Jumat, 31 Juli 2020

Flashback Ied Adha

Setiap hari lebaran selalu punya cerita masing-masing, apalagi saat sudah beranjak dewasa. Mencari pengalaman dari satu tempat ke tempat yang lain. Bertemu dengan orang yang berbeda-beda sudah pasti melahirkan nuansa yang berbeda pula.

Ied Adha 2015
Tahun 2015, saya berlebaran di Bintuni, Papua Barat. Waktu itu lagi ikut program mengajar di salah satu sekolah di Bintuni. Baru kali itu merasakan lebaran dengan nuansa yang jauh berbeda dari yang selama ini saya jalani. Suara takbir samar terdengar di asrama. Di Bintuni memang jarang ditemui masjid, berbeda dengan kota-kota lainnya. Maklum saja di sana mayoritas kristiani. Meski begitu, sama sekali tidak mengurangi khidmat lebaran.

Berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju ke lapangan, tempat diselenggarakannya sholat ied. Berangkat bareng teman mengajar dan anak-anak yang beragama islam yang memilih berlebaran di asrama. Konyolnya lagi saya dengan sok gayanya memakai wedges yang ternyata jalan yang ditempuh tidak dekat, alhasil kaki pegel-pegel. 

Suasana lebaran baru terasa sesampainya kami di lapangan, takbir terdengar dengan lantang, serta suasana kampung halaman seolah hadir. Sebagian besar yang ada di lokasi menggunakan bahasa Bugis, jadi persis dengan suasana lebaran di kampung. Maklum aja ya, orang Bugis itu orang perantau jadi gak heran kalau ketemu dengan sesama orang Bugis ketika berada di perantauan.

Sama seperti prosesi lebaran pada umumnya, sholat ied didirikan, lalu dilanjutkan dengan khutbah, selesai khutbah saling bermaaf-maafan lalu pulang ke asrama. Ketika sampai di asrama kami bersegera memasak mie yang ada di dapur, lalu tak lama kemudian ada panggilan makan di rumah guru. Gurunya rata-rata berasal dari Jawa dan ada yang dari Madura. Merasakan suasana lebaran di perantauan.

Barulah keesokan harinya kami masak-masak besar, kami kebagian daging kurban jadi bisa nyate bareng anak-anak. Oh iya, anak-anak yang kristiani pun berdatangan ke asrama jadi kami ramai-ramai nyate. Suasananya sangat hangat meskipun kami minoritas. Merasakan indahnya toleransi. Dan anak-anak kompak membuat kami merasakan kehangatan suasana rumah.

Banyaknya stigma-stigma yang sempat saya dengar sebelum ke Bintuni luntur ketika saya sudah berbaur dengan anak-anak, dengan masyarakat. Mereka sangat baik, sangat toleran, dan sangat menghargai kami dalam menjalankan ibadah kami. Suasana hangat yang sempat saya rasakan ketika berada di Bintuni membuat saya hingga detik ini pun selalu rindu dengan suasana Papua, selalu sedih ketika melihat banyaknya berita-berita rasisme yang terjadi di Papua, selalu panas mata ini saat mendengar berita tentang Papua. Merasa begitu sayang dengan anak-anak di sana.  
 Makan di rumah Guru




 Nyate di Asrama

Idul adha 2016
Tahun 2016 saya bersama keluarga lebaran di Makassar. Makassar adalah kota tempat saya menghabiskan masa remaja. Saya baru tinggal di Makassar ketika sekolah SMA, tepatnya pada tahun 2007. Keluarga besar tinggalnya di kampung halaman (Soppeng) bukan di Makassar. Saat lebaran di Makassar suasana lebaran seperti biasanya. Suara takbir terdengar di mana-mana. Namun, banyak tradisi yang tidak kami lakukan. Seperti selamatan, silaturahmi ke rumah keluarga, pindah dari rumah ke rumah untuk makan setelah sholat ied dilaksanakan.

Sepulang dari sholat ied kami sekeluarga pulang ke rumah dan makan masakan yang sudah dimasak malam sebelumnya. Setelah itu istirahat dan tidur. Kami jarang silaturahmi ke tetangga saat lebaran di Makassar. Rata-rata orang pulang ke kampung halaman setiap lebaran tiba. Sesuatu yang paling berarti adalah lebaran dan berkumpul bersama keluarga.

Idul adha 2017 & 2018
Tahun 2017 & 2018, dua tahun berturut-turut saya lebaran di Jogja. Waktu itu masih sementara kuliah. Dan libur lebaran idul adha liburnya hanya sehari, pas hari H lebaran. Jadi tidak ada niat dan tidak kepikiran untuk pulang kampung. Disamping itu memang mau merasakan suasana lebaran di perantauan.

Tahun 2017, lebaran pertama di Jogja. Lebarannya di masjid komplek, dekat dengan kostan. Maklum waktu itu belum punya banyak teman, baru sekitar sebulan tinggal di Jogja. Berangkat ke masjid bareng teman-teman kostan. Beruntungnya lagi saya satu kostan kebanyakan mahasiswi dari Sulawesi. Jadi kami tetap berusaha membangun suasana “rumah” meskipun jauh dari rumah.

Kami berangkat ke masjid seperti biasanya ketika berada di kampung halaman dan memasak masakan khas daerah untuk tetap menghadirkan suasana rumah. Saya menyadari bahwa ternyata memang kita akan selalu merindukan sesuatu yang selama ini sering kita jalani. Apalagi pada moment-moment spesial seperti lebaran. Waktu di mana menjadi ajang kumpul keluarga.

Salah satu hal lain yang kusyukuri ketika di Jogja saya punya ibu dan bapak kost yang sangat baik. Berlaku selayaknya orang tua bagi kami. Setiap lebaran tiba ibu kost tidak pernah absen memberikan kami makanan dan daging qurban.

Tahun 2018, lebaran idul adha kedua di Jogja. Saat itu saya sudah memiliki banyak teman. Saya bersama teman-teman sholat di Lapangan Pancasila, di halaman Grha Sabha Pramana UGM. Kami melaksanakan sholat idul adha seperti biasanya. Selepas sholat kami pergi mencari makan. Di sepanjang jalan Kaliurang tersedia berbagai makanan yang siap menemani hari lebaran kami. Siang harinya, kami berangkat ke Klaten. Salah satu rumah teman kami. Di sana kami makan-makan dengan nuansa lebaran. Berbagai jenis makanan lebaran khas Jawa dihidangkan. 
Lebaran bersama teman-teman kost
Lebaran bersama teman-teman 

Idul Adha 2019
Pada tahun 2019 saya ikut ke rumah salah satu teman baikku ke Bekasi dan lebaran di sana. Pada saat hari lebaran tiba kami berbondong-bondong menuju ke masjid. Rumah teman saya berada di kampung jadi suasana kampung pun terasa. Masyarakat saling kenal satu sama lain. Di kampung teman saya tersebut juga masih kental dengan nuansa pesantren. Jadi saat selesai sholat kami satu persatu menyalami ibu nyai, istri dari pak kyai, atau guru yang sangat dihormati di kampung tersebut. Baru setelah itu saling bersalam-salaman satu sama lain.

Mungkin karena waktu itu lebaran idul adha jadi suasananya tidak seramai dan seheboh saat sholat idul fitri. Di rumah teman saya di Bekasi tersebut tidak ada acara selamatan dan acara potong-potong ayam seperti yang biasa saya rasakan ketika di rumah. Jadi ritualnya hanya lebaran lalu kami lanjut makan lontong sayur. Sesuatu yang berbeda, pengalaman, dan cerita berbeda dari yang biasa saya temui ketika di rumah. Satu hal yang unik yang saya depatkan ketika di Bekasi. Di rumah teman saya tersebut ketika kami sudah pulang dari sholat ied, lalu dilanjutkan dengan saweran. Sawerannya itu tuan rumah melemparkan uang koin dan permen yang nantinya akan dipungut oleh orang-orang yang berada di sekitar rumah tersebut.

Siang harinya, salah satu teman yang juga orang Sulawesi memanggil ke rumahnya untuk makan. Rumahnya berada di Bogor. Jadi kami pun berangkat ke Bogor dan di sana saya menemui nuansa rumah. Ada masakan konro, ada buras, ketupat, sate, dan makanan khas Sulawesi. Sebenarnya bukan fokus ke makanannya sih. Tapi lebih ke nuansanya. Ternyata sejauh apapun kaki saya melangkah, saya selalu merindukan suasana rumah. kebiasaan yang selalu saya lakukan dan dapatkan ketika berada di rumah.


Idul Adha 2020
Meskipun banyak hal yang tidak menyenangkan dengan adanya Covid-19 ini. Tapi banyak juga hal yang bisa saya syukuri. Salah satunya karena adanya Covid saya akhirnya tinggal di kampung halaman dalam rentan waktu yang cukup lama. Dan Alhamdulillah berkesempatan untuk lebaran di rumah.

Suasana lebaran yang sejak kecil saya dapatkan, dan memori tentang lebaran yang penuh dengan “kehebohan” saya dapatkan kembali. Ini mungkin terlihat lebay, tapi kenyataannya memang seperti itu. Di Sulawesi lebaran terkadang jadi ajang untuk “bersolek”. Memakai pakaian dan mukenah terbaik. Pada saat lebaran tiba berbagai model dan warna mukena dapat dengan mudah kita lihat. Sebagian besar orang memakai mukena terbaiknya.
Kebiasaan seperti ini yang membuat saya “jetlag” ketiga lagi di Bintuni. Karena terbiasa memakai sesuatu yang terbaik saat lebaran jadi saat di Bintuni pun saya mencoba melakukan hal yang sama. Jatuhnya konyol karena memakai wedges dan ternyata harus berjalan jauh. Ketika di Jogja saya sudah menyesuaikan untuk biasa-biasa saja karena mayoritas teman-teman juga biasa-biasa aja, tidak ada yang berlebihan. Hahaha

Lanjut, selain suasana lebaran. Sesuatu yang kadang saya kesalkan tapi dirindukan ketika lagi jauh dari rumah adalah baca-baca atau selamatan. Sehari sebelum hari lebaran atau pas hari H lebaran pasti selalu ada tradisi mabbaca. Menghidangkan begitu banyak makanan (ayam berbagai varian seperti manu’ likku, opor ayam, ayam goreng, telur rebus, sup, udang goreng, ikan goreng, peco’, nasi, buras, sare’ settung, gogos) dan memanggil para tetangga untuk datang makan. 

Uniknya lagi setiap rumah melakukan tradisi mabbaca dengan varian makanan yang hampir sama. Jadi hari lebaran adalah hari di mana kita akan silaturahmi di rumah para tetangga dan menyantap makanan yang hampir sama. Suasana yang selalu saya rindukan setiap kali lebaran jauh dari rumah.
Ini adalah beberapa cerita lebaran di berbagai lokasi dengan rasa yang berbeda dan tradisi yang berbeda.


Makanan lebaran

Oh iya, karena pernah merantau jadi saya akhirnya bisa tau kenapa orang-orang perantau biasanya bela-belain pulang kampung demi untuk berkumpul bersama keluarga, meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Karena pernah merantau saya akhirnya bisa menghargai tradisi dan suasana kebersamaan ketika berada di kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga. Ternyata sesuatu yang hilang dan berbeda dari yang selama ini saya jalani rasanya pun nano nano.

Satu hal yang saya gak bisa relate meskipun sering diceritain oleh teman-teman adalah pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang sering ditanyakan oleh keluarga dan tetangga. Kayak “kapan lulus, kerja di mana, kapan nikah”? Alhamdulillah sih di kampung halaman saya bertetangga dengan keluarga. Dan tidak ada yang pernah melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering dianggap menyebalkan. That’s why saya selalu merasakan rindu sauasana rumah dan kampung. Karena suasananya hangat dan tidak mesti merasakan dongkol di hari lebaran karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan basa basi.

Selamat lebaran, selamat berkumpul bersama keluarga yang berkesempatan lebaran di rumah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...