Makassar awal tahun yang penghujan.
Hujan menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Setidaknya bagi mereka penikmat hujan, pencinta kenangan. Ada bulir-bulir kenangan yang jatuh bersamaan dengan rintik air yang turun. Pun bagi mereka para pengeluh, yang menjadikan hujan sebagai wadah untuk menumpahkan keluh kesahnya.
Awan kelabu
mengiringi perjalananku sore ini. Suara bising kendaraan memecah kemacetan
dikotaku. Memang sudah menjadi langganan setiap sore, deretan panjang kendaraan
akan semakin terlihat. Mendung tak menghalangi langkahku untuk bertemu dengan
orang baru dan belajar hal-hal baru. Tadi pagi liat info di grup Pecandu Aksara
ada kegiatan di Dilo, yah di Dilo sore ini ada bincang-bincang awal tahun yang
di adakan oleh Blogger Kampus Makassar. Pembicaranya kak Maruf yang baru balik
dari pengabdiannya di Nunukan dan Kaimana Papua. Temanya “setahun mengabdi dan menulis di perbatasan Nusantara”. Daaaannn keterangannya
gratis!!! Aduh mana tahan banget kalo udah liat kata gratis, dapat ilmu baru gratis.
Itu mah anugerah banget. Jarak pun bukan suatu persoalan, apalagi ketika
melihat captionnya yang ada kata-kata mengabdi dan menulis. Makin bertambah
antusias diriku untuk ikut. “Bakalan keren banget nih, Mengabdi dan Menulis,
pikirku”. Tanpa pikir panjang saya langsung registrasi.
Sesampainya di
Dilo 7 menit lewat dari jadwal yang ada di pamflet, dan ternyata saya peserta
pertama yang datang. Ah on time di kota ini kadang hanya jadi mitos, jadi sudah
membiasakan diri dengan situasi seperti ini. Tak berselang berapa lama, Ayu
lalu disusul Uni pun datang. Mereka berdua adalah teman komunitasku di SIGi.
Kami sholat ashar dulu sebelum masuk diruangan. Pukul 4 lewat sudah nampak
beberapa peserta berdatangan. Kami berbondong-bondong masuk keruangan. Kak Maruf
selaku pemateri pun sudah nampak diruangan dengan senyum sumringah. Beliau
menyapa Ayu dan Uni yang ternyata adalah juniornya di kampus. Lalu mengajakku
berkenalan. Tak berselang beberapa lama, kegiatan bincang-bincang dimulai, yang
diawali oleh pembukanan dan perkenalan pemateri oleh moderator. Lalu
dilanjutkan bincang-bincang langsung oleh kak Maruf.
Slide pertama
menampilkan beberapa orang dengan carrier besar di pundaknya. Pemaparan awal
dimulai dari perkenalan mengenai program “Patriot
Energi” yang baru saja di ikuti oleh kak Maruf, berlanjut ke cerita pra
pengabdian dan proses perjalanan panjang selama pengabdian 2 tahun di dua tempat
berbeda. Sepanjang kegiatan berlangsung saya menunggu sesi tanya jawab, atau
seenggaknya sesi dimana pemateri memaparkan proses menulisnya selama masa
pengabdian. Satu jam berlalu, yang terjadi hanyalah pemaparan kisah selama
pengabdian.
Ah saya
sepertinya salah persepsi, awalnya saya menyangka kegiatan ini sama seperti
kegiatan yang pernah dilakukan oleh Pecandu Aksara, yaitu prose menulis
kreatif, ternyata berbeda. Saya lagi lagi ngedumel dalam hati, woiii makanya
jangan terlalu berekpektasi tinggi, nanti kecewa kalau kenyataannya jauh
berbeda dari realita. Namun cerita pengabdian kak Maruf setidaknya menutupi
rasa kecewa saya. Saya begitu antusias mendengar pemaparannya, serasa ingin
membuang diri mengikuti jejaknya. Bertemu dengan banyak orang-orang diruangan
itu pun menutupi rasa kecewa yang sempat menyentil. Ada mantan pengajar muda,
ada yang baru balik mengabdi dari Merauke, ada awardee LPDP yang lagi kuliah di
Adelaide dan liburan ke Indonesia, ada alumni SM3T, dan beberapa volunteer yang
lain. Ah semangat anak muda sekarang patut diacungi jempol. Tak ayal 5-10
tahun kedepan dengan semangat yang masih
membara, kita mampu memberikan secercah warna dan harapan untuk Indonesia yang
lebih baik.
Foto pasca bincang-bincang
Secuil kisah
yang diceritakan oleh kak Maruf sewaktu di Kalimantan dan di Papua membuatku
kembali bernostalgia mengenang masa beberapa bulan di Papua. Cerita tinggal
dipedalaman selalu memberi nuansa haru. Meski hidup dalam keterbatasan, tapi
hal itu mampu membuat kami lebih banyak bersyukur. Bisa membuat kami lebih
banyak belajar. Banyak hal kecil yang mampu dengan sigap membuat kami bahagia, karena
standar bahagia kami begitu sederhana. Mendapat jaringan untuk sekedar berkirim
pesan pun sudah merupakan kebahagiaan yang begitu besar. Hidup di kota membuat
kita lebih banyak menuntut, hidup di kota membuat kita luput dari syukur, kita
berharap yang lebih dan lebih lagi, kita tak pernah merasa cukup. Jangankan
bersyukur, bahagia pun menguap entah kemana. Peradaban yang begitu cepat
membuat kita lalai dan lupa diri.
Pengabdian dan
menjadi relawan adalah candu, ada rasa ingin lagi dan ingin terus. Meski banyak
pertentangan, meski banyak cibiran itu tidak menjadi persoalan. Karena kami menemukan kebahagiaan yang merasuk kedalam jiwa yang hanya bisa dirasakan oleh mereka
yang menjalaninya.
Makassar,
05 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar