Belakangan,
marak isu tentang kesehatan mental atau mental
health. Banyak praktisi yang concern di
bidang ini. Mencoba untuk memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan.
Membuka ruang diskusi dan konsultasi untuk membantu orang-orang keluar dari “sakit
mental” yang dialami.
Tapi,
tak sedikit pula orang-orang yang awalnya baik-baik aja tiba-tiba “menjadi
sakit” karena adanya glorifikasi tentang masalah kesehatan mental. Banyak orang
yang melakukan self-diagnose yang
mana hal ini sangat-sangat berbahaya. Berbagai tulisan maupun video yang
digaungkan oleh para praktisi mental
health untuk tidak melakukan self-diagnose.
Hal tersebut tidak mengurangi angka orang-orang yang merasa dirinya mengalami
gangguan mental tanpa pernah ke profesional, hanya berdasarkan ciri-ciri yang
dibaca melalui laman pencarian google.
Saya
merasa bahwa semenjak populernya istilah mental
health belakangan ini, banyak orang yang awalnya baik-baik aja kemudian
tiba-tiba mempermasalahkan hidupnya. Mengorek segala luka dan masa lalu.
Menyalahkan orang-orang yang pernah menyakitinya di masa lalu meskipun
sebenarnya luka itu sudah lama hilang dan sembuh.
Semacam
ada trigger untuk menguak semua
masalah yang pernah dialami. Salah satunya tentang permasalahan pola asuh.
Banyak yang kemudian menyalahkan orang tuanya yang dianggap salah dalam
mengasuh dan mendidik. Tapi, yang tidak bisa kita acuhkan adalah pola asuh
orang tua adalah produk dari orang tuanya yang kemudian dilanjutkan dengan
memakai cara yang sama kepada anak-anaknya.
Tidak
bisa sepenuhnya disalahkan, mereka kurang ilmu tentang itu, mereka menggunakan
cara yang mereka tau. Seharusnya, ketika kita merasa sudah paham bahwa pola
asuh tersebut, pola asuh yang kita dapat dari orang tua kita adalah pola asuh
yang salah kita bisa memutus rantai pola asuh yang kita anggap salah tersebut.
Tanpa harus menyalahkan orang tua akan sesuatu yang pernah dilakukan kepada kita.
Seperti
banyak hal di dunia ini, isu mental
health pun punya dua sisa. Sisi yang satu melihat bahwa ada dampak positif
dengan menyadari ada luka masa lalu yang pernah dialami, dengan menyadari akan
hal tersebut kita pada akhirnya bisa mencari “pertolongan” untuk mengobati luka
tersebut. Sisi yang lain melihat bahwa banyak yang sebenarnya baik-baik aja
tapi karena adanya glorifikasi tentang pembahasan ini banyak orang yang self-diagnose, mempermasalahkan hidupnya,
menjadi seseorang yang playing victim,
dan menyalahkan banyak pihak yang dianggap berkontribusi membuat hidupnya
berantakan.
Semoga
siapapun kamu, yang saat ini merasa sedang tidak baik-baik saja, luka masa lalu
mengganggu stabilitas hidupmu saat ini, segera cari pertolongan. Cerita ke
teman-teman yang bisa kamu percaya, kalau perlu segera ke professional. Segala luka
harus diobati, agar tidak menjadi beban berkepanjangan yang nantinya bisa berdampak
kepada diri sendiri dan keluarga baru yang kita bangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar