Rabu, 12 Juli 2017

Jarak!



Kau! Orang yang dulu pernah kucinta.
Kau! Nama yang selalu kusebut dalam doaku.
Kau! Makhluk yang pernah merangkai mimpi bersama untuk bersanding dipelaminan
Kau! Lelaki yang pernah membuaiku ke angkasa
Dan
Kau! Seseorang yang akhirnya menghempaskanku pada kepedihan.

Jarak hanyalah satuan angka! Yang membuatnya jauh bukan jumlah angka yang ada. Namun, kemauan dan ketidakmauan. Jarak sebenarnya bukanlah sebuah masalah, andai kau tak pernah mempermasalahkannya. 3 tahun kita lalui bersama, tanpa pernah ada masalah yang berarti. Jarak tak pernah menjadi pembahasan, meski pada nyatanya ribuan mil membentang begitu nyata.

Dari awal hingga memasuki tahun ketiga. Kepercayaan dan kasih sayang masih jauh lebih besar dari jarak yang ada, tapi semuanya tak ada yang abadi. Semua memiliki tenggang waktu kadaluarsa. Rasa yang kita pupuk hingga subur dan lebat bisa tersandung oleh kejenuhan. Berbagai hal kecil menjadi masalah yang selalu kita perdebatkan dengan begitu alot. Hingga pada akhirnya jarak menjadi sebuah alasan untuk berpisah!

Melepasmu bukanlah hal yang mudah bagiku. Berbagai kebiasaan sudah menjadi agenda wajib bagi kita setiap harinya. Mulai dari saling membangunkan setiap pagi, saling mengingatkan banyak hal setiap harinya hingga ucapan selamat tidur dan selamat malam tak pernah absen kita lakukan. Menghilangkan hal yang menjadi kebiasaan bukan perkara mudah. Tertatih aku berusaha melakukannya. Menahan diri untuk tak menghubungimu. Memendam sendirian sakit yang kurasa.

Waktu! Ya waktu yang pada akhirnya membuatku biasa saja. Berdamai dengan kenyataan yang akhirnya membuatku kuat. Berani membenci, hingga sekuat tenaga menerima dan memaafkan menjadi sebuah kekuatan tersendiri untuk perlahan melupakan. Melupakan kenangan demi kenangan yang pernah kita cipta.


Jarak! Terimakasih untuk cinta dan sakit yang pernah ada. Terimakasih untuk alasan bersama dan berpisah yang pernah tertorehkan.

Meluruskan Niat

Satu tahun waktu yang cukup lama, pun juga waktu yang singkat untuk belajar memaknai arti sebuah kegagalan. Meluruskan niat dan legowo atas ketentuan sang maha penentu.

Berkah Ramadhan untuk kali kedua mendapatkan berita baik. Bayaran dari sebuah penantian dan pelajaran untuk sebuah proses panjang selama satu tahun.

Allah tahu apa yang terbaik untuk hambanya, sedangkan hamba tidak. Bisa jadi kita terlalu menginginkan sesuatu tapi bukan itu yang terbaik untuk kita. 1 tahun waktu yang singkat untuk menyadari sebuah kesalahan. Teguran untuk memperbaiki niat dan menyerahkan semuanya kepada-Nya.

Andai saja tahun lalu tidak tersandung, mungkin saja bertahun-tahun kedepan akan menjadi sebuah momok yang begitu menakutkan sehingga menyesali sebuah keputusan yang pernah diambil. Tapi kembali lagi, Allah maha baik dan maha tau yang terbaik untuk hambanya. Tidak cepat, pun tidak lambat. Yang terbaik akan diberikan diwaktu yang terbaik

Alhamdulillah, wasyukurillah untuk berkah ramadhan kali ini.


Makassar, 16 Juni 2017

Flashback 3 tahun

Tepat 3 tahun yang lalu, aku begitu bersuka cita dengan gelar sarjana yang kusandang. Gelar serta selembar kertas yang menjadi perjalanan selama 4 tahun di bangku kuliah. Euforia itu ternyata tak bertahan lebih dari satu minggu. Setelah itu bingung menentukan arah. Mau kemana? Mau ngapain?

Demi menikmati sebuah kebebasan, saya memutuskan untuk ikut mendaki ke Gunung Kerinci yang berada di Provinsi Jambi. Setelah pendakian selesai saya memikirkan langkah selanjutnya. Berdiam diri dirumah bukanlah pilihan yang tepat bagi seorang yang aktif dan tak bisa diam sepertiku. Aku pun belum kepikiran untuk mencari kerja seperti yang dilakukan oleh beberapa teman angkatan. Aku memutuskan untuk berangkat ke Pare, Kediri untuk kursus Toefl persiapan untuk melanjutkan kuliah di UGM. 2 minggu berlalu, skor yang aku inginkan belum mencapai target, hingga aku ikut kelas Bahasa Indonesia yang diampu oleh Ms.Uun, Direktur SMART ILC. Dalam kelas Bahasa Indonesia aku ditohok oleh sebuah kalimat yang begitu menusuk “Kayak gini mau lanjut S2?”, pertanyaan yang sukses menggoyahkan keinginanku untuk lanjut S2 pada saat itu. Aku merenungi kemampuanku, gelar yang kusandang ternyata belum selurus kualitas kemampuanku. Aku memutuskan untuk memperbaiki kulaitas diri dengan belajar di Pare beberapa bulan, pertengahan tahun 2015 saya mendapat tawaran untuk ke Papua, tawaran itu tak kusia-siakan. Aku pikir, perjalanan ke Papua akan menjadi pengalaman dan terpaan kualitas diri aku, 5 bulan sukses membuat aku belajar banyak tentang kehidupan. Akhir 2015 aku kembali ke Makassar, dan lanjut kembali ke Kediri. Sebulan di Kediri aku berpamitan untuk melanjutkan kuliah. Kalimantan menjadi tujuan yang akan aku tempati untuk kuliah.

2016 awal, aku mendaftar di Universitas Lambungmangkurat Kal-Sel. Belum juga sempat tes, orang tua menelfon dan mempertanyakan keputusanku. Dengan berbagai kalimat yang diutarakan, niatku kembali goyah. Aku meninggalkan Kalimantan dan kembali ke Makassar. Unhas menjadi kampus ke sekian yang ingin aku daftari, hingga periode pendaftaran tutup aku belum kunjung mendaftar karena persoalan ekonomi.

Seorang senior terus menghubungiku untuk mendaftar beasiswa yang kala itu mulai hits, LPDP dari Kemenkeu. Aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk daftar beasiswa, dan juga mendaftar PPD (Pemuda Penggerak Desa) untuk mengajar di daerah Halmahera Selatan. Keinginan untuk mengabdi di pedalaman masih besar, semangat yang aku dapatkan dari Papua masih tersisa. Saat pengumuman kelulusan PPD, disaat bersamaan aku lulus administrasi LPDP.
Saatnya untuk memilih (lagi). Dan aku memutuskan untuk memilih LPDP dengan segala pertimbangan. Saat itu umurku sudah 24 tahun, jika aku mengambil PPD dulu baru lanjut kuliah, aku nikah di umur berapa? Hahahah. Pikiran wanitanya muncul.

Setelah melewati beberapa rangkaian proses, di bulan 6 saya dinyatakan lulus LPDP, tapi tidak dengan universitas. Saya tidak lulus di Universitas Pendidikan Indonesia yang saat itu juga aku daftari. Pendaftaran UGM ditutup dua hari setelah pengumuman LPDP keluar. Aku akhirnya menunggu setahun lagi. Hingga pendaftaran kampus dibuka.

Aku belum bergeming untuk melamar kerja, meski teman-teman seangkatan sudah kerja dengan kerjaan yang menurut sebagian besar masyarakat sebagai sebuah kesuksesan dengan pekerjaan yang bagus. Aku tak bisa tinggal diam, aku memutuskan untuk pindah tinggal di Jogja. Keputusanku didukung oleh orang tua. Keputusan untuk tinggal di Jogja dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan suasana Jogja dan menunggu pendaftaran Linguistik UGM di semester genap di bulan 2 tahun 2017. Bulan 9, aku harus kembali lagi ke Makassar. Mamaku tak hentinya menelfon menyuruhku pulang untuk berlebaran Idul Adha dan menghadiri pernikahan sodara. Ketika telah kembali ke Makassar, saya terjebak dunia komunitas. Saya merasa nyaman dengan dunia komunitas dan kegiatan-kegiatan social lainnya. Hingga konyolnya sempat ingin tinggal dan kuliah di Makassar. Karena alasan nyaman berkomunitas dan solidaritas berteman. Tapi dorongan teman-teman saya pun akhirnya berbesar hati untuk meninggalkan Makassar. Juni 2017 saya dinyatakan lulus di UPI Bandung dan saat tulisan ini dibuat, saya masih menunggu hasil pengumuman dari UGM, kampus impian aku sejak masih duduk dibangku SMP.

Sempat beberapa kali merasa useless dan hopeless ketika mendapati diri merasa belum melakukan apa-apa. Dan belum memberikan apa-apa ke keluarga. Tapi setelah menilik dan mengingat 3 tahun yang cukup lama, cukup panjang dan cukup berliku aku kembali bersemangat. Karena proses panjang yang telah aku lalui telah banyak menorehkan cerita. Saat ini hanya perlu berdamai dengan proses agar tak selalu menyesali keadaan dan mengutuk apa yang tidak sempat aku lakukan.

Soppeng, 2 Juli 2017

Friend Zone

Kamu tau, apa yang paling menakutkan dalam sebuah hubungan pertemanan?

Yah, Friend Zone. Hal yang paling menakutkan adalah saat kita terjebak dalam zona perasaan. Ketika kita sama-sama terjebak dalam rasa yang mungkin saja sama. Rasa berharap untuk menjadi kita, bukan lagi hanya aku dan kamu.

Namun, keberanian untuk saling mengutarakan itu tak pernah ada. Kita begitu takut menodai hubungan pertemanan kita, kita begitu naïf untuk mengakui rasa yang tiba-tiba muncul. Kita begitu menghargai rasa yang kita miliki dulu, rasa yang ada jauh sebelum rasa ini muncul.
Biarlah kita berpelukan dalam doa, merapal bait-bait yang mengguncangkan langit, kita serahkan saja sama sang maha mengetahui untuk memberikan kita yang terbaik. Akankah hubungan pertemanan kita akan selamanya atau status kita akan berubah menjadi teman hidup.


Terjebak dalam friend zone memang tidaklah menyenangkan. Kita sama-sama tau, kita sama-sama menginginkan satu sama lain, tapi kita tak bisa saling berterus terang. 

Kebaikan

Kebaikan itu adalah sesuatu yang absolute.

Kita mungkin saja berbeda dalam banyak hal, tapi saya tetap meyakini bahwasanya kebaikan adalah sesuatu yang mutlak. Perbedaan Suku, Agama dan Ras bukan menjadi satu alasan untuk kita tak berbuat kebaikan, kita tetaplah sama, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan untuk saling bersosialisasi satu dengan yang lain, tanpa harus memandang sebuah perbedaan.
Bukankah perbedaan itu adalah sesuatu yang indah? Justru dengan adanya perbedaan kita akhirnya bisa memiliki perbandingan. Bisa saling belajar satu sama lain.

Hari ini adalah kali ketigaku bertemu dengan Doris. Dia adalah istri salah seorang Pendeta yang lagi bertugas di Makassar. Kali pertama kami bertemu di J.CO Mall Panakkukang, kali kedua kami (saya dan sahabat saya) diundang untuk makan malam dirumah Doris, dan kali ketiga hari ini, kami bertemu di Pizza Hut. Hari ini ada teman Doris yang datang dari Amerika, namanya Julie. Saya pun berkenalan dengan Julie. Julie akan tinggal di Makassar selama 3 bulan, pekerjaanya mirip seperti pendeta, meski saya tak tau jelasnya apa namanya. Mereka begitu baik, ramah dan welcome banget dengan kedatangan saya.

Pernah satu ketika saya bercerita tentang Doris dan keluarganya, tentang perkenalan kami, tentang kebaikan yang mereka lakukan. Respon yang sudah saya duga akan terjadi dilontarkan sama teman “Hati-hati, nanti kamu akan ikut-ikutan”. Saya hanya menanggapinya dengan senyum. Bersyukur dan sedih dalam waktu bersamaan. Bersyukur karena temanku begitu peduli, begitu sayang padaku hingga ingin menjagaku. Tapi sedihnya karena tanggapannya yang begitu dangkal, kenapa sih kita begitu gampang untuk menjastifikasi seseorang. Kenapa kita sebegitu parnonya akan sebuah perbedaan.

Perbedaan itu akan mengajarkan kita banyak hal. Saya akhirnya memacu diri untuk mengenal agamaku lebih dalam. Jadi ketika kita berdiskusi dan masuk dalam ranah agama, saya bisa mengeluarkan argumen berdasarkan pelajaran yang saya dapat dalam Al-Qura, begitupun mereka yang mengeluarkan statement tentang isi Alkitab mereka. Dari mereka saya lebih sadar diri untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah nafasku. Saya yang kadang lupa berdoa ketika hendak makan, diingatkan dengan melihat kebiasaan mereka setiap kali mau makan, mereka tak pernah lupa untuk berdoa. Begitupun ketika mau melakukans sebuah perjalanan, mereka selalu berdoa untuk keselamatan mereka. Hal yang mungkin kebanyakan dari kita sering melupakannya, begitupun dengan hal-hal lain, mereka tak pernah luput untuk berdoa. Itu harusnya menjadi pembelajaran untuk kita yang sangat gampang menjastifikasi seseorang, untuk bisa melihat sisi baik dan mengambil pelajaran dari orang lain, bukan hanya focus ke perbedaan yang akhirnya membuat kita sentimentil.

Makassar, 08-07-2017

Wejangan

Motorku terparkir didepan rumah Chedar 15 menit sebelum pukul 16:00. Jadwal meet up yang semestinya. Saya berangkat dari Mall Panakkukang, dari pada seliweran di mall gak jelas, atau pulang kerumah yang jauhnya lumanyun, saya memutuskan untuk kerumah Chedar lebih awal. Sesampainya di rumah Chedar, ternyata si tuan rumah lagi keluar. Saya dengan penuh percaya diri mengetuk pintu. Tak lama kemudian Bapak Chedar keluar, dengan menggunakan password “Temannya Chedar”, pintu akhirnya terbuka lebar.

Saya dipersilahkan duduk, Haidir lagi keluar ngantar ibunya, begitu nama panggilan Chedar oleh orang tuanya. Oh iya om, saya sudah telefon, dan sepertinya Haidir sudah dijalan pulang. Kemudian Bapaknya Chedar menemaniku mengobrol hingga yang lain datang. Obrolan khas orang tua pasti tak lepas dari berbicara seputar anaknya. Hingga satu kalimat yang membuatku tiba-tiba mengingat orang tuaku. Jadi orang tuanya Chedar berkisah mengenai Chedar yang sekarang sudah kerja, selepas menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Arsitektur Unhas, dilanjutkan kisah perjalanan pendidikan Chedar sejak TK hingga kelar kuliah. Satu kebanggaan tersendiri bagi orang tua ketika melihat anak-anaknya telah berhasil menyelesaikan study.

Tapi tak cukup sampai disitu, kebahagiaan belum lengkap rasanya ketika para orang tua belum melihat anaknya menikah. Hingga bapaknya Chedar yang lagi sakit pun melontarkan kalimat “yang jadi beban pikiran karena Haidir belum menikah, kalau dia sudah menikah mungkin saya akan tenang meninggalkan dunia ini” . Dunia ini hanyalah fatamorgana semata. Lanjutnya.

Lalu beliau memberikanku wejangan seputar jodoh, jangan melihat seseorang hanya dari parasnya saja, paras yang cantik dan ganteng itu bisa saja menipu. Lihat kepribadiannya, sikap dan tingkah lakunya. Jangan sampai tertipu. Banyak tuh orang-orang yang sebelum nikah hanya melihat tampang semata, sudah nikah baru menyesal karena tabiat pasangan hidupnya ternyata buruk. Tak perlu memikirkan mewah-mewah hanya untuk sebuah pesta sehari, pesta itu hanya sesaat, ngundang orang datang lalu mereka pergi. Toh kalian yang akan menjalani kehidupan rumah tangga nantinya, baik atau buruknya pasanganmu akan mempengaruhi kelangsungan pernikahanmu nantinya.

Jadi manusia tempatkan rasa malu di muka, jangan di telapak kaki. Kalau malu sudah ditempatkan ditelapak kaki itu tak akan ada gunanya lagi. Kalau dulu orang sangat malu mendapat gelar janda, meskipun keadaan janda mereka karena sebuah takdir Ilahi, tapi sekarang saya lihat kok orang-orang pada gampang banget nikah dan cerai, seolah-olah cerai itu adalah sesuatu yang lumrah, kita kan pada tau cerai itu memang sesuatu yang dibolehkan, tapi sangat dibenci oleh Allah. Kalo masih ada jalan untuk baik, kenapa harus pisah. Ckckck. Zaman sekarang benar-benar semuanya serba tak terduga. Ceritanta panjag lebar. Saya hanya mengangguk-ngangguk sambil tersenyum, membenarkan dalam hati wejangan dari beliau.

Teruntuk bapaknya Chedar, Terimakasih sudah menemani hingga teman-teman yang lain datang dan memberikan wejangan-wejangan yang priceless.


Makassar, 08-07-2017

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...