Jumat, 31 Juli 2020

Flashback Ied Adha

Setiap hari lebaran selalu punya cerita masing-masing, apalagi saat sudah beranjak dewasa. Mencari pengalaman dari satu tempat ke tempat yang lain. Bertemu dengan orang yang berbeda-beda sudah pasti melahirkan nuansa yang berbeda pula.

Ied Adha 2015
Tahun 2015, saya berlebaran di Bintuni, Papua Barat. Waktu itu lagi ikut program mengajar di salah satu sekolah di Bintuni. Baru kali itu merasakan lebaran dengan nuansa yang jauh berbeda dari yang selama ini saya jalani. Suara takbir samar terdengar di asrama. Di Bintuni memang jarang ditemui masjid, berbeda dengan kota-kota lainnya. Maklum saja di sana mayoritas kristiani. Meski begitu, sama sekali tidak mengurangi khidmat lebaran.

Berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju ke lapangan, tempat diselenggarakannya sholat ied. Berangkat bareng teman mengajar dan anak-anak yang beragama islam yang memilih berlebaran di asrama. Konyolnya lagi saya dengan sok gayanya memakai wedges yang ternyata jalan yang ditempuh tidak dekat, alhasil kaki pegel-pegel. 

Suasana lebaran baru terasa sesampainya kami di lapangan, takbir terdengar dengan lantang, serta suasana kampung halaman seolah hadir. Sebagian besar yang ada di lokasi menggunakan bahasa Bugis, jadi persis dengan suasana lebaran di kampung. Maklum aja ya, orang Bugis itu orang perantau jadi gak heran kalau ketemu dengan sesama orang Bugis ketika berada di perantauan.

Sama seperti prosesi lebaran pada umumnya, sholat ied didirikan, lalu dilanjutkan dengan khutbah, selesai khutbah saling bermaaf-maafan lalu pulang ke asrama. Ketika sampai di asrama kami bersegera memasak mie yang ada di dapur, lalu tak lama kemudian ada panggilan makan di rumah guru. Gurunya rata-rata berasal dari Jawa dan ada yang dari Madura. Merasakan suasana lebaran di perantauan.

Barulah keesokan harinya kami masak-masak besar, kami kebagian daging kurban jadi bisa nyate bareng anak-anak. Oh iya, anak-anak yang kristiani pun berdatangan ke asrama jadi kami ramai-ramai nyate. Suasananya sangat hangat meskipun kami minoritas. Merasakan indahnya toleransi. Dan anak-anak kompak membuat kami merasakan kehangatan suasana rumah.

Banyaknya stigma-stigma yang sempat saya dengar sebelum ke Bintuni luntur ketika saya sudah berbaur dengan anak-anak, dengan masyarakat. Mereka sangat baik, sangat toleran, dan sangat menghargai kami dalam menjalankan ibadah kami. Suasana hangat yang sempat saya rasakan ketika berada di Bintuni membuat saya hingga detik ini pun selalu rindu dengan suasana Papua, selalu sedih ketika melihat banyaknya berita-berita rasisme yang terjadi di Papua, selalu panas mata ini saat mendengar berita tentang Papua. Merasa begitu sayang dengan anak-anak di sana.  
 Makan di rumah Guru




 Nyate di Asrama

Idul adha 2016
Tahun 2016 saya bersama keluarga lebaran di Makassar. Makassar adalah kota tempat saya menghabiskan masa remaja. Saya baru tinggal di Makassar ketika sekolah SMA, tepatnya pada tahun 2007. Keluarga besar tinggalnya di kampung halaman (Soppeng) bukan di Makassar. Saat lebaran di Makassar suasana lebaran seperti biasanya. Suara takbir terdengar di mana-mana. Namun, banyak tradisi yang tidak kami lakukan. Seperti selamatan, silaturahmi ke rumah keluarga, pindah dari rumah ke rumah untuk makan setelah sholat ied dilaksanakan.

Sepulang dari sholat ied kami sekeluarga pulang ke rumah dan makan masakan yang sudah dimasak malam sebelumnya. Setelah itu istirahat dan tidur. Kami jarang silaturahmi ke tetangga saat lebaran di Makassar. Rata-rata orang pulang ke kampung halaman setiap lebaran tiba. Sesuatu yang paling berarti adalah lebaran dan berkumpul bersama keluarga.

Idul adha 2017 & 2018
Tahun 2017 & 2018, dua tahun berturut-turut saya lebaran di Jogja. Waktu itu masih sementara kuliah. Dan libur lebaran idul adha liburnya hanya sehari, pas hari H lebaran. Jadi tidak ada niat dan tidak kepikiran untuk pulang kampung. Disamping itu memang mau merasakan suasana lebaran di perantauan.

Tahun 2017, lebaran pertama di Jogja. Lebarannya di masjid komplek, dekat dengan kostan. Maklum waktu itu belum punya banyak teman, baru sekitar sebulan tinggal di Jogja. Berangkat ke masjid bareng teman-teman kostan. Beruntungnya lagi saya satu kostan kebanyakan mahasiswi dari Sulawesi. Jadi kami tetap berusaha membangun suasana “rumah” meskipun jauh dari rumah.

Kami berangkat ke masjid seperti biasanya ketika berada di kampung halaman dan memasak masakan khas daerah untuk tetap menghadirkan suasana rumah. Saya menyadari bahwa ternyata memang kita akan selalu merindukan sesuatu yang selama ini sering kita jalani. Apalagi pada moment-moment spesial seperti lebaran. Waktu di mana menjadi ajang kumpul keluarga.

Salah satu hal lain yang kusyukuri ketika di Jogja saya punya ibu dan bapak kost yang sangat baik. Berlaku selayaknya orang tua bagi kami. Setiap lebaran tiba ibu kost tidak pernah absen memberikan kami makanan dan daging qurban.

Tahun 2018, lebaran idul adha kedua di Jogja. Saat itu saya sudah memiliki banyak teman. Saya bersama teman-teman sholat di Lapangan Pancasila, di halaman Grha Sabha Pramana UGM. Kami melaksanakan sholat idul adha seperti biasanya. Selepas sholat kami pergi mencari makan. Di sepanjang jalan Kaliurang tersedia berbagai makanan yang siap menemani hari lebaran kami. Siang harinya, kami berangkat ke Klaten. Salah satu rumah teman kami. Di sana kami makan-makan dengan nuansa lebaran. Berbagai jenis makanan lebaran khas Jawa dihidangkan. 
Lebaran bersama teman-teman kost
Lebaran bersama teman-teman 

Idul Adha 2019
Pada tahun 2019 saya ikut ke rumah salah satu teman baikku ke Bekasi dan lebaran di sana. Pada saat hari lebaran tiba kami berbondong-bondong menuju ke masjid. Rumah teman saya berada di kampung jadi suasana kampung pun terasa. Masyarakat saling kenal satu sama lain. Di kampung teman saya tersebut juga masih kental dengan nuansa pesantren. Jadi saat selesai sholat kami satu persatu menyalami ibu nyai, istri dari pak kyai, atau guru yang sangat dihormati di kampung tersebut. Baru setelah itu saling bersalam-salaman satu sama lain.

Mungkin karena waktu itu lebaran idul adha jadi suasananya tidak seramai dan seheboh saat sholat idul fitri. Di rumah teman saya di Bekasi tersebut tidak ada acara selamatan dan acara potong-potong ayam seperti yang biasa saya rasakan ketika di rumah. Jadi ritualnya hanya lebaran lalu kami lanjut makan lontong sayur. Sesuatu yang berbeda, pengalaman, dan cerita berbeda dari yang biasa saya temui ketika di rumah. Satu hal yang unik yang saya depatkan ketika di Bekasi. Di rumah teman saya tersebut ketika kami sudah pulang dari sholat ied, lalu dilanjutkan dengan saweran. Sawerannya itu tuan rumah melemparkan uang koin dan permen yang nantinya akan dipungut oleh orang-orang yang berada di sekitar rumah tersebut.

Siang harinya, salah satu teman yang juga orang Sulawesi memanggil ke rumahnya untuk makan. Rumahnya berada di Bogor. Jadi kami pun berangkat ke Bogor dan di sana saya menemui nuansa rumah. Ada masakan konro, ada buras, ketupat, sate, dan makanan khas Sulawesi. Sebenarnya bukan fokus ke makanannya sih. Tapi lebih ke nuansanya. Ternyata sejauh apapun kaki saya melangkah, saya selalu merindukan suasana rumah. kebiasaan yang selalu saya lakukan dan dapatkan ketika berada di rumah.


Idul Adha 2020
Meskipun banyak hal yang tidak menyenangkan dengan adanya Covid-19 ini. Tapi banyak juga hal yang bisa saya syukuri. Salah satunya karena adanya Covid saya akhirnya tinggal di kampung halaman dalam rentan waktu yang cukup lama. Dan Alhamdulillah berkesempatan untuk lebaran di rumah.

Suasana lebaran yang sejak kecil saya dapatkan, dan memori tentang lebaran yang penuh dengan “kehebohan” saya dapatkan kembali. Ini mungkin terlihat lebay, tapi kenyataannya memang seperti itu. Di Sulawesi lebaran terkadang jadi ajang untuk “bersolek”. Memakai pakaian dan mukenah terbaik. Pada saat lebaran tiba berbagai model dan warna mukena dapat dengan mudah kita lihat. Sebagian besar orang memakai mukena terbaiknya.
Kebiasaan seperti ini yang membuat saya “jetlag” ketiga lagi di Bintuni. Karena terbiasa memakai sesuatu yang terbaik saat lebaran jadi saat di Bintuni pun saya mencoba melakukan hal yang sama. Jatuhnya konyol karena memakai wedges dan ternyata harus berjalan jauh. Ketika di Jogja saya sudah menyesuaikan untuk biasa-biasa saja karena mayoritas teman-teman juga biasa-biasa aja, tidak ada yang berlebihan. Hahaha

Lanjut, selain suasana lebaran. Sesuatu yang kadang saya kesalkan tapi dirindukan ketika lagi jauh dari rumah adalah baca-baca atau selamatan. Sehari sebelum hari lebaran atau pas hari H lebaran pasti selalu ada tradisi mabbaca. Menghidangkan begitu banyak makanan (ayam berbagai varian seperti manu’ likku, opor ayam, ayam goreng, telur rebus, sup, udang goreng, ikan goreng, peco’, nasi, buras, sare’ settung, gogos) dan memanggil para tetangga untuk datang makan. 

Uniknya lagi setiap rumah melakukan tradisi mabbaca dengan varian makanan yang hampir sama. Jadi hari lebaran adalah hari di mana kita akan silaturahmi di rumah para tetangga dan menyantap makanan yang hampir sama. Suasana yang selalu saya rindukan setiap kali lebaran jauh dari rumah.
Ini adalah beberapa cerita lebaran di berbagai lokasi dengan rasa yang berbeda dan tradisi yang berbeda.


Makanan lebaran

Oh iya, karena pernah merantau jadi saya akhirnya bisa tau kenapa orang-orang perantau biasanya bela-belain pulang kampung demi untuk berkumpul bersama keluarga, meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Karena pernah merantau saya akhirnya bisa menghargai tradisi dan suasana kebersamaan ketika berada di kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga. Ternyata sesuatu yang hilang dan berbeda dari yang selama ini saya jalani rasanya pun nano nano.

Satu hal yang saya gak bisa relate meskipun sering diceritain oleh teman-teman adalah pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang sering ditanyakan oleh keluarga dan tetangga. Kayak “kapan lulus, kerja di mana, kapan nikah”? Alhamdulillah sih di kampung halaman saya bertetangga dengan keluarga. Dan tidak ada yang pernah melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sering dianggap menyebalkan. That’s why saya selalu merasakan rindu sauasana rumah dan kampung. Karena suasananya hangat dan tidak mesti merasakan dongkol di hari lebaran karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan basa basi.

Selamat lebaran, selamat berkumpul bersama keluarga yang berkesempatan lebaran di rumah.  

Kamis, 30 Juli 2020

Air Untuk Warga Bentrokan

Dusun Bentrokan adalah salah satu dusun yang berada di Desa Wonolelo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dusun tersebut secara geografis masuk dalam wilayah Magelang dan berbatasan langsung dengan Boyolali.

Jika selama ini yang ada dibenak kita daerah pegunungan identik dengan air yang melimpah, sumber air bisa dengan mudah kita temukan di mana-mana. Berbeda dengan Dusun Bentrokan. Sumber air yang jauh menyulitkan warga untuk mengakses air bersih. Saat musim penghujan tiba itu adalah sebuah berkah bagi masyarakat, mereka dapat menampung air hujan yang bisa digunakan untuk memasak dan keperluan lainnya. Namun, saat musim kemarau tiba itu menjadi sebuah tantangan baru bagi masyarakat. Mereka harus membeli air untuk keperluan primer. Pengeluaran untuk hal lain akan sangat diminimalisir demi bisa membeli air. Pekerjaan warga setempat yakni pedagang ternak dan petani yang mana penghasilan mereka juga tidak menentu setiap hari dan setiap bulannya.

Ada beberapa sumber air yang dapat mereka akses. Pertama dari dusun sebelah. Namun kendalanya jarak dari sumber air ke Dusun Wonolelo dipisahkan oleh jurang. Jadi pipa yang digunakan untuk mengambil air berpotensi besar untuk pecah/rusak/bocor jika debit air sudah besar. Kedua sumber air dari Taman Nasional Gunung Merbabu, karena sumber air ini masuk dalam kawasan Taman Nasional saat ini warga masih mengurus berbagai perijinan agar bisa mengakses air dari mata air taman nasional. Ketiga sumber air dari sungai.

Beberapa lembaga swasta maupun organisasi kampus telah masuk ke Bentrokan untuk pengadaan air. Tapi selalu terkendala dengan jumlah KK yang kurang dari 100 dan dianggap belum masuk kualifikasi yang bisa dibantu, lebih tepatnya hanya ada 96 KK. Namun, meskipun jumlah KK yang kurang dari 100 di sana ada kehidupan. Di sana ada anak yang butuh air, ada orang tua yang butuh air, ada hewan ternak yang butuh air, ada tanaman yang butuh air. Air adalah sumber kehidupan.

Saat ini, kami sedang bergerak untuk mengadakan penggalangan dana di kitabisa.com untuk membantu masyarakat Dusun Bentrokan agar mereka dapat mengakses air bersih, apalagi saat seperti ini sudah mulai masuk musim kemarau. Uang dari penggalangan dana ini nantinya akan kami belikan pipa yang cocok digunakan untuk mengambil air dari sumber mata air dan akan dibelikan juga penampungan besar yang bisa dipakai oleh warga.

Teman-teman bisa berdonasi melalui http://bit.ly/gerakanairwonolelo.

Rabu, 29 Juli 2020

Sisi Indonesia

Sisi Indonesia yang kemudian kami singkat dengan SINESIA adalah sebuah gerakan sosial pendidikan yang diinisiasi oleh beberapa orang anak muda yang tergerak untuk bergerak. Kami sadar bahwa kami ingin perubahan dan kami ingin terlibat untuk melakukan perubahan tersebut dalam skala yang bisa kami jangkau. Gerakan yang kami buat berdasarkan kesadaran kolektif bahwa kita punya sumber daya, kita punya kekuatan, dan kemampuan saat ini maka dari itu kami bergerak.

Gerakan ini berfokus ke sosial pendidikan karena basic dari kami berlima cenderung ke dunia kerelawanan berbasis pendidikan. Kenapa pendidikan? Karena kami melihat bahwa kondisi pendidikan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dan kami ingin mengambil andil dalam ranah yang masih dalam kapasitas kami. Kenapa sosial? Karena pendidikan tidak bisa dipisahkan dari ranah sosial. Sosial dan pendidikan adalah satu paket yang tak terpisahkan. 

Adapun rencana ideal kami yang melatarbelakangi kenapa nama SINESIA ini muncul karena kami berharap bahwa gerakan ini tidak hanya berakhir di satu tempat, tapi akan merambah berbagai tempat di setiap sudut Indonesia. Jelas kami tidak bisa bergerak sendiri, maka dari itu kami mencari orang-orang yang mau bergerak bersama kami, mewujudkan visi misi dan tujuan yang kami rencanakan.

Lokasi awal yang kami pilih untuk bergerak adalah Dusun Bentrokan, Wonolelo, Magelang, Jawa Tengah. Kenapa kok di sana? Ada beberapa alasan kenapa Wonolelo menjadi lokasi awal kami. 

Alasan yang paling pertama adalah kami sudah pernah melakukan kegiatan di sana, masih banyak hal yang bisa kami kembangkan baik dari segi sosial maupun dari segi pendidikan, kami sudah mengenal masyarakatnya jadi tidak perlu memulai dari awal untuk pendekatan. 

Alasan kedua saat musim pandemi seperti ini kami tidak bisa ke mana-mana untuk melakukan survei karena kondisinya sangat riskan, di Wonolelo karena kami sudah pernah melakukan kegiatan di sana jadi kami memiliki kontak guru dan Pak Bayan yang bisa kami jadikan responden untuk pengumpulan data.

Alasan ketiga Wonolelo merupakan daerah yang masih bisa kami jangkau. Untuk saat ini, beberapa orang diantara kami masih berdomisili di pulau Jawa dan lebih spesifik lagi masih ada yang di Jogja, hal tersebut membuat mobilitas ke lokasi masih bisa berjalan lancar. 

Alasan yang tak kalah pentingnya adalah Wonolelo itu lokasinya di Jawa yang notabene masih dekat dengan ibu kota, sebagai sebuah gambaran nyata bahwa di Jawa aja kondisi pendidikan masih ada yang “tertinggal” apalagi daerah-daerah yang jauh dari ibu kota, jauh dari jangkauan pemerintah, dapat dipastikan banyak yang lebih “tertinggal” lagi. Hal tersebut bisa menyadarkan kita bahwa kondisi pendidikan kita saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. 

Jadi mari bergerak dalam ranah yang bisa kita jangkau. Karena tanggung jawab pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab kita semua.

Sejak kapan SINESIA ada? Awal ide untuk melakukan sebuah gerakan yang kemudian diberi nama SINESIA ini sejak bulan Mei 2020. Tepatnya 02 Mei pas momentum hari pendidikan. 

Saat ini kami masih dalam tahap merancang program. Kok lama eksekusinya? Jadi kami menyediakan waktu beberapa bulan untuk mengumpulkan data, validasi data ke masyarakat dan stakeholder, menyusun konsep, merencanakan program, pengenalan SINESIA dan program-program yang akan kami laksanakan, open volunteer, baru eksekusi. 

Kami tidak mau terburu-buru untuk melakukan kegiatan hanya berdasarkan semangat yang sedang membara. Butuh riset yang lumayan lama untuk menyesuaikan antara kebutuhan masyarakat dan program yang akan kami lakukan. Kami bercita-cita membuat program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bukan apa yang kami pikir masyarakat butuh. Kami tidak ingin menjadi pahlawan kesiangan yang membawa semangat heroes syndrome yang berpikir bisa merubah masyarakat, tapi kami akan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Maka dari itu butuh waktu untuk mencocokkan antara konsep kami dan kebutuhan masyarakat. Jangan sampai kami terburu-buru eksekusi hanya berdasarkan idealisme kota yang kami bawa, menganggap ini harus diubah, itu harus diubah padahal mungkin saja masyarakat tidak butuh itu semua. Makanya kami menyediakan waktu beberapa lama untuk validasi data antara rencana program yang akan kami buat dan kebutuhan masyarakat.

Selain itu, karena kami mau nafas kami panjang, kami sedang membidik local champion yang  akan menjadi penerus kegiatan yang akan kami buat nantinya. Tolok ukur keberhasilan program bukan saat masyarakat merasa terbantu dengan kehadiran kita, tapi saat masyarakat bisa berdikari saat kita sudah meninggalkan lokasi program.

Adapun rencana program yang sedang kami susun saat ini meliputi pendidikan, pertanian, dan peternakan. Itu yang merupakan usulan dari masyarakat sesuai kebutuhan mereka. Saat ini kami sedang menggarap rencana program-program tersebut, menyesuaikan antara permintaan masyarakat dan sumber daya yang kami miliki. Adapun kemungkinan pelaksanaannya akan kami adakan trial pada bulan Oktober 2020.

Kok ada trial sih? Trial program ini kami lakukan dua hari, sebelum membuat jadwal untuk program yang berkelanjutan. Trial ini akan menjadi gambaran nyata bagi kami untuk membuat jadwal keberangkatan, pelaksanaan program, dan waktu kepulangan volunteer pada saat “real program”. Mengingat lokasi kegiatan berjarak tempuh sekitar 2 jam dari pusat Kota Jogja. Lokasi yang akan menjadi starting point keberangkatan volunteer. Meskipun saya menyebutnya trial program hal tersebut tidak akan mengurangi sedikitpun keseriusan kami dalam merencanakan dan akan membuat program dua hari tersebut seperti program yang kami rencanakan untuk beberapa bulan. 

Adapun konsep pelaksanaan program yang akan kami jalankan yakni pelaksanaan program selama beberapa tahap, dengan mengambil waktu 3 bulan sebagai tahap awal yang nantinya akan dijadikan evaluasi sejauh mana efektivitas program tersebut, dengan jadwal pemberangkatan ke lokasi setiap dua minggu sekali. 

Begitulah kira-kira gambaran tentang SINESIA.

Silakan follow akun IG kami di @sinesia.id untuk informasi lebih lanjut.


Disclaimer

Tulisan ini murni pendapat pribadi saya dengan menyadur konsep yang sudah dibuat oleh teman-teman, adapun jika ada kekurangan itu berarti kesalahan saya dalam menuangkannya dalam bentuk narasi.


Selasa, 28 Juli 2020

Dunia Relawan


Relawan itu apa sih?
Kalau menurut KBBI relawan atau sukarelawan adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela, tidak karena diwajibkan atau dipaksakan. Berdasarkan definisi tersebut kita bisa mendefinisikan ulang bahwa kegiatan sukarelawan adalah sebuah aktivitas yang dilakukan tanpa dipaksakan ataupun diwajibkan. Tidak perlu harus berada di bawah naungan bendera apapun. Sesederhana melakukan sesuatu untuk daerah sekitar tempat tinggal kita, membantu orang yang kesusahan di jalan, atau membantu orang di rumah kita itu sudah masuk kategori kegiatan sukarela. Suka dan rela.

Lalu, apa sih alasan orang ikut dalam kegiatan kerelawanan di sebuah komunitas atau organisasi?  
Banyak. Orang bergabung dengan banyak alasan yang beragam. Ada yang merasa “terpanggil”, ada yang ingin bermanfaat buat orang lain, mencari kegiatan, mencari jodoh, mempercantik feed instagram, menambah portofolio, mencari pengalaman. Banyaak sekali alasan mengapa orang bergabung dalam kegiatan kerelawanan. Apapun alasannya setiap orang punya hak untuk membawa alasan masing-masing. Secara sisi humanis pun manusia akan selalu tergerak untuk bersosialisasi dan bermanfaat bagi orang lain. Ada yang mewujudkan dorongan tersebut menjadi sebuah aksi nyata dengan keterlibatan langsung, ada pula yang berkontribusi dari segi materi karena keterbatasan waktu dan banyaknya kesibukan.

Maka bersyukurlah orang-orang yang tergerak dan mewujudkannya dalam aksi nyata. Karena kita adalah sebagian kecil dari banyaknya orang di dunia ini yang masih mendedikasikan waktu demi untuk bermanfaat bagi orang lain. Orang yang berkontribusi secara materi dan pemikiran itu juga luar biasa. Itulah yang dimaksud heterogenitas, ada yang berpikir, ada yang menyumbang, ada yang eksekusi.

Volunteer itu tidak dibayar tapi bukan berarti bisa seenaknya. Tetap ada aturan yang mesti kita patuhi. Tetap ada orang yang harus kita hargai. Kita tidak boleh seenaknya datang dan pergi sesuka hati kita. Belajar untuk konsisten dan komitmen untuk hal-hal kecil, dimulai dari kegiatan volunteering. Belajar untuk bertanggung jawab untuk setiap peran yang sudah diamanahkan kepada kita.

Dinamika dalam kegiatan Volunteering
Banyak sekali dinamika yang akan kita dapatkan ketika bergabung dalam kegiatan volunteering. Dinamika tersebut yang bisa mengajarkan kita untuk berproses menuju kedewasaan. Kita bahas satu-satu ya. 

Dinamika dari masyarakat. Ini dapat dipastikan akan selalu kita temui. Kita akan menemukan berbagai macam peristiwa-peristiwa di masyarakat. Mulai dari masyarakat yang menerima kehadiran dan program yang kita rencanakan sampai masyarakat yang apatis atau bahkan menolak kehadiran kita. Dari peristiwa-peristiwa tersebut butuh kedewasaan untuk mengatasi segala masalah yang ada.

Kedua dinamika dalam organisasi/komunitas. Dinamika yang paling sering terjadi adalah dinamika pengurus atau volunteer yang datang dan pergi. Seperti sebuah siklus. Awalnya ramai hingga satu dua minggu, atau satu dua bulan. Lambat laun satu persatu menghilang tanpa sepatah dua patah kata yang ditinggalkan. Tapi tak usah khawatir, seperti banyak hal di dunia ini. Siklus tersebut juga akan membuat orang-orang akan silih berganti. Ada yang pergi nanti juga akan ada orang baru yang datang.

Ketiga dinamika dari diri sendiri. Ini juga banyak sekali macam-macamnya. Ada yang bermasalah antara diri sendiri dan orang tua karena terbatas izin. Ada yang dilema karena harus membagi waktu dengan dunia akademik. Ada yang galau karena harus memilih antara pasangan atau dunia volunteering. Banyak sekali macam-macamnya. Dari banyak peristiwa yang dialami, ini akan melatih softskill kita. Tentang decision making, time management, manajemen emosi, mengendalikan diri, dan banyak lagi.

Saya akan bercerita dua peristiwa yang menurut saya lumayan berat untuk saya pilih. Pertama kisah di tahun 2016 saat saya mendaftar sebuah kegiatan pengabdian tahunan. Di saat tahap akhir saya dinyatakan lolos, tapi disisi lain saya dinyatakan lolos seleksi administrasi beasiswa LPDP. Dua pilihan yang sama-sama baik dan sama-sama saya inginkan. Pengabdian tahunan di daerah terpencil adalah sebuah impian saya. Namun, lanjut kuliah pun adalah sebuah keinginan yang sudah saya rencanakan sejak tahun 2014. Akhirnya saya meminta pendapat dari beberapa orang yang sekiranya mampu memberikan saya solusi yang rasional. Salah satu saran dari assessor saya waktu yang bilang “pengabdian tidak mesti di daerah terpencil, kita bisa mengabdi dimanapun kita berada”. Kalimat tersebut yang akhirnya membulatkan tekad saya untuk melanjutkan seleksi beasiswa LPDP dan terpaksa harus membatalkan ikut pengabdian tahunan tersebut.

Peristiwa kedua. Sekitar Mei 2019. Waktu itu saya sudah dinyatakan lolos untuk ikut sebagai salah satu volunteer pengajar di sebuah komunitas. Sehari sebelum keberangkatan saya mendapatkan tanda tangan ACC dosen pembimbing untuk maju sidang tesis, tapi dengan persyaratan masih harus revisi satu kali lagi. Sebuah tanda tangan yang saya tunggu sejak beberapa minggu. Saya galau untuk memilih tetap ikut kegiatan volunteering dengan kemungkinan saya tidak bisa segera maju sidang, atau saya tidak berangkat dan segera menyelesaikan revisi lalu mendaftar sidang. Sekadar informasi waktu itu sudah mepet lebaran yang kemungkinan ketika saya tidak sidang sebelum lebaran saya tidak bisa ikut wisuda Juli.

Sebuah alasan yang terlihat sederhana mungkin bagi orang lain. Tapi menjadi beban bagi saya. Saya menargetkan untuk wisuda Juli. Kenapa? Karena saya merupakan salah satu awardee beasiswa yang mana wisuda Juli bagi saya adalah sebuah keharusan. Saya tidak ingin mendapatkan hujatan atau cibiran dari orang-orang yang akan menyalah-nyalahkan kegiatan saya jika saya tidak selesai tepat waktu. Apalagi beberapa waktu sebelumnya saya sudah mendapat banyak “teguran” untuk berhenti berkegiatan dan fokus ke urusan akademik. Jangan sampai karena keasyikan main atau volunteeran saya akhirnya harus bayar sendiri untuk menutupi kelebihan semester.

Dengan membulatkan niat, saya akhirnya memutuskan berangkat volunteeran dengan membawa draft tesis. Saya yakin bahwa yang saya lakukan adalah sesuatu yang baik dan Allah sudah berjanji akan memudahkan urusan hambanya yang memudahkan urusan orang lain. Saat teman-teman volunteer yang lain sudah tidur saya masih terjaga untuk menyelesaikan revisian meski pada akhirnya keteteran. Saya pasrah aja kepada Allah atas segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sepulang dari kegiatan volunteeran saya ngebut begadang di kost untuk menyelesaikan revisian. Pada akhirnya bisa daftar sidang dan dapat jadwal sebelum lebaran. Alhamdulillah, akhirnya bisa nutut wisuda Juli. Saya semakin yakin bahwa ketika kita memudahkan urusan orang lain, Tuhan pun akan memudahkan urusan kita.

Oh iya, keputusan untuk tidak ikut pengabdian tahunan dan memilih lanjut sekolah juga menjadi sebuah keputusan terbaik yang saya ambil. Benar bahwa saya tidak jadi ke pedalaman selama setahun tapi saya mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk ikut kegiatan volunteeran selama dua tahun kuliah. saya mendapatkan banyak wadah untuk tetap bisa berkontribusi. Selain itu saya mendapatkan banyak jaringan pertemanan dari berbagai latar belakang. Percayalah bahwa kebaikan itu akan saling tarik menarik. Selama kita berniat baik pasti akan selalu ada jalan.

Manfaat dari kegiatan volunteering
Ada banyak sekali manfaat yang bisa di dapat dari kegiatan kerelawanan. Bisa melatih empati kita, bisa membuat kita banyak-banyak bersyukur, membangun jejaring, melatih public speaking, bisa belajar time management, bisa melatih emosi, dan bisa ketemu jodoh jika beruntung hahaha. Ada masih banyak lagi manfaat-manfaat yang bisa kita dapatkan dari ikut kegiatan volunteering. Sesuatu yang priceless yang tidak bisa dibandingkan dengan rupiah.

Modal niat baik aja tidak cukup
Kenapa? Kita tetap butuh skill meskipun kegiatan kerelawanan. Agar kita bisa lebih bermanfaat ketika kita bergabung di bawah naungan  komunitas/organisasi. Bisa kemampuan mengajar, fotografi, bermain bersama anak-anak, komunikasi dengan masyarakat, kemampuan kerajinan tangan, menulis, dan lain-lain. Skill yang sesuai dengan fokus komunitas/organisasi yang kita masuki. Setidak-tidaknya kita punya minimal satu kemampuan yang bisa kita bagikan untuk orang lain.

Selain skill kita juga harus mempertimbangkan faktor kesehatan. Jangan sampai hanya karena modal niat baik kita tidak peduli dengan diri kita sendiri yang penting berbuat baik aja untuk orang lain. Jangan ya! Kalau sakit better istirahat di rumah. jangan sampai kita niat bantu malah menyusahkan orang lain.

Tidak ada kebaikan yang jatuh percuma di tanah.
Ini adalah pesan mamaku. Jadi tidak ada kebaikan yang sia-sia. Segala sesuatu yang kita tanam akan kita tuai. Jika kita menanam kebaikan, kebaikan itu akan kembali ke kita entah melalui “tangan” siapa. Hukum timbal balik itu ada. Kita akan mendapatkan balasan dari apa yang pernah kita perbuat. Jangan khawatir, bukan manusia yang akan membalas. Tapi Tuhan yang akan “membayar” apapun yang pernah kita lakukan.

Teruslah berbuat kebaikan. Kebaikan itu akan menjadi sebuah bekal untuk kehidupan yang lebih abadi.

Disclaimer
Ini cerita dan perspektif pribadi saya tentang dunia relawan. Mayoritas komunitas/organisasi relawan yang saya ikuti adalah bidang sosial, pendidikan, dan literasi.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...