Masa muda
identik dengan banyaknya hal-hal nekat yang tanpa pemikiran matang. Masa remaja
penuh dengan intrik coba-coba.
Tahun 2012
merupakan kali pertama menginjakkan kaki di gunung Semeru, salah satu hal yang
masih teringat jelas ketika penurunan dari puncak. Karena keasyikan perosotan
di pasir saya tak sadar mengambil jalur yang salah, tidak memperhatikan pohon
yang menjadi penanda di batas vegetasi. Saya mengambil jalur kanan dimana ujung
jalur tersebut adalah blank 75 (jurang), dengan sekuat tenaga bang Koak salah
satu teman dari Mapalipma meneriakiku, Sem ke kiri, ambil jalur kiri. Sambil
menunjuk ke arah yang di maksud. Saya baru tersadar kalo jalur perjalanan saya
ternyata terlalu ke kanan, saya baru ingat petuah sebelum muncak untuk
menjadikan pohon yang dibatas vegetasi sebagai patokan. Saya dengan sekuat
tenaga kembali keatas dan mencari posisi aman buat nyeberang ke jalur yang
benar, bukan hal yang mudah. Apalagi di tengah pijakan pasir, satu langkah
mendaki dua langkah merosot turun. Menyeberang melalui gundukan pasir tak
memberi banyak peluang. Saya terus berusaha dan berusaha, hingga akhirnya bisa
nyeberang ke jalur yang benar. Sesampainya di batas pohon baru mendapat omelan
karena tak mendengar petuah. Hihihih saya hanya bisa nyengir karena mengaku
salah, sesekali berfikir andai saya terus pasti saya sudah sampai di surga.
Beberapa
minggu sepulangnya dari Semeru, santer terdengar banyaknya orang yang trouble,
hilang hingga meninggal di Semeru. Apalagi setelah launching film 5 CM, banyak
pendaki yang tiba-tiba memadati Semeru. Mamaku yang kala itu menyaksikan berita
tersebut dengan spontan memberi ultimatum larangan untuk mendaki. Dalam hati
berkata “ma, anakmu pun pernah nyasar dan hampir jatuh di blank 75, hampir mati
konyol dan masuk berita” hihihi. Larangan mamaku hanya sebentar saja kudengar,
saya masih terus saja mendaki dan mendaki. Meski mendaki tergolong hobby yang
lumayan ekstrim, tapi hal itu tak pernah menyurutkan niatku untuk terus
mendaki. Banyak pelajaran hidup yang kudapatkan dalam prosesnya, banyak saudara
yang kutemukan dalam perjalanan.
Meski
mendapat larangan mendaki, saya masih saja terus meminta ijin untuk pergi.
Meski bukan dengan alasan mendaki. Ya jelas saja, dengan alasan mendaki pasti
akan mendapat larangan. Satu waktu kala itu mendapat amanah untuk mendampingi
teman-teman untuk mendaki di Kerinci, hal pertama yang kulakukan adalah meminta
ijin. Ijinnya tentu saja bukan mendaki, tapi penelitian. Saya termasuk tipe
orang yang tidak akan berangkat kemanapun kalo tidak diijinkan, pernah sekali
waktu ngeyel dan akhirnya tersandung, sejak hari itu saya berjanji kepada diri
sendiri untuk selalu ijin kemanapun. Mamaku akhirnya mengijinkan. Saya tak
berbohong, toh memang saat itu mau penelitian, tapi satu paket dengan
pendakian. Hihihihi
Awalnya
sangsi mau berangkat, perjalanan jauh, tidak pernah latihan fisik, kurangnya
uang dan pastinya tidak akan meminta uang banyak hanya untuk pergi mendaki
sejauh itu. Apalagi kerinci bukan jarak yang dekat, lokasinya berada di pulau
Sumatera, yang lumayan jauh dari Makassar. Setelah konsul kepada senior saya
akhirnya membulatkan tekad untuk pergi. “eh kamu kayak gak pernah ngalamin aja
kekurangan uang, toh selama ini, selama kita outdoor entah itu pendakian, ke tebing atau gua kita memang selalu
mengalami keterbatasan, jangan sampai hal itu menghalangi langkahmu,
berangkatlah”. Karena telah mendapat amanah dan kepercayaan saya akhirnya
berangkat. Uang tiket ditanggung oleh teman-teman yang saya dampingi. Oh iya,
selain sangsi karena memikirkan banyak kemungkinan buruk, saya juga ragu karena semua teman seperjalannya cowok. Saya takut
menyusahkan. Lagi-lagi saya diyakinkan untuk menepis semua keraguan. Akhirnya
kami berangkat. Gunung kerinci ternyata bukan gunung yang bisa dianggap biasa,
butuh perjuangan dan kerja keras untuk melaluinya hingga mencapai puncak. Namun
karena kebersamaan dan solidaritas hal itu tidak menjadi sebuah persoalan yang
berarti, meski pada akhirnya ketika dalam perjalanan pulang saya mengalami trouble dan harus jalan kura-kura sampai
kaki gunung. Tapi teman-teman tetap setia menemani, masih menjaga solidaritas,
kekompakan dan semangat hingga sampai didesa terakhir.
Sepulang
dari Kerinci, kami mendapat sebuah warna warni kehidupan (lagi), uang pulang
kami tidak cukup. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus ke Jakarta dari
Padang, lalu naik pesawat dari Jakarta ke Makassar. Guna meminimalisir
pendanaan. 2 malam 3 hari di bus sukses membuat kaki bengkak, pakaian lusuh,
muka kucel. Bus yang hanya berhenti setiap 6 jam sekali, ketika ingin pipis pun
harus ditahan sampai pemberhentian berikutnya. Pernah satu waktu kebelet mau
pipis, melihat jadwal bus masih 4 jam baru akan berhenti lagi, melihat
sekeliling orang-orang pada tidur, saya akhirnya berfikir hal aneh, menggunakan
botol toh juga tak ada yang melihat, tapi tak menemukan botol kosong. Akhirnya
berinisiatif pake kresek, hal itu juga tidak berhasil karena pipisnya tak mau
keluar. Ketika matahari telah menampakkan sinarnya dan bus terjebak macet,
ingin rasanya keluar dan numpang kencing di rumah warga, tapi kuurungkan
niatku. Nanti kalau ketinggalan bus bakal lebih berabe, ongkos yang awalnya di
minimalisir akan semakin membengkak. Akhirnya berusaha menahan sampai di tempat
pemberhentian. Dari perjalanan panjang yang penuh lika liku itu akhirnya saya bisa
menyusuri jalan lintas Sumatera, bisa merasakan perjalanan panjang dari Padang,
lampung dan nyeberang ke Jakarta.
Ceritanya
tak cukup sampai disitu, tiba Jakarta kami masih terkatung-katung selama
seminggu karena tak memiliki uang yang cukup untuk ke Makassar, untungnya ada
keluarga yang siap menampung. Saya bersama 5 teman yang lain tak melewatkan
kesempatan itu, saya berkesempatan jalan-jalan ke Monas, main ke Ancol dan cuci
mata di tanah Abang. Sembari mencari solusi untuk kami balik ke Makassar. Ini
mah ya, sudah dalam keadaan susah masih saja menyempatkan diri jalan-jalan
hahahaha. Hidup sudah susah jangan dibawa terlalu tegang, nanti makin susah
hahahaha. Kami menghubungi yang bisa memberikan uang untuk pulang, dan setelah
seminggu proses pengumpulan uang kami akhirnya bisa kembali ke Makassar dan
tiba dengan selamat. Dan tentunya dengan membawa oleh-oleh cerita yang banyak.
Selama
proses tersebut saya belajar bahwa dalam keadaan terjepit, dalam keadaan susah
dan tertekan akan selalu ada solusi selama kita mau berusaha. Selama kita masih
terus bersama akan selalu ada jalan, kita akan selalu menguatkan. Karena tak
ada masalah yang tak ada solusinya. Jangan jadikan uang dan keterbatasan sebagai
alasan yang menghalangi langkah-langkah kita. Banyak hal dalam tubuh kita yang
bisa jadi modal. Akal adalah salah satu modal terbesar yang telah dianugrahkan
Tuhan, akal untuk berfikir cepat mencari solusi ketika mendapat masalah. Yuk
menjadi “gila”, karena “waras” sudah terlalu mainstream.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar