Berat ya jadi anak MAPALA, chat
adekku tiba-tiba beberapa pekan yang lalu.
Aku membalasnya tertawa, hahaha.
Memang susah, makanya tak banyak orang menjadi anak MAPALA.
Memang kenapa? Tanyaku. Iyaa
latihan fisiknya aja berat, apalagi saat outdoor. Balasnya.
Aku kembali tertawa lalu aku
mencoba menjelaskan. Jadi memang latihan fisik itu berat, pengkaderan di Mapala
itu berat. Kenapa? Karena kita adalah organisasi yang berkecimpung di alam
bebas. Segala kemungkinan akan terjadi, dan kita harus kuat menghadapi itu
semua, karena bukan seleksi manusia yang akan kita temui selama di perjalanan,
tapi seleksi alam. Kataku menjelaskan. Kalau memang tidak sanggup, mending
mundur dari sekarang, sebelum turun lapangan, tambahku.
Lanjutlah, aku malu kalau mundur.
Balasnya.
Oke baiklah, hati-hati ya. Jawabku.
Adek
kecilku yang dulu masih ingusan dan seorang anak rumahan kini menjelma menjadi
seorang lelaki yang beranjak dewasa dengan postur tubuh yang tak lagi mungil.
Segala hal yang dulu pernah kulalui sekarang dia lakoni bahkan lebih totalitas
dibanding aku dulu. Adekku yang dulu memilih tinggal di rumah dan main games,
kini lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, mengikuti komunitas dan
sekarang ikut pengkaderan menjadi seorang anak Mapala.
Dalam
sebulan saja, weekend lebih banyak dihabiskan untuk ke pedalaman mengikuti
komunitas dibanding di rumah. Khawatir? Tentu saja. Saat tak ada kabar dan
nomor hpnya tak bisa dihubungi jelas saja membuat khawatir, belum lagi mamaku
yang setiap waktu menanyakan gimana kondisi adek. Hmmp ternyata begini ya yang
mamaku rasakan saat dulu menghadapi aku yang begitu keras kepala. Masa-masa S1
adalah masa-masa penuh perjalanan dalam hidupku, menjadi seorang anak Mapala
membuat aku ke mana-mana, dan itu terjadi setiap minggu. Setiap aku ke
mana-mana bisa dipastikan hpku tidak aktif karena memang tidak ada jaringan. Aku
pun memberi pengertian kepada mamaku “ma tak usah khawatir, insha Allah aku tak
akan kenapa-kenapa dalam perjalanan, doain aja. Serahin hidup dan mati hanya
kepada Allah”, kataku sok bijak kepada mamaku. Respon mamaku tentu saja tak
terima, dalam mimik muka yang masih saja khawatir beliau menimpali “Enak emang
kamu ngomong, kamu baru akan ngerasain nanti kalau sudah punya anak”. Balasnya
singkat tapi ngena banget.
Beberapa
tahun kemudian, belum juga anak sendiri sudah kerasa banget khawatirnya.
Khawatir saat adek tak ada kabar saat bepergian, khawatir saat adek tengah
malam belum sampai di rumah. Kadang aku pun tak bisa tidur sebelum memastikan
adek sudah sampai di rumah. Hal yang sama atau bisa jadi lebih yang mungkin
mamaku rasakan dulu, saat aku pulang malam hingga setelah pukul 10 aku belum
ada di rumah, mama pasti akan nelfonin nanyain aku di mana dan sama siapa, dan
beliau akan menjadi orang yang selalu menunggui dan membukakan aku pintu saat
aku tiba di rumah.
Time flies tak
terasa waktu melesat bagai anak panah, begitu cepat berlalu sudah hampir 9
tahun yang lalu. Masih segar diingatan saat hari jumat packing untuk mendaki, susur gua atau panjat tebing. Dan itu begitu
menyenangkan, aku bersama teman-teman menjalaninya dengan penuh suka cita. Tak peduli
ternyata ada orang-orang yang penuh kekhawatiran jika kami tak ada kabar,
sedang di alam kami begitu menikmati dalam hangatnya kebersamaan dan syahdunya
secangkir kopi yang kami seruput bersama. Gelora muda memang tak bisa
dibendung, dan aku bersyukur pernah berada di masa itu, seenggak-enggaknya aku
tau rasanya dan bisa belajar menyikapi adek yang sekarang memilih jalan yang
sama. Atau mungkin ketika aku memiliki anak nantinya, aku bisa belajar untuk
menyikapi segala keputusannya karena aku telah melewatinya.
That’s why bagi
aku, penting bagi kita paham dunia anak, mengerti setiap masa perkembangan
anak, agar kita bisa open minded menghadapi
keputusan-keputusan saudara atau mungkin anak kita nantinya. Aku bersyukur
pernah berada dimasa itu, dengannya aku memiliki banyak stok cerita dan
pengalaman.
Tuh
kan, sekarang rindu lagi. Rindu kebersamaan bersama teman-teman di MAESTRO, rindu
dinginnya udara pegunungan, rindu mendengar nyanyian burung, rindu mendengar
aliran air, rindu bercengkrama di alam bebas, rindu menyeruput kopi bersama, rindu saling maccalla ah
aku rindu banyak hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar