Senin, 02 Januari 2017

Cerita random, Jakarta 5 Desember 2016



Kebaikan itu bertebaran dimana-mana, selama kau masih percaya akan kebaikan itu. Kebaikan akan selalu menaungimu.

Pagi-pagi saat menunggu jarum jam menunjukkan pukul 9, tiba-tiba ada ibu-ibu yang ketok pintu, ibu itu ternyata tantenya winda yang ingin bertemu dengan winda. Namun sayangnya winda lagi ke arah puncak bogor bersama tante Ir, alhasil saya menemani si tante untuk mengobrol. Tak lama kemudian si tante ngajakin saya makan bubur ayam. Awalnya saya nolak, karena baru saja selesai makan. Dipanggil kedua kalinya saya tak kuasa untuk menolak. Apalagi rejeki pagi-pagi. Setelah siap-siap kami akhirnya menuju ke tempat penjual bubur ayam yang berada di dekat lapangan. Saat makan pun kami masih ngobrol. Saya selalu merasa bersyukur karena dikasi kecerewetan yang selalu menemukan bahan pembicaraan dengan siapapun orang yang saya temui.

Hasil dari ngobrol-ngobrol kami yang singkat saya ketiban rejeki lagi, si tante menawarkan untuk mengantar saya ke stasiun Lenteng Agung. Alhamdulillah ya, selalu saja ada jalan rejeki, disaat saya masih bingung mau menggunakan apa ke UI, aplikasi grab tidak bisa terdonlot, naik angkot tidak tau jalurnya. Tiba-tiba ada orang yang menawarkan untuk mengantar, tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan.

Setelah makan bubur ayam kami mengantar Aisyah balik kerumah dulu, anak si tante. Kemudian tante mengantar saya kerumah untuk mengambil tas dan mengunci pintu, baru setelah itu tante mengantarkan saya ke depan pintu gerbang stasiun. Saya yang sudah beberapa kali naik KRL tidak bodoh-bodoh amatlah, tinggal nanya ke pak satpam dan saya bisa duduk cantik menunggu kereta setelah membeli tiket.

Karena tidak yakin, tepatnya sih tidak tau kereta menuju UI yang mana, saya kemudian bertanya kepada salah seorang cewek yang duduk pas disamping saya. Mbak kereta menuju UI dimana ya? Disini mbak katanya. Oke fine, saya menunggu. Tiba-tiba kereta datang. Mbaknya naik, saya tidak ikutan naik. Saya mau ke depok, mbaknya tujuan bogor. Setelah beberapa lama, mataku dan matanya si mbak bertemu. Mbak memberi kode kalau kereta yang kami tumpangi harusnya sama. Saya bergegas ke pintu kereta, tapi sayang telat, pintunya sudah tertutup setengah. Jadi deh saya harus menunggu kereta selanjutnya. Tidak berselang berapa lama, keretanya pun datang. Alhamdulillahnya, hikmahnya saya tidak menggunakan kereta yang pertama saya akhirnya bisa duduk nyaman di tempat duduk empuk, beda ketika saya naik di kereta pertama, desak-desakan dan tidak ada tempat duduk.

Kereta besi membawaku ke UI, awalnya sampai ke stasiun Universitas Pancasila, terus sudah masuk ke stasiun Universitas Indonesia, ah beneran gila nih. Ternyata kemarin saya itu dari Depok, Ancol terus balik lagi ke Depok. Ternyata rumah yang saya tempati menginap sudah dekat Depok. Kurang dari 5 menit dari stasiun Lenteng Agung terus sampai di stasiun UI Depok.

Turun dari kereta saya berjalan menuju halte. Menunggu Naj yang masih sementara di jalan. Beberapa mahasiswa lalu lalang didepanku, beberapa dari mereka berlari kecil dan menutup kepalanya dengan tangan agar terhindar dari rintik hujan yang berpotensi membuat basah. Ketika mobil kuning UI sudah kelihatan, beberapa dari mahasiswa akan segera berlari ke tempat pemberhentian mobil. Pemandangan yang begitu indah bagi saya. Pengalaman pertama ke UI, melihat lalu lalang maahsiswa UI. Entah berapa kali mobil bus berhenti didepan mataku sampai pada akhirnya Naj pun tiba.

Setelah Naj tiba, kami mengikuti jejak mahasiswa yang lain untuk menunggu bus, kampus UI Depok luar biasa luas, jadi agak ribet kalau jalan kaki dibawah guyuran hujan. Tidak lama bus pun datang, kami berlarian menuju pintu bus. Tujuan utama kami adalah perpus UI. Decak kagum tak hentinya terbesit dalam hati. Tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di kampus terbesar dan terkenal di Indonesia itu. Masuk di perpustakaannya serasa masuk di perpustakaan kampus di luar negeri. Suasana perpus yang betul-betul di design senyaman mungkin, interior ruangan yang luar biasa megah dan mahasiswa yang kelihatan serius belajar. Oh iya, sebelum masuk saya mesti registrasi dan bayar 5 ribu soalnya saya bukan mahasiswa UI yang mempunyai kartu mahasiswa. Setelah berkeliling cari buku, membaca dan mengantuk. Kami memutuskan untuk mencari musholla, berhubung waktu duhur sudah masuk. Kami sholat dan bergegas ke stasiun pondok cina, menunggu kereta yang akan mengantarkan kita ke Tanah Abang. Perjalanan yang lumayan panjang hingga akhirnya kita tiba di stasiun Tanah Abang. Kami disambut dengan hiruk pikuk tanah abang, bisingnya kendaraan, penjual asongan, asap rokok dan polusi dimana-mana, jalanan becek setelah hujan reda dan suara dari berbagai penjuru. Kami berjalan menelusuri emperan tanah abang, berpijak di tanah yang berair dan berlumpur akibat hujan, lalu masuk kedalam dan terus menyusuri tanah abang hingga ke Blok A sampai Blok B.

Pedagang rata-rata dari Padang, tanah abang memang surganya belanja, murah, meriah dan banyak pilihan. Perputaran rotasi manusia begitu nampak.

Hidup sehari dua hari di Jakarta saja sudah memberikan sumbangsi kestresan dalam hidup saya. Menyaksikan arus perutaran manusia yang begitu cepat, orang seliweran kiri kanan tanpa menyapa. Semua seakan berlomba untuk misi masing-masing, semua berambisi untuk sampai ke tujuan masing-masing, tidak ada lagi istilah bercengkrama atau berhenti barang sejenak untuk mengobrol. Semua begitu terburu-buru.

Setelah keliling berjam-jam di tanah abang, kami akhirnya memutuskan pulang. Ke stasiun kramat tempat pemberhentian sebelum sampai di kost Naj di daerah Salemba. Perjalanan tanah abang ke kramat bukan waktu yang sebentar, sempat tidur dan ngiler juga baru sampai. Sesampainya kami di stasiun, tempat yang menjadi incaran kami adalah warung makan. Temat pemadam kelaparan. Setelah makan baru kami bergegas ke kost naj untuk sholat. Saya pun akhirnya terjebak dalam kondisi yang serba cepat dan terburu-buru. Tak banyak mengobrol!!! Setelah sholat saya bergegas untuk pulang, maklum numpang dirumah orang, dan jaraknya juga tidak dekat. Setelah sholat saya bergegas menuju stasiun. Saya memesan tiket menuju Lenteng Agung. Perasaanku lama banget keretanya sampai, ternyata keretanya memang putar kembali ke Tanah Abang, terus ke Manggarai dan beberapa stasiun sampai ke Lenteng Agung.

Pemandangan di kereta pun tak kalah cetarnya. Ratusan orang bergrombol, saling berdesakan demi untuk mendapat pijakan di kereta yang akan membawanya sampai kerumah. Ibu-ibu hamil menjadi prioritas untuk mendapat tempat duduk. Disinilah sisi kemanusiaan kita akan di uji, relakah kita memberikan tempat duduk kita atau pura-pura gila untuk tetap duduk karena merasa kita juga capek dan mempunyai hak yang sama. Sejam berada di kereta lumayan banget ngerasain dorong kiri kanan depan belakang.

Stasiun terakhir sebelum sampai di lenteng agung saya chat beberapa orang yang kemungkinan bisa menolong saya memesakan grab. Dan kak Yuni yang akhirnya memesankan grab. Sialnya saya lupa konfirmasi kalau saya maunya pake grab bike, bukan grab car. Karena sudah terlanjur ya gapapalah. Nah bener, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Supir grab car yang saya tumpangi ternyata masih muda. Mobilnya keren dan orangnya lebih keren lagi. Lumayanlah ngedate beberapa menit hahahahaa. Eh gak gak, jangan fokus ke mamasnya. Jadi selama perjalanan saya mebuka pembicaraan dengan mamasnya, ternyata mamasnya sebelum jadi supir grab, dia pernah kerja lama di garuda, terus di BRI iya juga. Ada banyak cerita yang saya dapatkan selama perjalalan, yang meskipun nyasar beberapa kali tetap kami nikmatin.  Dan meski bayar tambahan 9 ribu karena ploting tujuannya beda antara yang diorder sama tujuan aslinya, tapi saya bersyukur. Uang masih bisa dicari, namun pengalaman tak bisa dibeli dengan uang. Saya dapat banyak pelajaran, pengalaman dan cerita dari mamas Supir grab yang kece badai.

Kenyamanan itu harus ditinggalkan untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih sukses lagi, pokoknya harus menikmati setiap prosesnya, tidak ada yang mudah, dan tidak ada yang gak capek. Bahkan tidur pun capek. Itu kata mamasnya. Dia yang notabene meninggalkan kenyamanan kerja di BUMN, kerja di BRI untuk sesuatu yang belum pasti lebih baik, menjadi supir grab dan berdagang sampai rugi ratusan juta. Namun satu hak yang dia yakini, apapun keputusan yang diambil semua memiliki konsekuensi, dan kita harus siap dari resiko atas keputusan yang kita buat. Terimakasih mamas supir grab atas ceritanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...