Aku
benci pertemuan kita. Aku benci kenyataan kita menghabiskan cukup banyak waktu
untuk berbincang. Akhirnya rasa yang tak kuinginkan benar-benar hadir, aku
merasa nyaman dan terbiasa dengan kehadiranmu. Aku selalu menanti kabarmu,
selalu ingin tau kondisimu, dan selalu ingin memastikan kau baik-baik saja
dengan hidup dan pilihan yang kau jalani. Kenapa aku begitu tak berdaya? Mungkinkah
ada rasa sepi yang merasa terisi dengan kehadiranmu hingga membuatku tak lagi
logis untuk berpikir? Berkali-kali kuajak diriku untuk bernalar, membenturkan
perasaan dengan logika-logika yang bisa diterima, tapi saat kau datang bahkan
dengan hanya mengirimkan pesan “hai” aku langsung luluh lantah, logikaku tak
lagi bisa berjalan normal, perasaaku berkecamuk dan aku dengan rasa tak berdaya
meladeni pesan-pesanmu yang masuk, berkali-kali aku harus mengecek chat untuk
memastikan tak ada pesanmu yang kuabaikan. Argh
Aku
benci cara otakku mendramatisir keadaan. Aku yang merasa baik-baik saja, aku
yang tak sepenuhnya menyayangimu. Namun, mengapa otakku bekerja terus menerus untuk
selalu menanti kabarmu, menanti setiap pesanmu, selalu mencari cara agar
obrolan kita terus berlanjut. Ah, aku benci semua ini. Mungkin sebaiknya dari awal
pertemuan ini tak perlu terjadi sehingga tak tercipta drama seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar