Kebaikan itu bertebaran dimana-mana, selama kau masih percaya akan
kebaikan itu. Kebaikan akan selalu menaungimu.
Pagi-pagi saat menunggu jarum jam
menunjukkan pukul 9, tiba-tiba ada ibu-ibu yang ketok pintu, ibu itu ternyata
tantenya winda yang ingin bertemu dengan winda. Namun sayangnya winda lagi ke
arah puncak bogor bersama tante Ir, alhasil saya menemani si tante untuk mengobrol.
Tak lama kemudian si tante ngajakin saya makan bubur ayam. Awalnya saya nolak,
karena baru saja selesai makan. Dipanggil kedua kalinya saya tak kuasa untuk
menolak. Apalagi rejeki pagi-pagi. Setelah siap-siap kami akhirnya menuju ke
tempat penjual bubur ayam yang berada di dekat lapangan. Saat makan pun kami
masih ngobrol. Saya selalu merasa bersyukur karena dikasi kecerewetan yang
selalu menemukan bahan pembicaraan dengan siapapun orang yang saya temui.
Hasil dari ngobrol-ngobrol kami
yang singkat saya ketiban rejeki lagi, si tante menawarkan untuk mengantar saya
ke stasiun Lenteng Agung. Alhamdulillah ya, selalu saja ada jalan rejeki,
disaat saya masih bingung mau menggunakan apa ke UI, aplikasi grab tidak bisa
terdonlot, naik angkot tidak tau jalurnya. Tiba-tiba ada orang yang menawarkan
untuk mengantar, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan.
Setelah makan bubur ayam kami
mengantar Aisyah balik kerumah dulu, anak si tante. Kemudian tante mengantar
saya kerumah untuk mengambil tas dan mengunci pintu, baru setelah itu tante
mengantarkan saya ke depan pintu gerbang stasiun. Saya yang sudah beberapa kali
naik KRL tidak bodoh-bodoh amatlah, tinggal nanya ke pak satpam dan saya bisa
duduk cantik menunggu kereta setelah membeli tiket.
Karena tidak yakin, tepatnya sih
tidak tau kereta menuju UI yang mana, saya kemudian bertanya kepada salah seorang
cewek yang duduk pas disamping saya. Mbak kereta menuju UI dimana ya? Disini
mbak katanya. Oke fine, saya menunggu. Tiba-tiba kereta datang. Mbaknya naik,
saya tidak ikutan naik. Saya mau ke depok, mbaknya tujuan bogor. Setelah
beberapa lama, mataku dan matanya si mbak bertemu. Mbak memberi kode kalau
kereta yang kami tumpangi harusnya sama. Saya bergegas ke pintu kereta, tapi
sayang telat, pintunya sudah tertutup setengah. Jadi deh saya harus menunggu
kereta selanjutnya. Tidak berselang berapa lama, keretanya pun datang.
Alhamdulillahnya, hikmahnya saya tidak menggunakan kereta yang pertama saya akhirnya
bisa duduk nyaman di tempat duduk empuk, beda ketika saya naik di kereta
pertama, desak-desakan dan tidak ada tempat duduk.
Kereta besi membawaku ke UI,
awalnya sampai ke stasiun Universitas Pancasila, terus sudah masuk ke stasiun Universitas
Indonesia, ah beneran gila nih. Ternyata kemarin saya itu dari Depok, Ancol terus
balik lagi ke Depok. Ternyata rumah yang saya tempati menginap sudah dekat Depok.
Kurang dari 5 menit dari stasiun Lenteng Agung terus sampai di stasiun UI
Depok.
Turun dari kereta saya berjalan
menuju halte. Menunggu Naj yang masih sementara di jalan. Beberapa mahasiswa
lalu lalang didepanku, beberapa dari mereka berlari kecil dan menutup kepalanya
dengan tangan agar terhindar dari rintik hujan yang berpotensi membuat basah.
Ketika mobil kuning UI sudah kelihatan, beberapa dari mahasiswa akan segera
berlari ke tempat pemberhentian mobil. Pemandangan yang begitu indah bagi saya.
Pengalaman pertama ke UI, melihat lalu lalang maahsiswa UI. Entah berapa kali
mobil bus berhenti didepan mataku sampai pada akhirnya Naj pun tiba.
Setelah Naj tiba, kami mengikuti
jejak mahasiswa yang lain untuk menunggu bus, kampus UI Depok luar biasa luas,
jadi agak ribet kalau jalan kaki dibawah guyuran hujan. Tidak lama bus pun
datang, kami berlarian menuju pintu bus. Tujuan utama kami adalah perpus UI.
Decak kagum tak hentinya terbesit dalam hati. Tidak menyangka bisa menginjakkan
kaki di kampus terbesar dan terkenal di Indonesia itu. Masuk di perpustakaannya
serasa masuk di perpustakaan kampus di luar negeri. Suasana perpus yang
betul-betul di design senyaman mungkin, interior ruangan yang luar biasa megah
dan mahasiswa yang kelihatan serius belajar. Oh iya, sebelum masuk saya mesti
registrasi dan bayar 5 ribu soalnya saya bukan mahasiswa UI yang mempunyai
kartu mahasiswa. Setelah berkeliling cari buku, membaca dan mengantuk. Kami
memutuskan untuk mencari musholla, berhubung waktu duhur sudah masuk. Kami
sholat dan bergegas ke stasiun pondok cina, menunggu kereta yang akan
mengantarkan kita ke Tanah Abang. Perjalanan yang lumayan panjang hingga
akhirnya kita tiba di stasiun Tanah Abang. Kami disambut dengan hiruk pikuk
tanah abang, bisingnya kendaraan, penjual asongan, asap rokok dan polusi
dimana-mana, jalanan becek setelah hujan reda dan suara dari berbagai penjuru.
Kami berjalan menelusuri emperan tanah abang, berpijak di tanah yang berair dan
berlumpur akibat hujan, lalu masuk kedalam dan terus menyusuri tanah abang
hingga ke Blok A sampai Blok B.
Pedagang rata-rata dari Padang,
tanah abang memang surganya belanja, murah, meriah dan banyak pilihan.
Perputaran rotasi manusia begitu nampak.
Hidup sehari dua hari di Jakarta
saja sudah memberikan sumbangsi kestresan dalam hidup saya. Menyaksikan arus
perutaran manusia yang begitu cepat, orang seliweran kiri kanan tanpa menyapa.
Semua seakan berlomba untuk misi masing-masing, semua berambisi untuk sampai ke
tujuan masing-masing, tidak ada lagi istilah bercengkrama atau berhenti barang
sejenak untuk mengobrol. Semua begitu terburu-buru.
Setelah keliling berjam-jam di
tanah abang, kami akhirnya memutuskan pulang. Ke stasiun kramat tempat
pemberhentian sebelum sampai di kost Naj di daerah Salemba. Perjalanan tanah
abang ke kramat bukan waktu yang sebentar, sempat tidur dan ngiler juga baru
sampai. Sesampainya kami di stasiun, tempat yang menjadi incaran kami adalah
warung makan. Temat pemadam kelaparan. Setelah makan baru kami bergegas ke kost
naj untuk sholat. Saya pun akhirnya terjebak dalam kondisi yang serba cepat dan
terburu-buru. Tak banyak mengobrol!!! Setelah sholat saya bergegas untuk
pulang, maklum numpang dirumah orang, dan jaraknya juga tidak dekat. Setelah
sholat saya bergegas menuju stasiun. Saya memesan tiket menuju Lenteng Agung.
Perasaanku lama banget keretanya sampai, ternyata keretanya memang putar
kembali ke Tanah Abang, terus ke Manggarai dan beberapa stasiun sampai ke Lenteng
Agung.
Pemandangan di kereta pun tak
kalah cetarnya. Ratusan orang bergrombol, saling berdesakan demi untuk mendapat
pijakan di kereta yang akan membawanya sampai kerumah. Ibu-ibu hamil menjadi
prioritas untuk mendapat tempat duduk. Disinilah sisi kemanusiaan kita akan di
uji, relakah kita memberikan tempat duduk kita atau pura-pura gila untuk tetap
duduk karena merasa kita juga capek dan mempunyai hak yang sama. Sejam berada
di kereta lumayan banget ngerasain dorong kiri kanan depan belakang.
Stasiun terakhir sebelum sampai
di lenteng agung saya chat beberapa orang yang kemungkinan bisa menolong saya
memesakan grab. Dan kak Yuni yang akhirnya memesankan grab. Sialnya saya lupa
konfirmasi kalau saya maunya pake grab bike, bukan grab car. Karena sudah
terlanjur ya gapapalah. Nah bener, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian.
Supir grab car yang saya tumpangi ternyata masih muda. Mobilnya keren dan
orangnya lebih keren lagi. Lumayanlah ngedate beberapa menit hahahahaa. Eh gak
gak, jangan fokus ke mamasnya. Jadi selama perjalanan saya mebuka pembicaraan
dengan mamasnya, ternyata mamasnya sebelum jadi supir grab, dia pernah kerja
lama di garuda, terus di BRI iya juga. Ada banyak cerita yang saya dapatkan
selama perjalalan, yang meskipun nyasar beberapa kali tetap kami nikmatin. Dan meski bayar tambahan 9 ribu karena
ploting tujuannya beda antara yang diorder sama tujuan aslinya, tapi saya
bersyukur. Uang masih bisa dicari, namun pengalaman tak bisa dibeli dengan
uang. Saya dapat banyak pelajaran, pengalaman dan cerita dari mamas Supir grab
yang kece badai.
Kenyamanan itu harus ditinggalkan
untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih sukses lagi, pokoknya harus menikmati
setiap prosesnya, tidak ada yang mudah, dan tidak ada yang gak capek. Bahkan
tidur pun capek. Itu kata mamasnya. Dia yang notabene meninggalkan kenyamanan
kerja di BUMN, kerja di BRI untuk sesuatu yang belum pasti lebih baik, menjadi
supir grab dan berdagang sampai rugi ratusan juta. Namun satu hak yang dia
yakini, apapun keputusan yang diambil semua memiliki konsekuensi, dan kita
harus siap dari resiko atas keputusan yang kita buat. Terimakasih mamas supir
grab atas ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar