Rabu, 18 Januari 2017

Memulai?



Memulai. Memulai adalah sesuatu yang butuh perjuangan. Butuh kerja keras untuk menanggalkan dan meninggalkan banyak hal.

Kala itu, saya memilih meninggalkan Makasssar, bukan untuk lari dari kenyataan. Tapi untuk memulai sesuatu yang saya pun tak tau sesuatu itu apa. Satu hal yang saya ingin hanyalah saya meninggalkan Makassar. Ketika pertanyaan berbondong-bondong menyerangku, apa gerangan yang membuat saya memilih ke Jogja padahal tidak ada pendaftaran apapun kala itu. Selalu kujawab ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan Jogja, ingin mempersiapkan banyak hal sebelum akhirnya masuk kuliah kembali, karena isue dari beberapa teman yang sudah menjalani S2 terlebih dahulu mereka mengalami sedikit kesulitan. Jadi saya membulatkan tekad untuk ke Jogja Mengangkut sebagian besar barang untuk hijrah dan meninggalkan banyak kenangan.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Semuanya berjalan baik, saya mulai menyesuaikan diri, mendaftar di beberapa komunitas yang ada di Jogja. Bergabung di International English Club, gabung di Ruang Berbagi Ilmu regional Jogja dan menanti beberapa konfirmasi pengumuman recruitmen relawan di beberapa komunitas. Banyak acara-acara yang mulai kudatangi, menambah wawasan serta memperluas pertemanan.

Saya sudah mulai merasakan comfort zone di Jogja. Hingga suatu hari menjelang lebaran Idul Adha, orang tua memanggilku kembali ke Makassar. Lebaran bersama keluarga yang dimana waktu itu kakakku pun memiliki kesempatan yang sama untuk kembali. Serta alasan yang paling besar kenapa saya diminta untuk kembali ke Makassar karena kala itu sepupu yang merupakan anak tunggal mau menikah, mamaku berkali-kali “memaksa” untuk balik, “sepupumu anak tunggal, dia sudah baik banget, masa kamu gak mau balik menghadiri pernikahannya”, itu kata mamaku. Dengan berat hati sih sebenarnya, saya akhirnya memilih untuk kembali.

Ketika teman-teman di Jogja bertanya kapan saya balik lagi ke Jogja, dengan percaya diri kujawab awal bulan 10 saya akan kembali ke Jogja. Lagian ke Makassar juga cuman balik hadirin nikahan sodara dan lebaran, setelah itu balik lagi ke Jogja sekalian bawa motor. Hidup di Jogja tanpa kendaraan sedikit banyak membatasi pergerakan, bisa sih naik trans Jogja cuman waktu akan habis lama di bus. Pakaian serta barang-barang lain pun hanya segelintir yang kubawa serta. Uang kost bulanan pun masih tetap kubayar. 

Dalam masa menanti kepulangan ke Jogja, saya kembali aktif berkomunitas. Dan jleb, saya terjebak kenyamanan (lagi). Kenyamanan itu ternyata menghentikan langkahku sejenak. Saya menikmatinya. Saya mengurungkan niat kembali ke Jogja dengan berbagai alasan. 

Galaunya mulai memuncah ketika di bulan 11 saya harus menerima kenyataan kalau jurusan yang saya inginkan di UGM tidak buka untuk semester genap, saya sempat nekat untuk mengambil jurusan lain yang tidak jauh berbeda. Tapi setelah mendapat wejangan dari beberapa orang, saya memilih untuk menunggu semester ganjil. Dari pada menjalani setengah hati nantinya, itu kata teman-temanku.

Kesempatan lain untuk mengambil jurusan yang kuinginkan terbuka di UI dan UPI. Saya sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk mendaftar. Tapi karena satu dua hal saya mengurungkan niat dan memilih untuk menunggu semester ganjil (lagi). Lagian saya masih menikmati zona nyaman yang sekarang saya jalani, “ah nikmati aja dulu apa yang kau jalani sekarang, sebelum kesibukan merenggut kebebasanmu”, kata-kata yang sering kukatakan pada diri sendiri.

Titik jenuh akan selalu bertandang tanpa permisi dan tanpa kode. Ketika melihat satu persatu teman-teman sudah diterima dikampus tujuan masing-masing, teman seperjuangan yang dulu sering ketawa ketiwi bersama sudah sibuk dengan kerjaan masing-masing saya baru tersadar. “woi kamu kemana aja, kamu terlalu menikmati zona nyaman dan tak sadar kamu sudah tertinggal sangat jauh”. Baru deh kalo sudah sampai di titik ini pasti akan uring-uringan tidak jelas. Mengutuk diri sendiri. Dan tersadar selama ini saya tidak memiliki tujuan, saya jalan ditempat, saya terombang-ambing dalam bahagia yang saya cipta sendiri. Dan akan tersandung ketika definisi bahagiaku terbentur dengan definisi kesuksesan orang lain.

Saya seperti kehilangan kompas kehidupan, saya tak tau arah, saya tak mengerti apa yang benar-benar saya inginkan. Ternyata menjadi berbeda rasanya cukup sulit, bahagia dan sukses dengan definisi sendiri akan mengalami benturan ketika sudah masuk ranah bahagia dan sukses pada umumnya. Akan selalu ada perbandingan, akan selalu ada sinisme. Pertentangan bukan hanya berasal dari orang lain, tapi dari keluarga pun iya. Pada akhirnya yang saya lakukan adalah menikmati dan menjalani apa yang ada didepan mata saat ini, mencoba berdamai dengan keadaan. Berusaha bahagia dan mencapai sesuatu, menekan ego dan keinginan pribadi untuk memuaskan mata yang melihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...