Rabu, 22 Juli 2020

Triggers


Belakangan, marak isu tentang kesehatan mental atau mental health. Banyak praktisi yang concern di bidang ini. Mencoba untuk memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Membuka ruang diskusi dan konsultasi untuk membantu orang-orang keluar dari “sakit mental” yang dialami.

Tapi, tak sedikit pula orang-orang yang awalnya baik-baik aja tiba-tiba “menjadi sakit” karena adanya glorifikasi tentang masalah kesehatan mental. Banyak orang yang melakukan self-diagnose yang mana hal ini sangat-sangat berbahaya. Berbagai tulisan maupun video yang digaungkan oleh para praktisi mental health untuk tidak melakukan self-diagnose. Hal tersebut tidak mengurangi angka orang-orang yang merasa dirinya mengalami gangguan mental tanpa pernah ke profesional, hanya berdasarkan ciri-ciri yang dibaca melalui laman pencarian google.

Saya merasa bahwa semenjak populernya istilah mental health belakangan ini, banyak orang yang awalnya baik-baik aja kemudian tiba-tiba mempermasalahkan hidupnya. Mengorek segala luka dan masa lalu. Menyalahkan orang-orang yang pernah menyakitinya di masa lalu meskipun sebenarnya luka itu sudah lama hilang dan sembuh.

Semacam ada trigger untuk menguak semua masalah yang pernah dialami. Salah satunya tentang permasalahan pola asuh. Banyak yang kemudian menyalahkan orang tuanya yang dianggap salah dalam mengasuh dan mendidik. Tapi, yang tidak bisa kita acuhkan adalah pola asuh orang tua adalah produk dari orang tuanya yang kemudian dilanjutkan dengan memakai cara yang sama kepada anak-anaknya.

Tidak bisa sepenuhnya disalahkan, mereka kurang ilmu tentang itu, mereka menggunakan cara yang mereka tau. Seharusnya, ketika kita merasa sudah paham bahwa pola asuh tersebut, pola asuh yang kita dapat dari orang tua kita adalah pola asuh yang salah kita bisa memutus rantai pola asuh yang kita anggap salah tersebut. Tanpa harus menyalahkan orang tua akan sesuatu yang pernah dilakukan kepada kita.

Seperti banyak hal di dunia ini, isu mental health pun punya dua sisa. Sisi yang satu melihat bahwa ada dampak positif dengan menyadari ada luka masa lalu yang pernah dialami, dengan menyadari akan hal tersebut kita pada akhirnya bisa mencari “pertolongan” untuk mengobati luka tersebut. Sisi yang lain melihat bahwa banyak yang sebenarnya baik-baik aja tapi karena adanya glorifikasi tentang pembahasan ini banyak orang yang self-diagnose, mempermasalahkan hidupnya, menjadi seseorang yang playing victim, dan menyalahkan banyak pihak yang dianggap berkontribusi membuat hidupnya berantakan.

Semoga siapapun kamu, yang saat ini merasa sedang tidak baik-baik saja, luka masa lalu mengganggu stabilitas hidupmu saat ini, segera cari pertolongan. Cerita ke teman-teman yang bisa kamu percaya, kalau perlu segera ke professional. Segala luka harus diobati, agar tidak menjadi beban berkepanjangan yang nantinya bisa berdampak kepada diri sendiri dan keluarga baru yang kita bangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...