Jumat, 20 Januari 2017

Menikmati dinamika masa muda



Masa muda identik dengan banyaknya hal-hal nekat yang tanpa pemikiran matang. Masa remaja penuh dengan intrik coba-coba.


Tahun 2012 merupakan kali pertama menginjakkan kaki di gunung Semeru, salah satu hal yang masih teringat jelas ketika penurunan dari puncak. Karena keasyikan perosotan di pasir saya tak sadar mengambil jalur yang salah, tidak memperhatikan pohon yang menjadi penanda di batas vegetasi. Saya mengambil jalur kanan dimana ujung jalur tersebut adalah blank 75 (jurang), dengan sekuat tenaga bang Koak salah satu teman dari Mapalipma meneriakiku, Sem ke kiri, ambil jalur kiri. Sambil menunjuk ke arah yang di maksud. Saya baru tersadar kalo jalur perjalanan saya ternyata terlalu ke kanan, saya baru ingat petuah sebelum muncak untuk menjadikan pohon yang dibatas vegetasi sebagai patokan. Saya dengan sekuat tenaga kembali keatas dan mencari posisi aman buat nyeberang ke jalur yang benar, bukan hal yang mudah. Apalagi di tengah pijakan pasir, satu langkah mendaki dua langkah merosot turun. Menyeberang melalui gundukan pasir tak memberi banyak peluang. Saya terus berusaha dan berusaha, hingga akhirnya bisa nyeberang ke jalur yang benar. Sesampainya di batas pohon baru mendapat omelan karena tak mendengar petuah. Hihihih saya hanya bisa nyengir karena mengaku salah, sesekali berfikir andai saya terus pasti saya sudah sampai di surga.


Beberapa minggu sepulangnya dari Semeru, santer terdengar banyaknya orang yang trouble, hilang hingga meninggal di Semeru. Apalagi setelah launching film 5 CM, banyak pendaki yang tiba-tiba memadati Semeru. Mamaku yang kala itu menyaksikan berita tersebut dengan spontan memberi ultimatum larangan untuk mendaki. Dalam hati berkata “ma, anakmu pun pernah nyasar dan hampir jatuh di blank 75, hampir mati konyol dan masuk berita” hihihi. Larangan mamaku hanya sebentar saja kudengar, saya masih terus saja mendaki dan mendaki. Meski mendaki tergolong hobby yang lumayan ekstrim, tapi hal itu tak pernah menyurutkan niatku untuk terus mendaki. Banyak pelajaran hidup yang kudapatkan dalam prosesnya, banyak saudara yang kutemukan dalam perjalanan. 


Meski mendapat larangan mendaki, saya masih saja terus meminta ijin untuk pergi. Meski bukan dengan alasan mendaki. Ya jelas saja, dengan alasan mendaki pasti akan mendapat larangan. Satu waktu kala itu mendapat amanah untuk mendampingi teman-teman untuk mendaki di Kerinci, hal pertama yang kulakukan adalah meminta ijin. Ijinnya tentu saja bukan mendaki, tapi penelitian. Saya termasuk tipe orang yang tidak akan berangkat kemanapun kalo tidak diijinkan, pernah sekali waktu ngeyel dan akhirnya tersandung, sejak hari itu saya berjanji kepada diri sendiri untuk selalu ijin kemanapun. Mamaku akhirnya mengijinkan. Saya tak berbohong, toh memang saat itu mau penelitian, tapi satu paket dengan pendakian. Hihihihi


Awalnya sangsi mau berangkat, perjalanan jauh, tidak pernah latihan fisik, kurangnya uang dan pastinya tidak akan meminta uang banyak hanya untuk pergi mendaki sejauh itu. Apalagi kerinci bukan jarak yang dekat, lokasinya berada di pulau Sumatera, yang lumayan jauh dari Makassar. Setelah konsul kepada senior saya akhirnya membulatkan tekad untuk pergi. “eh kamu kayak gak pernah ngalamin aja kekurangan uang, toh selama ini, selama kita outdoor entah itu pendakian, ke tebing atau gua kita memang selalu mengalami keterbatasan, jangan sampai hal itu menghalangi langkahmu, berangkatlah”. Karena telah mendapat amanah dan kepercayaan saya akhirnya berangkat. Uang tiket ditanggung oleh teman-teman yang saya dampingi. Oh iya, selain sangsi karena memikirkan banyak kemungkinan buruk, saya juga ragu karena semua teman seperjalannya cowok. Saya takut menyusahkan. Lagi-lagi saya diyakinkan untuk menepis semua keraguan. Akhirnya kami berangkat. Gunung kerinci ternyata bukan gunung yang bisa dianggap biasa, butuh perjuangan dan kerja keras untuk melaluinya hingga mencapai puncak. Namun karena kebersamaan dan solidaritas hal itu tidak menjadi sebuah persoalan yang berarti, meski pada akhirnya ketika dalam perjalanan pulang saya mengalami trouble dan harus jalan kura-kura sampai kaki gunung. Tapi teman-teman tetap setia menemani, masih menjaga solidaritas, kekompakan dan semangat hingga sampai didesa terakhir.


Sepulang dari Kerinci, kami mendapat sebuah warna warni kehidupan (lagi), uang pulang kami tidak cukup. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus ke Jakarta dari Padang, lalu naik pesawat dari Jakarta ke Makassar. Guna meminimalisir pendanaan. 2 malam 3 hari di bus sukses membuat kaki bengkak, pakaian lusuh, muka kucel. Bus yang hanya berhenti setiap 6 jam sekali, ketika ingin pipis pun harus ditahan sampai pemberhentian berikutnya. Pernah satu waktu kebelet mau pipis, melihat jadwal bus masih 4 jam baru akan berhenti lagi, melihat sekeliling orang-orang pada tidur, saya akhirnya berfikir hal aneh, menggunakan botol toh juga tak ada yang melihat, tapi tak menemukan botol kosong. Akhirnya berinisiatif pake kresek, hal itu juga tidak berhasil karena pipisnya tak mau keluar. Ketika matahari telah menampakkan sinarnya dan bus terjebak macet, ingin rasanya keluar dan numpang kencing di rumah warga, tapi kuurungkan niatku. Nanti kalau ketinggalan bus bakal lebih berabe, ongkos yang awalnya di minimalisir akan semakin membengkak. Akhirnya berusaha menahan sampai di tempat pemberhentian. Dari perjalanan panjang yang penuh lika liku itu akhirnya saya bisa menyusuri jalan lintas Sumatera, bisa merasakan perjalanan panjang dari Padang, lampung dan nyeberang ke Jakarta.


Ceritanya tak cukup sampai disitu, tiba Jakarta kami masih terkatung-katung selama seminggu karena tak memiliki uang yang cukup untuk ke Makassar, untungnya ada keluarga yang siap menampung. Saya bersama 5 teman yang lain tak melewatkan kesempatan itu, saya berkesempatan jalan-jalan ke Monas, main ke Ancol dan cuci mata di tanah Abang. Sembari mencari solusi untuk kami balik ke Makassar. Ini mah ya, sudah dalam keadaan susah masih saja menyempatkan diri jalan-jalan hahahaha. Hidup sudah susah jangan dibawa terlalu tegang, nanti makin susah hahahaha. Kami menghubungi yang bisa memberikan uang untuk pulang, dan setelah seminggu proses pengumpulan uang kami akhirnya bisa kembali ke Makassar dan tiba dengan selamat. Dan tentunya dengan membawa oleh-oleh cerita yang banyak.


Selama proses tersebut saya belajar bahwa dalam keadaan terjepit, dalam keadaan susah dan tertekan akan selalu ada solusi selama kita mau berusaha. Selama kita masih terus bersama akan selalu ada jalan, kita akan selalu menguatkan. Karena tak ada masalah yang tak ada solusinya. Jangan jadikan uang dan keterbatasan sebagai alasan yang menghalangi langkah-langkah kita. Banyak hal dalam tubuh kita yang bisa jadi modal. Akal adalah salah satu modal terbesar yang telah dianugrahkan Tuhan, akal untuk berfikir cepat mencari solusi ketika mendapat masalah. Yuk menjadi “gila”, karena “waras” sudah terlalu mainstream.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...