Jumat, 06 Januari 2017

Bincang-bincang awal tahun

Makassar awal tahun yang penghujan.


Hujan menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Setidaknya bagi mereka penikmat hujan, pencinta kenangan. Ada bulir-bulir kenangan yang jatuh bersamaan dengan rintik air yang turun. Pun bagi mereka para pengeluh, yang menjadikan hujan sebagai wadah untuk menumpahkan keluh kesahnya. 

Awan kelabu mengiringi perjalananku sore ini. Suara bising kendaraan memecah kemacetan dikotaku. Memang sudah menjadi langganan setiap sore, deretan panjang kendaraan akan semakin terlihat. Mendung tak menghalangi langkahku untuk bertemu dengan orang baru dan belajar hal-hal baru. Tadi pagi liat info di grup Pecandu Aksara ada kegiatan di Dilo, yah di Dilo sore ini ada bincang-bincang awal tahun yang di adakan oleh Blogger Kampus Makassar. Pembicaranya kak Maruf yang baru balik dari pengabdiannya di Nunukan dan Kaimana Papua. Temanya “setahun mengabdi dan menulis di perbatasan Nusantara”. Daaaannn keterangannya gratis!!! Aduh mana tahan banget kalo udah liat kata gratis, dapat ilmu baru gratis. Itu mah anugerah banget. Jarak pun bukan suatu persoalan, apalagi ketika melihat captionnya yang ada kata-kata mengabdi dan menulis. Makin bertambah antusias diriku untuk ikut. “Bakalan keren banget nih, Mengabdi dan Menulis, pikirku”. Tanpa pikir panjang saya langsung registrasi.

Sesampainya di Dilo 7 menit lewat dari jadwal yang ada di pamflet, dan ternyata saya peserta pertama yang datang. Ah on time di kota ini kadang hanya jadi mitos, jadi sudah membiasakan diri dengan situasi seperti ini. Tak berselang berapa lama, Ayu lalu disusul Uni pun datang. Mereka berdua adalah teman komunitasku di SIGi. Kami sholat ashar dulu sebelum masuk diruangan. Pukul 4 lewat sudah nampak beberapa peserta berdatangan. Kami berbondong-bondong masuk keruangan. Kak Maruf selaku pemateri pun sudah nampak diruangan dengan senyum sumringah. Beliau menyapa Ayu dan Uni yang ternyata adalah juniornya di kampus. Lalu mengajakku berkenalan. Tak berselang beberapa lama, kegiatan bincang-bincang dimulai, yang diawali oleh pembukanan dan perkenalan pemateri oleh moderator. Lalu dilanjutkan bincang-bincang langsung oleh kak Maruf.
Slide pertama menampilkan beberapa orang dengan carrier besar di pundaknya. Pemaparan awal dimulai dari perkenalan mengenai program “Patriot Energi” yang baru saja di ikuti oleh kak Maruf, berlanjut ke cerita pra pengabdian dan proses perjalanan panjang selama pengabdian 2 tahun di dua tempat berbeda. Sepanjang kegiatan berlangsung saya menunggu sesi tanya jawab, atau seenggaknya sesi dimana pemateri memaparkan proses menulisnya selama masa pengabdian. Satu jam berlalu, yang terjadi hanyalah pemaparan kisah selama pengabdian.
Ah saya sepertinya salah persepsi, awalnya saya menyangka kegiatan ini sama seperti kegiatan yang pernah dilakukan oleh Pecandu Aksara, yaitu prose menulis kreatif, ternyata berbeda. Saya lagi lagi ngedumel dalam hati, woiii makanya jangan terlalu berekpektasi tinggi, nanti kecewa kalau kenyataannya jauh berbeda dari realita. Namun cerita pengabdian kak Maruf setidaknya menutupi rasa kecewa saya. Saya begitu antusias mendengar pemaparannya, serasa ingin membuang diri mengikuti jejaknya. Bertemu dengan banyak orang-orang diruangan itu pun menutupi rasa kecewa yang sempat menyentil. Ada mantan pengajar muda, ada yang baru balik mengabdi dari Merauke, ada awardee LPDP yang lagi kuliah di Adelaide dan liburan ke Indonesia, ada alumni SM3T, dan beberapa volunteer yang lain. Ah semangat anak muda sekarang patut diacungi jempol. Tak ayal 5-10 tahun  kedepan dengan semangat yang masih membara, kita mampu memberikan secercah warna dan harapan untuk Indonesia yang lebih baik.
Foto pasca bincang-bincang



Secuil kisah yang diceritakan oleh kak Maruf sewaktu di Kalimantan dan di Papua membuatku kembali bernostalgia mengenang masa beberapa bulan di Papua. Cerita tinggal dipedalaman selalu memberi nuansa haru. Meski hidup dalam keterbatasan, tapi hal itu mampu membuat kami lebih banyak bersyukur. Bisa membuat kami lebih banyak belajar. Banyak hal kecil yang mampu dengan sigap membuat kami bahagia, karena standar bahagia kami begitu sederhana. Mendapat jaringan untuk sekedar berkirim pesan pun sudah merupakan kebahagiaan yang begitu besar. Hidup di kota membuat kita lebih banyak menuntut, hidup di kota membuat kita luput dari syukur, kita berharap yang lebih dan lebih lagi, kita tak pernah merasa cukup. Jangankan bersyukur, bahagia pun menguap entah kemana. Peradaban yang begitu cepat membuat kita lalai dan lupa diri.

Pengabdian dan menjadi relawan adalah candu, ada rasa ingin lagi dan ingin terus. Meski banyak pertentangan, meski banyak cibiran itu tidak menjadi persoalan. Karena kami menemukan kebahagiaan yang merasuk kedalam jiwa yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang menjalaninya.

Makassar, 05 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...