Rindu dengan sebuah perjalanan ke suatu tempat dimana
tidak ada yang mengenal aku. Saling bercerita dengan warga setempat tanpa
mengenal latar belakang, tanpa peduli kelas menengah, bawah dan atas. Rindu
untuk duduk sambil berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang menciptakan alam
yang begitu indah, merasa kecil di hamparan laut dengan hantaman ombak. Rindu
menjadi manusia yang merasa tidak pernah bersyukur akan jutaan nikmat Tuhan,
yang pasti aku rindu untuk merindukan rumah “Arafat Usman”.
Rindu,
rindu untuk berjalan melewati ambang batas, rindu untuk menerobos dinginnya
pagi dan pekatnya malam. Bercengkrama dengan masyarakat desa, mendengarkan
mereka bercerita dengan antusias mengenai anak-anak mereka yang sekolah di
kota, mengenai sawah ladang yang mereka garap, mengenai permasalah-permasalah
sosial yang sederhana. Tidak ada kebencian dan hujatan kepada pemerintah, tidak
ada saling sikut untuk sebuah kepentingan, polos lugu meneduhkan. Rindu berada
di pinggiran sungai, bermain dengan derasnya arus. Rindu dengan lingkungan yang
asing, mengobrol tanpa harus melihat kasta, status sosial dan latar belakang
profesi. Rindu dengan ke apa adaan dan kesederhanaan mewah yang tak harus mahal.
Waktu,
begitu cepat kau berlalu. Meninggalkanku yang masih terpaku. Kau terlalu cepat
merubah banyak hal, usia yang semakin menua, banyak hal yang harus berubah
seiring usia yang semakin ”matang”. Jika dulu hanya dipusingkan saat uang jajan
kurang, sekarang harus bergulat sama pekerjaan yang monoton, pekerjaan yang
membosankan demi sebuah penantian awal bulan “gaji”. Jika dulu masih dalam
sensasi berpacaran, sekarang dipaksa untuk memikirkan dan menjawab banyak pertanyaan
“kapan nikah”, “kapan punya anak”, kapan mati? Oops. Teman-teman yang sudah
berubah dan memilih jalan hidup yang berbeda. Jika dulu kita punya banyak waktu
untuk ngemall, karaoke, mendaki, dan liburan sekarang kita menempuh kesibukan
masing-masing, jangankan jalan-jalan bersama, berkirim kabar pun sudah jarang,
meski kita berada di kota yang sama pertemuan itu pun hanya sebatas wacana. Pilihan-pilihan
yang dulu hanya sebatas pilihan sekarang berubah menjadi sebuah prioritas. Jika dulu nekat kemana-mana seorang diri,
sekarang terlalu banyak ketakutan. Bagaimana kalau ini, bagaimana kalau itu. Ketakutan-ketakutan
yang membuat stuck. Jika dulu menerobos ambang batas untuk mengunjungi banyak
tempat, sekarang dipaksa untuk berjeda memikirkan “masa depan” mencari uang untuk kehidupan yang katanya keras jika tak kaya secara finansial.
Ah jarak,
kenangan dan masa lalu selalu saja menyelipkan rindu.
Makassar, 04-01-2017
Catatan absurd
di pagi yang mendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar