Sabtu, 30 Mei 2020

Ketika Kita Bukan Siapa-Siapa

Sumber Pinterest
Ketika kita bukan siapa-siapa, masihkah kita dilihat sebagai manusia?
Ketika kita tak memiliki sederatan simbol prestasi yang bisa dibanggakan, masihkah kita dilirik untuk sekadar membagikan pengetahuan yang kita miliki?
Ketika kita tak memiliki simbol profesi, masihkah kita layak didengarkan?
Ketika kita berada di bawah garis kemiskinan, masihkah ada orang-orang yang sudi melihat kita sebagai manusia seutuhnya bukan hanya seonggok daging yang diberi nyawa?

Terkadang aku merasa tergelitik dengan kenyataan hidup, acapkali ajakan untuk berbagi, potensi untuk didengarkan, kemungkinan untuk dianggap teman atau keluarga selalu butuh simbol. Simbol prestasi, simbol pencapaian, simbol profesi, simbol agama, simbol jabatan, ataupun simbol kekayaan. Seakan keilmuan yang kita miliki, jabatan yang kita emban, kekayaan yang kita punya, prestasi yang kita raih harus selalu memiliki tolok ukur "simbol" yang valid baru dianggap layak untuk berbicara dan didengarkan.

Gelar, prestasi, jabatan dan status sosial terkadang bisa menjadi privilege untuk mendapatkan satu tiket kesempatan yang lebih baik namun tak jarang pula kumenyaksikan orang dengan sederetan gelar dan prestasi yang bisa dibaca, ketika berbicara tak lebih baik dibanding orang yang tidak memiliki daftar simbol yang membanggakan.

Layaknya sebuah Ijazah, hanya membuktikan seseorang pernah sekolah tapi tidak membuktikan isi kepala seseorang. Begitu juga dengan simbol keagamaan yang memperlihatkan seseorang tersebut agamis tapi tidak membuktikan kadar ketakwaan seseorang.

Kita tengah hidup di sebuah lingkaran dimana orang-orang begitu mengglorifikasi sebuah simbol yang berlabel "kesuksesan" dengan berbagai pencapaian, berasal dari institusi terkemuka, bertengger di singgasana kekuasaan, memiliki daya jual dari lembaga-lembaga yang ternama, dan lain sebagainya. Namun jarang melirik orang-orang yang tidak memiliki daya tawar simbol. Seakan simbol-simbol tersebut adalah harga pas yang tidak bisa ditawar lagi. Pengalaman hidup menjadi tidak berarti apa-apa jika tak dibuktikan dengan simbol yang disepakati dan bukan menjadi sesuatu yang valid untuk dibagikan sebagai sebuah pencapaian.


#renunganpagi

Jumat, 29 Mei 2020

Tentang Bermedia Sosial

Sumber Pinterest

Beberapa hari yang lalu saat membuka instagram kulihat postingan Zaskia Adya Mecca yang tengah berbadan dua, saya kagum sekaligus kaget. Gilaaak, udah hamil untuk kelima kalinya aja dan lebih kaget lagi kok perutnya sudah besar aja padahal selama ini sama sekali tidak pernah memposting apapun tentang kehamilannya. Saya jarang melewatkan postingan  Zaskia karena saya suka melihat aktifitas anak-anaknya yang selalu di posting di sosial media setiap saat.

Pagi ini saya menonton vlog yang dibuat oleh Zaskia membahas tentang kehamilannya, banyak moment yang sudah direkam dari proses kehamilannya tapi baru diposting setelah dia mempublish berita kehamilannya di instagram. Di akhir videonya Zaskia mengungkapkan bahwa dia sengaja tidak pernah memposting apa-apa tentang kehamilannya untuk memberi insight kepada orang-orang bahwa meskipun seseorang seringkali memposting tentang kehidupannya di sosial media bukan berarti orang-orang yang melihat dan menonton postingan tersebut menjadi lebih tau kehidupan orang yang ditonton. Banyak sekali hal yang tidak dipublikasikan dan disimpan sebagai bahan untuk orang-orang terdekat dan bukan konsumsi publik.

Yah, sosial media itu hanyalah media untuk bersosialisasi, sosial media itu adalah alat untuk bersosial. Kalau untuk bersosialisasi kita membutuhkan media, berarti disisi yang lain kita juga bisa berkomunikasi tanpa menggunakan media, ya itulah kehidupan nyata. Sesuatu yang dilihat di sosial media sama sekali tidak bisa disimpulkan sebagai keseluruhan kehidupan seseorang di dunia nyata. Orang-orang cenderung akan mempublikasikan sesuatu sesuai "kebutuhan pasar" a.k.a sosial media branding. Kehidupan itu layaknya sebuah rumah yang memiliki teras, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar pribadi. Orang-orang sering membatasi kehidupannya dengan lingkaran kedekatan. Nah, sosial media terkadang hanyalah teras dalam hidup, yang ditampilkan pun terkadang hanyalah permukaannya saja dibalik banyaknya hal yang kita alami dan kita pikirkan.

Banyak yang nampak selalu bahagia di sosial media tapi belum tentu di kehidupan nyatanya demikian, sebaliknya banyak yang nampak selalu galau di sosial media namun belum tentu pula demikian. Sangat dangkal ketika penilaian kita di sosial media membuat kita menilai keseluruhan hidup seseorang hanya dari beberapa detik tangkapan kamera yang tanpa konfirmasi.

Sosial media itu bagai pisau kalau kata Gitasav, bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk memotong bawang, sayur,  buah dan lain sebagainya tapi bisa juga dipakai sama penjahat untuk menikam korbannya.

Keputusan ada di tangan kita, mau memanfaatkan sosial media untuk memotong atau untuk menikam. Untuk berdaya atau menebar kebencian.

Kamis, 28 Mei 2020

Jenuh

Dasar aku, makluk emosional. Detik ini bisa senang gak ketulungan, beberapa detik kemudian tanpa sebab langsung uring-uringan. Niatnya membuka sosial media untuk menghibur diri malah mendapati diri makin aut-autan, melihat dan menyaksikan wajah terbaik orang-orang di sosial media yang tengah mempertontonkan kesibukan, keberhasilan, kebahagiaan, dan betapa berdayanya mereka malah membuatku makin ciut, aku meratapi diriku sendiri yang diam tak ngapa-ngapain. Situasi hatiku malah makin porak poranda. Akhirnya aku memutuskan berjarak dengan sosial media yang membuatku malah makin meratapi nasib. Aku berkali-kali menstimulus fikiran untuk menikmati semua ini namun sisiku yang lain menganggap itu sebuah toxic positivity. 

Aku bosan, aku jenuh, dan aku menerima segala emosi tersebut, namun salahnya aku yang mencari pelarian dan cara untuk "bahagia" dari luar diri aku yang membuatku bukannya mendapatkan kebahagiaan malah menimbulkan iri hati dan dengki.

Kucoba hal lain, bermain game seperti yang biasa kulakukan. Namun, itu pun tidak cukup membantu. Bermain game membuat emosiku malah campur aduk, terkadang malah dibuat kesal dan jantung berdetak lebih cepat saat kalah. Ini sama sekali tidak sehat.

Mood belakangan ini sama dengan kurva corona yang naik turun. Awalnya biasa aja, kesenengan, kesel, bosan, jenuh, terus kembali biasa lagi. Gitu aja terus sampe lebaran monyet.

Dalam kesempatan yang lain aku coba membuka obrolan yang intim dengan teman-teman dekat untuk memvalidasi rasa yang kumiliki, ternyata rasa yang kurasakan bukan cuman milikku seorang, banyak yang merasakan hal yang sama, bahkan orang-orang yang selama ini kulihat mempertontonkan ketawa ketiwi di media sosial sekalipun mengalami mood yang semriwing. Ah, media sosial memang adalah panggung untuk menampilkan versi terbaik dari hidup kita, dan menyimpan bolong-bolong kehidupan yang terkadang membuat kita bertatap nanar dan menangis di kegelapan.

Tinggal di rumah dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan bagiku yang terbiasa beraktifitas di luar dan ketemu dengan orang-orang menjadi sesuatu yang sangat menjemukan. Namun, dalam kondisi seperti ini aku pun tak memiliki alasan untuk keluar, kutekan egoku untuk tetap berada di rumah berharap ini adalah keputusan yang terbaik untuk aku maupun keluargaku.

Dasar aku, kadang kufur nikmat. Disaat diberikan waktu luang yang banyak malah merindukan kesibukan, disaat sibuk tak jarang malah mengeluh kelelahan. 
Dasar aku, disaat diberikan waktu untuk istirahat malah ingin beraktifitas. Padahal nikmat banget tinggal di rumah dengan segala fasilitas dan kemudahan, tanpa harus berfikir besok mau makan apa untuk menyambung hidup tapi masih aja mengeluh kebosanan. 
Dasar aku šŸ™

Rabu, 27 Mei 2020

Jalani Aja Dulu Akan Selalu Ada Jalan

Sekitar seminggu yang lalu selepas makan sahur saya mengecek chat yang masuk di whatsapp, ada beberapa chat yang masuk. Salah satunya chat dari Ayyub (adek ketemu gede hahaha) yang mengajak untuk diskusi daring. “Boleh, mau diskusi apa Yub?”, tanyaku. Long story short, saya diajak Ayyub untuk mengadakan diskusi daring via live Instagram. Awalnya saya menolak dengan beberapa dalih, kemudian Ayyub memberikan kata-kata mutiara hahaha “Kak, potensi harus diseimbaingi dengan performa”. Kata-kata sederhana tapi penuh arti yang akhirnya membuatku luluh. Tema yang diusung pun masih terkait dengan kegiatan yang selama ini saya jalani, tidak ada salahnya mencoba, fikirku. Di satu sisi saya senang karena ditawari untuk diskusi tentang komunitas, tentang dunia sosial. Ada rasa bangga tersendiri menyadari bahwa sebagian orang mengenalku sebagai anak komunitas yang bergerak dalam isu isu sosial dan pendidikan. Sesuatu yang memang kuimpikan, meskipun dengan beberapa kegiatan yang saat ini saya lakukan namun saya lebih ingin dikenal sebagai seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat dan pendidikan.­­ 

Saat sudah mengiyakan tawaran tersebut, saya kemudian bercerita kepada seorang teman tentang ajakan diskusi daring tersebut dan perasaan deg-degan yang saya alami menjelang berlangsungnya diskusi, saya masih merasa belum begitu percaya diri dan belum pantas secara kapasitas untuk bercerita dan sharing tentang komunitas, meski sudah beberapa tahun berkecimpung dalam dunia komunitas tapi saya merasa masih sangat awam dalam dunia tersebut. Teman yang saya tempati bercerita merespon dengan kalimat-kalimat yang menguatkan “tidak ada orang yang benar-benar expert dalam satu bidang, dan perasaan deg-degan adalah hal yang wajar dirasakan oleh hampir semua orang ketika ingin melakukan sesuatu yang baru pertama kali dilakukannya, ambil saja tawaran tersebut karena tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama, ini cara Allah membuatmu menjadi lebih bermanfaat yang penting berani melangkah dulu aja”, kurang lebih seperti itu kalimat demi kalimat yang dilontarkannya dan mampu membuat rasa percaya diri meningkat beberapa persen.

Hari ini merupakan hari yang dijadwalkan untuk diskusi daring, sedari pagi saya sudah mulai latihan-latihan di depan kamera sambil memvideo diri sendiri lalu melihat dan mengkoreksi  serta memperbaiki yang perlu diperbaiki, saat selesai sholat duhur saya menyempatkan diri tidur siang dan tak lupa menyalakan alarm agar tidak bablas tidur. Sebelum alarm berbunyi saya sudah terbangun karena kepikiran diskusi yang akan berlangsung dan saya pun kembali mempersiapkan mental dengan membaca buku untuk menetralisir perasaan deg-degan tersebut. Maklum saja ini baru kali pertama saya akan live di instagram, ada rasa malu dan kurang percaya diri melihat muka sendiri di depan kamera. Sekitar pukul 15.55 WITA Ayyub sudah menghubungi dan meminta untuk join live IG. Saat kami diskusi daring satu persatu teman-teman join untuk menonton. Ternyata bisa semengalir dan sesantai itu jalannya diskusi. Hal yang sangat kukhawatirkan sebelumnya tidak terjadi. Kami mengobrol seperti biasanya ketika bertemu langsung dan ngobrol topik-topik yang beraneka ragam. Saya sesekali tersenyum melihat teman-teman yang join dan yang memberikan pertanyaan. Satu hal yang selalu saya pelajari bahwa terkadang apa yang kita pikirkan dan khawatirkan dengan sangat belum tentu terjadi. Toh pun kalo terjadi kita sebagai manusia yang berakal bisa dengan sigap mencari solusi akan masalah yang kita hadapi. Hal ini pun yang menjadi kata-kata magic saat saya ingin melakukan sesuatu yang terkadang dianggap nekat dan “gila” sama teman-teman karena sering menjalani sesuatu yang beresiko tanpa banyak rencana sebelumnya, saya sering berfikir bahwa sepintar apapun kita berencana akan selalu ada masalah yang menghampiri, jadi jalani aja dulu karena akan selalu ada jalan.

Dalam proses diskusi daring tersebut saya merasa mendapat dukungan moril yang sangat besar dari teman-teman yang begitu percaya dengan saya. Orang-orang yang sama yang selalu ada di banyak kegiatan dan rencana-rencana yang saya susun. Saya merasa bersyukur ada segelintir teman yang selalu pasang badan bagaimana pun kondisi yang saya alami, apapun rencana yang saya susun mereka selalu ada untuk mendukung dan membantu dalam taraf yang mereka bisa jangkau. Dalam sesi diskusi daring tersebut saya merasa apa yang saya sampaikan biasa banget bahkan tidak ada apa-apanya, tapi teman-teman bertahan untuk tetap menonton dan memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang membuat diskusi berjalan lancar. Saya kemudian teringat kalimat yang mungkin terdengar klise tapi kadang berarti bagi saya “tidak perlu menjelaskan dirimu kepada orang lain, orang yang menyukaimu tidak membutuhkan itu, sedang orang yang membencimu tidak akan percaya itu”. Satu hal yang bisa kita syukuri adalah saat kita memiliki orang-orang yang percaya dengan kita, yang akan selalu mendampingi kita dalam kondisi apapun meski kita terpisah jarak dan waktu dan memiliki orang-orang yang seperti itu adalah sebuah anugerah.

Terima kasih untuk pengalaman hari ini, ada banyak hal yang bisa masuk dalam catatan syukur. Alhamdulillah.
 
27 Mei 2020

Selasa, 26 Mei 2020

Dari Aku Untuk Aku


Terima kasih telah berjuang sejauh ini
Terima kasih sudah selalu melakukan yang terbaik
Terima kasih sudah memberikan yang maksimal
Terima kasih karena sudah bisa beradaptasi dalam segala macam situasi
Terima kasih untuk masih tetap bertahan meski di masa-masa sulit
Terima kasih untuk tak pernah lelah dan menyerah

Maaf aku terlalu sering membebanimu dengan banyak rencana-rencana
Maaf aku tak pernah mengapresiasimu
Maaf aku acapkali membuatmu kecewa
Maaf aku selalu mengkerdilkanmu
Maaf aku selalu mengorbankanmu demi menyenangkan orang lain
Maaf aku terlalu keras terhadapmu
Maaf aku sering mencelamu
Maaf aku tak pernah rela membiarkanmu tenang istirahat
Maaf aku tak pernah mau melihatmu diam
Maaf aku yang selalu menyiksamu dengan banyak perbandingan-bandingan

Terimakasih untuk diriku sendiri
Maafkan aku yang terlalu banyak mengecewakan dan menyakitimu

26 Mei 2020




Senin, 25 Mei 2020

Maaf!


Sebuah renungan dari aku untuk diri aku sendiri.
Mohon maaf jika ada salah, mohon maaf kalau ada salah, dan beberapa permohonan maaf yang diikuti prasayarat. Hal yang sangat lumrah kita temui ketika moment lebaran. Sebuah ucapan dan gambar yang sudah didesign lalu dikirim oleh banyak orang ke banyak orang yang lain dengan metode broadcast entah yang sudah akrab atau hanya sebatas kenal. Grup-grup yang sebelumnya sepi kembali ramai dengan ucapan permohonan maaf yang dikirimkan oleh seseorang yang bahkan tidak pernah bertemu. 

Bagus sih, momen lebaran dijadikan momen untuk saling bermaaf-maafan, namun jika hanya mengutamakan simbol tanpa mendalami esensi ya buat apa? Sibuk mengirimkan ucapan maaf ke hampir semua grup dan hampir semua kontak baik yang kenal maupun gak tanpa benar-benar menyadari kesalahan yang pernah dilakukan apa, di mana sebenarnya hakekat maaf adalah saat kita berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Boro-boro tidak mengulangi lagi tau kesalahan apa yang pernah dilakukan aja gak.

Beberapa tahun terakhir setiap ramadan tiba aku selalu belajar untuk mengingat dan refleksi selama setahun terakhir pernah kontak dengan siapa baik secara luring ataupun daring, hal tersebut membantu untuk menghubungi secara personal orang-orang tersebut untuk memohon maaf, memohon untuk diikhlaskan salah yang pernah aku lakukan baik sesuatu yang sadar aku lakukan atau tidak yang membuat tersinggung dan sakit hati. Tingginya intensitas bertemu dan berkomunikasi dengan seseorang akan berbanding lurus pula dengan tingginya kemungkinan tersinggung dan sakit hati baik oleh candaan, perkataan serius, maupun perbuatan.
Ketika kita terlalu sibuk meminta maaf kepada orang lain, sudahkah kita meminta maaf dan memaafkan diri sendiri?
Momen ramadan dan lebaran baik dijadikan moment refleksi untuk menjadi pribadi lebih baik lagi, mengeratkan hubungan dengan sanak famili dan kolega yang sempat renggang karena satu dua perkataan dan perbuatan, semoga kita senantiasa diberkahi dengan adanya ramadan sehingga menjadi seseorang yang lebih baik lagi di hari esok.

25 Mei 2020

Minggu, 24 Mei 2020

Lebaran 1 Syawal 1441H


Tak bisa dipungkiri, manusia kebanyakan suka akan simbol. Seperti lebaran kali ini, tak sah rasanya jika dilewati tanpa seremonial, tak bisa disalahkan juga sih. Seolah budaya kita merekonstruksi untuk terjebak dalam glorifikasi simbol-simbol. Simbol keagamaan, simbol pendidikan, simbol profesi, dan simbol-simbol lainnya.

Kali ini terasa sekali perbedaan perayaan lebarannya,di tengah pandemi pemerintah mengeluarkan surat ijin untuk mengadakan lebaran di lapangan dengan protokol kesehatan yang ketat, meskipun di kampung saya angka positif Covid-19 sudah nol namun protokol kesehatan tetap harus dilakukan.

Saya bersama keluarga dan kebanyakan warga kampung melaksanakan sholat ied di lapangan dengan kondisi yang berbeda, shaf sholat direnggangkan hingga berjarak 1 meter, pake masker, khotbah yang singkat dan baru kali ini seumur hidup saya sholat ied dibarengin dengan kunut. Setelah khatib selesai khotbah dan berdoa semua langsung berdiri dan bergegas pulang tanpa ada salam-salaman satu sama lain seperti yang langganan dilakukan setiap selesai sholat. Kali ini yang membuat berbeda juga adalah jamaah yang dulunya beragam dari anak-anak hingga orang tua kini yang tersisa hanya orang-orang dewasa, anak-anak hanya nampak beberapa dan tidak terlihat orang tua yang sudah berusia lanjut. Pada saat jalan pulang pun yang biasanya bergerombol kini tak lagi ditemukan di sepanjang jalan. 

Semalam pun saat takbir terasa perbedaan dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dulu ramai takbir keliling, gema takbir di masjid yang sahut-sahutan kini tidak terdengar lagi. Suara takbir hanya bisa dinikmati dari tape recorder yang diputar oleh tetangga dan berbagai virtual takbir yang berlangsung di youtube maupun di zoom meeting.

Covid-19 sontak membuat pola hidup berubah dan kebiasaan serta tradisi yang dulu sering dilakukan menjelang dan selepas sholat ied kini direnggangkan demi satu tujuan, kita sehat dan selamat bersama-sama. 

Tulisan ini akan menjadi sejarah dalam hidup saya bahwa manusia pernah melewati satu masa dimana kita mengalami perubahan pola hidup, di tengah-tengah suasana wabah yang "menakutkan" yang terjadi hampir di setiap sudut di seluruh belahan bumi.




Rumah, 24 Mei 2020

Mudik

Mudik adalah ritual yang identik dengan lebaran, ini kali kedua eid fitri saya tidak mudik. Pertama kali waktu belajar di Pare dan kali kedua sekarang, saat masih struggling untuk menyelesaikan urusan akademik di kampus. Terlalu sayang uang tiketnya yang melangit demi untuk pulang beberapa hari saja.

Mengetahui saya tidak mudik, ekspresi heran dan kaget datang silih berganti dari teman-teman, tak jarang yang iba dan menyayangkan. Tak sedikit pula yang memanggil ke kediamannya untuk berlebaran, sungguh lebaran di kostan seakan-akan adalah sesuatu yang begitu menyedihkan. Namun, saya menanggapinya biasa-biasa saja. Tak ada hal serius yang mesti diratapi. Toh, sekarang teknologi sudah sedemikian berkembangnya, hingga bisa mendekatkan yang jauh melalui media. Ada fitur video call yang membuat diri ini bisa merasa berada ditengah-tengah keriuhan keluarga meskipun raga terpisah ribuan kilometer.

Menjadi satu dari segelintir orang yang gak mudik di kota ini, di Jogja ini. Menjadi saksi betapa Jogja yang dulunya ramai mendadak menjadi sepi. Menjadi saksi kompleks yang tidak pernah memberlakukan tutup portal akhirnya hanya bisa melewati satu jalan karena portal pada tutup. Menyaksikan satu persatu warung dan kafe tutup. Melihat betapa Jogja begitu istimewa.

Lebaran, tak banyak yang berubah. Pemulung masih tetap melakukan pekerjaannya. Penjual koran masih tetap berjualan. Dan banyak lagi profesi lain yang jangankan memikirkan mudik, berfikir besok masih bisa melanjutkan hidup atau gak saja mereka sudah tertatih.

Terima kasih ramadhan, lebaran, dan makna mudik. Telah mengajarkan banyak hal.

Foto sepulang sholat ied di alun-alun utara

Jogjakarta, 06 Juni 2019

Sabtu, 23 Mei 2020

Penghujung Ramadan


Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran
(Al Asr : 1-3).

Sungguh tidak terasa, waktu bergulir begitu cepat, jarum jam berputar ke kanan tanpa jeda, arus kehidupan silih berganti, orang-orang datang dan pergi. Rasanya masih begitu jelas diingatan penghujung Ramadan tahun lalu, masih sibuk berdiskusi menentukan masakan yang ingin kami masak demi merasakan suasana lebaran ala rumah. Beragam suku budaya bersatu di kota istimewa.

Kami anak rantau yang bertahan untuk tidak pulang karena satu dua alasan. Tanah rantau yang selalu menghadirkan suasana kekeluargaan meskipun ribuah mil jaraknya dari rumah. Buka puasa terakhir tahun lalu kami memilih untuk mengakhirinya di Masjid Jogokaryan lalu melanjutkan duduk di Alun-Alun Utara untuk melihat pawai keliling. Masih teringat jelas setiap moment demi moment yang kami lewati, suasana takbir yang riuh dan penuh suka cita. Gema takbir menggetarkan hati kami, membuat mata kami sembab yang telah ditinggalkan oleh bulan suci Ramadan.

Sepulangnya ke kosan rasa haru itu masih menggetarkan dada, suara takbir yang menggema dari segala penjuru menjadi penanda Ramadan telah berada di garis akhir, suara gesekan alat-alat masak yang menambah keriuhan, kami menyambut 1 syawal dengan suka cita. Masakan Sulawesi dan Sumatera berkolaborasi untuk memberikan suasana lebaran yang tetap khidmat, video call masing-masing keluarga untuk saling mengirimkan kabar dan saling bermaaf-maafan.

Tahun ini suasananya sudah berbeda. Kami melewati penghujung Ramadan sudah berada di tengah-tengah keluarga di kampung halaman masing-masing dalam suasana pandemi. Meski begitu, ritual menjelang lebaran masih dilakukan oleh orang-orang di rumah masing-masing. Mengencangkan ibadah hingga titik akhir dan riuh memasak masakan khas lebaran meski gema takbir tak sekencang biasanya. Bagaimana pun kondisi kita saat ini semoga tak mengurangi khidmat Ramadan dan kita bisa keluar sebagai “pemenang” dan semoga kita masih diberikan kesempatan untuk menikmati Ramadan di tahun-tahun selanjutnya.

Jumat, 22 Mei 2020

Gegar Budaya


Foto dari google
Ini bukan pertama kalinya saya merantau sebelumnya sudah pernah tinggal di Pare Kediri lebih dari setahun dan di Papua selama 5 bulan. Cuman perantauan kali ini benar-benar kerasa, tinggal di indekost selama dua tahun, bertemu dan berteman dengan orang-orang dari berbagai latar belakang suku, budaya, dan kebiasaan. Jogja, kota yang penuh keberagaman. Karena bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang beragam maka terjadi beragam kontak budaya juga. Saya ingin berbagi cerita tentang beberapa pengalaman gegar budaya yang saya alami selama hidup di perantauan.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan Bugis Makassar yang kental dengan beragam kebiasaan yang sudah mendarah daging ketika merantau dan ketemu dengan budaya lain sudah bisa dipastikan ada banyak kebiasaan yang bergesekan. Sebut saja soal makanan, di keluarga dan dalam lingkaran pertemanan saya selama ini membaui makanan sebelum menyantapnya adalah hal yang biasa, hal tersebut dilakukan untuk mengecek apakah makanan tersebut masih bagus atau sudah basi ataukah untuk membedakan rasanya manis atau asin melalui indra penciuman. Namun, saat berada di lingkungan teman-teman yang Jawa hal tersebut dianggap tidak sopan, berkali-kali saya mendapat teguran karena secara refleks sering membaui makanan sebelum disantap. Dalam peristiwa yang lain masih soal makanan, ketika mendapat kotak makanan saya terbiasa membuka untuk melihat isinya apa, berkali-kali kebiasaan ini pun sering mendapat teguran dari teman-teman karena dianggap tidak sopan. Harusnya ketika mendapat sesuatu ya terima aja, tidak usah mengecek isinya apa, apalagi jika masih di depan orang yang memberikan.

Dalam kasus yang lain, ini beberapa kali terjadi di kostan. Saya sebagai orang Bugis terbiasa menerima tamu bahkan sampai menginap beberapa hari pun bukan sebuah masalah, menerima tamu dan menyajikan makanan adalah hal yang sangat biasa bahkan sudah menjadi kebiasaan, terang saja saya selalu membeli stok makanan yang banyak untuk disimpan di kostan sebagai persiapan jika ada teman-teman yang lagi berkunjung ke kost, beberapa kali saya sampaikan ke teman-teman untuk langsung memakan makanan yang ada tanpa saya persilahkan sebelumnya dan menyampaikan ke mereka untuk menganggap kamar saya sebagai kamar mereka sendiri. Setelah beberapa bulan saya baru mengetahui bahwa hal tersebut dianggap kurang sopan dan juga baru mengetahui kalau ternyata kebanyakan orang Jawa untuk mempersilahkan makan harus tiga kali, berbanding terbalik dengan orang Bugis Makassar jika dipersilahkan sebaiknya langsung ambil karena jika sudah sampai tiga kali maka hal tersebut malah dianggap tidak sopan.

Banyak yang bilang orang Jawa itu memiliki sifat tidak enakan yang tinggi, tapi menurut saya sifat tidak enakan itu dimiliki oleh personal bukan karena latar belakang budaya, meskipun latar belakang budaya sedikit banyak mempengaruhi kebiasaan seseorang. Dulu pernah pas pulang dari kampus sebelum menuju ke kamar saya menyapa ibu kost yang waktu itu sedang memasak sambel petai, kami berbincang sejenak hingga akhirnya ibu kost menawarkan sambel petainya. Selama ini saya selalu mendapat ajaran bahwa kalau diberi sesuatu jangan suka menolak karena bisa jadi orang tersebut enggan menawarkan lagi ketika ada sesuatu. Jadi saat ditanya oleh ibu kost “Mbak suka petai” saya langsung aja jawab iya bu suka, waktu itu lagi bareng Naya yang juga berasal dari Sulawesi. Kami serempak menjawab suka. Singkat cerita ibu kost memberikan kami sepiring sambel petai. Setibanya di lantai dua lokasi dimana kamarku berada saya lalu memberikan sambel petai itu kepada Naya, ternyata jeng jeng jeng kami berdua tidak ada yang suka makan sambel petai. Tadi pas ditawarin ibu kost Naya berfikir saya beneran suka, dan saya pun berfikir sebaliknya. Akhirnya kami pergi menawarkan sambel petai itu ke anak-anak kost yang lain sambil bilang “ini ada sambel petai dikasi oleh ibu kost”. Hahaha untung dari 16 kamar, ada satu orang yang suka.

Beberapa bulan sebelum saya meninggalkan Jogja saya ke kost teman karena ada keperluan, teman yang saat itu baru kelar masak menawarkan makan di kostnya tapi berhubung saya masih kenyang saya jawab “ntar aja ya pas balik”. Teman saya ini merupakan salah satu orang Jawa yang koplak dan sudah akrab banget dengan saya karena kami sekelas hampir dua tahun. Singkat cerita urusan kami di luar sudah selesai dan kami langsung siap-siap untuk pulang. Tiba-tiba perutku terasa keroncongan dan ingat tadi sebelum keluar ditawarin makan, saya langsung bilang aja “An, saya lapar gak usah makan di luar ya makan di kostmu aja”, sontak teman saya tertawa dan bilang “Dasar kamu ya, kelamaan bergaul sama kamu aku ra jawani lagi ntar”, lalu kutanya “memangnya kenapa? Tadi kan kamu nawarin makan. Dari pada saya makan di luar mending makan di kostmu aja”, lalu kami berdua ketawa. Kemudian dijelasin kalau di Jawa itu meminta makan adalah hal yang tabu. 

Ada satu lagi cerita masih soal makan. Dulu ada teman yang lagi belajar di kost, kami belajar dari siang sampai malam. Malam harinya saya mengajaknya keluar untuk makan karena sudah lapar, tapi dia menolak dan bilang mau pulang ke kost aja dan makan di kost. Belakangan baru saya tau bahwa dia menolak untuk makan diluar waktu itu karena sedang tidak membawa uang dan mengatakan hal tersebut ternyata bukan sebuah kewajaran bagi sebagian orang Jawa. Padahal saya mah mikirnya waktu itu kita sudah akrab, sudah berteman lama, tinggal bilang aja sedang tidak membawa uang dengan ngomong seperti saya tidak akan mungkin membiarkannya pulang dan tidak ikut keluar makan.

Sudah ya soal makan, sudah terlalu banyak cerita hanya dari persoalan makanan hahaha. Kita beralih ke cerita yang lain. 

Kasus yang lain perihal memegang kepala, dalam pemahaman saya memegang kepala adalah bentuk kasih sayang, apalagi sampai mengelus-ngelus kepala tapi berbeda hal dengan orang Jawa. Di Jawa memegang kepala dianggap tidak sopan, dan seringkali kata-kata kepala dijadikan umpatan seperti “kepalamu”.

Tak ketinggalan cerita lagi-lagi pas di kostan. Saya tinggal di kost yang satu atap dengan pemilik kostan, lantai satu ditempati ibu kost sekeluarga sedang lantai dua dan tiga ditempati anak-anak kost. Pemilik kost tempat saya tinggal adalah orang Jogja, sangaat baik dan sering memberikan makanan kepada anak-anak kostan hehe, kami pun diberikan masing-masing dua kunci agar bebas keliar masuk meskipun sebenarnya ada aturan jam malam cuman sampai jam 9. Satu kunci kamar dan satu kunci rumah, kost saya memiliki pintu samping dan tangga di samping yang berada tepat di samping dapur ibu kost. Pernah beberapa kali saya pulang lewat dari jam 9 dan ketemu dengan ibu kost saat memasukkan motor pas waktu itu ibu kost lagi masak sesuatu di dapur, ibu lalu nanya “baru pulang mbak?” “Iya bu, tadi ngerjain tugas di luar sama teman-teman”, jawabku. Saat saya ceritakan kepada teman-teman ternyata jika diberikan pertanyaan tersebut itu merupakan sindiran halus untuk tidak sering pulang malam. Hahaha. Tapi bagaimanapun ibu kost tidak pernah marah sama sekali, selalu baik, ramah, dan pengertian. hihii

Ini menjadi cerita penutup gegar budaya yang saya alami ketika kuliah di Jogja. Persoalan menginap. Hampir setiap bulan saya selalu menerima tamu di kostan untuk menginap ada yang sehari, dua hari, bahkan ada yang berminggu-minggu. Hal tersebut bukan sebuah masalah bagi saya malah merasa senang karena ada teman ngobrol sebelum tidur. Ternyata bagi sebagian besar orang di Jawa hal tersebut bukan sebuah kewajaran, nginap itu maksimal tiga hari jika lebih dari tiga hari maka bukan numpang nginap lagi namanya tapi tinggal. Hahaha 

Dulu sih pas kuliah di Makassar pernah dapat materi tentang cross cultural understanding tentang perbedaan budaya tapi waktu itu yang diajarkan cuman fase-fase gegar budaya yang ketika baru datang akan merasa senang sekali karena melihat lingkungan baru terus bosen, homesick, lalu menyesuaikan diri. Nyatanya, saya tidak pernah merasa bosan dan homesick tapi gegar budaya yang saya alami kebanyakan tidak sopan dan memalukan. Hahahaha

Cerita-cerita di atas baru perihal kebiasaan. Perihal kata-kata sopan dan kasar stoknya lebih banyak. Untuk orang Sulawesi dan Sumatera sedikit banyak memiliki kesamaan baik dari penilaian kesopanan bahasa maupun intonasi saat bicara, tapi berbeda dengan orang Jawa. Kadang saat kami berbicara dengan cara yang biasa aja tak jarang malah dianggap kasar atau sedang marah-marah hahahaha

Sekian beberapa cerita yang saya alami selama dua tahun kuliah di Jogja, cerita yang penuh warna, kaya akan pengetahuan dan pengalaman, dan menambah banyak referensi tentang toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Kita berbeda tapi tidak lantas menjadikan kita terpecah belah, malah perbedaan tersebut bisa mengajarkan kami secara langsung untuk saling mengenal budaya satu sama lain.
22 Mei 2020

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...