Rabu, 12 Juli 2017

Flashback 3 tahun

Tepat 3 tahun yang lalu, aku begitu bersuka cita dengan gelar sarjana yang kusandang. Gelar serta selembar kertas yang menjadi perjalanan selama 4 tahun di bangku kuliah. Euforia itu ternyata tak bertahan lebih dari satu minggu. Setelah itu bingung menentukan arah. Mau kemana? Mau ngapain?

Demi menikmati sebuah kebebasan, saya memutuskan untuk ikut mendaki ke Gunung Kerinci yang berada di Provinsi Jambi. Setelah pendakian selesai saya memikirkan langkah selanjutnya. Berdiam diri dirumah bukanlah pilihan yang tepat bagi seorang yang aktif dan tak bisa diam sepertiku. Aku pun belum kepikiran untuk mencari kerja seperti yang dilakukan oleh beberapa teman angkatan. Aku memutuskan untuk berangkat ke Pare, Kediri untuk kursus Toefl persiapan untuk melanjutkan kuliah di UGM. 2 minggu berlalu, skor yang aku inginkan belum mencapai target, hingga aku ikut kelas Bahasa Indonesia yang diampu oleh Ms.Uun, Direktur SMART ILC. Dalam kelas Bahasa Indonesia aku ditohok oleh sebuah kalimat yang begitu menusuk “Kayak gini mau lanjut S2?”, pertanyaan yang sukses menggoyahkan keinginanku untuk lanjut S2 pada saat itu. Aku merenungi kemampuanku, gelar yang kusandang ternyata belum selurus kualitas kemampuanku. Aku memutuskan untuk memperbaiki kulaitas diri dengan belajar di Pare beberapa bulan, pertengahan tahun 2015 saya mendapat tawaran untuk ke Papua, tawaran itu tak kusia-siakan. Aku pikir, perjalanan ke Papua akan menjadi pengalaman dan terpaan kualitas diri aku, 5 bulan sukses membuat aku belajar banyak tentang kehidupan. Akhir 2015 aku kembali ke Makassar, dan lanjut kembali ke Kediri. Sebulan di Kediri aku berpamitan untuk melanjutkan kuliah. Kalimantan menjadi tujuan yang akan aku tempati untuk kuliah.

2016 awal, aku mendaftar di Universitas Lambungmangkurat Kal-Sel. Belum juga sempat tes, orang tua menelfon dan mempertanyakan keputusanku. Dengan berbagai kalimat yang diutarakan, niatku kembali goyah. Aku meninggalkan Kalimantan dan kembali ke Makassar. Unhas menjadi kampus ke sekian yang ingin aku daftari, hingga periode pendaftaran tutup aku belum kunjung mendaftar karena persoalan ekonomi.

Seorang senior terus menghubungiku untuk mendaftar beasiswa yang kala itu mulai hits, LPDP dari Kemenkeu. Aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk daftar beasiswa, dan juga mendaftar PPD (Pemuda Penggerak Desa) untuk mengajar di daerah Halmahera Selatan. Keinginan untuk mengabdi di pedalaman masih besar, semangat yang aku dapatkan dari Papua masih tersisa. Saat pengumuman kelulusan PPD, disaat bersamaan aku lulus administrasi LPDP.
Saatnya untuk memilih (lagi). Dan aku memutuskan untuk memilih LPDP dengan segala pertimbangan. Saat itu umurku sudah 24 tahun, jika aku mengambil PPD dulu baru lanjut kuliah, aku nikah di umur berapa? Hahahah. Pikiran wanitanya muncul.

Setelah melewati beberapa rangkaian proses, di bulan 6 saya dinyatakan lulus LPDP, tapi tidak dengan universitas. Saya tidak lulus di Universitas Pendidikan Indonesia yang saat itu juga aku daftari. Pendaftaran UGM ditutup dua hari setelah pengumuman LPDP keluar. Aku akhirnya menunggu setahun lagi. Hingga pendaftaran kampus dibuka.

Aku belum bergeming untuk melamar kerja, meski teman-teman seangkatan sudah kerja dengan kerjaan yang menurut sebagian besar masyarakat sebagai sebuah kesuksesan dengan pekerjaan yang bagus. Aku tak bisa tinggal diam, aku memutuskan untuk pindah tinggal di Jogja. Keputusanku didukung oleh orang tua. Keputusan untuk tinggal di Jogja dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan suasana Jogja dan menunggu pendaftaran Linguistik UGM di semester genap di bulan 2 tahun 2017. Bulan 9, aku harus kembali lagi ke Makassar. Mamaku tak hentinya menelfon menyuruhku pulang untuk berlebaran Idul Adha dan menghadiri pernikahan sodara. Ketika telah kembali ke Makassar, saya terjebak dunia komunitas. Saya merasa nyaman dengan dunia komunitas dan kegiatan-kegiatan social lainnya. Hingga konyolnya sempat ingin tinggal dan kuliah di Makassar. Karena alasan nyaman berkomunitas dan solidaritas berteman. Tapi dorongan teman-teman saya pun akhirnya berbesar hati untuk meninggalkan Makassar. Juni 2017 saya dinyatakan lulus di UPI Bandung dan saat tulisan ini dibuat, saya masih menunggu hasil pengumuman dari UGM, kampus impian aku sejak masih duduk dibangku SMP.

Sempat beberapa kali merasa useless dan hopeless ketika mendapati diri merasa belum melakukan apa-apa. Dan belum memberikan apa-apa ke keluarga. Tapi setelah menilik dan mengingat 3 tahun yang cukup lama, cukup panjang dan cukup berliku aku kembali bersemangat. Karena proses panjang yang telah aku lalui telah banyak menorehkan cerita. Saat ini hanya perlu berdamai dengan proses agar tak selalu menyesali keadaan dan mengutuk apa yang tidak sempat aku lakukan.

Soppeng, 2 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...