Tempat yang mempertemukan dan memisahkan kita dalam status yang berbeda
Kala itu dengan berat hati kulepas kau pergi. Pergi untuk merangkai mimpimu. Di kota yang kau yakini menjadi tapak awal untuk menuju ke puncak impianmu, kuiringi kau dengan doa tulus. Berharap kelak kau kembali dengan berita bahagia, berita kesuksesanmu menimba ilmu di pulau sebelah. Air mata mengiringi jejak langkahmu hingga bayangmu tak lagi bisa kutangkap dalam pandangan mata.
Hari-hari
yang kita lalui penuh banyak duri. Kita yang setiap hari ketemu. Melakukan banyak
aktifitas bersama. Kini di uji dengan jarak. Ribuan mil jarak yang memisahkan
kita. Suara merdumu masih sering kudengar dibalik telefon. Kita masih intens
melakukan obrolan lewat video call. Tak ada yang benar-benar berubah. Kecuali ragamu
yang tak lagi bisa kurengkuh.
Menit
berganti jam, jam berganti hari. Aku selalu menanti kepulanganmu. Berharap celengan
rindu yang kita tabung bisa kita pecahkan bersama dalam suka cita. 2 bulan
telah berlalu. Kau tiba-tiba menelfonku. Memutuskan hubungan yang telah kita
lewati lebih dari 4 tahun lamanya. Kau bilang kau mencintai orang lain. Orang yang
sekarang tengah bersamamu di kota tempatmu belajar. Seketika itu, tanpa
perintah, tanpa aba-aba air mataku jatuh tak terbendung. Berkali-kali kutampar
pipiku untuk meyakinkan ini hanyalah mimpi.
Auuuuhhh,
sakiiit. Ini adalah kenyataan. Ini bukan mimpi. Air mataku makin deras
mengalir. Sakit dipipiku tak sebanding dengan sakit yang kurasakan didalam
hatiku. Begitu menyesakkan. Aku tak percaya, benar-benar tak percaya dengan
lelucon ini. Wanita yang baru kau kenal dalam hitungan minggu mampu menggeser
posisi yang telah kutempati bertahun tahun. Aku kalah!
Hari-hari
berikutnya aku tak hentinya menghubungimu. Berharap semuanya kembali seperti
dulu. Berangan-angan ini hanya kekhilafanmu saja. Terpukau dengan wanita yang
lebih dari wanitamu fikirku masih wajar, mungkin kau sedang jenuh saja denganku
dan ingin mencari suasana baru. Namun asaku ternyata berlebihan. Kau benar-benar
telah berubah. Sekarang kau sangat sering marah. Tidak lagi mengangkat
telefonku. Kau lebih takut pacar barumu tau keberadaanku. Kau lebih menjaga
perasaan orang yang baru kau kenal dibanding aku yang telah menemanimu melewati
banyak hal denganmu, aku bukan lagi tujuanmu. Aku benar-benar kalah. Aku tersungkur.
Aku berkali-berkali
merengek memintamu kembali ke pelukanku. Sesering aku memohon, lebih sering
lagi kau mengacukan dan membentakku. Hingga hari itu tiba. Hari kepulanganmu. Hari
kembalimu ke kota kita. Kota yang pernah mengukir banyak kenangan tentang kita.
Entah ada angin apa. Kau memintaku menjemputmu. Aku yang masih menyimpan utuh
perasaanku padamu dengan penuh haru berangkat ke bandara menjemputmu. Meski
kutau, semuanya sudah berbeda. Kau yang kuantar waktu itu ke bandara, kau yang
kala itu kudoakan untuk segala bentuk kebaikan agar tercurah untukmu, kini kau
kembali dengan status yang berbeda. Kau bukan lagi lelakiku.
Saat melihatmu
keluar dari pintu kedatangan, air mata lagi-lagi jatuh di pelupuk mataku. Namun sigap
kuhapus. Kugantikan dengan tawa bahagia yang mengandung kepedihan. Kau tersenyum
tanpa sedikit pun rasa bersalah. Menyalamiku lalu pamitan untuk menelfon pacar
barumu. Seketika ingin rasanya kujambak dirimu, menamparmu agar kau sadar. Ada aku
disini. Aku yang selalu setia menanti kepulanganmu. Aku yang selalu setia
menjaga hatiku untukmu. Namun kau acuh. Kau lebih memilih dia. Aku kalah. Aku bukan
lagi tujuanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar