Sabtu, 28 Januari 2017

Andai



Andai bisa begini, andai bisa begitu, andai bisa ini itu senang sekali.

Hal yang paling jauh dipelupuk mata adalah pengandaian, jika dan hanya jika. Sesuatu yang telah terlewati, atau pun sesuatu yang tak mungkin kita gapai, atau bisa jadi sebuah penyesalan masa lalu. Dan berujung dengan pengandaian, jika waktu itu saya begini, jika waktu itu saya begitu pasti jalan ceritanya akan berbeda, jika dan hanya jika.

Ah ngomong apa sih, masih awal udah absurd banget hihihi.

Saya tak pernah begitu serius menanggapi sesuatu, saya berusaha untuk selalu mengambil sikap atas segala sesuatu yang terjadi, dan belajar olehnya.

Saya mencintai kebebasan, saya benci aturan, karena aturan selalu di identikkan dengan hukuman dan penilaian. Penilaian itu mematikan, membunuh karakter, meciutkan kepercayaan diri.

Apa sih pentingnya sebuah penilaian? Toh yang menjalani hidup dan tau apa yang kita butuh ya diri kita sendiri, bukan orang-orang yang pintar berkomentar dan menjastifikasi itu.

Dulu, sejak kecil saya sering bermain apapun itu. Tak peduli permainan itu biasanya digandrungi cowok atau permainan cewek. Bagiku, tak ada yang benar-benar milik seseorang dengan penguasaan gender. Saya bermain tali, bermain kelereng, manjat pohon, berkelahi, main boneka, mencuri mangga, main rumah-rumahan dari tanah liat, bermain minyak-minyakan dari pucuk daun kakao, main layangan, bahkan pernah paha dan betis berlubang tertusuk paku karena bermain sepeda cross bersama kakak. Semuanya kunikmati dengan senang hati dan penuh bahagia, masa kecil yang indah dan saya sangat menikmatinya.

Untungnya dalam keluarga tak pernah membatasi apapun yang saya lakukan. Orang tua memberikan kebebasan bermain dan menikmati masa kecil.

Setelah beranjak dewasa, persoalan demi persoalan mulai mencuat. Dunia dewasa benar-benar ribet dan membingungkan. Banyak keterbatasan dan banyak larangan karena saya seorang perempuan. Ah lagi-lagi penilaian masyarakat dan aturan norma adat istiadat begitu mengungkung.

Andai saya dilahirkan bukan sebagai seorang gadis, mungkin aturan yang banyak itu bisa saya terobos. Saya bisa lebih memiliki banyak kesempatan untuk memilih dan dipilih. Saya mungkin tak begitu mempersoalkan pernikahan di umur yang menjelang ¼ abad. Saya mungkin akan enteng-enteng saja berpetualang dan tidur di emperan toko tanpa harus ketakutan. Andai saja saya seorang cowok saya mungkin tak akan menjadikan beban untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebelum menikah. Ah lagi, lagi. Penilaian itu membatasi gerak langkah, mengungkung dalam penjara emas.

Andai saja saya seorang cowok mungkin saya lebih berkesempatan besar untuk menjadi seorang kurir ekspedisi dan mengantarkan barang kesana kemari. Andai saja saya seorang cowok mungkin saya bisa lebih enteng untuk mendaftar sebagai driver gojek. Lebih banyak kesempatan mengantar orang kemana-mana dan membuka pembicaran, belajar banyak dari kisah orang lain yang bercengkrama denganku diatas motor dalam perjalanan.

Tapi apa bisa dikata, saya terlahir sebagai seorang wanita. Dengan kodrat dan aturan norma yang begitu menjemukan, larangan ini itu yang begitu membatasi gerak langkah. Nikmati, syukuri, dan jalani serta berdamailah dengan kenyataan. Kita bisa melanggar aturan yang dibuat manusia, tapi kita tak punya kuasa untuk menolak takdir yang telah ditetapkan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...