Kamis, 19 Januari 2017

Kenekatan itu ternyata konyol



Everything will be will be, the future is not our to see.
Apapun yang terjadi nanti ya terjadilah, tugas kita melakukan yang terbaik saat ini. Sepintar dan sebagus apapun rencana kita, akan selalu ada resiko yang akan kita hadapi. Kita hanya mampu meminimalisir resiko bukan menghilangkan resiko. Jangan sampai ketakutan menghentikan langkah kita, jangan sampai kekhawatiran menyurutkan semangat kita. Maka selalu libatkan Tuhan dalam setiap langkah nafas kita, karena segala yang terjadi semuanya adalah kehendak-Nya. Tugas kita adalah mengusahakan semaksimal mungkin, berdoa dan memasrahkan hasil usaha kita kepada-Nya.

Masa muda adalah masa yang gila, masa dimana kita akan selalu berbuat banyak hal nekat. Setelah merenung dalam perjalanan panjang nan macet tadi saya menemukan banyak kenekatan masa remaja yang belum tentu masih bisa saya lakukan sekarang.

2012, 2013, 2015 adalah tahun-tahun dimana saya berkunjung ke Kampung Inggris Pare, tahun pertama yakni pada tahun 2012. Saya masih teringat jelas kala itu, setelah membeli tiket pesawat, saya diberi uang saku 300rb untuk berangkat. WTF, kali pertama berkunjung ke tempat baru, tanpa saudara, tanpa siapa-siapa dan hanya dibekali uang 300rb. Tapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan niatku untuk berangkat, meskipun saya tahu bahwa uang tersebut tak akan pernah cukup dihemat bagaimanapun. Dengan hitungan 100rb travel jadi tersisa 200rb. Harus membayar kost, tempat kursus dan tentunya untuk biaya hidup. Berbekal uang sisa 200rb saya percaya bahwa akan selalu ada keajaiban Tuhan selama kita percaya. Sepanjang perjalanan dalam travel saya terus berfikir gimana caranya uang ini bisa cukup. Tiba-tiba saya membuka pembicaraan dengan salah seorang cowok yang duduk disamping pak supir yang mana pada akhirnya cowok tersebut menjadi pembuka jalan rejeki bagi saya. Kebetulan anak tiri si cowok sekarang berada di Kampung Inggris dan sedang mencari teman untuk tinggal bersama, pada akhirnya ketika sampai di Pare dan bertemu dengan istri si cowok tersebut yang ternyata adalah orang Sidrap saya bersama seorang teman ditawari untuk tinggal bersama anak si ibu yang biaya kostnya sudah dilunasi hingga satu bulan kedepan, dengan kapasitas kamar 3 orang. Tak cukup sampai disitu, uang kursus pun dibayarin, diajak jalan-jalan keliling Malang hingga mendapat tiket gratis untuk jalan-jalan ke Jakarta, hanya karena ucapan terimakasih telah sudi menemani anaknya yang seorang diri. Saya akhirnya sadar bahwa kebaikan itu bertebaran dimana-mana, sepintar-pintarnya kita menjemput kebaikan tersebut. Karena Allah takkan memberi cobaan melebihi kemampuan maklhuknya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Tahun 2013, merupakan tahun kedua ke Kampung Inggris. Saya lagi-lagi nekat untuk ke Kampung Inggris, waktu itu di TV sudah gempar memberitakan gunung Kelud yang berstatus siaga, yang mana lokasi gunung Kelud hanya berjarak sekitar 20 km dari Pare. Berita tersebut menjadi angin lalu dan tak saya hiraukan. Peringatan untuk menunda keberangkatan tak saya gubris. Saya akhirnya berangkat bersama seorang teman. Sampai di Pare tak cukup seminggu gunung Kelud meletus, daaaan Pare merupakan salah satu kecamatan yang mendapat dampak besar. Malam saat gunung kelud meletus rumah-rumah di Pare mendapat hujan batu dan abu vulkanik. Genteng-genteng hampir roboh karena tak kuat menahan beban. Saya masih ingat jelas waktu itu, menjelang jam 12 malam tepat di malam jumat kita semua dibangunkan dan diperintahkan mengambil barang-barang berharga untuk persiapan mengungsi. Hujan batu diluar masih terdengar. Dalam khusyu’ kami berdoa untuk keselamatan kami semua. Esok harinya Pare seperti kota mati tak berpenghuni, tak ada jalan lain selain menikmati keadaan karena kondisinya kita terjebak tak bisa kema-mana, semua akses transportasi lumpuh dan kita masih terus mengantisipasi gempa susulan. Apakah saya jera telah melakukan hal nekat? Jelas tidak. Banyak pengalaman baru yang akhirnya saya dapatkan, untuk kali pertama melihat hujan batu dan abu vulkanik, bisa terjun langsung ke posko pengungsian yang selama ini hanya kulihat di layar kaca. Dan setelah seminggu kemudian kala angin membawa abu vulkanik ke Jogja, saya masih menyempatkan diri untuk liburan ke Jogja sebelum balik ke Makassar.

Tahun 2015, untuk ketiga kalinya saya ke Kampung Inggris. 6 bulan berjalan normal, hingga bulan ketujuh saya mendapat tawaran ke Papua. Tanpa fikir panjang resiko yang akan saya hadapi saya mengiyakan. Dalam proses persiapan berangkat komentar miring dari banyak orang menghujam, berani banget ke Papua nanti kena malaria, berani banget ke Papua nanti terjebak perkelahian antar suku, nanti terpengaruh, nanti ini dan itu. Yah komentar tersebut saya jadikan masukan tapi tak menjadi batu sandungan untuk saya terus melangkah. Toh masih nanti, kita tidak akan tau nanti seperti apa kalau kita tidak menjalaninya. Kemungkinan terburuk terserang Malaria dan meninggal, toh itu juga nanti. Kalopun harus mati konyol ya itu artinya jalan takdirnya memang sudah seperti itu. Saya terus melangkah, menepis semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Toh pun kita sudah di anugerahi kesempurnaan anggota tubuh, pasti kita akan dengan cepat tanggap berfikir ketika telah terbentur resiko. Alhasil, perjalanan ke Papua, selama menjalani hari-hari disana dan pulang dalam keadaan utuh. Segala kekhawatiran teman-teman dan keluarga tidak terbukti adanya. Andaikan saja saat itu saya stuck karena mendengar prediksi-prediksi usil mereka, mungkin saja saat ini saya tidak memiliki gambaran nyata tentang kehidupan di Papua karena tidak pernah menjalaninya, mungkin saja saat ini saya masih terjebak streotype bahwa orang-orang Papua itu kasar dan terbelakang. Dan masih banyak hal lain yang mungkin saja tak saya dapatkan dan ketahui kalau saja waktu itu saya memutuskan untuk stop hanya karena sebuah takut resiko buruk

Ah sekali-kali memang harus “gila” agar bisa melangkah lebih jauh, agar mampu mengukir banyak kenangan, agar suatu hari kelak ada banyak hal konyol yang menajdi bahan obrol yang kita tertawai yang nmimampu menemani ngopi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...