Jumat, 03 Desember 2021

Menjadi Perempuan

 

Hidup dalam budaya patriarki membuat status sebagai perempuan tidak selalu mudah. Menjadi perempuan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan dan pilihan-pilihan yang sulit. Menjadi perempuan harus selalu bisa belajar untuk mengatur skala prioritas. Menjadi perempuan harus menanggung banyak beban, beban moral dan beban batin.

Saat perempuan bercerai, image janda selalu buruk, berbeda dengan lelaki yang sering mendapat julukan duda keren. Ketika sudah menikah dan terlambat mendapat rejeki anak, yang selalu menjadi sorotan selalu perempuan, meski mungkin saja suaminya yang mandul. Ketika perempuan tidak bisa memasak, dapat dipastikan selalu ada cibiran “jadi perempuan kok tidak bisa masak, kasian suaminya mau makan apa”, padahal memasak itu tidak butuh jender tertentu, hanya butuh tangan dan insting tidak perlu melibatkan jender. Ketika dalam sebuah pekerjaan dan perempuan itu sebagai bos yang tegas, dapat dipastikan ada aja orang yang ngomong “galak amat sih jadi perempuan, namun jika yang tegas itu laki-laki pasti yang mereka dapatkan adalah pujian sebagai pemimpin yang baik dan karismatik”.

Perempuan selalu dihadapkan akan pilihan-pilihan hidup yang cukup berat. Bahkan ketika perempuan akan menikah dan statusnya sebagai perempuan bekerja, akan ada intervensi untuk disuruh memilih mempriotitaskan karir atau keluarga, sedangkan laki-laki jarang dituntut untuk memilih antara karir atau keluarga. Begitu pula halnya dengan tanggung jawab domestik, bebannya masih selalu dititik beratkan kepada perempuan.

Saat sudah menikah dan memiliki anak. Menjadi working mom atau fulltime mom selalu jadi sesuatu yang mesti dipilih. Selain diberikan pilihan untuk menentukan prioritas, menjadi perempuan juga tidak lepas dari aturan norma sosial yang dianggap harus bisa ini dan itu karena terlahir sebagai seorang perempuan. Parahnya, pengasuhan anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab berdua tidak jarang hanya dibebankan kepada ibu. Kalau anaknya tidak terurus yang disalahkan pertama kali pasti ibunya.

Menjadi working mom bukan lah sesuatu yang mudah, beban kerja di kantor tidak serta merta berkurang hanya karena memiliki beban kerja juga di rumah. Pagi-pagi sebelum berangkat kerja harus memastikan seisi rumah terpenuhi gizinya, pulang kerja pun harus bisa memastikan rumah dan seisi rumahnya dalam kondisi yang baik-baik saja. Ketika menjadi full time mom dapat dipastikan juga bahwa pekerjaan domestik, mengurus rumah dan anak bukan pekerjaan yang bisa dianggap enteng, kelihatannya aja mudah namun kenyataannya tidak semudah kelihatannya, belum lagi rasa bosan yang pasti akan menghinggapi karena hanya menjalani rutinitas yang itu-itu saja dan interaksi dengan orang yang itu-itu saja.

Terlahir sebagai perempuan memang tidak lah mudah. Banyak tuntutan dan ekspektasi yang dibebankan baik oleh masyarakat maupun dari keluarga. Syukur-syukur kalau mendapat pasangan hidup yang paham bahwa perempuan dan laki-laki itu equal. Jadi ada pembagian peran yang adil, menyadari semua orang punya potensi untuk menjadi manusia seutuhnya, punya hak preogeratif untuk memilih mau bekerja di luar rumah atau pun mengurusi pekerjaan domestik tanpa memandang jender tertentu, tidak ada lagi relasi kuasa yang merasa superior dan inferior, sehingga bisa terjadi keseimbangan dalam hidup. Karena perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi terbaik dalam dirinya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...