Sabtu, 29 Agustus 2020

Memberi Dukungan

 

Sumber Foto : Google

Allah mendengar dan tau permintaan hambanya, meskipun sang hamba tidak menyebutkan secara detail doanya.  Saban waktu saya pernah membaca sebuah postingan, kata-katanya kurang lebih begini “Tak perlu tanya perihal sakit seseorang, cukup doakan agar lekas sembuh”. Allah tidak butuh detail nama penyakit seseorang hingga Dia mengabulkan doa.

Bagi sebagian orang, ada rasa malu atau mungkin malas untuk menjelaskan perihal sakit yang dia derita, atau sakit yang keluarganya derita. Menjawab pertanyaan dan menceritakan kronologi kejadian itu merupakan hal yang melelahkan.

Menanyakan perihal sakit seseorang, atau bertanya mengenai kronologi kejadian yang dialami seseorang hingga mereka masuk ke RS adalah sebuah hal yang biasa saya lakukan. Sampai pada suatu ketika saya membaca postingan yang membahas perihal privacy dalam sebuah rekam medis.

Ternyata, bertanya dan mengorek banyak informasi mengenai sakit seseorang, bagi sebagian orang adalah sebuah hal yang melanggar privacy. Tidak semua orang mau dan ingin sakitnya diketahui oleh orang lain.

Saya kemudian flashback, gak hanya sekali dua kali saya mendengar pesan “jangan cerita ke siapa-siapa ya kalau saya masuk ke RS, nanti kalau sampai di RS jangan tanyakan kronologi kecelakaannya ya, atau cukup doakan ya agar segera sembuh”.

Mungkin bagi mereka yang sedang sakit atau sedang merawat keluarga/teman yang sakit, ada rasa malas bercerita hal yang serupa berulang kali ke orang lain. Lelah untuk menjelaskan dengan narasi yang sama setiap kali ada orang yang datang menjenguk. Bahkan ada yang malu jika penyakitnya diketahui oleh orang lain. Jadi sebelum mencari tau penyakit seseorang lihat dulu orangnya itu akan keberatan atau gak jika kita bertanya mengenai penyakit yang sedang dia derita.

Kalau bukan teman atau keluarga yang dekat-dekat banget, tak perlu bertanya detail sakit seseorang. Jangan sampai hanya mau memuaskan rasa kekepoan belaka. Cukup doakan agar yang sakit diberi kesembuhan, keluarga yang merawat diberi kekuatan dan ketabahan untuk menjaga. Beda cerita jika yang sakit adalah teman dekat atau saudara dekat. terkadang penting untuk mengetahui sakit yang mereka derita, mungkin kita bisa membantu mencari solusi.

Ada beberapa catatan dari Kak Ayu Kartika Dewi mengenai hal ini.           
1. Berhentilah menyebarkan informasi medis orang. Meskipun bukan hoax, tapi ini adalah pelanggaran privasi. Kalau tujuan tau rekam medis seseorang agar bisa mendoakan, ya didoakan saja. Tuhan gak butuh informasi detail medis untuk mendengarkan dan mengabulkan doa. Karena belum tentu pasien dan keluarga berkenan info ini tersebar.

2. Minta izinlah untuk menjenguk. Tidak semua orang sakit mau dijenguk. Kadang2 aliran pengunjung justru bikin pasien/keluarga gak bisa istirahat. Tanyakan ke keluarga: berkenan dijenguk atau tidak. Kalau ditolak, jangan baper.

3. Jangan foto2/selfie. Gak etis banget, kecuali kalau pasien/keluarga yg mengajak. Dan jangan diupload di sosmed.

4. Mau galang dana? cek dulu, keluarga butuh gak? Berkenan gak dikasih duit? Sekali lagi, this is *not* about us.
Gak semua niat baik itu dampaknya baik.
Apa yang menurut kita baik dan helpful, belum tentu helpful untuk orang.

Jangan lupa untuk selalu memberikan support bagi teman-teman atau keluarga yang saat ini sedang dilanda musibah, sedang diberi ujian sakit. Adalah sebuah berkah dan kebahagiaan jika kita mengalami “musibah/ujian” ada orang-orang yang dengan tulus memberi support, mendoakan agar kita mampu melewati masa-masa sulit. Saat kita “terjatuh” kehadiran orang-orang adalah sebuah semangat dan kebahagiaan. Merasa bahwa ternyata banyak orang-orang yang peduli dan tetap ada bagaimanapun kondisi yang sedang kita alami.

Tapi yang perlu diingat lagi adalah memberi support tidak mesti bertanya dengan detail penyakit yang mereka alami, kecuali mereka yang bercerita sendiri apa yang sedang mereka hadapi.

 

Sabtu, 22 Agustus 2020

Menjadi Ibu

 

Sumber gambar: Google

Menjadi wanita bukanlah sebuah hal yang mudah. Selalu banyak pilihan yang harus diambil. Salah satunya ketika memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Dua pilihan yang tidak bisa dipertentangkan, semuanya butuh diperjuangkan dan tidak ada yang mudah.

Menjadi ibu rumah tangga, yang seringkali dianggap remeh oleh sebagian orang, dianggap “kok hanya jadi ibu rumah tangga, sudah sekolah tinggi-tinggi kok malah jadi ibu rumah tangga, sayang banget sih karirnya sudah bagus eh malah jadi ibu rumah tangga”, dan masih banyak lagi.

Saya, masih single, belum menikah apalagi punya anak. Tapi melihat orang-orang yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, selalu merasa salut. Kerjaan rumah tangga itu tidak ada habisnya. Apalagi kita hidup di budaya yang terlalu banyak memiliki peran kultural. Menjadi ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan yang bisa dipandang sebelah mata, ada kewajiban untuk mengurus anak, mengurus pekerjaan domestik yang tidak ada habisnya, dan mendukung suami untuk menjalani aktivitasnya. Ditambah lagi ada tuntutan-tuntutan dari masyarakat.

Salah satu teman saya mengatakan “kehidupan pernikahan dan sebelum menikah itu tidak terlalu banyak perbedaannya, tapi ketika kamu sudah punya anak, hidup terasa sudah jungkir balik. Tapi melihat tumbuh kembang anak, anak sehat, bisa mencium dan memeluk anak. Capeknya terasa hilang”. Luar biasa sekali menjadi seorang ibu. Jangan berharap banyak bisa me time, bisa menikmati tidur siang dan makan santai aja adalah sebuah kenikmatan.

Tak ada yang perlu dipertentangkan dari pilihan menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja. Menjadi ibu bekerja pun bukan sebuah hal yang mudah. Mempercayakan anak untuk diasuh oleh orang lain, baik oleh orang tua, pengasuh, atau dititip di tempat penitipan juga bukan sebuah keputusan yang mudah. Naluri seorang ibu tidak akan tega untuk membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain. Namun, sebagian dari mereka terpaksa harus melakukan itu agar bisa tetap bekerja, menghasilkan uang untuk support finansial keluarga.

Salut sekali sama ibu yang bekerja di luar rumah, tapi pengasuhan anaknya juga maksimal, karena hal itu bukan sesuatu yang mudah. Butuh pengorbanan dan perjuangan. Bahkan hingga mengorbankan diri sendiri demi agar anak-anak dan keluarga bisa bahagia.

Menjadi wanita adalah sebuah keistimewaan. Wanita memiliki banyak peran kehidupan. Ketika tinggal bersama orang tua atau mertua selalu ada peran ganda, selain jadi istri, jadi ibu, jadi menantu, jadi anak, serta menjadi anggota masyarakat. Yang tak jarang selalu dituntut untuk tetap berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Menjadi wanita, menjadi ibu harus selalu belajar tiada henti. Belajar arti kesabaran dalam mengasuh anak, belajar ikhlas akan semua hal-hal yang terjadi, mengikhlaskan keinginan-keinginan pribadi demi memenuhi kebutuhan anak. Dan belajar untuk mengupgrade diri terus menerus biar bisa menjadi pendidik bagi anak-anak dengan sebaik-baiknya. Belajar untuk mencari jawaban-jawaban terbaik dari setiap pertanyaan unik dari anak-anak, membekali diri untuk membantu anak mengembangkan curiosity.

Jadi tidak ada yang perlu disayangkan jika ada wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga, meskipun dia sudah sekolah tinggi-tinggi. Menjadi istri dan ibu harus punya ilmu. Harus pintar. Apalagi dalam pola pengasuhan anak harus punya ilmunya. Anak-anak yang cerdas lahir dari rahim ibu yang cerdas.

 

Sabtu, 15 Agustus 2020

Naik Pesawat di Masa Pandemi

Sejak pandemi Covid19 menyapa hingga hari ini. Sudah terhitung sekitar 5 bulan kita memasuki era baru, tatanan hidup sontak berubah, dan banyak aspek yang ikut menyesuaikan seiring dengan himbauan kehidupan untuk berdampingan dengan Corona.

Moda transportasi yang sempat dihentikan beberapa saat, kini sudah diizinkan beroperasi kembali tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Kali ini saya akan menuliskan mengenai pengalaman saya bepergian menggunakan pesawat pada masa pandemi.

Kemarin, 14 Agustus 2020. Saya bersama mama berangkat dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar menuju ke Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin, menggunakan pesawat Lion Air. Saya akan menuliskan seputar pengalaman menggunakan pesawat lion dengan rute penerbangan Makassar-Banjarmasin. Mungkin aturannya akan ada perbedaan di setiap bandara atau setiap maskapai. Jadi bisa di cek dan dipastikan dulu sebelum hendak berangkat.

Saya memilih menggunakan pesawat Lion, selain karena alasan murah pesawat Lion adalah satu-satunya direct flight dari Makassar ke Banjarmasin. Sebelum booking tiket, di aplikasi manapun yang akan kita gunakan untuk booking nanti akan selalu muncul peringatan untuk membaca aturan penerbangan selama Covid. Jadi bisa di cek terlebih dahulu bandara asal dan tujuan itu membutuhkan persyaratan apa aja. Ini bisa berbeda ya persyaratan yang dibutuhkan untuk setiap tujuan. Ada yang cukup dengan surat keterangan bebas gejala, rapid test dengan hasil non-reaktif, ada yang butuh tes PCR dengan hasil non-reaktif, ada pula yang butuh SIKM. Jadi bisa dipastikan dulu untuk setiap persyaratannya, jangan samapi sudah booking tiket tapi tidak bisa melakukan perjalanan karena persyaratannya kurang lengkap. Untuk lebih detailnya bisa dibaca di sini

Kota tujuan saya adalah Banjarmasin, dan dokumen yang dibutuhkan cukup dengan  hasil rapid test non-reaktif dan melengkapi data di e-HAC. Ini bisa di unduh di playstore. Untuk rapid testnya sendiri, dari pihak Lion menyediakan voucher rapid test dengan harga yang lebih murah dari rapid test umum, yakni 95.000. Voucher rapid test bisa dipesan melalui website lion tentunya setelah membeli tiket ya. Bisa di akses di sini ya untuk pembelian vouchernya. Dan bisa lihat di sini untuk lokasi rapid testnya. Jadi klinik yang bisa digunakan adalah klinik yang sudah memiliki kerjasama dengan Lion Air. Di Makassar ada empat klinik yang sudah bekerjasama dengan Lion. Salah satunya di Klinik Lacasino. Saya melakukan rapid test di Lacasino dan hasilnya bisa ditunggu, hanya membutuhkan waktu 15-30 menit untuk melihat hasilnya. Maskapai lain ada yang memberikan rapid test secara gratis tentunya di klinik yang sudah memiliki kerjasama. Jadi sebelum booking tiket ada baiknya untuk melihat ketentuan rapid test di maskapainya, ada voucher untuk rapid test atau tidak.

Tapi, menurut saya pribadi sih agak riskan untuk rapid test setelah booking tiket. Meskipun banyak pendapat yang mengatakan akurasi rapid test itu tidak sampai 80%, tapi tetap saja hingga saat ini rapid test masih dijadikan persyaratan wajib untuk bepergian menggunakan pesawat. Kenapa agak riskan? Nah, persyaratannya kan bukan hanya rapid test tapi harus dipastikan hasilnya non-reaktif. Kita gak pernah tau nih saat kita tes hasilnya akan reaktif atau non reaktif. Kalau hasilnya reaktif artinya gak bisa melanjutkan perjalanan. Meski ada opsi lain sih, bisa mencoba rapid test kedua yang kemungkinan hasilnya akan berbeda. Tapi ya sama aja, pasti akan mengeluarkan biaya lagi. Jadi bisa dipertimbangkan lagi sebelum booking tiket. Ngambil rapid test dulu atau beli tiket dulu.

Setelah dapat rapid test dengan hasil non-reaktif, artinya bisa melanjutkan perjalanan. Nah, ada sedikit perbedaan nih sebelum dan setelah adanya pandemic ini. Jika dulunya bisa check in online, kini fasilitas check in onlinenya tidak tersedia. Ini untuk maskapai lion ya, maskapai yang lain mungkin bisa. Selain fasilitas check in online yang dihilangkan, mesin untuk self-check in di Bandara Hasanuddin pun dimatikan. Jadi harus antri di counter check in.

Jadi sebelum masuk check in, di pintu keberangkatan nanti akan di cek dulu sama petugas tiket dan rapid testnya. Ternyata tidak bisa langsung masuk meskipun sudah memiliki rapid test. Kertas rapid testnya harus divalidasi dulu, dibuktikan dengan stempel valid. Petugasnya akan mengarahkan untuk menuju lokasi validasi kertas rapid test. Di sini akan antri menuju meja validator. Sebelum diijinkan duduk di kursi antrian, petugas akan ngecek dulu sudah memiliki dan mengisi aplikasi e-HAC atau belum. Kalau sudah bisa langsung duduk, kalau belum harus diisi dulu baru diijinkan duduk. Proses ngantri validasi rapid test juga cukup lama karena ternyata banyaak banget orang di bandara. Entah orang-orang akan ke mana dengan tujuan apa.

Setelah rapid testnya sudah dibubuhi stempel valid dan tanda tangan petugas, kita bisa lanjut menuju pintu keberangkatan untuk diperiksa lagi sama petugas tiket dan rapid testnya. Lalu masuk ke counter check in. Dan ternyataaaa di counter check in juga ramai sekali orang-orang yang ngantri di counter Lion, dengan tujuan yang berbeda. Counter Lion all flight. Jadi orang-orang dengan tujuan berbeda antri di beberapa line untuk check in. I’m sorry to say, ternyata protokol kesehatan yang mengharuskan menjaga jarak tidak begitu diindahkan oleh orang-orang ketika sudah antri di counter check in, bahkan saat di luar saat antri validasi pun orang-orang banyak yang menyerobot antrian meski sudah dipasang penanda untuk menjaga jarak.

Di counter check in pun ternyata prosesnya lama banget. Padahal prosesnya ya sama aja kayak sebelum pandemic, tapi gak tau kenapa kok bisa lama banget. Antri di counter check in lebih dari satu jam baru dapat giliran. Karena orangnya banyak jadi bisa dipastikan banyak juga orang yang tidak mengindahkan physical distancing selama mengantri.

Mungkin ya antrian Lion memang dari dulu selalu ramai, tapi saya baru merasakannya sekarang karena mesin self-check in tidak dapat digunakan, jadi baru ngerasain antri di counter. Maklum aja ya kenapa penumpang lion itu banyak karena lion memiliki penerbangan yang banyak pula, waktu yang fleksibel, dan harga yang paling murah diantara yang lain. Jadi wajar jika lion selalu diincar oleh banyak masyarakat.

Setelah berhasil check in, lanjut ke ruang tunggu. Hanya menunggu sekitar 10 menit hingga akhirnya ada informasi sudah boarding tiket. Himbauan ya, bagi kamu kamu yang terbiasa datang mepet-mepet ke bandara, kini selama pandemic diusahakan untuk datang in time. Maksimal 2 jam sebelum keberangkatan, karena ada beberapa tambahan tahap yang harus dilalui sebelum akhirnya bisa naik di pesawat.

Di ruang tunggu aturan physical distancing lumayan dipatuhi. Setiap kursi diantarai satu kursi kosong yang diberikan tanda dilarang duduk, jadi orang-orang bisa bebas menyimpan barang di kursi untuk memastikan tidak ada orang yang melanggar aturan dengan duduk di kursi terlarang.

Lanjut kondisi di pesawat ya. Ternyata kondisi di pesawat sama aja dengan kondisi sebelum pandemic, bedanya kini rata-rata orang menggunakan masker, tak terkecuali awak pesawat. Tapi, informasi selama ini yang beredar bahwa di pesawat pun ada physical distancing itu kenyataannya ternyata tidak sama sekali. Penumpang pesawat full dan orang-orang duduk memenuhi semua kursi yang ada.

Jadi yang bisa diandalkan untuk menjaga diri adalah diri sendiri, tidak bisa mengandalkan aturan dan himbauan yang kebanyakan tegas di atas kertas tapi tidak sejalan dengan penerapannya. Tetap gunakan masker dimanapun berada, jangan menyentuh area wajah (mulut, hidung, dan mata), serta cuci tangan menggunakan sabun atau paling gak pakai hand sanitizer. Jika sudah sampai di rumah segera mengganti pakaian dan merendam pakaian yang sudah dipakai menggunakan sabun, lalu mandi baru bercengkrama dengan orang rumah. Harus bisa menumbuhkan self-awareness demi untuk melindungi diri sendiri dan keluarga.

Oh iya, saat sampai di bandara tujuan. Akan ada pemeriksaan Rapid test lagi dan scan barcode e-HAC. Saya belum baca sih tujuan penggunaan e-HAC. Tapi menurut asumsi saya dengan melihat data-data yang harus diisi, e-HAC gunanya untuk melakukan tracing jika (naudzubillah) ada yang dinyatakan positif di pesawat tersebut.

Sekian cerita perjalanan saya menggunakan pesawat di masa pandemic, semoga bermanfaat.

Aplikasi e-HAC bisa diunduh di playstore
 
Pengisiannya di visitor, lalu lengkapi setiap data yang dibutuhkan
 
Suasana saat antri untuk validasi, sebelum ini antri berdiri dulu sebelum dapat tempat duduk
 
Suasana saat validasi hasil rapid test
 
Rapid test dengan hasil non-reaktif dan stempel setelah validasi
 
Suasana di counter check in
 
Suasana di ruang tunggu
 

 

 

 

Sabtu, 08 Agustus 2020

Kenapa Harus Malu

Beberapa hari yang lalu, dalam keadaan gabut saya membuka kanal youtube, di timeline saya muncul video Gitasav yang berjudul Kenapa Harus Malu. Video yang berdurasi 13 menit tersebut seakan menyuarakan suara hati saya selama ini. Jadi saya tertarik untuk mengulas isi video tersebut sekaligus bercerita satu dua pengalaman saya yang relate dengan isi video.

Dalam budaya kita yang penuh dengan standar-standar norma yang berlaku di masyarakat, memaksa kita suka tidak suka, mau tidak mau akhirnya terkungkung dalam standar sosial yang dibuat secara kaku oleh masyarakat. Entah sejak kapan dan siapa yang mempelopori hal tersebut. Seseorang yang keluar dari social norm tersebut akan dicap dengan berbagai macam label. Anehlah, berbedalah, atau tidak normal.

Social norm atau norma sosial adalah sebuah kebiasaan umum yang menjadi norma prilaku  dalam suatu masyarakat. Spesifiknya sesuatu yang bisa diterima dan gak bisa diterima serta yang pantas dan tidak pantas.

Social norm bukan sesuatu yang salah. Tetapi yang jadi masalah jika social norms tersebut sudah menyinggung masalah personal yang seharusnya gak ada standarnya. Misalkan tentang sakit yang diderita, keluarga, pekerjaan, dan urusan financial.

Masyarakat kita memiliki banyak standar untuk berbagai aspek. Sebut saja aspek keluarga. Keluarga yang dianggap ideal dalam masyarakat kita adalah keluarga dengan satu bapak, satu ibu, memiliki anak-anak, dan harus akur. Layaknya keluarga ideal dalam negeri dongeng. Kenyataannya setiap keluarga memiliki dramanya tersendiri dan itu adalah sesuatu yang normal.

Tapi karena adanya standar-standar ini, seseorang yang berasal dari keluarga dengan kondisi yang tidak ideal akan malu untuk bercerita dan memperkenalkan keluarganya. Apalagi yang orang tuanya bercerai, orang tuanya selingkuh, atau dalam kondisi lain keluarga yang tidak memiliki anak.

Kondisi-kondisi tersebut dalam masyarakat kita terkadang dianggap sebagai sebuah aib. Dan yang mengalami kondisi tersebut akhirnya tertekan karena tidak mampu memenuhi standar yang ada dalam masyarakat.

Mungkin kita semua familiar dengan stigma yang dialamatkan kepada mereka-mereka yang keluarganya tidak ideal menurut social norms. Stigma seperti keluarga yang tidak bener, anaknya akan mengalami hal yang sama dengan orang tua seperti dalam kasus perceraian, dan banyak stigma-stigma buruk lainnya yang ditujukan kepada mereka-mereka dengan kondisi keluarga yang berantakan. Padahal sebenarnya bukan urusan kita juga mengurusi kehidupan pribadi orang lain.

Aspek selanjutnya adalah pekerjaan. Kebanyakan persepsi masyarakat kita pekerjaan yang ideal adalah pekerjaan yang memiliki kantor yang jelas, pergi pagi pulang sore, menggunakan sepatu, seragam yang rapi, dan penampilan yang necis.

Kenyataannya sekarang ini banyak sekali pekerjaan yang tidak harus dikerjakan dari kantor, tidak mesti pergi pagi pulang pagi, tidak harus memakai pakaian rapi, bisa dikerjakan dari rumah. Namun, lagi-lagi karena pekerjaan tersebut bukan sesuatu yang “normal” di masyarakat. Terkadang orang yang bekerja dari rumah dianggap pengangguran. Padahal ya setiap orang itu punya hak untuk memilih pekerjaan untuk supporting financial mereka yang penting pekerjaannya halal.

Aspek yang sering membuat malu lainnya adalah perihal penyakit. Jarang sekali orang yang mau bercerita mengenai penyakit yang diderita. Karena khawatir tidak diterima oleh masyarakat, akan dijauhi, akan dicibir. Padahal ya siapa sih orang yang mau sakit, semua orang mau sehat. Sakit merupakan hal yang normal dan seharusnya tidak memiliki standar sosial.

Ada yang malu karena gagal menikah. Menyakitkan sih ini. Sudah gagal menikah harus menanggung tekanan batin juga dari masyarakat. Siapa sih orang yang mau gagal. Pasti ada satu dua alasan yang membuat calon pengantin memutuskan untuk membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan. Dan bukan urusan kita untuk mengurusi hal tersebut, mencibir, menggosipi, dan menghakimi keputusan-keputusan yang diambil orang lain. Berikan mereka ruang aman untuk bercerita. Jangan sampai mereka tertekan karena gagal, double tertekan lagi karena banyaknya stigma dari masyarakat yang bisa jadi berdampak ke kesehatan mental mereka.

Banyak sekali hal yang membuat seseorang malu untuk cerita, malu untuk terbuka dengan orang lain, malu karena tidak bisa mencapai social norm yang ada di masyarakat. Menyederhanakan kompleksitas dalam aspek kehidupan akan sangat merugikan terutama ketika individu tertekan karena tidak bisa memenuhi standar yang dianggap ideal. Dampaknya dipendam dan hal tersebut akan berpengaruh ke mental health.

Naturalnya manusia ingin selalu terlihat hebat, terlihat sempurna, terlihat ideal. Maka jangan heran, linimasa kita akan dipenuhi dengan postingan-postingan pencapaian, kesuksesan, ketawa ketiwi, liburan, serta kehidupan yang ideal. 

Kenapa harus malu?

Kita terkadang malu ketika mengalami sesuatu yang orang lain tidak alami. Kita malu ketika tidak bisa mencapai standar sosial masyarakat yang ideal. Kita malu untuk bercerita karena takut dengan banyaknya stigma.

Hal yang paling tidak enak dalam hidup adalah saat kita lagi ada masalah dan kita ngerasa sendirian. Kita ngerasa ada yang salah dalam diri kita. Kita ngerasa asing karena saat melihat orang lain kok hidupnya baik-baik aja. Kok dia selalu dapetin apa yang dia mau. Akhirnya muncul pemikiran-pemikiran negatif dalam diri kita.

Sebenarnya ketika kita mengorek-ngorek, mereka juga ada masalah dalam hidupnya mereka. Entah itu masalah keluarga, masalah dengan diri sendiri, atau masalah dengan teman.

Tapi kenapa mereka diam-diam aja? Kenapa nampak baik-baik aja dan nampak sebagai orang yang gak punya masalah. Kenapa gak pernah cerita? Jawaban yang sering ditemukan adalah “malu”. Karena dianggap aib.

Saya pernah mengalami masa post magister syndrome. Masa di mana ketika sudah wisuda merasa hidup saya useless. Melihat teman-teman lain sudah meniti karir, sudah berkeluarga, traveling kemana-mana, sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Untuk membesarkan hati, saya memutuskan untuk ngechat random ke beberapa orang yang saya anggap memiliki starting point yang sama dengan saya, juga ngechat ke orang-orang yang selama ini saya lihat hidupnya baik-baik aja.

Ternyata oh ternyata, saya cukup tercengang saat mereka mulai terbuka untuk bercerita. Apa yang selama ini nampak baik-baik saja ternyata bagaikan gunung es yang hanya kelihatan indah di puncaknya, tetapi menyimpan banyak keresahan di bawahnya.

Bahkan seseorang yang sudah di puncak karir, kelihatan punya keluarga yang harmonis, sudah mampu membeli rumah dan mobil, mereka juga tidak lepas dari masalah. Di satu aspek mungkin ideal, tapi di aspek-aspek yang lain mereka juga bermasalah.

Jadi ye, bapak-bapak, ibu-ibu, teman-teman sekalian. Tidak usah malu bercerita, tidak usah mempermasalahkan masalah orang lain. Karena belum tentu kita juga lebih baik. Kita juga punya masalah, kita juga punya keresahan, tetapi dalam ranah yang berbeda. Jadi menikmati hidup dengan sebaik-baiknya tanpa harus banyak mengurusi hidup orang lain ya.

Hidup ini memang terkadang begitu kejam. Hukuman sosial jauh lebih menyakitkan daripada hukum Negara.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...