Rabu, 04 Januari 2017

Rindu Perjalanan



Rindu dengan sebuah perjalanan ke suatu tempat dimana tidak ada yang mengenal aku. Saling bercerita dengan warga setempat tanpa mengenal latar belakang, tanpa peduli kelas menengah, bawah dan atas. Rindu untuk duduk sambil berdecak kagum dengan kebesaran Tuhan yang menciptakan alam yang begitu indah, merasa kecil di hamparan laut dengan hantaman ombak. Rindu menjadi manusia yang merasa tidak pernah bersyukur akan jutaan nikmat Tuhan, yang pasti aku rindu untuk merindukan rumah “Arafat Usman”.

Rindu, rindu untuk berjalan melewati ambang batas, rindu untuk menerobos dinginnya pagi dan pekatnya malam. Bercengkrama dengan masyarakat desa, mendengarkan mereka bercerita dengan antusias mengenai anak-anak mereka yang sekolah di kota, mengenai sawah ladang yang mereka garap, mengenai permasalah-permasalah sosial yang sederhana. Tidak ada kebencian dan hujatan kepada pemerintah, tidak ada saling sikut untuk sebuah kepentingan, polos lugu meneduhkan. Rindu berada di pinggiran sungai, bermain dengan derasnya arus. Rindu dengan lingkungan yang asing, mengobrol tanpa harus melihat kasta, status sosial dan latar belakang profesi. Rindu dengan ke apa adaan dan kesederhanaan mewah yang tak harus mahal.

Waktu, begitu cepat kau berlalu. Meninggalkanku yang masih terpaku. Kau terlalu cepat merubah banyak hal, usia yang semakin menua, banyak hal yang harus berubah seiring usia yang semakin ”matang”. Jika dulu hanya dipusingkan saat uang jajan kurang, sekarang harus bergulat sama pekerjaan yang monoton, pekerjaan yang membosankan demi sebuah penantian awal bulan “gaji”. Jika dulu masih dalam sensasi berpacaran, sekarang dipaksa untuk memikirkan dan menjawab banyak pertanyaan “kapan nikah”, “kapan punya anak”, kapan mati? Oops. Teman-teman yang sudah berubah dan memilih jalan hidup yang berbeda. Jika dulu kita punya banyak waktu untuk ngemall, karaoke, mendaki, dan liburan sekarang kita menempuh kesibukan masing-masing, jangankan jalan-jalan bersama, berkirim kabar pun sudah jarang, meski kita berada di kota yang sama pertemuan itu pun hanya sebatas wacana. Pilihan-pilihan yang dulu hanya sebatas pilihan sekarang berubah menjadi sebuah prioritas.  Jika dulu nekat kemana-mana seorang diri, sekarang terlalu banyak ketakutan. Bagaimana kalau ini, bagaimana kalau itu. Ketakutan-ketakutan yang membuat stuck. Jika dulu menerobos ambang batas untuk mengunjungi banyak tempat, sekarang dipaksa untuk berjeda memikirkan “masa depan” mencari uang untuk kehidupan yang katanya keras jika tak kaya secara finansial.
Ah jarak, kenangan dan masa lalu selalu saja menyelipkan rindu.

Makassar, 04-01-2017
Catatan absurd di pagi yang mendung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...