Everything will be will be, the future is not our to
see.
Apapun yang
terjadi nanti ya terjadilah, tugas kita melakukan yang terbaik saat ini. Sepintar
dan sebagus apapun rencana kita, akan selalu ada resiko yang akan kita hadapi. Kita
hanya mampu meminimalisir resiko bukan menghilangkan resiko. Jangan sampai
ketakutan menghentikan langkah kita, jangan sampai kekhawatiran menyurutkan
semangat kita. Maka selalu libatkan Tuhan dalam setiap langkah nafas kita,
karena segala yang terjadi semuanya adalah kehendak-Nya. Tugas kita adalah
mengusahakan semaksimal mungkin, berdoa dan memasrahkan hasil usaha kita
kepada-Nya.
Masa muda
adalah masa yang gila, masa dimana kita akan selalu berbuat banyak hal nekat. Setelah
merenung dalam perjalanan panjang nan macet tadi saya menemukan banyak
kenekatan masa remaja yang belum tentu masih bisa saya lakukan sekarang.
2012, 2013,
2015 adalah tahun-tahun dimana saya berkunjung ke Kampung Inggris Pare, tahun
pertama yakni pada tahun 2012. Saya masih teringat jelas kala itu, setelah
membeli tiket pesawat, saya diberi uang saku 300rb untuk berangkat. WTF, kali
pertama berkunjung ke tempat baru, tanpa saudara, tanpa siapa-siapa dan hanya
dibekali uang 300rb. Tapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan niatku untuk
berangkat, meskipun saya tahu bahwa uang tersebut tak akan pernah cukup dihemat
bagaimanapun. Dengan hitungan 100rb travel jadi tersisa 200rb. Harus membayar
kost, tempat kursus dan tentunya untuk biaya hidup. Berbekal uang sisa 200rb
saya percaya bahwa akan selalu ada keajaiban Tuhan selama kita percaya. Sepanjang
perjalanan dalam travel saya terus berfikir gimana caranya uang ini bisa cukup.
Tiba-tiba saya membuka pembicaraan dengan salah seorang cowok yang duduk
disamping pak supir yang mana pada akhirnya cowok tersebut menjadi pembuka
jalan rejeki bagi saya. Kebetulan anak tiri si cowok sekarang berada di Kampung
Inggris dan sedang mencari teman untuk tinggal bersama, pada akhirnya ketika
sampai di Pare dan bertemu dengan istri si cowok tersebut yang ternyata adalah
orang Sidrap saya bersama seorang teman ditawari untuk tinggal bersama anak si
ibu yang biaya kostnya sudah dilunasi hingga satu bulan kedepan, dengan
kapasitas kamar 3 orang. Tak cukup sampai disitu, uang kursus pun dibayarin, diajak
jalan-jalan keliling Malang hingga mendapat tiket gratis untuk jalan-jalan ke
Jakarta, hanya karena ucapan terimakasih telah sudi menemani anaknya yang
seorang diri. Saya akhirnya sadar bahwa kebaikan itu bertebaran dimana-mana,
sepintar-pintarnya kita menjemput kebaikan tersebut. Karena Allah takkan
memberi cobaan melebihi kemampuan maklhuknya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kau dustakan?
Tahun 2013,
merupakan tahun kedua ke Kampung Inggris. Saya lagi-lagi nekat untuk ke Kampung
Inggris, waktu itu di TV sudah gempar memberitakan gunung Kelud yang berstatus
siaga, yang mana lokasi gunung Kelud hanya berjarak sekitar 20 km dari Pare. Berita
tersebut menjadi angin lalu dan tak saya hiraukan. Peringatan untuk menunda
keberangkatan tak saya gubris. Saya akhirnya berangkat bersama seorang teman. Sampai
di Pare tak cukup seminggu gunung Kelud meletus, daaaan Pare merupakan salah
satu kecamatan yang mendapat dampak besar. Malam saat gunung kelud meletus
rumah-rumah di Pare mendapat hujan batu dan abu vulkanik. Genteng-genteng
hampir roboh karena tak kuat menahan beban. Saya masih ingat jelas waktu itu,
menjelang jam 12 malam tepat di malam jumat kita semua dibangunkan dan diperintahkan
mengambil barang-barang berharga untuk persiapan mengungsi. Hujan batu diluar
masih terdengar. Dalam khusyu’ kami berdoa untuk keselamatan kami semua. Esok harinya
Pare seperti kota mati tak berpenghuni, tak ada jalan lain selain menikmati
keadaan karena kondisinya kita terjebak tak bisa kema-mana, semua akses
transportasi lumpuh dan kita masih terus mengantisipasi gempa susulan. Apakah saya
jera telah melakukan hal nekat? Jelas tidak. Banyak pengalaman baru yang
akhirnya saya dapatkan, untuk kali pertama melihat hujan batu dan abu vulkanik,
bisa terjun langsung ke posko pengungsian yang selama ini hanya kulihat di
layar kaca. Dan setelah seminggu kemudian kala angin membawa abu vulkanik ke Jogja,
saya masih menyempatkan diri untuk liburan ke Jogja sebelum balik ke Makassar.
Tahun 2015,
untuk ketiga kalinya saya ke Kampung Inggris. 6 bulan berjalan normal, hingga bulan
ketujuh saya mendapat tawaran ke Papua. Tanpa fikir panjang resiko yang akan
saya hadapi saya mengiyakan. Dalam proses persiapan berangkat komentar miring
dari banyak orang menghujam, berani banget ke Papua nanti kena malaria, berani
banget ke Papua nanti terjebak perkelahian antar suku, nanti terpengaruh, nanti
ini dan itu. Yah komentar tersebut saya jadikan masukan tapi tak menjadi batu
sandungan untuk saya terus melangkah. Toh masih nanti, kita tidak akan tau
nanti seperti apa kalau kita tidak menjalaninya. Kemungkinan terburuk terserang
Malaria dan meninggal, toh itu juga nanti. Kalopun harus mati konyol ya itu
artinya jalan takdirnya memang sudah seperti itu. Saya terus melangkah, menepis
semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Toh pun kita sudah di anugerahi
kesempurnaan anggota tubuh, pasti kita akan dengan cepat tanggap berfikir
ketika telah terbentur resiko. Alhasil, perjalanan ke Papua, selama menjalani
hari-hari disana dan pulang dalam keadaan utuh. Segala kekhawatiran teman-teman
dan keluarga tidak terbukti adanya. Andaikan saja saat itu saya stuck karena mendengar prediksi-prediksi
usil mereka, mungkin saja saat ini saya tidak memiliki gambaran nyata tentang
kehidupan di Papua karena tidak pernah menjalaninya, mungkin saja saat ini saya
masih terjebak streotype bahwa
orang-orang Papua itu kasar dan terbelakang. Dan masih banyak hal lain yang
mungkin saja tak saya dapatkan dan ketahui kalau saja waktu itu saya memutuskan
untuk stop hanya karena sebuah takut
resiko buruk
Ah sekali-kali
memang harus “gila” agar bisa melangkah lebih jauh, agar mampu mengukir banyak
kenangan, agar suatu hari kelak ada banyak hal konyol yang menajdi bahan obrol yang
kita tertawai yang nmimampu menemani ngopi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar