Minggu, 28 Februari 2021

Sebuah Renungan

 

Pernah berada di sebuah kondisi, melihat sekeliling dan membandingkan hidup dengan orang lain. Merasa rendah diri dan useless, hingga mengurung diri dan melakukan social media toxic. Lelah terus-terusan iri melihat pencapaian orang dan mengutuki diri sendiri yang ngerasa jalan di tempat dan tidak kemana-kemana. Hingga pada akhirnya sadar dan menentukan tujuan dan value hidup. Lah ngapain saya membandingkan diri dengan orang lain, toh tujuan saya beda, value hidup saya beda. Hingga akhirnya belajar untuk merasa cukup.

Bertanya dan terus bertanya apa sebenarnya yang saya cari. Saya masih bisa menikmati makanan enak, tidur di tempat yang nyaman, memakai apa yang hendak saya pakai. Lalu kenapa saya begitu ngoyo?

Orang-orang berlomba untuk tampil baik2 saja, saya pun mengikuti. Hingga saya merasa lelah. Berusaha untuk menampilkan sesuatu terkadang berarti berusaha untuk mendapat pengakuan. Setelah mendapat pengakuan lalu apa? Tak ada ujungnya, terus membuktikan entah kepada siapa dan untuk apa. Semakin kita berusaha tampil baik-baik saja semakin membuktikan kita sedang tidak baik-baik saja. Hingga saya memilih berhenti dan belajar merasa cukup dengan apa yang saya miliki dan jalani, sekarang hidup saya terasa jauh lebih baik dan damai. Tanpa ada lagi ambisi besar untuk membuktikan apa-apa.

Privilese. Dulu, saya selalu berasumsi bahwa privilese itu saat kamu lahir di keluarga kaya, berpendidikan, dan segala fasilitas bisa kamu dapatkan dengan mudah itu adalah makna dari privilese. Tapi, ternyata saya salah, privilese maknanya bisa jauh lebih luas dari itu.

Saya selalu menggaungkan perspektif akan makna kesibukan dan mengejar cuan. Saya selalu berpendapat kenapa sih harus kerja mati-matian untuk mengejar cuan? Bahkan sampai harus mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan keluarga. Toh semua orang ada rejekinya masing-masing dan rejeki adalah apa yang kita makan dan pakai pada saat itu, kenyamanan bisa kita cipta sendiri. Kenapa harus mati-matian mengejar sesuatu demi kemewahan dan mengorbankan sesuatu yang paling berharga, toh kita makan seenak dan semahal apapun akhirnya berlabuh juga di jamban, toh tidur melantai ataupun di kasur empuk sama-sama tujuannya tidur dan istirahat, toh menggunakan kendaraan sederhana ataupun mewah sama-sama fungsinya untuk mengantar kita sampai di tujuan. Begitu kurang lebih pergulatan demi pergulatan yang berseliweran di kepala. Hingga satu momen saya tersadarkan bahwa apa yang orang-orang kejar, apa yang orang-orang perjuangkan, ternyata saling berkorelasi dengan lingkungan dan juga privilese.

Ternyata, hidup dalam lingkungan keluarga dan pertemanan yang tidak banyak menuntut kita harus menjadi ini dan itu, kita harus tampil begini dan begitu, kita harus membuktikan ini dan itu, juga ternyata adalah sebuah keistimewaan. Tidak semua orang mendapat keistimewaan yang sama. Banyak orang yang harus kerja mati-matian siang malam bahkan tak lagi mengenal jam kerja demi untuk memenuhi standarisasi norma di masyarakat agar bisa diterima. Banyak orang yang harus jungkir balik memperjuangkan rejeki demi untuk memastikan keluarganya bisa bertahan dan tidak kelaparan. Banyak yang kelihatan begitu ngoyo demi untuk mempertahankan reputasi dan tetap mendapat pengakuan di masyarakat. Begitu banyak motif terselubung dari segala hal yang terlihat secara kasat mata, apa yang tampil di depan mata apalagi di sosial media terkadang hanyalah sebuah kamuflase dengan maksud dan tujuan yang beragam. Berempati dan tidak judgemental adalah sebuah skill set yang mesti dipelajari dan terus dilatih.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...