Jumat, 08 September 2017

Ini bukan drama!



Ini bukan drama apalagi sinetron yang penuh settingan
 
Ceritanya datang dari sahabat yang kukenal lebih dari separuh umurku. Kisah yang penuh drama air mata. Dia, sahabat yang kukenal sewaktu memasuki bangku sekolah menengah. Dia yang kukenal begitu tegas dan keras memperjuangkan ketidak adilan, dia yang begitu ideal dengan berjuta mimpi masa depan, dia yang sekarang hanya mampu pasrah dengan keadaan.

Terkadang, idealisme hanya berlaku ketika kita jauh dari rumah, namun saat kembali ke rumah, aturan orang tua adalah aturan yang menjadi harga mati. Sahabatku, dia yang penuh ambisi untuk melanjutkan sekolah dan mewujudkan mimpinya, yang pada akhirnya harus tertunda karena penyakit yang dideritanya. Akhirnya keliling kesana kemari untuk mencari pengobatan alternative, dan bertemulah dengan seseorang yang membuatya “jatuh cinta” yang kemudian membuatnya menunda semua mimpi-mimpi yang telah dirajutnya, demi untuk meringankan jalan lelaki yang dicintainya untuk datang meminangnya. Yah, saya lantas percaya bahwa cinta terkadang membuat orang-orang melakukan hal yang “bodoh”.
 
Ceritanya berlanjut. Alih-alih menunggu lelaki yang dicintainya, di satu hari ada keluarga yang datang dengan niat baik untuk melamarnya. Orang tuanya tanpa meminta persetujuan si anak langsung menerima lamaran keluarga tersebut. Mengetahui hal itu, sahabatku berontak. Untuk kali pertama dia melawan orang tuanya, dan menceritakan perihal lelaki yang dicintai dan ditunggunya datang meminang. Hasilnya? Orang tuanya tak terima, orang tuanya marah besar. Lelaki yang ditunggunya dinilai tak berpendidikan dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Akhirnya dia dikurung dan semua alat komunikasinya disita agar tidak memiliki akses lagi untuk menghubungi lelaki yang dicintainya.

Hari pernikahan pun telah ditentukan, tanpa mempertanyakan kesiapan dan kemauan sahabatku. Orang tuanya dengan pemikiran “pekerjaan dan latar belakang pendidikan” calon suami adalah hal yang menawarkan kebahagiaan masa depan. Sahabatku tak lagi punya hak suara. Meski begitu, dia masih mengusahakan cara agar pernikahan itu batal. Dia memilih langkah untuk menemui calon suami yang telah dijodohkannya, menceritakan perihal kisahnya dan lelaki yang dicintainya, calon suaminya mengerti dan mereka mencoba untuk sama-sama memberontak di keluarga masing-masing. Namun, langkah itu bukannya menghasilkan sesuatu yang lebih baik, malah menghadirkan murka orang tuanya. 

Dengan banyaknya kata-kata ancaman yang dilontarkan orang tuanya, sahabatku pun tak mempunyai lagi pilihan untuk memilih jalan hidupnya sendiri, yang dia punya sisa keharusan menjalani sesuatu yang menurut orang tuanya adalah sesuatu hal yang akan mampu memberinya kebahagiaan. Memilih untuk melarikan diri dari rumah yang sempat difikirkannya pun kembali diurungkan, dia menyadari bahwa kebahagiaan dirinya mungkin lebih baik untuk dipendam dari pada mencoreng nama baik keluarga dan membuat “malu” banyak pihak.

Terkadang, kita harus menjalankan sesuatu bukan karena ingin, tapi karena harus. Terkadang, kebahagiaan kita harus di nomor duakan, bukan karena tak lagi ada jalan untuk memperjuangkan, tapi karena “siri’” adalah sebuah harga mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...