Sabtu, 01 Agustus 2020

Usia Senja


Masih dalam nuansa lebaran. Setiap hari H lebaran, masyarakat di kampungku berbondong-bondong ke masjid atau lapangan. Namun, beberapa tahun belakangan semenjak masyarakat semakin ramai dan tidak lagi mampu ditampung di masjid, lapangan menjadi pilihan untuk dijadikan lokasi lebaran.
Tak ada yang berbeda dari tahun ke tahun. Sejak ingatanku sudah semakin jelas, barangkali di usiaku yang sudah menginjak bangku sekolah dasar. Aku mengingat ritual setiap hari lebaran tiba masih selalu itu itu saja. Orang yang berdiri memberikan pengumuman dan me-remind tata cara sholat ied masih itu-itu juga.

Saya bahkan sudah hafal muka orang yang selalu berdiri setiap hari lebaran tiba sebelum sholat ied ditunaikan. Bahkan sampai detailnya pun saya sudah menghafal apa yang mau disampaikan. Ketika sholat ied adha ceramahnya pun dapat dipastikan tidak jauh-jauh dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Tak banyak yang berbeda.

Kemarin, saat menunggu waktu sholat ied. Mataku menyapu setiap sudut lapangan. Melihat orang-orang yang mulai berdatangan dan menempati shaf yang sudah dibatasi garis oleh pengurus masjid, agar tetap melaksanakan protokol kesehatan. Anak-anak yang dulunya masih bocah, yang dulunya sering berlarian kesana kemari saat orang-orang hendak sholat sekarang sudah beranjak dewasa, bahkan sudah ada yang membawa anak. Bapak-bapak, ibu-ibu yang dulunya masih segar sekarang bahkan sudah ada yang menggunakan tongkat. Ada yang jalannya sudah tidak setegak dulu. Bahkan ada yang sudah tidak kelihatan lagi karena sudah kembali kepada-Nya.

Sejenak kumerenung, tak sadar mataku panas dan bulir-bulir air keluar dari pelupuk mataku. Saya terkadang tak sadar bahwa waktu berputar terus ke kanan. Setiap manusia punya batas waktu di dunia ini. Yang dulunya muda tak akan selamanya muda. Waktu akan membuatnya menjadi tua. Yang dulunya sudah tua sekarang sudah renta bahkan beberapa tinggal nama.

Dunia hanyalah tempat persinggahan, tempat mengisi bekal untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Ibarat pergantian siang dan malam. Hidup itu dimulai saat fajar mulai menyingsing dan berakhir saat senja sudah mulai redup. Tak ada yang abadi kecuali amal kebaikan yang kita tabung. Amal kebaikan tidak berbentuk materi, tidak bisa dikalkulasikan dalam hitungan matematis. Selagi masih ada waktu untuk menabung amal kebaikan, selama itu pula kita harus bisa memanfaatkan waktu dengan baik sampai akhirnya kita redup bersama senja.

Tak ada yang benar-benar tau waktu kita ada di dunia yang fana ini. Kita boleh mengejar dunia. Kita boleh berambisi ini dan itu. Tapi yang harus kita ingat, kita tidak selamanya hidup, kita tidak selamanya segar bugar, kita tidak selamanya sehat. Apa yang kita miliki saat ini entah itu kesehatan, jabatan, umur panjang, strata pendidikan semua itu hanya titipan, hanya pinjaman. Pada akhirnya kelak kita akan kembali kepada-Nya dan tidak akan membawa apapun sesuatu yang kita perjuangkan mati-matian selama hidup di dunia, kecuali amal kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...