Saya
tak pernah benar-benar mengerti, mengapa orang-orang senang sekali bertanya “kapan
menikah”? Seolah menikah adalah sebuah pencapaian seseorang di batas umur
tertentu. Pertanyaan yang membuat tak sedikit orang mengalami stres karena
merasa tidak seperti layaknya manusia normal lainnya, yang di batas umur
tertentu sudah memiliki pasangan dan juga buah hati.
Sebut
saja Margareta, seorang gadis yang sudah mendekati usia 30 tahun. Jangan ditanya
lagi berapa kali Margareta mendapatkan pertanyaan kapan menikah, mulai dari
orang yang tidak begitu akrab hingga keluarga terdekat. Hingga suatu hari
kutukan kejomloan Margareta itu pun berakhir saat seorang laki-laki datang
untuk maksud meminang. Laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan
dengan Margareta, lelaki yang sudah cukup dikenal oleh keluarga Margareta. Jadi
tak ada alasan bagi Margareta atau pun keluarganya untuk menolak.
Tidak
ada proses berkenalan yang intim antara Margareta dan calon suaminya, Margareta
berpikir bahwa lelaki yang masih memiliki kekerabatan dengannya itu adalah
lelaki yang baik yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun silam dan itu sudah
cukup menjadi informasi untuk Margareta memantapkan untuk memilih calon
suaminya. Proses mereka menuju ke pelaminan pun berjalan begitu lancar, tak ada
kendala yang berarti. Semua keluarga dari kedua belah pihak turut andil dalam
proses persiapan pernikahan, prosesnya pun berjalan lancar tanpa ada masalah. Hari
H pernikahan pun telah tiba, semua keluarga turut berbahagia, tak terkecuali Margareta
dan suaminya. Seperti layaknya sepasang suami istri, Margareta dan suaminya pun
menjalani masa-masa indah awal pernikahan. Saling sayang-sayangan dan
bucin-bucinan.
Beberapa
minggu setelah menikah, suami Margareta harus berangkat ke luar kota untuk
kembali bekerja. Margareta masih berada di kota X dan tinggal bersama orang
tuanya, mereka menjalani LDM untuk sementara waktu karena di kota tempat suami Margareta
bekerja belum ada tempat tinggal untuk mereka huni berdua. Saat menjalani LDM
masalah pun mulai muncul, terkadang hal kecil menjadi hal yang dibesar-besarkan
dan menjadi pertengkaran. Margareta pun akhirnya berinisiatif untuk ikut
suaminya tinggal di kota Y agar mereka bisa tinggal bersama. Namun, suaminya
tidak megijinkan Margareta untuk tinggal di kota Y bersamanya, alasannya biaya
hidup yang cukup tinggi dengan gaji yang pas-pasan tidak mampu untuk membiayai
hidup mereka berdua. Mendengar hal itu, Margareta sebagai istri yang baik
menuruti kata suaminya, dia hanya sesekali mengunjungi suaminya di kota Y
lokasi tempat suaminya bekerja. Dalam pertemuan mereka yang singkat terjadilah
sesuatu yang diinginkan, Margareta akhirnya hamil setelah 2 bulan menikah. Meski
begitu, Margareta tetap tidak tinggal seatap dengan suaminya, dia tinggal
bersama orang tuanya di kota X, suaminya tetap memilih tinggal dan bekerja di
kota Y.
Hari
demi hari mereka lalui dengan terpisah jarak dan waktu, hingga suatu hari
terjadi pertengkaran besar diantara mereka. Dari pertengkaran tersebut semua
hal-hal kecil diungkit terus menerus dan menjadi masalah besar. Puncaknya si
suami menjatuhkan talak ke Margareta dengan alasan sudah tidak sanggup dengan
sifat kekanak-kanakan Margareta ditambah dengan alasan sudah tidak ada perasaan
lagi. Alasan yang sungguh sangat dibuat-buat dan mengada-ada. Suami yang sama
sekali tidak memiliki hati nurani menjatuhkan talak ke istri yang sedang hamil,
seorang wanita yang sedang mengandung buah hatinya, wanita yang lagi butuh
perhatian dan kasih sayangnya malah ditalak oleh suaminya dengan alasan sudah
tidak ada perasaan apa-apa lagi. Kejadian ini menjadi lowest point dalam kehidupan Margareta, kehidupan pernikahan yang
diimpikan bak cerita cinderella ternyata harus melalui lika liku seperti
sinetron-sinetron azab.
Dulunya
saya pikir hal-hal seperti ini hanya ada di film-film azab Indosiar, ternyata
hal tersebut benar-benar ada di kehidupan nyata dan dialami oleh Margareta
teman dekat saya. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Margareta sebelumnya,
harus menjalani kehidupan pernikahan dengan lika liku kehidupan seperti ini. Menjalani
hari-hari di tengah kondisi hamil seorang diri tanpa sekali pun pernah
dihubungi oleh lelaki yang pernah mengucap akad dihadapan bapaknya, lelaki yang
pernah menjanjikan akan menjaganya dan menafkahinya lahir batin sekarang
menghilang dan menjadi orang asing. Tak pernah sekali pun suaminya menghubungi
untuk sekadar bertanya kondisi Margareta dan calon bayi yang dikandungnya. Sekarang
Margareta lagi memulihkan kondisi fisik dan mentalnya setelah melalui kenyataan
sulit dan sekarang lagi dalam proses menunggu buah hatinya lahir ke dunia.
Dalam
kondisi seperti ini, dapat dipastikan orang-orang yang dulu sering bertanya “kapan
menikah” sudah hilang entah ke mana, mereka tak lagi peduli dengan apa yang
dialami pascapernikahan, yang ada malah mulai mencibir dengan kondisi yang
dialami. Jadi paling baik ya menutup telinga dan bersikap bodo amat dengan
pertanyaan orang-orang, toh pun saat kita mengalami kesulitan mereka tidak ada
untuk mengulurkan bantuan, mereka tidak akan bertanggungjawab atas penderitaan
yang dialami saat kita “salah” memilih pasangan yang diakibatkan oleh
intervensi pertanyaan-pertanyaan mereka yang hanya kepo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar