Ini bukan
drama apalagi sinetron yang penuh settingan
Ceritanya
datang dari sahabat yang kukenal lebih dari separuh umurku. Kisah yang penuh
drama air mata. Dia, sahabat yang kukenal sewaktu memasuki bangku sekolah
menengah. Dia yang kukenal begitu tegas dan keras memperjuangkan ketidak adilan,
dia yang begitu ideal dengan berjuta mimpi masa depan, dia yang sekarang hanya
mampu pasrah dengan keadaan.
Terkadang,
idealisme hanya berlaku ketika kita jauh dari rumah, namun saat kembali ke
rumah, aturan orang tua adalah aturan yang menjadi harga mati. Sahabatku, dia
yang penuh ambisi untuk melanjutkan sekolah dan mewujudkan mimpinya, yang pada
akhirnya harus tertunda karena penyakit yang dideritanya. Akhirnya keliling
kesana kemari untuk mencari pengobatan alternative, dan bertemulah dengan seseorang
yang membuatya “jatuh cinta” yang kemudian membuatnya menunda semua mimpi-mimpi
yang telah dirajutnya, demi untuk meringankan jalan lelaki yang dicintainya
untuk datang meminangnya. Yah, saya lantas percaya bahwa cinta terkadang
membuat orang-orang melakukan hal yang “bodoh”.
Ceritanya
berlanjut. Alih-alih menunggu lelaki yang dicintainya, di satu hari ada
keluarga yang datang dengan niat baik untuk melamarnya. Orang tuanya tanpa
meminta persetujuan si anak langsung menerima lamaran keluarga tersebut.
Mengetahui hal itu, sahabatku berontak. Untuk kali pertama dia melawan orang
tuanya, dan menceritakan perihal lelaki yang dicintai dan ditunggunya datang
meminang. Hasilnya? Orang tuanya tak terima, orang tuanya marah besar. Lelaki
yang ditunggunya dinilai tak berpendidikan dan tidak memiliki masa depan yang
jelas. Akhirnya dia dikurung dan semua alat komunikasinya disita agar tidak
memiliki akses lagi untuk menghubungi lelaki yang dicintainya.
Hari
pernikahan pun telah ditentukan, tanpa mempertanyakan kesiapan dan kemauan
sahabatku. Orang tuanya dengan pemikiran “pekerjaan dan latar belakang
pendidikan” calon suami adalah hal yang menawarkan kebahagiaan masa depan.
Sahabatku tak lagi punya hak suara. Meski begitu, dia masih mengusahakan cara
agar pernikahan itu batal. Dia memilih langkah untuk menemui calon suami yang
telah dijodohkannya, menceritakan perihal kisahnya dan lelaki yang dicintainya,
calon suaminya mengerti dan mereka mencoba untuk sama-sama memberontak di
keluarga masing-masing. Namun, langkah itu bukannya menghasilkan sesuatu yang
lebih baik, malah menghadirkan murka orang tuanya.
Dengan
banyaknya kata-kata ancaman yang dilontarkan orang tuanya, sahabatku pun tak
mempunyai lagi pilihan untuk memilih jalan hidupnya sendiri, yang dia punya sisa
keharusan menjalani sesuatu yang menurut orang tuanya adalah sesuatu hal yang
akan mampu memberinya kebahagiaan. Memilih untuk melarikan diri dari rumah yang
sempat difikirkannya pun kembali diurungkan, dia menyadari bahwa kebahagiaan
dirinya mungkin lebih baik untuk dipendam dari pada mencoreng nama baik
keluarga dan membuat “malu” banyak pihak.
Terkadang,
kita harus menjalankan sesuatu bukan karena ingin, tapi karena harus.
Terkadang, kebahagiaan kita harus di nomor duakan, bukan karena tak lagi ada
jalan untuk memperjuangkan, tapi karena “siri’”
adalah sebuah harga mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar