Tepat
3 tahun yang lalu, aku begitu bersuka cita dengan gelar sarjana yang kusandang.
Gelar serta selembar kertas yang menjadi perjalanan selama 4 tahun di bangku
kuliah. Euforia itu ternyata tak bertahan lebih dari satu minggu. Setelah itu
bingung menentukan arah. Mau kemana? Mau ngapain?
Demi
menikmati sebuah kebebasan, saya memutuskan untuk ikut mendaki ke Gunung
Kerinci yang berada di Provinsi Jambi. Setelah pendakian selesai saya
memikirkan langkah selanjutnya. Berdiam diri dirumah bukanlah pilihan yang
tepat bagi seorang yang aktif dan tak bisa diam sepertiku. Aku pun belum
kepikiran untuk mencari kerja seperti yang dilakukan oleh beberapa teman
angkatan. Aku memutuskan untuk berangkat ke Pare, Kediri untuk kursus Toefl
persiapan untuk melanjutkan kuliah di UGM. 2 minggu berlalu, skor yang aku
inginkan belum mencapai target, hingga aku ikut kelas Bahasa Indonesia yang
diampu oleh Ms.Uun, Direktur SMART ILC. Dalam kelas Bahasa Indonesia aku
ditohok oleh sebuah kalimat yang begitu menusuk “Kayak gini mau lanjut S2?”,
pertanyaan yang sukses menggoyahkan keinginanku untuk lanjut S2 pada saat itu.
Aku merenungi kemampuanku, gelar yang kusandang ternyata belum selurus kualitas
kemampuanku. Aku memutuskan untuk memperbaiki kulaitas diri dengan belajar di
Pare beberapa bulan, pertengahan tahun 2015 saya mendapat tawaran untuk ke
Papua, tawaran itu tak kusia-siakan. Aku pikir, perjalanan ke Papua akan
menjadi pengalaman dan terpaan kualitas diri aku, 5 bulan sukses membuat aku
belajar banyak tentang kehidupan. Akhir 2015 aku kembali ke Makassar, dan
lanjut kembali ke Kediri. Sebulan di Kediri aku berpamitan untuk melanjutkan
kuliah. Kalimantan menjadi tujuan yang akan aku tempati untuk kuliah.
2016
awal, aku mendaftar di Universitas Lambungmangkurat Kal-Sel. Belum juga sempat
tes, orang tua menelfon dan mempertanyakan keputusanku. Dengan berbagai kalimat
yang diutarakan, niatku kembali goyah. Aku meninggalkan Kalimantan dan kembali
ke Makassar. Unhas menjadi kampus ke sekian yang ingin aku daftari, hingga periode
pendaftaran tutup aku belum kunjung mendaftar karena persoalan ekonomi.
Seorang
senior terus menghubungiku untuk mendaftar beasiswa yang kala itu mulai hits,
LPDP dari Kemenkeu. Aku mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk daftar
beasiswa, dan juga mendaftar PPD (Pemuda Penggerak Desa) untuk mengajar di
daerah Halmahera Selatan. Keinginan untuk mengabdi di pedalaman masih besar,
semangat yang aku dapatkan dari Papua masih tersisa. Saat pengumuman kelulusan
PPD, disaat bersamaan aku lulus administrasi LPDP.
Saatnya
untuk memilih (lagi). Dan aku memutuskan untuk memilih LPDP dengan segala
pertimbangan. Saat itu umurku sudah 24 tahun, jika aku mengambil PPD dulu baru
lanjut kuliah, aku nikah di umur berapa? Hahahah. Pikiran wanitanya muncul.
Setelah
melewati beberapa rangkaian proses, di bulan 6 saya dinyatakan lulus LPDP, tapi
tidak dengan universitas. Saya tidak lulus di Universitas Pendidikan Indonesia
yang saat itu juga aku daftari. Pendaftaran UGM ditutup dua hari setelah
pengumuman LPDP keluar. Aku akhirnya menunggu setahun lagi. Hingga pendaftaran
kampus dibuka.
Aku
belum bergeming untuk melamar kerja, meski teman-teman seangkatan sudah kerja
dengan kerjaan yang menurut sebagian besar masyarakat sebagai sebuah kesuksesan
dengan pekerjaan yang bagus. Aku tak bisa tinggal diam, aku memutuskan untuk
pindah tinggal di Jogja. Keputusanku didukung oleh orang tua. Keputusan untuk
tinggal di Jogja dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan
suasana Jogja dan menunggu pendaftaran Linguistik UGM di semester genap di
bulan 2 tahun 2017. Bulan 9, aku harus kembali lagi ke Makassar. Mamaku tak
hentinya menelfon menyuruhku pulang untuk berlebaran Idul Adha dan menghadiri
pernikahan sodara. Ketika telah kembali ke Makassar, saya terjebak dunia
komunitas. Saya merasa nyaman dengan dunia komunitas dan kegiatan-kegiatan
social lainnya. Hingga konyolnya sempat ingin tinggal dan kuliah di Makassar.
Karena alasan nyaman berkomunitas dan solidaritas berteman. Tapi dorongan
teman-teman saya pun akhirnya berbesar hati untuk meninggalkan Makassar. Juni
2017 saya dinyatakan lulus di UPI Bandung dan saat tulisan ini dibuat, saya
masih menunggu hasil pengumuman dari UGM, kampus impian aku sejak masih duduk
dibangku SMP.
Sempat
beberapa kali merasa useless dan hopeless ketika mendapati diri merasa belum
melakukan apa-apa. Dan belum memberikan apa-apa ke keluarga. Tapi setelah
menilik dan mengingat 3 tahun yang cukup lama, cukup panjang dan cukup berliku
aku kembali bersemangat. Karena proses panjang yang telah aku lalui telah
banyak menorehkan cerita. Saat ini hanya perlu berdamai dengan proses agar tak
selalu menyesali keadaan dan mengutuk apa yang tidak sempat aku lakukan.
Soppeng,
2 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar