Apa hobbymu?
Ketika ditanya hobby, sejak kecil hingga kita
dewasa, pasti jawabannya akan berubah-ubah. Sama halnya dengan saya, saat kecil
ditanya apa hobbymu? Saya pasti menjawab “nonton, makan, main bulutangkis”, ini
mah jawaban yang asli ngasal. Karena pernah melakukannya sekali dua kali, dan
tiba-tiba hal itu terlintas ketika ditanya hobby, hasilnya jawaban yang keluar
pun ngasal.
Ketika beranjak remaja, hobbynya sedikit
berubah. Ketika ditanya apa hobbymu? Pasti akan menjawab “jalan-jalan, baca
buku”, sama ketika masih kecil. Kebiasaan yang lumayan sering dilakukan bisa
menjelma menjadi sebuah jawaban ketika ditanya hobby.
Ketika kuliah, karena beberapa kali pernah
mendaki. Kalau ditanya apa hobbymu? Pasti akan menjawab mendaki, atau travelling.
Ini hobbynya gaya banget ya. Padahal hanya sekali dua kali mendaki dan
travelling sok-sokan bilang itu hobby. Hahaha
Setelah merenung dan bertapa mencari
sebenarnya hobby saya apa? Saya menemukan hal yang tak saya sadari selama ini. Ternyata
hobby saya bukan nonton, makan, main bulutangkis, jalan-jalan baca buku ataupun
mendaki. Tapi hobby saya adalah BERCERITA. Yah bercerita.
Entah kenapa, paling senang dan paling
antusias ketika bercerita. Bercerita apapun itu dan dengan siapapun itu. Selalu
saja mendapat mata air kehidupan yang baru kala bercerita, selalu saja
menemukan warna kehidupan kala mendengarkan cerita. Dan selalu saja ada bahan
untuk berbagi cerita.
Saya acapkali menemukan diriku yang kadang
bisa sok akrab dengan orang baru. Entah itu tukang sampah, tukang parkir,
kasir, pelayan toko, penjual bakso, penjual sayur dan ikan di pasar, tukang ojek, supir taksi, ibu-ibu yang kebetulan ketemu
di tempat umum atau bapak-bapak yang barengan mengantri. Selalu saja ada
dorongan untuk mengajak mereka bercerita. Dan seringkali menemukan banyak
pelajaran dari cerita yang mereka bagikan. Belajar untuk simpati dan empati
atas pekerjaan orang lain.
Dulu, waktu masih kuliah. Sering sekali
sampai didepan lorong dalam kondisi sendiri, tak ada lagi bentor dengan jalanan
masuk kerumah yang kurang lebih 500 meter dalam kondisi gelap, dan harus jalan
kaki karena orang rumah sudah pada tidur dan tak ada yang bisa menjemput. Kadang
ada orang yang singgah memberi tebengan, tanpa fikir dua kali saya langsung
saja naik. Dan saya selalu merasa bercerita menemukan kebaikannya sendiri. Orang
yang memberi tebengan kuajak untuk bercerita, sebagai salah satu jurus jitu
menghindari niat jahat yang mungkin terbesit.
Ketika turun gunung dan bertemu dengan sesama
pendaki di desa terakhir, selalu saja menemukan magnet yang menjadi jembatan
penghubung cerita kami. Kami bisa kelihatan begitu akrab meski baru bertemu,
semua dijembatani karena cerita.
Dan masih banyak pengalaman lain, yang ketika
saya ingat mampu membuat saya ketawa-ketawa sendiri karena kepedean yang akdang
terlalu, ke sok akraban yang seringkali terjadi.
Kaya akan cerita ternyata mampu menghubungkan
kita dengan banyak hal, banyak orang dan banyak pelajaran.