Untuk kali ketiga, menjalankan ritual lebaran jauh
dari kampung halaman.
Pertama lebaran di Solo, saat itu lebaran Idul fitri
tahun 2015. Kali pertama lebaran jauh dari keluarga. Tidak ada sanak family. Kebiasaan makan makanan khas lebaran pun tak ada,
baju yang dipakai adalah baju koleksi yang sudah lama dibeli, bukan baju baru
yang menjadi ciri khas lebaran di kampung. Waktu itu lagi masa belajar menulis
selama satu minggu di Solo.
Lebaran kedua yang jauh dari keluarga adalah lebaran
idul Adha tahun 2015. Tepatnya di Bintuni Papua Barat. Saat itu, saya bersama
seorang teman dari Jawa, lagi ada tugas ngajar di English Camp. Lebaran kedua
yang jauh dari keluarga ini sangat berbeda dari lebaran-lebaran pada biasanya. Tak
ada gema takbir saat malam lebaran, suara masjid pun hampir tak kedengaran. Perjalanan
dari asrama ke masjid membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Untuk kali
pertama, lebaran di satu tempat yang mayoritas nasrani. Namun, soal toleransi
tak perlu dipertanyakan lagi. Toleransi mereka sangat tinggi untuk kami para
muslim yang sedang menjalankan ibadah sholat idul adha. Sepulang dari masjid kami
balik ke asrama dan memasak mie instan. Bahan baku yang tersedia di asrama kala
itu. Bu’de yang biasanya masak di asrama hari itu tak datang karena libur. Jadilah
kami menikmati hari lebaran dengan santapan ala anak kostan, mie instan dan
telur. Sore harinya panggilan makan dari guru-guru muslim yang juga
melaksanakan ibadah idul adha silih berganti. Malam harinya kami bersama
anak-anak yang beragama nasrani yang masih memilih untuk tidak pulang kerumah,
membakar sate di depan asrama. Suasana kehangata pun terjalin. Meski jauh dari
keluarga namun suasana kekeluargaan masih terasa, dengan “keluarga” baru
tentunya.
Lebaran ketiga, yakni lebaran idul adha 2017. Hari ini
baru memasuki minggu ke empat saya berada di kota Jogja. Kota tempat saya
melanjutkan pendidikan. Kota impian yang sejak dulu kuimpikan. Minggu keempat
yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Tak ada rencana untuk pulang. Selain
karena libur yang hanya sehari, keberadaanku di kota ini pun belum cukup
sebulan. Memilih untuk berlebaran disini adalah pilihan yang terbaik. Teman kostan
yang sebagian besar orang Makassar dan memilih untuk tidak pulang kampung
menjadi sebuah hiburan tersendiri. Meskipun tak berada dirumah, tapi suasana
lebaran masih rasa Sulawesi.
Sore harinya rejeki anak kos yang tidak
sholeha-sholeha banget dapat daging pembagian dari masjid. Malam harinya ibu
kost naik ke lantai dua dan memberikan daging lagi untuk anak kost. Akhirnya kita
bisa masak makanan rumahan ala Sulawesi. Lebaran jauh dari keluarga tidaklah
mesti di dramatisir dengan perasaan sedih berlebihan. Ada banyak media yang
bisa mendekatkan.
Selamat hari raya Idul Adha. Selamat hari jumat. Jangan
lupa bahagia.
Yogyakarta, 01 September 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar