Jumat, 31 Desember 2021

Refleksi 2021

 

Setidaknya sudah tiga tahun terakhir ini, setiap ingin menulis refleksi akhir tahun selalu saja merasa bahwa waktu berjalan dengan sangat cepat. Masih teringat jelas memori dan rasanya menulis refleksi akhir tahun 2020, masih teringat jelas rasa saat menulis resolusi 2021, rasanya baru kemarin sore, tau-taunya sekarang sudah berada di  penghujung tahun 2021. Entah karena setiap harinya melakukan kegiatan yang berfaedah hingga waktu tidak begitu terasa atau karena memang ada percepatan waktu hahaha.

Tahun 2021, tahun yang banyak sekali belajar. Belajar ikhlas, belajar menerima, belajar merasa cukup. Begitu banyak keinginan yang tidak tercapai, tapi dibalik semua itu ternyata begitu banyak hal pula yang didapatkan, rangkaian hal-hal kecil hingga besar yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Tuhan, engkau sangat tahu apa yang aku inginkan, tapi engkau pun jauh lebih tahu apa yang kubutuhkan. Berada di titik "nrimo" segala hal terbaik yang sudah digariskan Tuhan bukanlah sesuatu yang mudah, banyak pergulatan pikiran dan emosi, mempertanyakan kenapa begini kenapa begitu, hingga akhirnya pasrah dan berserah baru bisa memahami bahwa ternyata segala sesuatu tepat waktu, segala sesuatu akan hadir di saat kita sudah dianggap siap untuk menerimanya.

Tuhan, terima kasih atas nikmat sehat, keluarga yang sehat, keluarga yang harmonis, waktu luang, teman-teman yang baik, rejeki yang cukup yang telah engkau anugerahkan sepanjang tahun 2021.

Kilas balik 2021

Awal tahun  melepaskan salah seorang teman baik untuk berangkat ke kota tempatnya bertugas. Pada detik itu juga aku menyadari bahwa sudah saatnya untuk menerima bahwa kita memang sudah masuk fase “dewasa”. Kebersamaan dengan teman-teman untuk sekadar have fun dan haha hihi ada masanya. Setiap kita bergerak, setiap kita bertumbuh, setiap kita mengalir mengikuti arus kehidupan, bermuara ke suatu cita yang kita angankan, menemukan jalan hidup kita masing-masing. Dan pada akhirnya kenangan hanya akan menjadi sebuah kisah yang dibalut dengan indah dalam ingatan. Pada akhirnya kita akan memilih jalur kesuksesan kita masing-masing.

2021 merupakan tahun di mana aku menghabiskan cukup banyak waktu di Panrita. Ketika aku flashback beberapa bulan di tahun 2021 kuhabiskan untuk beraktivitas di Panrita. Sejak awal tahun saat Panrita merayakan syukuran 4 tahun sejak saat itu pula aktivitas di Panrita dimulai hingga akhir tahun. Berbagai kelas berjalan dengan lancar, mempertemukan dengan banyak orang dengan berbagai karakter, menyaksikan perjuangan, gelak tawa, kesedihan, tangis haru, kegagalan hingga keberhasilan satu persatu siswa.

Tahun 2021 banyak pelajaran dan pengalaman yang kudapat di Panrita. Semua kelas berjalan dengan lancar meski pasti tetap ada kendala. Agenda buka puasa bersama Panrita, berangkat ke Palopo untuk program kerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Palopo, program kerjasama online dengan IAIN Pontianak, staycation pasca program kelas intensif, staycation pasca program kelas SKB, liburan tim ke Bulukumba, hangout di pantai dan tak terhitung banyaknya kesempatan main-main di Panrita. Kalau dilihat-lihat lagi, bergabung di Panrita adalah sebuah pilihan yang sangat kusyukuri, benar-benar merasakan work-life balance. Setiap selesai satu program yang cukup menguras tenaga dan pikiran, kami selalu mengagendakan untuk mewaraskan pikiran dengan liburan atau setidaknya staycation. Semoga tahun depan bisa terus berlanjut work-life balancenya dan bisa jauh lebih baik.

Tahun 2021 aku kembali mencoba untuk bergabung dalam sebuah komunitas, aktivitas yang sangat menyenangkan bagiku beberapa tahun silam. Masuk ke komunitas menyadarkanku satu hal bahwa “setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”. Dalam kegiatan komunitas tersebut aku bertemu banyaaak sekali anak-anak muda dengan semangat masa mudanya, anak-anak muda yang memiliki rentan umur yang berbeda 4 hingga 10 tahun dariku, menyadarkanku bahwa aku ternyata tidak muda lagi dan akhirnya harus merasa cukup bahwa sudah waktunya "pensiun" sebagai follower di komunitas. Saatnya untuk reborn sebagai inisiator dan penggerak bukan lagi pengikut.

Tahun 2021, tahun di mana aku menyaksikan banyak perubahan fase teman-teman. Perubahan status dari jomlo menjadi menikah, menjadi suami/istri, menjadi ibu/bapak, tapi yang masih tetap jomlo juga tetap ada sih hahaha, tenang kita sama kok hahaha.

Tuhan sangat tahu apa yang kubutuhkan, ternyata hingga akhir 2021 aku menyadari bahwa ada banyak titik dalam hidupku yang tidak seragam dengan manusia kebanyakan. Hingga akhir 2021 aku masih bahagia dan berlapang dada dengan pekerjaan yang tidak tetap, yang penting tetap bekerja dan berpenghasilan, ternyata hidup dalam ketidakpastian itu menyenangkan, banyak deg-degan dan pergulatan emosinya dan itu cukup membahagiakan.

Kebiasaan baik selama 2021 yang kulakukan yakni konsisten menulis catatan syukur selama satu tahun penuh, hal tersebut banyak merubahku secara pola pikir. Aku lebih bisa melihat segala sesuatu dari sisi baiknya sebelum judging, aku lebih bisa mensyukuri hal-hal kecil setiap harinya. Dan memang benar kata Kak Ayu Kartika Dewi “otak itu seperti itu, harus dilatih. Jika kita melatih otak kita untuk selalu bersyukur maka kita akan mudah bersyukur meski untuk hal-hal kecil, jika kita terbiasa mengumpat dan berpikir negatif maka itu juga yang akan terlatih”. Semoga kebiasaan baik ini terus berlanjut di 2022.

Satu hal yang kusyukuri di tahun ini, bagaimana pun keadaannya yang aku lalui, aku selalu bisa memastikan bahwa ada orang-orang yang selalu membersamaiku, berada disisiku untuk mendukungku saat kuterpuruk, ikut berbahagia saat aku bahagia, dan terus mendorongku untuk “berkembang” dan bertumbuh ke arah yang lebih baik.

Yang terakhir, terima kasih 2021 untuk up and down kehidupannya. Terima kasih aku yang sudah bertahan sejauh ini, terima kasih aku sudah banyak belajar, pengalaman itu mahal terkadang kita harus membayarnya dengan waktu, pergulatan emosi, dan deraian air mata.

Home, 31 Desember 2021

Selasa, 28 Desember 2021

Ketidakpastian

Manusia benci ketidak pastian, kalau bisa sih malah tahu dan memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Tak heran, praktik-praktik perdukunan dan paranormal masih begitu laris, karena ya itu tadi manusia benci ketidak pastian, selalu mau mengintip masa depan dan memastikan apa yang akan terjadi di masa depan sesuai dengan apa yang diekspektasikan. Tak cuman praktik perdukunan yang begitu laris, namun perusahaan-perusahaan asuransi pun masih banjir pelanggan, manusia selalu mau memastikan kondisi kesehatannya baik-baik saja, kondisi keuangannya stabil, pekerjaannya aman. Tak heran, PNS dan BUMN masih menjadi pekerjaan primadona sejuta umat, PNS dan BUMN meski gajinya tidak tergolong tinggi tapi berjuta manusia masih aja terus berlomba untuk menjadi PNS. Tujuannya tak lain dan tak bukan karena ingin memastikan kondisi keuangan stabil, masa tua dan kesehatan ditanggung negara.

Terkadang, bisa membaca apa yang akan terjadi di masa depan tak selamanya menyenangkan, kita akan menjalaninya dengan datar atau mungkin malah ketakutan. Sungguh, dunia ini tak ada yang pasti kecuali kematian.

Momen covid adalah sebuah fase di mana ketidakpastian itu terasa begitu nyata, ada yang stress dan ada pula yang akhirnya berdamai dengan ketidakpastian, menjalani hari demi hari dengan penuh harapan. Mungkin ini adalah salah satu alasan Tuhan tidak memberikan bocoran akan masa depan agar kita hidup dalam ketidakpastian, agar kita selalu melibatkan Tuhan dalam setiap langkah kaki kita, meyakini bahwa sebaik apa pun manusia berencana kita tetap hidup dalam ketidapkastian, Tuhan jualah yang menentukan hasil akhir dari usaha yang kita lakukan.


Jumat, 03 Desember 2021

Menjadi Perempuan

 

Hidup dalam budaya patriarki membuat status sebagai perempuan tidak selalu mudah. Menjadi perempuan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan dan pilihan-pilihan yang sulit. Menjadi perempuan harus selalu bisa belajar untuk mengatur skala prioritas. Menjadi perempuan harus menanggung banyak beban, beban moral dan beban batin.

Saat perempuan bercerai, image janda selalu buruk, berbeda dengan lelaki yang sering mendapat julukan duda keren. Ketika sudah menikah dan terlambat mendapat rejeki anak, yang selalu menjadi sorotan selalu perempuan, meski mungkin saja suaminya yang mandul. Ketika perempuan tidak bisa memasak, dapat dipastikan selalu ada cibiran “jadi perempuan kok tidak bisa masak, kasian suaminya mau makan apa”, padahal memasak itu tidak butuh jender tertentu, hanya butuh tangan dan insting tidak perlu melibatkan jender. Ketika dalam sebuah pekerjaan dan perempuan itu sebagai bos yang tegas, dapat dipastikan ada aja orang yang ngomong “galak amat sih jadi perempuan, namun jika yang tegas itu laki-laki pasti yang mereka dapatkan adalah pujian sebagai pemimpin yang baik dan karismatik”.

Perempuan selalu dihadapkan akan pilihan-pilihan hidup yang cukup berat. Bahkan ketika perempuan akan menikah dan statusnya sebagai perempuan bekerja, akan ada intervensi untuk disuruh memilih mempriotitaskan karir atau keluarga, sedangkan laki-laki jarang dituntut untuk memilih antara karir atau keluarga. Begitu pula halnya dengan tanggung jawab domestik, bebannya masih selalu dititik beratkan kepada perempuan.

Saat sudah menikah dan memiliki anak. Menjadi working mom atau fulltime mom selalu jadi sesuatu yang mesti dipilih. Selain diberikan pilihan untuk menentukan prioritas, menjadi perempuan juga tidak lepas dari aturan norma sosial yang dianggap harus bisa ini dan itu karena terlahir sebagai seorang perempuan. Parahnya, pengasuhan anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab berdua tidak jarang hanya dibebankan kepada ibu. Kalau anaknya tidak terurus yang disalahkan pertama kali pasti ibunya.

Menjadi working mom bukan lah sesuatu yang mudah, beban kerja di kantor tidak serta merta berkurang hanya karena memiliki beban kerja juga di rumah. Pagi-pagi sebelum berangkat kerja harus memastikan seisi rumah terpenuhi gizinya, pulang kerja pun harus bisa memastikan rumah dan seisi rumahnya dalam kondisi yang baik-baik saja. Ketika menjadi full time mom dapat dipastikan juga bahwa pekerjaan domestik, mengurus rumah dan anak bukan pekerjaan yang bisa dianggap enteng, kelihatannya aja mudah namun kenyataannya tidak semudah kelihatannya, belum lagi rasa bosan yang pasti akan menghinggapi karena hanya menjalani rutinitas yang itu-itu saja dan interaksi dengan orang yang itu-itu saja.

Terlahir sebagai perempuan memang tidak lah mudah. Banyak tuntutan dan ekspektasi yang dibebankan baik oleh masyarakat maupun dari keluarga. Syukur-syukur kalau mendapat pasangan hidup yang paham bahwa perempuan dan laki-laki itu equal. Jadi ada pembagian peran yang adil, menyadari semua orang punya potensi untuk menjadi manusia seutuhnya, punya hak preogeratif untuk memilih mau bekerja di luar rumah atau pun mengurusi pekerjaan domestik tanpa memandang jender tertentu, tidak ada lagi relasi kuasa yang merasa superior dan inferior, sehingga bisa terjadi keseimbangan dalam hidup. Karena perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi terbaik dalam dirinya masing-masing.

Senin, 01 November 2021

Achievement (?)

 Apa kau tahu persamaan antara orang yang tak memiliki uang dan orang yang memiliki terlalu banyak uang? Hidup sama-sama tak menyenangkan bagi mereka, “Oh Il Nam”.

Maslow’s theory

Quotes dari Oh Il Nam dalam serial Squid games  dan  Maslow’s Hierarchy of needs di atas membuat saya cukup tergelitik untuk menuliskan ini. Seringkali menjelang tidur dan saat terbangun di pagi hari saya merenung, memikirkan apa yang benar-benar saya inginkan, apa tujuan hidup saya, dan apa pencapaian yang ingin saya wujudkan. Semakin banyak tulisan yang saya baca, semakin banyak kisah yang saya dengar, semakin mendorong saya untuk menentukan batas kata “cukup”, semakin memaksa saya untuk belajar bersyukur atas semua hal yang saya miliki.

Menjadi kaya raya yang bergelimang harta ternyata tak selamanya membuat orang bahagia, pada akhirnya saat kita memiliki segalanya hidup akan terasa begitu datar, tak ada lagi hasrat yang besar untuk mengejar sesuatu. Tidur di hotel bintang lima, berlibur ke berbagai penjuru dunia, makan makanan terlezat dari chef terhebat sekali pun semuanya akan terasa biasa saja dan hambar. Sama halnya dengan orang yang berada di bawah garis kemiskinan, berjuang dari hari ke hari untuk sekadar memenuhi basic needs merupakan pil pahit yang harus ditelan setiap hari. Tapi tentu saja, meski keduanya sama-sama tidak menyenangkan jauh lebih tidak menyenangkan saat tidak memiliki apa-apa dibanding saat memiliki segalanya.

Berada dalam kondisi in between dengan segala drama dan pelik kehidupan menjadikan hidup lebih berwarna, selalu ada alasan untuk terbangun di pagi hari dan kembali memperjuangkan hidup. Hidup penuh lika liku, ups and down, dan mengharuskan kita tetap bekerja keras untuk sekadar memenuhi basic needs nyatanya jauh lebih menggairahkan.

Entah terlalu cepat bersyukur atau pembelaan dari rasa malas, rasa-rasanya makin ke sini makin chill dalam menjalani hidup, tidak terlalu ngoyo ingin ini dan itu. Merasa arti kata cukup, hati terasa begitu lapang, dan basic needs terpenuhi ternyata it’s more than enough. Rezeki itu hanya ada tiga, “apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sedekahkan”, ketika ketiganya sudah terpenuhi rasa-rasanya hidup sudah terasa begitu berarti. Dan benar teori dari Maslow, ketika poin poin dari hirarki piramida tersebut sudah terpenuhi, puncak tertingginya ya self-actualization.

Tulisan ini mungkin tidak akan relate dengan beberapa orang yang memiliki trauma pernah diremehkan sehingga butuh untuk  terus bekerja bekerja dan bekerja untuk menutup mulut orang-orang yang pernah meremehkan. Pandangan kita akan satu hal sangat dipengaruhi dari preferensi kehidupan masa lalu yang pernah membuat kita diapresiasi  atau mungkin terluka, cara kita menjalani hidup saat ini sangat dipengaruhi ada tidaknya hal yang pernah membuat kita trauma sehingga butuh untuk “balas dendam”. Pada intinya kita struggling di panggung kita masing-masing.

Banyak hal yang ingin saya tuliskan tapi belum tersusun secara rapi di otak jadinya narasi tulisannya juga menjadi acakadut, mungkin suatu saat ini saya akan kembali membuka tulisan ini dan merangkai kata demi kata sehingga menjadi satu narasi yang bisa lebih mudah dicerna. :D

Makassar, 01 November 2021

Kamis, 14 Oktober 2021

Titik Terendah


Saya tak pernah benar-benar mengerti, mengapa orang-orang senang sekali bertanya “kapan menikah”? Seolah menikah adalah sebuah pencapaian seseorang di batas umur tertentu. Pertanyaan yang membuat tak sedikit orang mengalami stres karena merasa tidak seperti layaknya manusia normal lainnya, yang di batas umur tertentu sudah memiliki pasangan dan juga buah hati.

Sebut saja Margareta, seorang gadis yang sudah mendekati usia 30 tahun. Jangan ditanya lagi berapa kali Margareta mendapatkan pertanyaan kapan menikah, mulai dari orang yang tidak begitu akrab hingga keluarga terdekat. Hingga suatu hari kutukan kejomloan Margareta itu pun berakhir saat seorang laki-laki datang untuk maksud meminang. Laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Margareta, lelaki yang sudah cukup dikenal oleh keluarga Margareta. Jadi tak ada alasan bagi Margareta atau pun keluarganya untuk menolak.

Tidak ada proses berkenalan yang intim antara Margareta dan calon suaminya, Margareta berpikir bahwa lelaki yang masih memiliki kekerabatan dengannya itu adalah lelaki yang baik yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun silam dan itu sudah cukup menjadi informasi untuk Margareta memantapkan untuk memilih calon suaminya. Proses mereka menuju ke pelaminan pun berjalan begitu lancar, tak ada kendala yang berarti. Semua keluarga dari kedua belah pihak turut andil dalam proses persiapan pernikahan, prosesnya pun berjalan lancar tanpa ada masalah. Hari H pernikahan pun telah tiba, semua keluarga turut berbahagia, tak terkecuali Margareta dan suaminya. Seperti layaknya sepasang suami istri, Margareta dan suaminya pun menjalani masa-masa indah awal pernikahan. Saling sayang-sayangan dan bucin-bucinan.

Beberapa minggu setelah menikah, suami Margareta harus berangkat ke luar kota untuk kembali bekerja. Margareta masih berada di kota X dan tinggal bersama orang tuanya, mereka menjalani LDM untuk sementara waktu karena di kota tempat suami Margareta bekerja belum ada tempat tinggal untuk mereka huni berdua. Saat menjalani LDM masalah pun mulai muncul, terkadang hal kecil menjadi hal yang dibesar-besarkan dan menjadi pertengkaran. Margareta pun akhirnya berinisiatif untuk ikut suaminya tinggal di kota Y agar mereka bisa tinggal bersama. Namun, suaminya tidak megijinkan Margareta untuk tinggal di kota Y bersamanya, alasannya biaya hidup yang cukup tinggi dengan gaji yang pas-pasan tidak mampu untuk membiayai hidup mereka berdua. Mendengar hal itu, Margareta sebagai istri yang baik menuruti kata suaminya, dia hanya sesekali mengunjungi suaminya di kota Y lokasi tempat suaminya bekerja. Dalam pertemuan mereka yang singkat terjadilah sesuatu yang diinginkan, Margareta akhirnya hamil setelah 2 bulan menikah. Meski begitu, Margareta tetap tidak tinggal seatap dengan suaminya, dia tinggal bersama orang tuanya di kota X, suaminya tetap memilih tinggal dan bekerja di kota Y.

Hari demi hari mereka lalui dengan terpisah jarak dan waktu, hingga suatu hari terjadi pertengkaran besar diantara mereka. Dari pertengkaran tersebut semua hal-hal kecil diungkit terus menerus dan menjadi masalah besar. Puncaknya si suami menjatuhkan talak ke Margareta dengan alasan sudah tidak sanggup dengan sifat kekanak-kanakan Margareta ditambah dengan alasan sudah tidak ada perasaan lagi. Alasan yang sungguh sangat dibuat-buat dan mengada-ada. Suami yang sama sekali tidak memiliki hati nurani menjatuhkan talak ke istri yang sedang hamil, seorang wanita yang sedang mengandung buah hatinya, wanita yang lagi butuh perhatian dan kasih sayangnya malah ditalak oleh suaminya dengan alasan sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Kejadian ini menjadi lowest point dalam kehidupan Margareta, kehidupan pernikahan yang diimpikan bak cerita cinderella ternyata harus melalui lika liku seperti sinetron-sinetron azab.

Dulunya saya pikir hal-hal seperti ini hanya ada di film-film azab Indosiar, ternyata hal tersebut benar-benar ada di kehidupan nyata dan dialami oleh Margareta teman dekat saya. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Margareta sebelumnya, harus menjalani kehidupan pernikahan dengan lika liku kehidupan seperti ini. Menjalani hari-hari di tengah kondisi hamil seorang diri tanpa sekali pun pernah dihubungi oleh lelaki yang pernah mengucap akad dihadapan bapaknya, lelaki yang pernah menjanjikan akan menjaganya dan menafkahinya lahir batin sekarang menghilang dan menjadi orang asing. Tak pernah sekali pun suaminya menghubungi untuk sekadar bertanya kondisi Margareta dan calon bayi yang dikandungnya. Sekarang Margareta lagi memulihkan kondisi fisik dan mentalnya setelah melalui kenyataan sulit dan sekarang lagi dalam proses menunggu buah hatinya lahir ke dunia.

Dalam kondisi seperti ini, dapat dipastikan orang-orang yang dulu sering bertanya “kapan menikah” sudah hilang entah ke mana, mereka tak lagi peduli dengan apa yang dialami pascapernikahan, yang ada malah mulai mencibir dengan kondisi yang dialami. Jadi paling baik ya menutup telinga dan bersikap bodo amat dengan pertanyaan orang-orang, toh pun saat kita mengalami kesulitan mereka tidak ada untuk mengulurkan bantuan, mereka tidak akan bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami saat kita “salah” memilih pasangan yang diakibatkan oleh intervensi pertanyaan-pertanyaan mereka yang hanya kepo.

Minggu, 03 Oktober 2021

Kegagalan

Berbicara tentang kegagalan kita tidak bisa terlepas dari peluang, kesempatan, dan waktu yang tepat. Tak ada yang benar-benar gagal yang ada hanyalah hal tersebut bukan untukmu atau waktunya yang kurang tepat. Kalau ada hal yang bisa kusesali hal tersebut yakni saya tidak benar-benar memanfaatkan waktu yang saya miliki dengan cukup baik. Saya begitu menikmati setiap fase untuk bermain, untuk diri sendiri, untuk bersenang-senang, dan terjebak dalam zona aman. Punya banyak teman, punya banyak pengalaman main, dan punya banyak tempat berkelana. Saat ini kubaru menyadari begitu banyak kesempatan yang kulewati hanya karena saya terlalu cepat berpuas diri.

Flashback ke waktu 10 tahun silam. Waktu itu, saya pernah mendaftar di salah satu PTN dengan mengambil jurusan Teknik Informatika sesuai dengan jurusan saya waktu SMK. Saya tidak diterima, waktu itu saya mendaftar jalur bidik misi, sebelum mendaftar orang tua sudah melarang untuk daftar dengan ultimatum bahwa jangan sampai kamu mengambil hak orang lain. Saya bukan dari keluarga kaya, tapi juga bukan dari keluarga yang kekurangan. Orang tua saya takut jika saya keterima beasiswa bidik misi tersebut yang pada saat itu diperuntukkan untuk orang kurang mampu berarti saya mengambil hak orang yang memang benar-benar butuh. Saat saya gagal saya tidak lagi mencoba karena menganggap bahwa hal itu memang bukan untuk saya.

Pada kesempatan tes selanjutnya, saya mencoba mengambil jurusan yang lain dan tidak lagi memasukkan teknik informatika sebagai opsi. Dan yaah, saya keterima di salah satu PTN dengan mengambil jurusan yang memang saya sukai. Kurang lebih 4 tahun saya menjalani kuliah S1 dan saya tidak pernah betul-betul fokus ke akademik, meski IPK saya juga tidak pernah anjlok-anjlok banget. Saya mempelajari formula untuk mendapatkan nilai bagus di kampus, asalkan kamu rajin masuk kuliah, rajin mengerjakan tugas, aktif dalam berdiskusi maka kamu akan mendapatkan nilai yang bagus, tidak perlu pintar secara akademik. Saya terlena dengan semua itu, nilai akademik saya cukup bagus jadi di luar kelas saya memanfaatkan untuk melakukan perjalanan sebanyak-banyaknya ke banyak tempat, sangat sering nongkrong dengan teman-teman, saya sangat menikmati waktu 4 tahun di S1 dengan berbagai perjalanan hidup.

Sekarang saya baru menyadari dan menyesali, kenapa waktu itu saya tidak melek secara akademik, saya melewatkan begitu banyak kesempatan, kesempatan untuk ikut lomba, ikut exchange, ikut magang, dan berbagai kegiatan yang mungkin bisa menunjang akademik saya lebih baik dan mungkin bisa membuat jalan hidup saya saat ini menjadi lebih baik. Andai waktu itu saya memperjuangkan untuk bisa masuk ke teknik informatika, andai waktu S1 saya bisa fokus menyeimbangkan kehidupan akademik dan nonakademik, mungkin saat ini jalan karier saya bisa jadi lebih baik.

Mengambil jurusan yang “aman” ternyata membuat kehidupan saya betul-betul aman, terasa sekali perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan, setiap kali mau apply ke perusahaan-perusahaan bonafide selalu saja terkendala di administrasi awal, jurusan saya jarang sekali ada lowongan untuk kerja di perusahaan.

Dengan pengalaman yang sangat berharga ini, saya selalu berharap jika kelak saya bisa memberikan pandangan dan saran kepada keluarga dan teman-teman terdekat untuk benar-benar memikirkan masa depan sebelum mengambil keputusan. Jika mengingat masa lalu, saya terkadang sedih, dulu benar-benar tidak memiliki orang yang bisa ditanya terkait akademik, jadi memilih jurusan pun sesuai insting, sekarang baru benar-benar paham bahwa keputusan yang kita ambil di masa lalu ternyata begitu besar dampaknya dengan apa yang akan kita dapatkan di masa depan.

Sekarang saya sudah mencoba berdamai dengan berbagai ups and downs kehidupan, mencoba melihat hikmah dibalik semua hal yang terjadi, dan terus berusaha memaksimalkan potensi dan peluang yang ada. Jangan sampai 10 tahun dari sekarang saat saya flashback, saya merasa semakin menyesal dengan keputusan-keputusan yang saya ambil hari ini. Mencoba membuka mata lebar-lebar untuk segala kesempatan yang ada.


Kamis, 23 September 2021

Harusnya Tidak Perlu Bertemu

Aku benci pertemuan kita. Aku benci kenyataan kita menghabiskan cukup banyak waktu untuk berbincang. Akhirnya rasa yang tak kuinginkan benar-benar hadir, aku merasa nyaman dan terbiasa dengan kehadiranmu. Aku selalu menanti kabarmu, selalu ingin tau kondisimu, dan selalu ingin memastikan kau baik-baik saja dengan hidup dan pilihan yang kau jalani. Kenapa aku begitu tak berdaya? Mungkinkah ada rasa sepi yang merasa terisi dengan kehadiranmu hingga membuatku tak lagi logis untuk berpikir? Berkali-kali kuajak diriku untuk bernalar, membenturkan perasaan dengan logika-logika yang bisa diterima, tapi saat kau datang bahkan dengan hanya mengirimkan pesan “hai” aku langsung luluh lantah, logikaku tak lagi bisa berjalan normal, perasaaku berkecamuk dan aku dengan rasa tak berdaya meladeni pesan-pesanmu yang masuk, berkali-kali aku harus mengecek chat untuk memastikan tak ada pesanmu yang kuabaikan. Argh

Aku benci cara otakku mendramatisir keadaan. Aku yang merasa baik-baik saja, aku yang tak sepenuhnya menyayangimu. Namun, mengapa otakku bekerja terus menerus untuk selalu menanti kabarmu, menanti setiap pesanmu, selalu mencari cara agar obrolan kita terus berlanjut. Ah, aku benci semua ini. Mungkin sebaiknya dari awal pertemuan ini tak perlu terjadi sehingga tak tercipta drama seperti ini.


Minggu, 12 September 2021

Baiti Jannati

 

Rumah. Tempat kita “pulang”. Rumah dalam arti sebenarnya atau pun dalam makna pragmatis. Rumah selalu memiliki daya tarik untuk “berpulang”, melepas segala penat, merengkuh segala cinta, bernaung dalam rasa aman dan nyaman. Jika sudah berada rumah rasanya waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa tau-tau sudah berganti hari. Baik lagi di kampung atau pun saat di Makassar kalo sudah di rumah bawaannya malas keluar-keluar. Pewe aja rasanya di rumah goler-goleran, memasak, membaca, menonton, dan berbagai aktivitas lainnya.

Saat bercerita ke ibu tukang pijat yang lagi bertamu ke rumah, respon si ibu "itulah yang dimaksud rumahku surgaku “bayyiti jannati". Merasa nyaman tinggal di rumah. Hadirnya perasaan nyaman, aman, penuh cinta kasih merupakan makna sebenarnya dari “rumahku surgaku”. Allah menaruh perasaan tentram dan jauh dari gundah gulana.

Tinggal di rumah dengan situasi aman, nyaman, penuh cinta, tidak direcokin oleh omongan tetangga, tidak dibebankan dengan banyak ekspektasi, orang tua serta saudara yang sehat dan akur merupakan sebuah hal besar yang selalu saya syukuri setiap waktu. Selalu ada cinta yang membuat betah dan perasaan aman yang selalu dilindungi.

Merasa tenang, cukup, lapang, terlindungi menjadi paket lengkap yang sungguh sangat priceless.

Makassar, 12 September 2021

Jumat, 10 September 2021

Rendah Diri

Pernah gak sih kamu self blaming atau merasa rendah diri? Mungkin di saat saat kamu merasa jalan di tempat sedangkan orang-orang di sekelilingmu nampaknya berlari untuk menggapai tujuan mereka. Ya, hal itu wajar, namanya juga manusia, namanya juga lyfe. Sekuat apa pun kita dalam manajemen diri, manajemen emosi, adakalanya kita merasa stuck, kita merasa "gini-gini aja", gak ada pencapaian apa-apa, dan merasa gak ada perkembangan.

Di saat kamu merasakan hal seperti itu, baiknya kamu mengambil jeda, berjarak dengan hal-hal yang membangkitkan emosi yang berlebih dan menyisahkan "luka batin" hingga selfblaming. Ingat! Setiap orang goalsnya berbeda dan starting pointnya berbeda. Kamu tidak perlu menyama-nyamakan prosesmu dengan orang lain di saat tujuan hidupmu aja berbeda.

Ada yang memang berjalan dengan begitu mulus untuk mencapai sesuatu, tapi tak sedikit juga orang yang harus melewati kerikil tajam, jalan menanjak, kegagalan demi kegagalan baru bisa berhasil. Gapapa, kegagalan itu wajar. 

Lelah yaa? Gapapa, namanya juga berproses. Setelah semua ini terlewati, yakin deh, kamu akan menemukan dirimu jauh lebih kuat dari yang kamu bayangin sebelumnya.

Kamis, 09 September 2021

Ekspektasi

Terkadang, hal yang membuat kecewa bukan karena gagal, tapi karena ekspektasi kita ketinggian. Terkadang, hal yang menyedihkan bukan karena kita belum berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkan, tapi karena ekspektasi orang lain yang kadang cukup tinggi. Pernah tidak kamu mendengar kata-kata yang dilontarkan orang lain “Kamu kok bisa gagal padahal kamu sudah ini dan itu?”, “Ah, gak mungkinlah kamu gak berhasil, kamu kan sudah terkenal sebagai orang yang bla bla bla”. Terkadang, hal yang melelahkan adalah memenuhi ekspektasi orang. Mencoba untuk bermasa bodoh dan menutup telinga ternyata bukan jalan ninja yang selalu bisa kita pilih, ekspektasi demi ekspektasi datang terus menerus tanpa diminta meski kita mati-matian menghalau. Hal yang lebih membuat tertekan lagi jika ekspektasi tersebut justru datangnya dari orang-orang terdekat, sedihnya akan double saat kita gagal karena kita akan merasa yang kecewa bukan hanya kita, tetapi orang-orang yang sudah ikut mendoakan dan menaruh ekspektasi tinggi pasti juga merasa kecewa.

Memilih untuk ­­­menutup rapat-rapat rencana yang akan dilakukan dan hanya menceritakan ke segelintir orang, sepertinya adalah langkah yang tepat untuk meminimalisir ekspektasi orang yang terlalu besar. Juga untuk menjaga langkah kita tetap netral dan tidak begitu terbebani dalam usaha menggapai tujuan.

Makassar, 7 September 2021

Rabu, 01 September 2021

Dua Puluh Sembilan!!!

 

Usia dua puluh sembilan tahun. Angka yang sudah cukup banyak. Angka yang bagi sebagian orang idealnya sudah memiliki banyak hal. Kerjaan yang stabil, tabungan yang cukup, suami dan anak-anak. Namun, diriku ternyata tidak hidup dalam konsep yang ideal. Di usia yang terbilang sudah cukup matang nyatanya aku belum memiliki apa-apa. Meski begitu, hatiku terasa begitu tenang dan bahagia. Entah sejak kapan, aku sudah tidak lagi membebankan diriku dengan ekspektasi-ekspektasi yang berlebihan. Aku terbangun setiap pagi dengan harapan bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari diriku yang kemarin. Aku tak lagi pernah membandingkan diriku dengan orang lain. Aku sangat jarang merasa “terintimidasi” dengan pencapaian orang lain. Mungkin aku sudah berada di tahap “penerimaan diri”, sudah mencoba belajar dan memahami bahwa setiap orang berjalan di relnya masing-masing tanpa harus merasa superior dan inferior.

Dulu, aku sering sekali mencari pembenaran-pembenaran yang bisa membesarkan hatiku agar tidak merasa kerdil. Sering “mengorek-ngorek” kehidupan orang lain. “Dia mah kelihatannya aja enak, duit banyak, memiliki pekerjaan prestige, tapi kerja penuh tekanan, waktunya dihabiskan di kantor, sibuk diperbudak pekerjaan, mendingan aku yang bla bla bla.”. “Ah buat apa nikah cepat kalo ujung-ujungnya banyakan berantem, pasangannya melakukan affair, dan berbagai sinisme yang seolah membesarkan hati dan membenarkan kondisi yang saat ini tak mampu kuubah.”.

Sekarang, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan berliku kuakhirnya belajar ternyata semua itu tak ada gunanya. Membandingkan diri dengan orang lain, merasa lebih baik dengan kondisi yang dijalani ternyata useless. Buat apa? Kalau sudah merasa lebih baik, terus apa? Hanya melahirkan sebuah kesenangan fana. Yang paling benar ya fokus ke diri sendiri aja. Biarkan orang lain berjalan di relnya, aku pun berjalan di relku tanpa harus saling menyenggol.

Saking lamanya tidak menulis sampai kata demi kata yang terangkai rasanya begitu kaku. Niatnya menulis tulisan ini sebagai tulisan refleksi, nyatanya kekakuan dalam menulis menjadikan tulisan ini tak mempunyai arah. Semoga tulisan ini menjadi awal untuk memulai kembali menulis. Membangun kebiasaan yang dulu pernah dilakoni tapi vakum karena kemalasan.

Happy birthday to me. Be nice to yourself. Tidak perlu membuktikan apa-apa kepada siapa-siapa. Toh yang tau apa yang benar-benar kamu inginkan ya kamu sendiri. Go away selama masih di jalur yang benar. Enjoy every moment.

Selamat tanggal 1 September yang ke-29 ya. Ingat, umur itu hanya angka. Yang membuatnya bermakna adalah apa yang kamu perbuat, berikan value pada dirimu. Be mature and stay young <3.

Home sweet home, 01 September 2021

Selasa, 30 Maret 2021

Volunteeran dalam Kondisi Pandemi

Setelah sekian lama, akhirnya bergabung lagi dalam dunia volunteer yang fokus dalam ranah pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, sebagai volunteer peserta, bukan sebagai panitia. Ternyata, volunteeran dalam situasi covid memberikan makna dan pengalaman tersendiri. Pengalaman yang sangat berbeda dan penuh dengan tanya juga protes. Kenapa begini kenapa begitu. Sampai pada satu kesimpulan, ya, setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya.

Bergabung dalam dunia volunteeran selama beberapa tahun ke belakang, umur yang terus bertambah, diri yang terus bertumbuh, sedikit banyak berpengaruh pada pola pikir. Melihat gaya volunteeran anak-anak sekarang yang ternyata masih sama dengan volunteeran 5-7 tahun silam. Ya, mungkin memang cocok dengan audience yang kebanyakan volunteernya masih di rentan usia early 20, tapi bagi saya yang usianya sudah 25+ rasa-rasanya melihat kondisi yang ada di lapangan menimbulkan banyak tanya juga komplain yang menari di kepala.

Berkegiatan dalam kondisi pandemi seperti saat ini, melahirkan tanya di kepala, apa yang sebenarnya kita cari, untuk apa dan untuk siapa semua ini? Apakah benar untuk adik-adik atau masyarakat, atau untuk eksistensi lembaga/komunitas kita, atau mungkin untuk ego kita yang ingin terus berkegiatan, jenuh dengan ketidak sibukan dan ketidak produktifan dan ingin terus berbuat sesuatu yang kita nilai sebagai sesuatu yang baik. Nyatanya, permasalahan di lapangan sangat kompleks, tidak cukup hanya dengan modal niat baik dan melakukan kegiatan yang seolah-olah menggugurkan kewajiban yang sebenarnya kita tidak punya kewajiban apa-apa untuk berkegiatan. Berkegiatan sehari dan "memaksa" menghadirkan adik-adik demi terlaksananya kegiatan kita mungkin bukanlah kebutuhan adik-adik, tapi mungkin kebutuhan ego kita.

Berbeda cerita ketika kegiatan yang kita lakukan rutin kita adakan setiap minggu. Mungkin dampaknya bisa lebih kelihatan, mungkin banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka bukan kebutuhan kita. Misal membuat inisiasi untuk membantu guru-guru yang selama ini mengalami kesulitan dalam proses sekolah online, melakukan sosialisasi ke orang tua untuk pendampingan anak belajar, pemeriksaan kesehatan atau mendampingi adik-adik dalam proses belajarnya yang mungkin kesulitan karena harus belajar jarak jauh.

Berkegiatan di sekolah dalam kondisi pandemi hanya nampak menggugurkan kewajiban yang kita tidak wajib dan tidak ada yang mengharuskan kita untuk itu. Yang berbekas di kepala adik-adik bisa jadi hanya hadiah yang mereka dapatkan dari kegiatan yang kita lakukan. Sungguh, saya sangat tidak sepakat cara membujuk adik-adik dengan iming-iming hadiah, hal tersebut hanya akan membentuk mental hadiah , atau dengan cara mengancam adik-adik agar nurut, oh no, itu cara-cara lama yang mungkin kita alami dan sudah tidak perlu lagi kita teruskan ke generasi selanjutnya, karena akan berdampak dalam bentuk trauma ke adik-adik. Cukuplah kita yang mengalami dan memutus pola pembelajaran dengan sistem ancaman. Membuat adik-adik menurut harusnya dibangun dengan kebijaksanaan bukan ketakutan.

Meski banyak pergulatan batin selama proses mengikuti kegiatan volunteeran beberapa hari kemarin. Namun, ada begitu banyak hal juga yang menjadi pengalaman dan memberikan pelajaran. Bisa melihat kenyataan langsung kondisi adik-adik usia sekolah yang jauh dari sorotan dan tidak memiliki akses pembelajaran online seperti sekolah-sekolah di kota. Akibatnya, mereka benar-benar menjalani libur panjang. Tidak belajar sama sekali. Untungnya ada beberapa orang yang mendedikasikan diri dan ilmunya untuk mengajar adik-adik sehingga mereka ada kegiatan lain selain bermain. Arus globalisasi yang begitu cepat dan mengharuskan kita untuk bisa adaptif dengan teknologi, nyatanya tidak bisa dipukul rata, karena kenyataannya Indonesia dengan kondisi yang begitu luas dengan kontur geografis yang beragam belum semuanya mendapat akses yang setara. Listrik belum menjangkau semua titik apalagi internet. Kondisi pendidikan kita memang sekompleks itu dan butuh kerja kolektif yang terstruktur untuk membuat perubahan. Pendidikan alternatif yang diusung oleh teman-teman bisa menjadi sebuah solusi, hanya saja butuh direncanakan dan dikoordinir dengan baik. Meski banyak protes tapi saya menaruh apresiasi yang besar kepada orang-orang yang meski hidupnya sekarang tidak jauh lebih baik, tapi masih mau meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan juga finansial untuk terus berbagi dan terus menyalakan energi kebaikan.

Minggu, 28 Februari 2021

Sebuah Renungan

 

Pernah berada di sebuah kondisi, melihat sekeliling dan membandingkan hidup dengan orang lain. Merasa rendah diri dan useless, hingga mengurung diri dan melakukan social media toxic. Lelah terus-terusan iri melihat pencapaian orang dan mengutuki diri sendiri yang ngerasa jalan di tempat dan tidak kemana-kemana. Hingga pada akhirnya sadar dan menentukan tujuan dan value hidup. Lah ngapain saya membandingkan diri dengan orang lain, toh tujuan saya beda, value hidup saya beda. Hingga akhirnya belajar untuk merasa cukup.

Bertanya dan terus bertanya apa sebenarnya yang saya cari. Saya masih bisa menikmati makanan enak, tidur di tempat yang nyaman, memakai apa yang hendak saya pakai. Lalu kenapa saya begitu ngoyo?

Orang-orang berlomba untuk tampil baik2 saja, saya pun mengikuti. Hingga saya merasa lelah. Berusaha untuk menampilkan sesuatu terkadang berarti berusaha untuk mendapat pengakuan. Setelah mendapat pengakuan lalu apa? Tak ada ujungnya, terus membuktikan entah kepada siapa dan untuk apa. Semakin kita berusaha tampil baik-baik saja semakin membuktikan kita sedang tidak baik-baik saja. Hingga saya memilih berhenti dan belajar merasa cukup dengan apa yang saya miliki dan jalani, sekarang hidup saya terasa jauh lebih baik dan damai. Tanpa ada lagi ambisi besar untuk membuktikan apa-apa.

Privilese. Dulu, saya selalu berasumsi bahwa privilese itu saat kamu lahir di keluarga kaya, berpendidikan, dan segala fasilitas bisa kamu dapatkan dengan mudah itu adalah makna dari privilese. Tapi, ternyata saya salah, privilese maknanya bisa jauh lebih luas dari itu.

Saya selalu menggaungkan perspektif akan makna kesibukan dan mengejar cuan. Saya selalu berpendapat kenapa sih harus kerja mati-matian untuk mengejar cuan? Bahkan sampai harus mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan keluarga. Toh semua orang ada rejekinya masing-masing dan rejeki adalah apa yang kita makan dan pakai pada saat itu, kenyamanan bisa kita cipta sendiri. Kenapa harus mati-matian mengejar sesuatu demi kemewahan dan mengorbankan sesuatu yang paling berharga, toh kita makan seenak dan semahal apapun akhirnya berlabuh juga di jamban, toh tidur melantai ataupun di kasur empuk sama-sama tujuannya tidur dan istirahat, toh menggunakan kendaraan sederhana ataupun mewah sama-sama fungsinya untuk mengantar kita sampai di tujuan. Begitu kurang lebih pergulatan demi pergulatan yang berseliweran di kepala. Hingga satu momen saya tersadarkan bahwa apa yang orang-orang kejar, apa yang orang-orang perjuangkan, ternyata saling berkorelasi dengan lingkungan dan juga privilese.

Ternyata, hidup dalam lingkungan keluarga dan pertemanan yang tidak banyak menuntut kita harus menjadi ini dan itu, kita harus tampil begini dan begitu, kita harus membuktikan ini dan itu, juga ternyata adalah sebuah keistimewaan. Tidak semua orang mendapat keistimewaan yang sama. Banyak orang yang harus kerja mati-matian siang malam bahkan tak lagi mengenal jam kerja demi untuk memenuhi standarisasi norma di masyarakat agar bisa diterima. Banyak orang yang harus jungkir balik memperjuangkan rejeki demi untuk memastikan keluarganya bisa bertahan dan tidak kelaparan. Banyak yang kelihatan begitu ngoyo demi untuk mempertahankan reputasi dan tetap mendapat pengakuan di masyarakat. Begitu banyak motif terselubung dari segala hal yang terlihat secara kasat mata, apa yang tampil di depan mata apalagi di sosial media terkadang hanyalah sebuah kamuflase dengan maksud dan tujuan yang beragam. Berempati dan tidak judgemental adalah sebuah skill set yang mesti dipelajari dan terus dilatih.

 

Minggu, 31 Januari 2021

Januari

 

Saya selalu merasakan rasa yang campur aduk acapkali menulis sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tak terasa, itu kata yang selalu muncul. Tak terasa sudah berada di penghujung Januari. Waktu berlalu begitu cepat, sangat cepat, rasanya baru aja memulai tanggal 1 Januari, sekarang sudah berada di tanggal 31 Januari. Sungguh sangat cepat. Ada banyak hal yang terjadi sebulan ini, kelahiran, kematian, pernikahan, hingga pertengkaran dalam rumah tangga. Bencana terjadi di mana-mana. Rasa senang dan sedih yang silih berganti, tawa dan tangis mengiringi perjalanan sebulan ini.

Mengawali Januari dengan perasaan gembira, bertemu dengan orang-orang baik dalam kondisi yang baik. Tanggal 1 Januari resmi Panrita memiliki kantor. Setelah 4 tahun lamanya kami nomaden, pindah dari satu kafe ke  kafe yang lain untuk belajar. Selalu bingung ketika ditanya perihal domisili oleh para calon siswa. Namun, di awal bulan dan awal tahun yang baru ini akhirnya sudah bisa menjawab dengan jelas ketika ditanya kantornya di mana? Lanjut di tanggal 2 Januari masuk ke kantor baru dengan acara syukuran. Bersyukur bisa sampai di tahun keempat. Dengan personil yang bertambah banyak dan siswa yang kuantitasnya juga bertambah. Alhamdulillah memulai tahun yang baru, dengan suasana baru, dan beberapa program-program yang baru.

Minggu pertama Januari mama sakit. Kondisi yang membuat pikiran dan hati saya kalut. Apalagi pada waktu itu saya berada di Makassar dan mama di kampung. Ada perasaan bersalah karena tidak bisa merawat beliau saat beliau lagi sakit. Bahkan pernah satu malam saya tidak bisa tidur nyenyak dan tidur dalam keadaan memegang handphone, mempersiapkan diri untuk berbagai berita. Dulu, beberapa waktu silam keinginan untuk merantau bahkan mengabdi ke daerah-daerah pedalaman yang minim sinyal pernah begitu menggebu. Namun, belakangan entah karena faktor apa rasa-rasanya ingin stay di Makassar saja biar bisa kapan saja bertemu dengan orang tua. Bertumbuh dan menua bersama mereka, dan bisa merawat mereka dalam menjalani masa-masa senjanya.

Minggu kedua Januari saya dapat giliran mengawas ujian di salah satu kantor tentara di Makassar. Peserta yang terdaftar sebanyak tiga orang. Namun, pada malam itu yang datang hanya satu orang. Seorang petinggi TNI yang ketika namanya diketik di google akan muncul track record jabatan dan prestasi beliau. Jadwal belajar yang seharusnya berlangsung pukul 19.00-21.00 ternyata berakhir di pukul 23.30. Tidak hanya mengawas ujian, saya bersama si bapak berdiskusi mengenai soal-soal selepas ujian berakhir. Dalam proses diskusi kami, ada beberapa hal yang kupelajari secara tidak langsung dari si bapak. Saat beliau secara sadar atau tidak bercerita bahwa beliau terbebani dengan ujian yang akan dijalaninya, ekspektasi orang-orang yang menganggap beliau mampu untuk banyak hal. Selalu mempertanyakan dan sangsi ketika menyaksikan beliau gagal dan menganggap hal yang wajar dan biasa ketika beliau berhasil. Sesuatu yang membuatnya terbebani, orang-orang selalu berpikir bahwa beliau dengan mudah bisa mendapatkan apa yang diinginkan, padahal dibalik semua itu ada kerja keras dan tekananan yang mengiringi prosesnya. Saya belajar bahwa setiap fase akan selalu ada hal-hal yang membuat kita tertekan. Bahkan saat jabatan kita sudah tinggi sekali pun. Ekspektasi orang-orang akan selalu mengikut. Tak peduli bagaimana pun hebatnya kita dalam mencapai sesuatu, akan selalu ada ekspektasi-ekspektasi yang diinginkan lebih dari apa yang kita dapatkan. Selepas kelas berakhir, si bapak mengantar saya hingga ke parkiran, ajudan di mobil dinas beliau mengikutinya dari belakang, para penjaga di pos memberi hormat saat beliau lewat. Saya merasa terharu dengan kerendahan hatian beliau, beliau mengajak saya mengobrol dan mengantar saya hingga ke parkiran, menunggui saya hingga motor saya berlalu meninggalkan beliau. Malam itu terasa sangat dingin, suasana tengah malam ditambah rintik hujan yang membasahi jalanan. Namun, hati saya terasa begitu hangat.

Masih di minggu kedua Januari, bencana sudah datang silih berganti. Air mata dan rasa pilu terasa begitu menusuk. Mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, banjir bandang di Kalimantan Selatan, gempa di Sulawesi Barat, longsor dan banjir yang terjadi di berbagai tempat hingga muncul tagar Indonesia dikepung bencana. Belum lagi kasus virus corona yang tidak juga kunjung melandai, penyebarannya meningkat setiap hari, update berita kasus corona tak kunjung mereda. Peristiwa demi peristiwa yang seharusnya bisa mengajarkan kita banyak hal, belajar untuk selalu merasa cukup dan tidak serakah, belajar untuk tidak merusak alam, belajar untuk menjadi sebaik-baiknya manusia yang bisa saling menolong dengan manusia lain agar bisa sama-sama bangkit melalui masa-masa sulit ini, belajar untuk berserah diri kepada sang pencipta, kematian terasa begitu dekat.  

Memasuki minggu kedua Januari saya jatuh sakit. Panas yang mencapai 38 derajat membuat saya was-was. Sakit merupakan hal yang wajar dan bisa menyerang siapa saja, tetapi bedanya kondisi pasca covid mulai masuk ke Indonesia membuat sakit yang ada gejala covidnya membuat was-was. Saya tidak begitu khawatir dengan diri saya sendiri, saya malah khawatirnya ke orang-orang di sekeliling saya, jangan sampai saya menjadi penyebab mereka jatuh sakit. Saat-saat sakit tersebut membuat saya semakin mensyukuri arti sehat, lebih mensyukuri nikmatnya tidur nyenyak, bersyukur bisa makan makanaa apa saja. Selama ini selalu take if for granted untuk banyak hal bahkan untuk nikmat kesehatan, tidur nyenyak, bahkan makan. Selalu dengan sombongnya merasa tubuh kuat jadi kemungkinan untuk sakit kecil, lalu diberilah peringatan sama Allah agar tidak menjadi manusia sombong. “Diberi peringatan” agar bisa menghargai dan mensyukuri segala nikmat yang selama ini hanya diterima begitu saja dan belajar untuk lebih menyayangi diri sendiri, menerapkan pola hidup sehat. Tidak lagi minum minuman dingin saat habis keluar panas-panasan, sesuatu yang membuat saya jatuh sakit dan mengalami radang tenggorokan. Saat sakit terasa begitu banyak nikmat yang dicabut sementara oleh Allah. Nikmat sehat, nikmat makan, nikmat tidur nyenyak, nikmat bangun dan haha hihi.

Masih di bulan Januari. Ada begitu banyak berita dari orang-orang sekitar. Ada yang lahiran, ada yang menikah, ada yang meninggal bahkan untuk kasus meninggal ini hampir setiap hari ada saja berita meninggal yang lewat di timeline. Sungguh, saat-saat seperti ini selalu merasa kematian begitu dekat, bisa datang kepada siapa saja tanpa pernah menanyakan siap atau tidak . Selain berita bahagia pernikahan dan lahiran, berita mengenai kisruh rumah tangga juga masuk dalam cerita di Januari. Cerita dari teman dekat yang lagi bermasalah dengan pasangannya membuat berkali-kali istigfar dan mengelus dada. Banyak sekali pelajaran yang dikirimkan oleh Allah bulan ini. Dari yang bahagia hingga yang sedih.

Terakhir cerita di bulan ini, masih perihal bersyukur atas segala nikmat. Nikmat waktu luang dan leha-leha. Beberapa waktu lalu seorang teman menelfon, dia bercerita perihal aktifitas barunya saat ini. Dia sudah mulai bekerja dan menjalani kesibukan setelah setahun kemarin lowong. Dia, seseorang yang kutau begitu sering mengeluhkan status lowongnya kemarin karena tidak ngapa-ngapain, sekarang kudengar lagi keluh kesahnya perihal capeknya bekerja. Untuk pertama kalinya kudengar darinya yang menyarankan untuk menikmati waktu lowong, sesuatu yang dia keluhkan dulu ternyata saat ini begitu berharga. Memang benar-benar siklus kehidupan ya. Kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki. Namun, saat kita sudah memiliki ternyata tidak selamanya membuat kita tenang dan bahagia. Sesuatu yang “nampak” memang begitu indah, namun keindahannya tidak selalu bertahan kuat hingga  kita menggenggamnya. Kita sering berdoa dan bertanya, namun tidak pernah betul-betul siap dengan jawaban-jawaban yang Tuhan kirimkan.

Mari kita menertawakan dan menikmati segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita, karena siklus kehidupan dengan begitu mudah berganti, kita hanya perlu menikmati dan mensyukuri segala kejutan-kejutan yang diamanahkan kepada kita.

Keep smile, fighting, dan selalu belajar bersyukur ^^. Selamat menanti bulan Februari, bulan yang katanya penuh cinta šŸ˜Š. Selamat mengarungi kehidupan bulan Februari, selamat menikmati segala kejutan-kejutan yang menanti.

 

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...