Kita adalah sepasang sepatu. Selalu bersama, tak bisa menyatu
(Tulus, Sepatu)
Faktanya :
Kita saling mencintai
Masalahnya :
Tak ada yang suka dengan hubungan ini
Solusinya :
kita jalani saja dulu semuanya, meski kita tau ini tak akan mudah
Sejak
awal kita memutuskan untuk memadu jalinan kasih, sejak hari itu pula badai
masalah terus saja menerpa. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku adalah fakta. Namun,
keberadaanku yang tak disukai oleh teman dan keluarga besarmu pun adalah sebuah
realita.
Cinta?
Aku bodoh karena cintaku padamu. Aku tak berdaya karena aku begitu
menginginkanmu. Meski kutau keluargamu tak pernah menginginkan hadirku, aku
yang melarat, aku tak punya gelimangan materi yang keluargamu fikir mampu
membahagiakanmu. Aku hanya punya cinta tulus untukmu. Kesetiaan yang selalu
kujaga hanya untukmu. Aku sadar sepenuhnya, hidup itu bukan cuman tentang
cinta, hidup itu butuh uang. Makanya aku kerja keras banting tulang siang dan
malam untuk memantaskan diri mendapatkanmu.
Beberapa
tahun adalah waktu yang cukup untuk kita saling mengenal. Niatku untuk
mempersuntingmu dan menjadikanmu makmumku ternyata bukan hal yang mudah. Meski telah
kubawa segeprok uang untukmu. Aku masih kalah materi dari cowok-cowok yang
datang untuk mempersuntingmu. Dan kasusnya masih saja tetap sama. Keluargamu masih
dan mungkin akan tetap tidak pernah menyukaiku.
Beberapa
orang yang datang melamarmu masih tetap kau tolak. Cowok-cowok yang memiliki
jabatan yang tinggi dan materi yang berlimpah. Aku masih yakin dengan
kesetiaanmu menunggu hubungan kita direstui, tapi aku tak tau sampai kapan kau
akan terus menolak dan bertahan. Aku masih saja selalu takut jika satu hari
nanti keluargamu memaksamu untuk menerima lamaran salah satu dari cowok yang
datang, dan aku hanya akan menjadi tamu di pernikahanmu nanti.
Perjuangan
kita semakin berat. Saat kita menjalani hubungan jarak jauh. Kau kembali ke
kotamu. Bekerja sebagai pegawai di salah satu bank terkenal. Kau kembali
berkumpul bersama keluarga besarmu.
Satu
hari ketika kudengar kau meminta ijin padaku untuk menjalani hubungan dengan
salah satu cowok yang ingin dijodohkan untukmu. Rasa-rasanya waktu itu jarum
jam berhenti berdetak. Darahku serasa tak lagi mengalir. Dunia seakan berhenti
berputar. Ada banyak jarum yang menusuk jantungku. Haaa? Ini terlalu gila
untukku. Mengijinkan kekasihku memadu kasih dengan orang lain.
Tapi
tak apa cinta, selama janur kuning belum melengkung, aku masih tetap memiliki
kesempatan untuk memilikimu. Aku masih terus berjuang untuk mendapatkanmu. Meski
kekasih yang tengah bersamamu kini punya segalanya. Tapi aku tetap percaya tak
ada cinta yang sebesar cintaku padamu. Dan Tuhan tak tidur, Tuhan akan selalu
melihat usaha-usaha kerasku untuk mendapatkanmu.
Kau
tau sayang? Rasanya sakit sekali, acapkali kau meminta ijin untuk jalan dengan
kekasihmu. Rasanya begitu menyesakkan setiap kali kau bercerita perjalananmu
dengan kekasihmu. Ketika kita tengah telefonan, kau akan memintaku mengakhiri
telefon ketika panggilan dari kekasihmu yang lain masuk. Dan aku rela melakukan
itu. Demi untuk melihatmu bahagia. Meski aku harus mengorbankan perasaanku
sendiri.
Ah,
andai aku terlahir kaya dan punya gelimangan materi. Mungkin ceritanya tak akan
sedrama ini. Mungkin keluargamu tak akan pernah menentang hubungan kita. Andai aku
adalah orang yang punya banyak uang. Mungkin cerita percintaan kita tak seliku
ini. Aku tak pernah menyalahkan keluargamu atas ketidak sukaannya padaku. Aku sepenuhnya
sadar, untuk hidup tak hanya bermodalkan cinta. Kita tak mungkin makan cinta
setelah menikah. Aku tak pernah menghardikmu sebagai cewek yang matrealistis. Meski
kenyataannya kau menduakanku dengan kekasih yang jauh lebih mapan. Aku sepenuhnya
sadar, untuk make-up dan tampil sosialita tak bisa menggunakan daun yang jatuh.
Aku
masih dan akan tetap disini, bertahan untuk memperjuangkan rasa yang kita
miliki. Meski aku tak sepenuhnya yakin. Kita akan tetap bersama. Namun selama
ijab belum dikabulkan. Aku masih tetap punya kesempatan untuk mempersuntingmu
menjadi kekasih halalku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar