Rabu, 09 Januari 2019

Susah ya jadi anak MAPALA



Berat ya jadi anak MAPALA, chat adekku tiba-tiba beberapa pekan yang lalu.
Aku membalasnya tertawa, hahaha. Memang susah, makanya tak banyak orang menjadi anak MAPALA.
Memang kenapa? Tanyaku. Iyaa latihan fisiknya aja berat, apalagi saat outdoor. Balasnya.
Aku kembali tertawa lalu aku mencoba menjelaskan. Jadi memang latihan fisik itu berat, pengkaderan di Mapala itu berat. Kenapa? Karena kita adalah organisasi yang berkecimpung di alam bebas. Segala kemungkinan akan terjadi, dan kita harus kuat menghadapi itu semua, karena bukan seleksi manusia yang akan kita temui selama di perjalanan, tapi seleksi alam. Kataku menjelaskan. Kalau memang tidak sanggup, mending mundur dari sekarang, sebelum turun lapangan, tambahku.
Lanjutlah, aku malu kalau mundur. Balasnya.
Oke baiklah, hati-hati ya. Jawabku.  

Adek kecilku yang dulu masih ingusan dan seorang anak rumahan kini menjelma menjadi seorang lelaki yang beranjak dewasa dengan postur tubuh yang tak lagi mungil. Segala hal yang dulu pernah kulalui sekarang dia lakoni bahkan lebih totalitas dibanding aku dulu. Adekku yang dulu memilih tinggal di rumah dan main games, kini lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, mengikuti komunitas dan sekarang ikut pengkaderan menjadi seorang anak Mapala.

Dalam sebulan saja, weekend lebih banyak dihabiskan untuk ke pedalaman mengikuti komunitas dibanding di rumah. Khawatir? Tentu saja. Saat tak ada kabar dan nomor hpnya tak bisa dihubungi jelas saja membuat khawatir, belum lagi mamaku yang setiap waktu menanyakan gimana kondisi adek. Hmmp ternyata begini ya yang mamaku rasakan saat dulu menghadapi aku yang begitu keras kepala. Masa-masa S1 adalah masa-masa penuh perjalanan dalam hidupku, menjadi seorang anak Mapala membuat aku ke mana-mana, dan itu terjadi setiap minggu. Setiap aku ke mana-mana bisa dipastikan hpku tidak aktif karena memang tidak ada jaringan. Aku pun memberi pengertian kepada mamaku “ma tak usah khawatir, insha Allah aku tak akan kenapa-kenapa dalam perjalanan, doain aja. Serahin hidup dan mati hanya kepada Allah”, kataku sok bijak kepada mamaku. Respon mamaku tentu saja tak terima, dalam mimik muka yang masih saja khawatir beliau menimpali “Enak emang kamu ngomong, kamu baru akan ngerasain nanti kalau sudah punya anak”. Balasnya singkat tapi ngena banget.

Beberapa tahun kemudian, belum juga anak sendiri sudah kerasa banget khawatirnya. Khawatir saat adek tak ada kabar saat bepergian, khawatir saat adek tengah malam belum sampai di rumah. Kadang aku pun tak bisa tidur sebelum memastikan adek sudah sampai di rumah. Hal yang sama atau bisa jadi lebih yang mungkin mamaku rasakan dulu, saat aku pulang malam hingga setelah pukul 10 aku belum ada di rumah, mama pasti akan nelfonin nanyain aku di mana dan sama siapa, dan beliau akan menjadi orang yang selalu menunggui dan membukakan aku pintu saat aku tiba di rumah.

Time flies tak terasa waktu melesat bagai anak panah, begitu cepat berlalu sudah hampir 9 tahun yang lalu. Masih segar diingatan saat hari jumat packing untuk mendaki, susur gua atau panjat tebing. Dan itu begitu menyenangkan, aku bersama teman-teman menjalaninya dengan penuh suka cita. Tak peduli ternyata ada orang-orang yang penuh kekhawatiran jika kami tak ada kabar, sedang di alam kami begitu menikmati dalam hangatnya kebersamaan dan syahdunya secangkir kopi yang kami seruput bersama. Gelora muda memang tak bisa dibendung, dan aku bersyukur pernah berada di masa itu, seenggak-enggaknya aku tau rasanya dan bisa belajar menyikapi adek yang sekarang memilih jalan yang sama. Atau mungkin ketika aku memiliki anak nantinya, aku bisa belajar untuk menyikapi segala keputusannya karena aku telah melewatinya.

That’s why bagi aku, penting bagi kita paham dunia anak, mengerti setiap masa perkembangan anak, agar kita bisa open minded menghadapi keputusan-keputusan saudara atau mungkin anak kita nantinya. Aku bersyukur pernah berada dimasa itu, dengannya aku memiliki banyak stok cerita dan pengalaman. 

Tuh kan, sekarang rindu lagi. Rindu kebersamaan bersama teman-teman di MAESTRO, rindu dinginnya udara pegunungan, rindu mendengar nyanyian burung, rindu mendengar aliran air, rindu bercengkrama di alam bebas, rindu menyeruput kopi bersama, rindu saling maccalla ah aku rindu banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...