Kamis, 14 Oktober 2021

Titik Terendah


Saya tak pernah benar-benar mengerti, mengapa orang-orang senang sekali bertanya “kapan menikah”? Seolah menikah adalah sebuah pencapaian seseorang di batas umur tertentu. Pertanyaan yang membuat tak sedikit orang mengalami stres karena merasa tidak seperti layaknya manusia normal lainnya, yang di batas umur tertentu sudah memiliki pasangan dan juga buah hati.

Sebut saja Margareta, seorang gadis yang sudah mendekati usia 30 tahun. Jangan ditanya lagi berapa kali Margareta mendapatkan pertanyaan kapan menikah, mulai dari orang yang tidak begitu akrab hingga keluarga terdekat. Hingga suatu hari kutukan kejomloan Margareta itu pun berakhir saat seorang laki-laki datang untuk maksud meminang. Laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Margareta, lelaki yang sudah cukup dikenal oleh keluarga Margareta. Jadi tak ada alasan bagi Margareta atau pun keluarganya untuk menolak.

Tidak ada proses berkenalan yang intim antara Margareta dan calon suaminya, Margareta berpikir bahwa lelaki yang masih memiliki kekerabatan dengannya itu adalah lelaki yang baik yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun silam dan itu sudah cukup menjadi informasi untuk Margareta memantapkan untuk memilih calon suaminya. Proses mereka menuju ke pelaminan pun berjalan begitu lancar, tak ada kendala yang berarti. Semua keluarga dari kedua belah pihak turut andil dalam proses persiapan pernikahan, prosesnya pun berjalan lancar tanpa ada masalah. Hari H pernikahan pun telah tiba, semua keluarga turut berbahagia, tak terkecuali Margareta dan suaminya. Seperti layaknya sepasang suami istri, Margareta dan suaminya pun menjalani masa-masa indah awal pernikahan. Saling sayang-sayangan dan bucin-bucinan.

Beberapa minggu setelah menikah, suami Margareta harus berangkat ke luar kota untuk kembali bekerja. Margareta masih berada di kota X dan tinggal bersama orang tuanya, mereka menjalani LDM untuk sementara waktu karena di kota tempat suami Margareta bekerja belum ada tempat tinggal untuk mereka huni berdua. Saat menjalani LDM masalah pun mulai muncul, terkadang hal kecil menjadi hal yang dibesar-besarkan dan menjadi pertengkaran. Margareta pun akhirnya berinisiatif untuk ikut suaminya tinggal di kota Y agar mereka bisa tinggal bersama. Namun, suaminya tidak megijinkan Margareta untuk tinggal di kota Y bersamanya, alasannya biaya hidup yang cukup tinggi dengan gaji yang pas-pasan tidak mampu untuk membiayai hidup mereka berdua. Mendengar hal itu, Margareta sebagai istri yang baik menuruti kata suaminya, dia hanya sesekali mengunjungi suaminya di kota Y lokasi tempat suaminya bekerja. Dalam pertemuan mereka yang singkat terjadilah sesuatu yang diinginkan, Margareta akhirnya hamil setelah 2 bulan menikah. Meski begitu, Margareta tetap tidak tinggal seatap dengan suaminya, dia tinggal bersama orang tuanya di kota X, suaminya tetap memilih tinggal dan bekerja di kota Y.

Hari demi hari mereka lalui dengan terpisah jarak dan waktu, hingga suatu hari terjadi pertengkaran besar diantara mereka. Dari pertengkaran tersebut semua hal-hal kecil diungkit terus menerus dan menjadi masalah besar. Puncaknya si suami menjatuhkan talak ke Margareta dengan alasan sudah tidak sanggup dengan sifat kekanak-kanakan Margareta ditambah dengan alasan sudah tidak ada perasaan lagi. Alasan yang sungguh sangat dibuat-buat dan mengada-ada. Suami yang sama sekali tidak memiliki hati nurani menjatuhkan talak ke istri yang sedang hamil, seorang wanita yang sedang mengandung buah hatinya, wanita yang lagi butuh perhatian dan kasih sayangnya malah ditalak oleh suaminya dengan alasan sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi. Kejadian ini menjadi lowest point dalam kehidupan Margareta, kehidupan pernikahan yang diimpikan bak cerita cinderella ternyata harus melalui lika liku seperti sinetron-sinetron azab.

Dulunya saya pikir hal-hal seperti ini hanya ada di film-film azab Indosiar, ternyata hal tersebut benar-benar ada di kehidupan nyata dan dialami oleh Margareta teman dekat saya. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Margareta sebelumnya, harus menjalani kehidupan pernikahan dengan lika liku kehidupan seperti ini. Menjalani hari-hari di tengah kondisi hamil seorang diri tanpa sekali pun pernah dihubungi oleh lelaki yang pernah mengucap akad dihadapan bapaknya, lelaki yang pernah menjanjikan akan menjaganya dan menafkahinya lahir batin sekarang menghilang dan menjadi orang asing. Tak pernah sekali pun suaminya menghubungi untuk sekadar bertanya kondisi Margareta dan calon bayi yang dikandungnya. Sekarang Margareta lagi memulihkan kondisi fisik dan mentalnya setelah melalui kenyataan sulit dan sekarang lagi dalam proses menunggu buah hatinya lahir ke dunia.

Dalam kondisi seperti ini, dapat dipastikan orang-orang yang dulu sering bertanya “kapan menikah” sudah hilang entah ke mana, mereka tak lagi peduli dengan apa yang dialami pascapernikahan, yang ada malah mulai mencibir dengan kondisi yang dialami. Jadi paling baik ya menutup telinga dan bersikap bodo amat dengan pertanyaan orang-orang, toh pun saat kita mengalami kesulitan mereka tidak ada untuk mengulurkan bantuan, mereka tidak akan bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami saat kita “salah” memilih pasangan yang diakibatkan oleh intervensi pertanyaan-pertanyaan mereka yang hanya kepo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...