Hidup
dalam budaya patriarki membuat status sebagai perempuan tidak selalu mudah. Menjadi
perempuan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan dan pilihan-pilihan yang
sulit. Menjadi perempuan harus selalu bisa belajar untuk mengatur skala
prioritas. Menjadi perempuan harus menanggung banyak beban, beban moral dan
beban batin.
Saat
perempuan bercerai, image janda selalu buruk, berbeda dengan lelaki yang
sering mendapat julukan duda keren. Ketika sudah menikah dan terlambat mendapat
rejeki anak, yang selalu menjadi sorotan selalu perempuan, meski mungkin saja
suaminya yang mandul. Ketika perempuan tidak bisa memasak, dapat dipastikan
selalu ada cibiran “jadi perempuan kok tidak bisa masak, kasian suaminya mau
makan apa”, padahal memasak itu tidak butuh jender tertentu, hanya butuh tangan
dan insting tidak perlu melibatkan jender. Ketika dalam sebuah pekerjaan dan
perempuan itu sebagai bos yang tegas, dapat dipastikan ada aja orang yang ngomong
“galak amat sih jadi perempuan, namun jika yang tegas itu laki-laki pasti yang
mereka dapatkan adalah pujian sebagai pemimpin yang baik dan karismatik”.
Perempuan
selalu dihadapkan akan pilihan-pilihan hidup yang cukup berat. Bahkan ketika
perempuan akan menikah dan statusnya sebagai perempuan bekerja, akan ada intervensi
untuk disuruh memilih mempriotitaskan karir atau keluarga, sedangkan
laki-laki jarang dituntut untuk memilih antara karir atau keluarga. Begitu pula
halnya dengan tanggung jawab domestik, bebannya masih selalu dititik beratkan
kepada perempuan.
Saat
sudah menikah dan memiliki anak. Menjadi working mom atau fulltime mom
selalu jadi sesuatu yang mesti dipilih. Selain diberikan pilihan untuk
menentukan prioritas, menjadi perempuan juga tidak lepas dari aturan norma sosial
yang dianggap harus bisa ini dan itu karena terlahir sebagai seorang perempuan.
Parahnya, pengasuhan anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab berdua tidak
jarang hanya dibebankan kepada ibu. Kalau anaknya tidak terurus yang disalahkan
pertama kali pasti ibunya.
Menjadi
working mom bukan lah sesuatu yang mudah, beban kerja di kantor tidak
serta merta berkurang hanya karena memiliki beban kerja juga di rumah. Pagi-pagi
sebelum berangkat kerja harus memastikan seisi rumah terpenuhi gizinya, pulang
kerja pun harus bisa memastikan rumah dan seisi rumahnya dalam kondisi yang
baik-baik saja. Ketika menjadi full time mom dapat dipastikan juga bahwa
pekerjaan domestik, mengurus rumah dan anak bukan pekerjaan yang bisa dianggap
enteng, kelihatannya aja mudah namun kenyataannya tidak semudah kelihatannya,
belum lagi rasa bosan yang pasti akan menghinggapi karena hanya menjalani
rutinitas yang itu-itu saja dan interaksi dengan orang yang itu-itu saja.
Terlahir
sebagai perempuan memang tidak lah mudah. Banyak tuntutan dan ekspektasi yang
dibebankan baik oleh masyarakat maupun dari keluarga. Syukur-syukur kalau mendapat
pasangan hidup yang paham bahwa perempuan dan laki-laki itu equal. Jadi
ada pembagian peran yang adil, menyadari semua orang punya potensi untuk
menjadi manusia seutuhnya, punya hak preogeratif untuk memilih mau bekerja di
luar rumah atau pun mengurusi pekerjaan domestik tanpa memandang jender
tertentu, tidak ada lagi relasi kuasa yang merasa superior dan inferior,
sehingga bisa terjadi keseimbangan dalam hidup. Karena perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi terbaik dalam dirinya
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar