Rabu, 27 Februari 2019

Perihal cuitan

Cuitanmu belakangan ini kok selalu tentang depresi?
Kamu kenapa?
Sini cerita kalo ada masalah.

Begitulah kira-kira penggalan chat dari seseorang yang sudah menjadi kakak tak sedarah sekaligus partner terbaik. Sebelum saya membalas chatnya, saya kembali melihat cuitanku di twitter. Dan ternyata memang belakangan ini isi cuitanku dan postingan yang ku retweet dan like menjurus ke depresi.

Saya menenangkan diri dan membalas chatnya, kujelaskan maksud cuitanku itu. Bahwa cuitan yang kubuat adalah hasil bacaan entah dari buku atau dari pengalaman teman dan juga dari podcast yang belakangan ini setia kudengarkan. Lanjut kusampaikan "kamu tau aku dengan sangat baik, kan? Aku bukan tipe orang yang memendam ketika ada masalah. Pasti akan kuceritakan dan aku akan mencarimu sebagai tempat mengeluarkan keluhan", balasku panjang lebar.

Kami akhirnya mengobrol, melihat banyaknya fenomena belakangan ini yang sangat berpotensi membuat seseorang depresi, dan akhirnya sharing satu sama lain. Kita harusnya bisa menjadi telinga untuk keluarga dan teman-teman yang kelihatannya sudah mulai "aneh", jangan sampai kita menjadi salah satu faktor pendorong seseorang mengalami depresi karena tak pernah bisa "hadir".

Saya kembali teringat obrolan semalam dengan salah seorang kakak, sekarang kita hidup di dunia yang begitu ramai. Pertemuan demi pertemuan sering kita lakukan, tapi apakah kita benar-benar hadir secara fisik dan pikiran di tempat yang sama? Ataukah kita hanya berkumpul secara fisik untuk sebuah eksistensi tapi tidak secara jiwa dan fikiran? Obrolan demi obrolan yang kita lakukan pun seolah menjadi sebuah angin lalu tanpa sebuah makna. Seseorang bercerita tanpa benar-benar merasa "didengarkan". Orang yang depresi dan merasa tidak mampu untuk ke psikolog atau ke psikiater karena terbatasnya biaya bisa kita tolong dengan menjadi telinga yang tulus bagi mereka yang ingin berkeluh kesah. Semua orang bisa jadi "psikolog", yang kita perlu lakukan hanya belajar mendengar tanpa banyak menghakimi.

Anyway. Terima kasih untuk kepekaan dan perhatiannya. Seenggak-enggaknya saya tau bahwa bagaimanapun keadaanku, selalu ada orang-orang terkasih yang akan selalu "hadir". Dari chat-chatan itu juga saya belajar untuk lebih berhati-hati lagi dalam bercuit, penilaian terbesar orang bisa bersumber dari cuitan kita di media sosial yang artinya orang akan merepresentasikan diri kita sesuai apa yang kita tulis, meskipun penilaian tersebut tak selalu benar adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...