Jumat, 10 Juli 2020

Covid


Sudah hampir 5 bulan tinggal di rumah menghamba kepada pemerintah untuk tetap di rumah aja, terkadang bosan, terkadang acak awut tak karuan. Karena aku masih percaya bahwa monster tak kasat mata itu benar adanya. Aku tak pernah khawatir dengan diriku sendiri, aku masih muda, aku tidak memiliki penyakit bawaan, sistem imunku insyaallah kuat. Tapi aku khawatir dengan keluargaku, dengan orang tuaku yang sudah memasuki usia ½ abad. Aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika ada sesuatu yang terjadi dengan orang tuaku karena aku.

Bahkan ke Makassar pun aku enggan, meskipun banyak teman yang mengajak untuk keluar dengan dalih masyarakat sudah kebal korona. Ya, gapapa orang-orang itu merasa kebal korona, aku gak, aku masih takut, aku akan tetap memilih di rumah saja meskipun bosan melanda demi orang tuaku, demi keluargaku yang sudah tua.

Saban hari aku melihat postingan @Ladrinaline di twitter. Sebuah thread yang membahas tentang salah satu sanak keluarganya yang terkena Covid. Utasnya seperti ini “Beberapa waktu ini bertanya is covid real or not? Sambil tetap di rumah dan jalanin protokol covid waktu keluar. Sampe om gue sendiri positif dan malam ini meninggal karena covid. Kata dokternya mungkin separuh atau lebih populasi manusia pernah kena covid. Cuman karena imun berbeda, beberapa orang cuman demam/batuk ringan, terutama yang muda dan gak ada penyakit bawaan. That’s why kita ini aman ketika terpapar. Imun bisa ngelawan, tapi lain ceritanya ketika kita jadi carrier. Bawa ke keluarga, ke ortu yang punya penyakit bawaan atau anak kecil yang masih rentan. Merekalah yang terkena dampak paling besar. Ga ada yang mau jadi penyebab sakit/kematian seseorang kan? Watching my uncle dying is the price for me to finally realize that it is real. Sebuah thread yang singkat tapi lumayan besar memberikan pelajaran.

Tadi pagi selepas sarapan mama mengajakku berbincang. Beliau bercerita dengan pelan bahwa salah satu anggota keluarga yang sekarang berada di Makassar yang belakangan diketahui sedang masuk rumah sakit ternyata dinyatakan positif Covid. Aku tersentak mendengarnya. Apalagi kutau keluarga yang diceritakan tersebut sudah tua dan memiliki banyak penyakit bawaan. Dan seperti ketakutanku tadi pagi, ya, sore ini beliau dikabarkan meninggal. 

Setiap manusia sudah ditakdirkan untuk meninggal di waktu yang sudah dituliskan oleh-Nya. Kita tidak bisa hanya berdalih kalau sudah waktunya meninggal ya meninggal. Iya memang benar, tapi kita sebagai manusia diberikan kesempatan untuk berikhtiar setelah itu baru memaksimalkan berdoa. Kita memiliki kesempatan untuk menghindari sesuatu yang sudah kita ketahui sebelumnya akan berdampak fatal yang tidak hanya membuat seseorang jatuh sakit tapi juga bisa sampai meninggal, ya Covid 19. Monster kecil yang tak kasat mata tapi mematikan.

Anjuran di rumah aja harus tetap dipatuhi jika tidak memiliki kepentingan yang terlalu mendesak untuk keluar rumah, tahan dulu untuk keluar rumah hanya karena dalih bosan dan ingin mencari hiburan. Setidaknya kalau tidak peduli dengan keselamatan diri sendiri, pedulilah dengan keselamatan keluarga. Kalau pun terpaksa harus keluar demi untuk mencari nafkah tetap patuhi protokol kesehatan agar bisa meminimalisir terpapar Covid. Jangan sampai jadi carrier,jangan menunggu ada salah satu anggota keluarga yang kena baru sadar kalau Covid ini nyata adanya.

Meskipun terkadang kesal dengan aturan pemerintah yang tidak tegas, anjuran di rumah aja terus digalakkan tapi pemerintah juga tetap membuka tempat wisata, gapapa. Itu adalah sesuatu yang gak bisa kita kontrol. Yang bisa kita kontrol adalah emosi dan hasrat kita untuk keluar rumah. Sabar aja sedikit lagi, semoga ini semua segera berlalu dan kita bisa keluar rumah tanpa beban dan ketakutan lagi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...