Jumat, 01 September 2017

Lebar-an



Untuk kali ketiga, menjalankan ritual lebaran jauh dari kampung halaman.
Pertama lebaran di Solo, saat itu lebaran Idul fitri tahun 2015. Kali pertama lebaran jauh dari keluarga. Tidak ada sanak family.  Kebiasaan makan makanan khas lebaran pun tak ada, baju yang dipakai adalah baju koleksi yang sudah lama dibeli, bukan baju baru yang menjadi ciri khas lebaran di kampung. Waktu itu lagi masa belajar menulis selama satu minggu di Solo.

Lebaran kedua yang jauh dari keluarga adalah lebaran idul Adha tahun 2015. Tepatnya di Bintuni Papua Barat. Saat itu, saya bersama seorang teman dari Jawa, lagi ada tugas ngajar di English Camp. Lebaran kedua yang jauh dari keluarga ini sangat berbeda dari lebaran-lebaran pada biasanya. Tak ada gema takbir saat malam lebaran, suara masjid pun hampir tak kedengaran. Perjalanan dari asrama ke masjid membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Untuk kali pertama, lebaran di satu tempat yang mayoritas nasrani. Namun, soal toleransi tak perlu dipertanyakan lagi. Toleransi mereka sangat tinggi untuk kami para muslim yang sedang menjalankan ibadah sholat idul adha. Sepulang dari masjid kami balik ke asrama dan memasak mie instan. Bahan baku yang tersedia di asrama kala itu. Bu’de yang biasanya masak di asrama hari itu tak datang karena libur. Jadilah kami menikmati hari lebaran dengan santapan ala anak kostan, mie instan dan telur. Sore harinya panggilan makan dari guru-guru muslim yang juga melaksanakan ibadah idul adha silih berganti. Malam harinya kami bersama anak-anak yang beragama nasrani yang masih memilih untuk tidak pulang kerumah, membakar sate di depan asrama. Suasana kehangata pun terjalin. Meski jauh dari keluarga namun suasana kekeluargaan masih terasa, dengan “keluarga” baru tentunya.

Lebaran ketiga, yakni lebaran idul adha 2017. Hari ini baru memasuki minggu ke empat saya berada di kota Jogja. Kota tempat saya melanjutkan pendidikan. Kota impian yang sejak dulu kuimpikan. Minggu keempat yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Tak ada rencana untuk pulang. Selain karena libur yang hanya sehari, keberadaanku di kota ini pun belum cukup sebulan. Memilih untuk berlebaran disini adalah pilihan yang terbaik. Teman kostan yang sebagian besar orang Makassar dan memilih untuk tidak pulang kampung menjadi sebuah hiburan tersendiri. Meskipun tak berada dirumah, tapi suasana lebaran masih rasa Sulawesi. 

Sore harinya rejeki anak kos yang tidak sholeha-sholeha banget dapat daging pembagian dari masjid. Malam harinya ibu kost naik ke lantai dua dan memberikan daging lagi untuk anak kost. Akhirnya kita bisa masak makanan rumahan ala Sulawesi. Lebaran jauh dari keluarga tidaklah mesti di dramatisir dengan perasaan sedih berlebihan. Ada banyak media yang bisa mendekatkan.
Selamat hari raya Idul Adha. Selamat hari jumat. Jangan lupa bahagia.
Yogyakarta, 01 September 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...