Beberapa hari yang lalu, dalam keadaan gabut saya membuka kanal youtube, di timeline saya muncul video Gitasav yang berjudul Kenapa Harus Malu. Video yang berdurasi 13 menit tersebut seakan menyuarakan suara hati saya selama ini. Jadi saya tertarik untuk mengulas isi video tersebut sekaligus bercerita satu dua pengalaman saya yang relate dengan isi video.
Dalam budaya kita yang penuh dengan standar-standar norma yang berlaku di masyarakat, memaksa kita suka tidak suka, mau tidak mau akhirnya terkungkung dalam standar sosial yang dibuat secara kaku oleh masyarakat. Entah sejak kapan dan siapa yang mempelopori hal tersebut. Seseorang yang keluar dari social norm tersebut akan dicap dengan berbagai macam label. Anehlah, berbedalah, atau tidak normal.
Social norm atau norma sosial adalah sebuah kebiasaan umum yang menjadi norma prilaku dalam suatu masyarakat. Spesifiknya sesuatu yang bisa diterima dan gak bisa diterima serta yang pantas dan tidak pantas.
Social norm bukan sesuatu yang salah. Tetapi yang jadi masalah jika social norms tersebut sudah menyinggung masalah personal yang seharusnya gak ada standarnya. Misalkan tentang sakit yang diderita, keluarga, pekerjaan, dan urusan financial.
Masyarakat kita memiliki banyak standar untuk berbagai aspek. Sebut saja aspek keluarga. Keluarga yang dianggap ideal dalam masyarakat kita adalah keluarga dengan satu bapak, satu ibu, memiliki anak-anak, dan harus akur. Layaknya keluarga ideal dalam negeri dongeng. Kenyataannya setiap keluarga memiliki dramanya tersendiri dan itu adalah sesuatu yang normal.
Tapi karena adanya standar-standar ini, seseorang yang berasal dari keluarga dengan kondisi yang tidak ideal akan malu untuk bercerita dan memperkenalkan keluarganya. Apalagi yang orang tuanya bercerai, orang tuanya selingkuh, atau dalam kondisi lain keluarga yang tidak memiliki anak.
Kondisi-kondisi tersebut dalam masyarakat kita terkadang dianggap sebagai sebuah aib. Dan yang mengalami kondisi tersebut akhirnya tertekan karena tidak mampu memenuhi standar yang ada dalam masyarakat.
Mungkin kita semua familiar dengan stigma yang dialamatkan kepada mereka-mereka yang keluarganya tidak ideal menurut social norms. Stigma seperti keluarga yang tidak bener, anaknya akan mengalami hal yang sama dengan orang tua seperti dalam kasus perceraian, dan banyak stigma-stigma buruk lainnya yang ditujukan kepada mereka-mereka dengan kondisi keluarga yang berantakan. Padahal sebenarnya bukan urusan kita juga mengurusi kehidupan pribadi orang lain.
Aspek selanjutnya adalah pekerjaan. Kebanyakan persepsi masyarakat kita pekerjaan yang ideal adalah pekerjaan yang memiliki kantor yang jelas, pergi pagi pulang sore, menggunakan sepatu, seragam yang rapi, dan penampilan yang necis.
Kenyataannya sekarang ini banyak sekali pekerjaan yang tidak harus dikerjakan dari kantor, tidak mesti pergi pagi pulang pagi, tidak harus memakai pakaian rapi, bisa dikerjakan dari rumah. Namun, lagi-lagi karena pekerjaan tersebut bukan sesuatu yang “normal” di masyarakat. Terkadang orang yang bekerja dari rumah dianggap pengangguran. Padahal ya setiap orang itu punya hak untuk memilih pekerjaan untuk supporting financial mereka yang penting pekerjaannya halal.
Aspek yang sering membuat malu lainnya adalah perihal penyakit. Jarang sekali orang yang mau bercerita mengenai penyakit yang diderita. Karena khawatir tidak diterima oleh masyarakat, akan dijauhi, akan dicibir. Padahal ya siapa sih orang yang mau sakit, semua orang mau sehat. Sakit merupakan hal yang normal dan seharusnya tidak memiliki standar sosial.
Ada yang malu karena gagal menikah. Menyakitkan sih ini. Sudah gagal menikah harus menanggung tekanan batin juga dari masyarakat. Siapa sih orang yang mau gagal. Pasti ada satu dua alasan yang membuat calon pengantin memutuskan untuk membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan. Dan bukan urusan kita untuk mengurusi hal tersebut, mencibir, menggosipi, dan menghakimi keputusan-keputusan yang diambil orang lain. Berikan mereka ruang aman untuk bercerita. Jangan sampai mereka tertekan karena gagal, double tertekan lagi karena banyaknya stigma dari masyarakat yang bisa jadi berdampak ke kesehatan mental mereka.
Banyak sekali hal yang membuat seseorang malu untuk cerita, malu untuk terbuka dengan orang lain, malu karena tidak bisa mencapai social norm yang ada di masyarakat. Menyederhanakan kompleksitas dalam aspek kehidupan akan sangat merugikan terutama ketika individu tertekan karena tidak bisa memenuhi standar yang dianggap ideal. Dampaknya dipendam dan hal tersebut akan berpengaruh ke mental health.
Naturalnya manusia ingin selalu terlihat hebat, terlihat sempurna, terlihat ideal. Maka jangan heran, linimasa kita akan dipenuhi dengan postingan-postingan pencapaian, kesuksesan, ketawa ketiwi, liburan, serta kehidupan yang ideal.
Kenapa harus malu?
Kita terkadang malu ketika mengalami sesuatu yang orang lain tidak alami. Kita malu ketika tidak bisa mencapai standar sosial masyarakat yang ideal. Kita malu untuk bercerita karena takut dengan banyaknya stigma.
Hal yang paling tidak enak dalam hidup adalah saat kita lagi ada masalah dan kita ngerasa sendirian. Kita ngerasa ada yang salah dalam diri kita. Kita ngerasa asing karena saat melihat orang lain kok hidupnya baik-baik aja. Kok dia selalu dapetin apa yang dia mau. Akhirnya muncul pemikiran-pemikiran negatif dalam diri kita.
Sebenarnya ketika kita mengorek-ngorek, mereka juga ada masalah dalam hidupnya mereka. Entah itu masalah keluarga, masalah dengan diri sendiri, atau masalah dengan teman.
Tapi kenapa mereka diam-diam aja? Kenapa nampak baik-baik aja dan nampak sebagai orang yang gak punya masalah. Kenapa gak pernah cerita? Jawaban yang sering ditemukan adalah “malu”. Karena dianggap aib.
Saya pernah mengalami masa post magister syndrome. Masa di mana ketika sudah wisuda merasa hidup saya useless. Melihat teman-teman lain sudah meniti karir, sudah berkeluarga, traveling kemana-mana, sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Untuk membesarkan hati, saya memutuskan untuk ngechat random ke beberapa orang yang saya anggap memiliki starting point yang sama dengan saya, juga ngechat ke orang-orang yang selama ini saya lihat hidupnya baik-baik aja.
Ternyata oh ternyata, saya cukup tercengang saat mereka mulai terbuka untuk bercerita. Apa yang selama ini nampak baik-baik saja ternyata bagaikan gunung es yang hanya kelihatan indah di puncaknya, tetapi menyimpan banyak keresahan di bawahnya.
Bahkan seseorang yang sudah di puncak karir, kelihatan punya keluarga yang harmonis, sudah mampu membeli rumah dan mobil, mereka juga tidak lepas dari masalah. Di satu aspek mungkin ideal, tapi di aspek-aspek yang lain mereka juga bermasalah.
Jadi ye, bapak-bapak, ibu-ibu, teman-teman sekalian. Tidak usah malu bercerita, tidak usah mempermasalahkan masalah orang lain. Karena belum tentu kita juga lebih baik. Kita juga punya masalah, kita juga punya keresahan, tetapi dalam ranah yang berbeda. Jadi menikmati hidup dengan sebaik-baiknya tanpa harus banyak mengurusi hidup orang lain ya.
Hidup ini memang terkadang begitu kejam. Hukuman sosial jauh lebih menyakitkan daripada hukum Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar