Semua selalu melihat senyumku yang merekah. Aku yang ceria dan
senyum yang tak pernah pudar dari bibir manisku. Aku seorang lelaki dengan
segala kesempurnaan yang didambakan oleh banyak orang. Menantu idaman para
mertua. Suami impian banyak wanita. Aku dengan karir yang mapan, pendidikan
yang tinggi dan dari keluarga high class.
Aku tak pernah kekurangan satu hal pun dari segi materi. Namun? Siapa yang
menyangka. Aku dengan kesempurnaanku tertatih-tatih menjalani hidup.
Semua hal yang dulu kudambakan sekarang bisa kugenggam. Pekerjaan yang
dulu kuimpikan, pendidikan yang dulu kuinginkan, tak butuh waktu lama semuanya
bisa kudapatkan. Tapi, ternyata semua hal itu tak selaras dengan kondisi
hatiku. Aku masih saja sendiri. Meski banyak wanita yang menggilaiku, aku masih
saja terpaku, tak bergeming, aku belum benar-benar menemukan muara dari sungai
perasaanku.
Berada dalam keluarga yang sempurna, dengan gelimang materi tak
serta merta menawarkan kebahagiaan yang aku inginkan. Pekerjaan yang mapan
serta pendidikan yang mumpuni sukses memberikan predikat “lelaki sempurna”
secara duniawi. Aku terlihat bahagia. Hampir semua orang menginginkan hidup
yang aku miliki sekarang. Namun, taukah kau? Jauh di lubuk hatiku. Bahagia itu
masih jauh dari pelupuk mata. Andai aku diberi kesempatan memilih, aku lebih
memilih untuk biasa-biasa saja, apa adanya dan damai menjalani hidup tanpa
banyaknya embel-embel aturan dan tekanan, dibandingkan memiliki segalanya namun
penuh tekanan dari berbagai sudut.
Masa kecil hingga saat ini yang kulalui di kota, dengan menempuh
pendidikan di sekolah-sekolah ternama menorehkan banyak kisah bahagia dan kelam
dalam hidupku. Menjadi korban bully-ing adalah satu
dari sekian kisah yang tak bisa aku lupakan, dan hingga saat ini memberikan
kontribusi ketakutan hingga ketidak percayaan diri dalam hidupku. Ah shit. Semua
karena kau. Para bully-ers yang telah
memporak-porandakan masa-masa indahku.
Aku tumbuh sebagai anak yang
individualis dan tak percaya diri. Aku selalu berusaha memenuhi kebutuhanku
sendiri. Belajar, belajar dan belajar. Yang kutau hanyalah belajar, mendapatkan
nilai bagus dan ranking. Bagiku berteman hanyalah mitos. Aku hanya menghabiskan
waktu dirumah dan disekolah. Tak ada sedikit pun waktu untuk sekedar bermain
dan nonton bareng teman. Hidupku penuh dengan aturan, dan aku menikmati itu. Aku
patuh dengan segala aturan yang kudapatkan sedari kecil.
Bahkan hingga kuliah dan kerja
pun, kebiasaan itu terus berlanjut. Aku tak pernah punya waktu untuk nongkrong.
Selepas kuliah, aku pasti akan langsung balik kerumah. Tak pernah ada kehidupan
malam dalam hidupku. Sudah terjadwalkan, maksimal menjelang maghrib aku harus
sudah ada dirumah. Aku melewati hari dengan belajar dan bercengkrama dengan
orang-orang dirumah. Semua orang mengenalku sebagai orang yang memiliki nilai
yang sempurna, tak luput para dosen pun mengenalku sebagai mahasiswa yang
cerdas.
Hingga satu kesempatan, aku
diberi ujian dari Tuhan. Berupa “teman”. Aku yang selama ini tak percaya dengan
orang lain akhirnya luluh untuk menobatkan satu dua orang yang baru kukenal itu
sebagai “temanku”. Yes, akhirnya aku punya teman.
Waktu berjalan cepat. Aku lagi-lagi
di uji dengan kehadiran seorang wanita, wanita yang mampu meluluhkan hatiku
yang sudah lama beku. “aku jatuh cinta”. Banyak kisah yang kita lalui bersama,
hingga akhirnya aku yakin, dialah kelak wanita yang akan jadi makmumku. Kumantapkan
hati untuk mempersuntingnya. Dari pihak wanitaku semua sudah memberikan lampu
hijau. Tibalah saatnya saya mengutarakan niat kepada keluarga besarku. Namun,
rencana indah hanyalah sebatas angan. Keluargaku tak setuju dengan banyaknya
argumen yang tak mampu aku bantah. Aku kalah. Aku mengalah. Aku mengikuti keinginan
mereka, dan mengubur anganku untuk bersama dengannya.
Rasa sakit hati dan rasa bersalah
tak mampu aku bendung. Aku memilih pergi. Meninggalkan kota ini. Meninggalkan semua
rasa yang pernah ada. Aku lari dari kenyataan. Berharap semuanya akan baik-baik
saja setelah kepergianku. Aku rela meninggalkan “teman” yang membuatku nyaman
dan telah membuatku percaya bahwa “teman” itu ada. Aku lari untuk menemukan
bahagiaku. Menemukan obat dari kesakit hatianku.
Minggu berganti bulan, bulan
berganti tahun. Setelah merasa semuanya sudah kembali normal. Aku memilih
kembali. Berharap tak adalagi serpihan kenangan yang kujumpai. Kembali bersua dengan
“teman” yang telah lama kurindukan. Namun, harapanku ternyata berlebihan. Aku ditampar
oleh kenyataan. Kenangan tentangnya masih saja mencuat, setiap sudut kota
selalu ada bayangnya. “teman” yang dulu membuatku nyaman pun sekarang sudah
berubah. Sudah hidup dalam dunianya masing-masing. Aku kembali sendiri. Berteman
sepi. Sepi dalam keramaian. Gamang dalam tawa.
Tak cukup sampai disitu. Aku kembali
menjadi aktor kawakan. Aku pandai sekali dalam bersandiwara. Aku selalu
menampakkan kebahagiaan dalam balutan kepura-puraan. Aku selalu menekan ego
pribadi demi untuk melihat orang-orang disekitarku bahagia. Aku menjadi seseorang
yang “palsu”, tertawa dalam luka, bahagia dalam perih.
Angka usia terus saja bertambah. Keluarga
mulai risih. Aku dengan segala kesempurnaanku masih saja sendiri. Semua orang
berusaha mencarikan seseorang untuk menggenapkanku. Sebanyak orang yang
ditawarkan, sebanyak itu pula aku mengacukan, dengan dalih “dia bukan tipeku”. Sebanyak
orang yang aku tawarkan ke keluarga, sebanyak itu pula penolakan yang terjadi,
dengan alasan “kamu tidak cocok dengannya”.
Aku merasa hidup seperti robot. Bahkan
perasaanku pun sudah bukan dalam kendaliku lagi. Aku merasa hidup dengan settingan orang lain. Hidupku berjalan
dengan aturan orang lain. Aku yang memiliki jiwa dan raga, namun orang lain
yang memiliki kendali.
Aku tak pernah percaya siapapun. Aku
berkali-kali ditinggalkan. Aku berkali-kali dikecewakan. Aku ingin dipahami. Tapi
aku tak berani cerita dengan siapapun. Aku takut mempercayakan hati dan
ceritaku kepada siapapun. Hidupku dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan. Aku
takut merasa nyaman. Kenyamanan yang kelak akan membunuhku perlahan. Kenyamanan
sementara yang akan meninggalkan banyak luka.
Aku muak, aku lelah terus
berpura-pura, aku ingin pergi, menghilang dan tak kembali lagi. Memulai kehidupan
baru dengan orang baru yang tak pernah mengenal asal usul dan latar belakangku.
Namun? Apakah dengan pergi semuanya akan lebih baik? Akankah kutemukan bahagia
yang selama ini tak pernah kudapatkan? Akankah aku bisa hidup dalam dunia dan
kendaliku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar