ada
satu lagi cerita masih soal makan. Dulu ada teman yang lagi belajar di kost,
kami belajar dari siang sampai malam. Malam harinya saya mengajaknya keluar
untuk makan karena sudah lapar, tapi dia menolak dan bilang mau pulang ke kost
aja dan makan di kost. Belakangan baru saya tau bahwa dia menolak untuk makan
diluar waktu itu karena sedang tidak membawa uang dan mengatakan hal tersebut
ternyata bukan sebuah kewajaran bagi sebagian orang Jawa. Padahal saya mah mikirnya
waktu itu kita sudah akrab, sudah berteman lama, tinggal bilang aja sedang tidak
membawa uang dengan ngomong seperti saya tidak akan mungkin membiarkannya
pulang dan tidak ikut keluar makan.
Sudah
ya soal makan, sudah terlalu banyak cerita hanya dari persoalan makanan hahaha.
Kita beralih ke cerita yang lain.
Kasus
yang lain perihal memegang kepala, dalam pemahaman saya memegang kepala adalah
bentuk kasih sayang, apalagi sampai mengelus-ngelus kepala tapi berbeda hal
dengan orang Jawa. Di Jawa memegang kepala dianggap tidak sopan, dan seringkali
kata-kata kepala dijadikan umpatan seperti “kepalamu”.
Tak
ketinggalan cerita lagi-lagi pas di kostan. Saya tinggal di kost yang satu atap
dengan pemilik kostan, lantai satu ditempati ibu kost sekeluarga sedang lantai
dua dan tiga ditempati anak-anak kost. Pemilik kost tempat saya tinggal adalah
orang Jogja, sangaat baik dan sering memberikan makanan kepada anak-anak kostan
hehe, kami pun diberikan masing-masing dua kunci agar bebas keliar masuk meskipun sebenarnya ada aturan jam malam cuman sampai jam 9. Satu kunci kamar dan satu
kunci rumah, kost saya memiliki pintu samping dan tangga di samping yang berada
tepat di samping dapur ibu kost. Pernah beberapa kali saya pulang lewat dari
jam 9 dan ketemu dengan ibu kost saat memasukkan motor pas waktu itu ibu kost
lagi masak sesuatu di dapur, ibu lalu nanya “baru pulang mbak?” “Iya bu, tadi
ngerjain tugas di luar sama teman-teman”, jawabku. Saat saya ceritakan kepada
teman-teman ternyata jika diberikan pertanyaan tersebut itu merupakan sindiran
halus untuk tidak sering pulang malam. Hahaha. Tapi bagaimanapun ibu kost tidak
pernah marah sama sekali, selalu baik, ramah, dan pengertian. hihii
Ini
menjadi cerita penutup gegar budaya yang saya alami ketika kuliah di Jogja. Persoalan
menginap. Hampir setiap bulan saya selalu menerima tamu di kostan untuk
menginap ada yang sehari, dua hari, bahkan ada yang berminggu-minggu. Hal tersebut
bukan sebuah masalah bagi saya malah merasa senang karena ada teman ngobrol
sebelum tidur. Ternyata bagi sebagian besar orang di Jawa hal tersebut bukan
sebuah kewajaran, nginap itu maksimal tiga hari jika lebih dari tiga hari maka
bukan numpang nginap lagi namanya tapi tinggal. Hahaha
Dulu
sih pas kuliah di Makassar pernah dapat materi tentang cross cultural understanding tentang perbedaan budaya tapi waktu
itu yang diajarkan cuman fase-fase gegar budaya yang ketika baru datang akan
merasa senang sekali karena melihat lingkungan baru terus bosen, homesick, lalu menyesuaikan diri. Nyatanya,
saya tidak pernah merasa bosan dan homesick
tapi gegar budaya yang saya alami kebanyakan tidak sopan dan memalukan.
Hahahaha
Cerita-cerita di atas baru perihal kebiasaan. Perihal kata-kata sopan dan kasar stoknya lebih banyak. Untuk orang Sulawesi dan Sumatera sedikit banyak memiliki kesamaan baik dari penilaian kesopanan bahasa maupun intonasi saat bicara, tapi berbeda dengan orang Jawa. Kadang saat kami berbicara dengan cara yang biasa aja tak jarang malah dianggap kasar atau sedang marah-marah hahahaha
Sekian
beberapa cerita yang saya alami selama dua tahun kuliah di Jogja, cerita yang
penuh warna, kaya akan pengetahuan dan pengalaman, dan menambah banyak
referensi tentang toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Kita berbeda
tapi tidak lantas menjadikan kita terpecah belah, malah perbedaan tersebut bisa
mengajarkan kami secara langsung untuk saling mengenal budaya satu sama lain.
22
Mei 2020