Selasa, 14 Februari 2017

Aku dan kesempurnaanku



Semua selalu melihat senyumku yang merekah. Aku yang ceria dan senyum yang tak pernah pudar dari bibir manisku. Aku seorang lelaki dengan segala kesempurnaan yang didambakan oleh banyak orang. Menantu idaman para mertua. Suami impian banyak wanita. Aku dengan karir yang mapan, pendidikan yang tinggi dan dari keluarga high class. Aku tak pernah kekurangan satu hal pun dari segi materi. Namun? Siapa yang menyangka. Aku dengan kesempurnaanku tertatih-tatih menjalani hidup. 

Semua hal yang dulu kudambakan sekarang bisa kugenggam. Pekerjaan yang dulu kuimpikan, pendidikan yang dulu kuinginkan, tak butuh waktu lama semuanya bisa kudapatkan. Tapi, ternyata semua hal itu tak selaras dengan kondisi hatiku. Aku masih saja sendiri. Meski banyak wanita yang menggilaiku, aku masih saja terpaku, tak bergeming, aku belum benar-benar menemukan muara dari sungai perasaanku.

Berada dalam keluarga yang sempurna, dengan gelimang materi tak serta merta menawarkan kebahagiaan yang aku inginkan. Pekerjaan yang mapan serta pendidikan yang mumpuni sukses memberikan predikat “lelaki sempurna” secara duniawi. Aku terlihat bahagia. Hampir semua orang menginginkan hidup yang aku miliki sekarang. Namun, taukah kau? Jauh di lubuk hatiku. Bahagia itu masih jauh dari pelupuk mata. Andai aku diberi kesempatan memilih, aku lebih memilih untuk biasa-biasa saja, apa adanya dan damai menjalani hidup tanpa banyaknya embel-embel aturan dan tekanan, dibandingkan memiliki segalanya namun penuh tekanan dari berbagai sudut.

Masa kecil hingga saat ini yang kulalui di kota, dengan menempuh pendidikan di sekolah-sekolah ternama menorehkan banyak kisah bahagia dan kelam dalam hidupku. Menjadi korban bully-ing adalah satu dari sekian kisah yang tak bisa aku lupakan, dan hingga saat ini memberikan kontribusi ketakutan hingga ketidak percayaan diri dalam hidupku. Ah shit. Semua karena kau. Para bully-ers yang telah memporak-porandakan masa-masa indahku.

Aku tumbuh sebagai anak yang individualis dan tak percaya diri. Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhanku sendiri. Belajar, belajar dan belajar. Yang kutau hanyalah belajar, mendapatkan nilai bagus dan ranking. Bagiku berteman hanyalah mitos. Aku hanya menghabiskan waktu dirumah dan disekolah. Tak ada sedikit pun waktu untuk sekedar bermain dan nonton bareng teman. Hidupku penuh dengan aturan, dan aku menikmati itu. Aku patuh dengan segala aturan yang kudapatkan sedari kecil.

Bahkan hingga kuliah dan kerja pun, kebiasaan itu terus berlanjut. Aku tak pernah punya waktu untuk nongkrong. Selepas kuliah, aku pasti akan langsung balik kerumah. Tak pernah ada kehidupan malam dalam hidupku. Sudah terjadwalkan, maksimal menjelang maghrib aku harus sudah ada dirumah. Aku melewati hari dengan belajar dan bercengkrama dengan orang-orang dirumah. Semua orang mengenalku sebagai orang yang memiliki nilai yang sempurna, tak luput para dosen pun mengenalku sebagai mahasiswa yang cerdas.

Hingga satu kesempatan, aku diberi ujian dari Tuhan. Berupa “teman”. Aku yang selama ini tak percaya dengan orang lain akhirnya luluh untuk menobatkan satu dua orang yang baru kukenal itu sebagai “temanku”. Yes, akhirnya aku punya teman. 

Waktu berjalan cepat. Aku lagi-lagi di uji dengan kehadiran seorang wanita, wanita yang mampu meluluhkan hatiku yang sudah lama beku. “aku jatuh cinta”. Banyak kisah yang kita lalui bersama, hingga akhirnya aku yakin, dialah kelak wanita yang akan jadi makmumku. Kumantapkan hati untuk mempersuntingnya. Dari pihak wanitaku semua sudah memberikan lampu hijau. Tibalah saatnya saya mengutarakan niat kepada keluarga besarku. Namun, rencana indah hanyalah sebatas angan. Keluargaku tak setuju dengan banyaknya argumen yang tak mampu aku bantah. Aku kalah. Aku mengalah. Aku mengikuti keinginan mereka, dan mengubur anganku untuk bersama dengannya.

Rasa sakit hati dan rasa bersalah tak mampu aku bendung. Aku memilih pergi. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan semua rasa yang pernah ada. Aku lari dari kenyataan. Berharap semuanya akan baik-baik saja setelah kepergianku. Aku rela meninggalkan “teman” yang membuatku nyaman dan telah membuatku percaya bahwa “teman” itu ada. Aku lari untuk menemukan bahagiaku. Menemukan obat dari kesakit hatianku. 

Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Setelah merasa semuanya sudah kembali normal. Aku memilih kembali. Berharap tak adalagi serpihan kenangan yang kujumpai. Kembali bersua dengan “teman” yang telah lama kurindukan. Namun, harapanku ternyata berlebihan. Aku ditampar oleh kenyataan. Kenangan tentangnya masih saja mencuat, setiap sudut kota selalu ada bayangnya. “teman” yang dulu membuatku nyaman pun sekarang sudah berubah. Sudah hidup dalam dunianya masing-masing. Aku kembali sendiri. Berteman sepi. Sepi dalam keramaian. Gamang dalam tawa.

Tak cukup sampai disitu. Aku kembali menjadi aktor kawakan. Aku pandai sekali dalam bersandiwara. Aku selalu menampakkan kebahagiaan dalam balutan kepura-puraan. Aku selalu menekan ego pribadi demi untuk melihat orang-orang disekitarku bahagia. Aku menjadi seseorang yang “palsu”, tertawa dalam luka, bahagia dalam perih.

Angka usia terus saja bertambah. Keluarga mulai risih. Aku dengan segala kesempurnaanku masih saja sendiri. Semua orang berusaha mencarikan seseorang untuk menggenapkanku. Sebanyak orang yang ditawarkan, sebanyak itu pula aku mengacukan, dengan dalih “dia bukan tipeku”. Sebanyak orang yang aku tawarkan ke keluarga, sebanyak itu pula penolakan yang terjadi, dengan alasan “kamu tidak cocok dengannya”.

Aku merasa hidup seperti robot. Bahkan perasaanku pun sudah bukan dalam kendaliku lagi. Aku merasa hidup dengan settingan orang lain. Hidupku berjalan dengan aturan orang lain. Aku yang memiliki jiwa dan raga, namun orang lain yang memiliki kendali.

Aku tak pernah percaya siapapun. Aku berkali-kali ditinggalkan. Aku berkali-kali dikecewakan. Aku ingin dipahami. Tapi aku tak berani cerita dengan siapapun. Aku takut mempercayakan hati dan ceritaku kepada siapapun. Hidupku dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan. Aku takut merasa nyaman. Kenyamanan yang kelak akan membunuhku perlahan. Kenyamanan sementara yang akan meninggalkan banyak luka.

Aku muak, aku lelah terus berpura-pura, aku ingin pergi, menghilang dan tak kembali lagi. Memulai kehidupan baru dengan orang baru yang tak pernah mengenal asal usul dan latar belakangku. Namun? Apakah dengan pergi semuanya akan lebih baik? Akankah kutemukan bahagia yang selama ini tak pernah kudapatkan? Akankah aku bisa hidup dalam dunia dan kendaliku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...