Memulai. Memulai
adalah sesuatu yang butuh perjuangan. Butuh kerja keras untuk menanggalkan dan
meninggalkan banyak hal.
Kala itu,
saya memilih meninggalkan Makasssar, bukan untuk lari dari kenyataan. Tapi untuk
memulai sesuatu yang saya pun tak tau sesuatu itu apa. Satu hal yang saya ingin
hanyalah saya meninggalkan Makassar. Ketika pertanyaan berbondong-bondong
menyerangku, apa gerangan yang membuat saya memilih ke Jogja padahal tidak ada
pendaftaran apapun kala itu. Selalu kujawab ingin menyesuaikan diri dengan
lingkungan Jogja, ingin mempersiapkan banyak hal sebelum akhirnya masuk kuliah
kembali, karena isue dari beberapa teman yang sudah menjalani S2 terlebih
dahulu mereka mengalami sedikit kesulitan. Jadi saya membulatkan tekad untuk ke
Jogja Mengangkut sebagian besar barang untuk hijrah dan meninggalkan banyak
kenangan.
Sebulan,
dua bulan, tiga bulan. Semuanya berjalan baik, saya mulai menyesuaikan diri,
mendaftar di beberapa komunitas yang ada di Jogja. Bergabung di International English
Club, gabung di Ruang Berbagi Ilmu regional Jogja dan menanti beberapa
konfirmasi pengumuman recruitmen relawan di beberapa komunitas. Banyak acara-acara
yang mulai kudatangi, menambah wawasan serta memperluas pertemanan.
Saya sudah
mulai merasakan comfort zone di Jogja. Hingga suatu hari menjelang lebaran Idul
Adha, orang tua memanggilku kembali ke Makassar. Lebaran bersama keluarga yang
dimana waktu itu kakakku pun memiliki kesempatan yang sama untuk kembali. Serta
alasan yang paling besar kenapa saya diminta untuk kembali ke Makassar karena kala
itu sepupu yang merupakan anak tunggal mau menikah, mamaku berkali-kali “memaksa”
untuk balik, “sepupumu anak tunggal, dia sudah baik banget, masa kamu gak mau
balik menghadiri pernikahannya”, itu kata mamaku. Dengan berat hati sih
sebenarnya, saya akhirnya memilih untuk kembali.
Ketika teman-teman
di Jogja bertanya kapan saya balik lagi ke Jogja, dengan percaya diri kujawab
awal bulan 10 saya akan kembali ke Jogja. Lagian ke Makassar juga cuman balik hadirin
nikahan sodara dan lebaran, setelah itu balik lagi ke Jogja sekalian bawa
motor. Hidup di Jogja tanpa kendaraan sedikit banyak membatasi pergerakan, bisa
sih naik trans Jogja cuman waktu akan habis lama di bus. Pakaian serta
barang-barang lain pun hanya segelintir yang kubawa serta. Uang kost bulanan
pun masih tetap kubayar.
Dalam masa
menanti kepulangan ke Jogja, saya kembali aktif berkomunitas. Dan jleb, saya
terjebak kenyamanan (lagi). Kenyamanan itu ternyata menghentikan langkahku
sejenak. Saya menikmatinya. Saya mengurungkan niat kembali ke Jogja dengan
berbagai alasan.
Galaunya mulai
memuncah ketika di bulan 11 saya harus menerima kenyataan kalau jurusan yang
saya inginkan di UGM tidak buka untuk semester genap, saya sempat nekat untuk
mengambil jurusan lain yang tidak jauh berbeda. Tapi setelah mendapat wejangan
dari beberapa orang, saya memilih untuk menunggu semester ganjil. Dari pada
menjalani setengah hati nantinya, itu kata teman-temanku.
Kesempatan lain
untuk mengambil jurusan yang kuinginkan terbuka di UI dan UPI. Saya sudah mulai
mengambil ancang-ancang untuk mendaftar. Tapi karena satu dua hal saya
mengurungkan niat dan memilih untuk menunggu semester ganjil (lagi). Lagian saya
masih menikmati zona nyaman yang sekarang saya jalani, “ah nikmati aja dulu apa
yang kau jalani sekarang, sebelum kesibukan merenggut kebebasanmu”, kata-kata
yang sering kukatakan pada diri sendiri.
Titik jenuh
akan selalu bertandang tanpa permisi dan tanpa kode. Ketika melihat satu
persatu teman-teman sudah diterima dikampus tujuan masing-masing, teman
seperjuangan yang dulu sering ketawa ketiwi bersama sudah sibuk dengan kerjaan
masing-masing saya baru tersadar. “woi kamu kemana aja, kamu terlalu menikmati
zona nyaman dan tak sadar kamu sudah tertinggal sangat jauh”. Baru deh kalo
sudah sampai di titik ini pasti akan uring-uringan tidak jelas. Mengutuk diri
sendiri. Dan tersadar selama ini saya tidak memiliki tujuan, saya jalan
ditempat, saya terombang-ambing dalam bahagia yang saya cipta sendiri. Dan akan
tersandung ketika definisi bahagiaku terbentur dengan definisi kesuksesan orang lain.
Saya seperti
kehilangan kompas kehidupan, saya tak tau arah, saya tak mengerti apa yang
benar-benar saya inginkan. Ternyata menjadi berbeda rasanya cukup sulit,
bahagia dan sukses dengan definisi sendiri akan mengalami benturan ketika sudah
masuk ranah bahagia dan sukses pada umumnya. Akan selalu ada perbandingan, akan
selalu ada sinisme. Pertentangan bukan hanya berasal dari orang lain, tapi dari
keluarga pun iya. Pada akhirnya yang saya lakukan adalah menikmati dan menjalani
apa yang ada didepan mata saat ini, mencoba berdamai dengan keadaan. Berusaha bahagia
dan mencapai sesuatu, menekan ego dan keinginan pribadi untuk memuaskan mata
yang melihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar