Hari
pertama di Bandung, tepatnya hari selasa. Bangun pagi kami disambut dengan
dinginnya Bandung yang menusuk hingga ke tulang. Wajar saja, Asrama UIN yang
berada di daerah Cibiru ternyata daerah dataran tinggi, saat pagi datang
kulihat gunung atau lebih tepatnya bukit yang berada pas dibelakang asrama.
Saking dinginnya membuat kami enggan untuk beranjak dari tempat tidur, dan
lebih memilih untuk kembali menarik selimut. Untungnya hari itu masih hari
selasa, acara seminar belum dimulai. Rencana hari itu hanya seputar mengecek
lokasi seminar yakni di Hotel Grand Tjocro. Pukul 09.00 baru kami siap-siap
untuk berangkat, setelah melewati segala kemalasan dan kepenatan. Sebelum
berangkat ke lokasi seminar terlebih dahulu kami sarapan di kantin Ma’had
berkumpul bersama mahasiswa UIN yang juga sedang makan di sana.
Nampak
dari wajah mereka menyiratkan bahwa mereka kemungkinan adalah mahasiswa tingkat
2 atau 3, mereka larut dalam obrolan dengan segelas kopi di hadapan mereka dan
sebatang rokok yang terpatri indah di sela-sela jari mereka, sesekali asapnya
mengepul dan sampai dihidung kami. Lalu saya membuka obrolan “Hmmp semenjak
kuliah S2 saya sudah jarang menemukan teman-teman yang merokok, beda ketika
masih S1, jangankan rokok hal-hal yang lebih parah dari rokok pun hampir setiap
hari saya dapati teman-teman saya melakukannya, tapi wajar sih ya jaman S1
masih jaman eksistensi dan aktualisasi diri, semua hal dicobain. Kalau di S2
mah mungkin sudah banyak yang tobat bahkan berfikir ini tidak lagi memberikan
banyak manfaat malah menyisakan penyakit di masa tua”, teman yang lain pun
menyambung obrolan saya dan kami terlibat dalam obrolan mengenai rokok dan
masa-masa S1 sampai tak terasa Siti dan Tama yang sarapan telah menghabiskan
makanannya, saya pun memesan gocar menuju grand Tjocro. Oh iya, saya dan Ani
memilih untuk tidak sarapan karena berencana untuk sarapan di ITB sambil
melihat dedek gemes yang ada di ITB. Tak lama kemudian, gocarnya pun datang.
Alhamdulillahnya
kami mendapat supir yang masih muda dan asyik, kami lalu terlibat obrolan
dengan supirnya yang belakangan kami tau namanya Dwika. Sepanjang perjalanan
kami bercanda tawa, menikmati kemacetan kota Bandung yang naudzubillah. Baru
terasa omongan orang yang mengatakan UIN itu jauh, ternyata memang iya. Semalam
saat berangkat dari stasiun tidak begitu terasa karena tengah malam dan jalanan
lengang, tapi saat pagi datang kemacetan itu sangatlah terasa. Sejam kemudian
kami sudah tiba di depan hotel Tjocro lalu melanjutkan perjalanan ke ITB,
menemui Oky yang sudah menunggu lebih dari sejam sebelumnya. Waktu itu sudah
masuk waktu Duhur, jadi teman-teman menunaikan sholat duhur di masjid Salman
sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke kampus ITB.
Oky
yang belum begitu menguasai daerah Bandung mengajak kami unutk mencari makan di
depan kampus, berhubung saat itu waktunya makan siang jadi kami tidak kebagian
tempat. Oky pun menawarkan makan pasta yang kemudian diaminkan oleh anak-anak
yang lain. Fix tujuan kita makan pasta di dekat kampus ITB, tapi sebelumnya Oky
mengajak kami untuk datang ke pameran illustrator yang kebetulan sedang
berlangsung di Fakultas Seni Rupa ITB. Nampak banyak pajangan illustrator dari
berbagai sumber tapi sayangnya tak bisa kami abadikan dalam gambar. Saat kami
sudah puas berkeliling dan melihat gambar yang dipamerkan, kami pun siap-siap
untuk mencari makan. Oky kemudian berbisik kepadaku bahwa pasta yang ditawarkan
sebelumnya itu mahal dan porsinya sedikit, jadi dia berinisiatif mengajak kami
untuk makan di ciwalk. Salah satu mall yang berada di dekat kampus ITB, katanya
di sana terdapat banyak jajanan. Kusampaikan hal itu kepada teman-teman yang
lain lalu mereka pun mengiyakan. Jadilah kami bertujuh menuju ciwalk untuk
makan, tapi sebelumnya kami menyusuri setiap sudut ITB terlebih dahulu untuk
mengabadikan foto.
Seorang
teman berdecak kagum sesaat setelah kami tiba di Ciwalk, baru kali ini dia
melihat mall dengan konsep outdoor. Lalu kami berjalan menyusuri ciwalk untuk
mencari makan yang sesuai kantong, dan tibalah kami di depan gigglebox yang
memamerkan diskon 50% dengan tulisan yang begitu besar di depan café mereka.
Kami pun akhirnya memilih gigglebox untuk nongkrong dan makan. Harganya lumayan
untuk ukuran mahasiswa Jogja yang ekonomis, tapi Alhamdulillah ada diskon 50%
jadi kami bisa makan “mewah” dengan harga ekonomis. Persyaratannya cukup
sederhana untuk mendapatkan diskon, cukup dengan follow, upload foto dan buat
caption kami secara otomatis bisa mendapat diskon 50% yang ditawarkan tersebut.
Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Beres
makan, kami mencari musholla untuk sholat lalu bersiap untuk balik ke asrama.
Dengan alasan persiapan untik besok dan menemui Aad yang mengabarkan dirinya
sudah sampai di Bandung. Sebenarnya kami bertujuh mengikuti seminar di STBA,
hanya saja Aad berangkat dari Surabaya menggunakan bis jadi waktu tiba kami di
Bandung berbeda.
Awalnya
kami membercandai Aad bahwa kami akan sampai di asrama isya karena kami masih
di luar, Aad yang sudah capek pasrah saja kami bercandai seperti itu. Menjelang
pukul setengah 5 sore kami sudah siap-siap untuk pulang, beberapa kali orderan
ojol saya ditolak, dan beberapa kali pula saya cancel karena lokasinya yang
kejauhan. Hingga pemesanan ketujuh barulah ada bapak ojol yang menerima orderan
saya dan saya terima juga, di aplikasi terpapar orderan prioritas tak lama
kemudian ojolnya datang lalu kami pun beranjak pulang. Jam pulang kantor
berarti jam-jam macet. Benar saja, jalanan besar, gang hingga jalanan perumahan
semuanya macet. Hampir sejam dimobil hanya bergerak sekitar 3KM, dan supir ojolnya
pun mulai menyerah, kami pun sudah jenuh mendengar beliau terus-terusan
mengeluh. Jadilah kami diturunkan dipinggir jalan dan disarankan untuk naik
damri, sore itu Bandung diguyur hujan yang lumayan deras. Supir ojol tersebut
berdalih kemungkinan di depan itu banjir dan mobil kecil tidak bisa lewat, jadi
kami disarankan untuk naik damri agar lebih aman.
Kami
pun turun di depan halte dan menunggu
bis di halte. Anehnya, setiap orang yang lewat melihat kami dengan ekspresi
heran, pun juga dengan damri yang lewat tak satupun yang singgah mengambil
kami. Ana berinisiatif bertanya kepada penjual di warung klontong pas di
samping halte. Darinya kami mendapat informasi agar menunggu di trotoar jalan
saja, bukan di halte. Karena terkadang kalau di halte supir damrinya tidak
melihat. Pengalaman baru di Bandung, jika di Jogja bis tidak akan berhenti
selain di halte, di Bandung malah berhentinya bukan di halte. Pantas saja
orang-orang yang lewat melihat kami dengan tatapan muka yang heran.
Dan
benar saja, kami baru tiba di asrama menjelang isya. Ini mungkin definisi
kualat, awalnya hanya ingin membercandai Aad, nyatanya kami memang
terlunta-lunta dan baru sampai di UIN hampir 3 jam kemudian. Setelah menemui
Aad di masjid, kami bersama-sama mencari makan di depan UIN lalu kembali ke
asrama untuk istirahat. Mempersiapkan diri untuk berangkat lebih awal keesokan
harinya agar tidak terjebak macet yang naudzubillah.
12 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar