Langit boleh mendung, hatimu jangan. Cuaca kota Makassar beberapa hari ini memang sedang gundah gulana, entah gundah karena melihat gedung yang semakin berlomba untuk mencakar langit atau mungkin gulana karena kesemrawutan jalan atau ketimpangan sosial yang tak terbendung. Langit sore ini seolah turut berduka melihat sahabatnya “bumi” yang di eksploitasi tanpa ampun.
Ah
tiba-tiba rintik hujan membuyarkan lamunanku. Talk less do more, slogan populer salah satu rokok ternama. Tak ada
gunanya mencaci lebih baik mencari solusi. Tak ada gunanya mengutuk kegelapan,
lebih baik menyalakan cahaya.
Kususuri
jalan veteran menuju jalan urip dan selanjutnya ke Perintis sambil terus
menimbang untuk datang atau tidak ke kegiatan Pecandu Aksara. Hujan yang tadi
hanya rintik kini semakin deras. Meskipun menggunakan jas hujan, pakaian dan
sepatu tetap saja basah. Laju motor berlomba dengan pikiran yang terus
bertengkar untuk mendominasi, datang gak datang gak datang gak. Sampai di jalan
perintis hujan masih terus mengguyur, seolah-olah kolong langit lagi bocor.
Tepat di depan UIM kuputuskan untuk datang, kubelokkan motorku menuju kostan
salah seorang teman di Hartaco Jaya, teman dari Ambon yang kukenal ketika
kursus di Kampung Inggris, yang kemudian sama-sama daftar LPDP, kebetulan dia
mendapat pengayaan bahasa di Makassar dan lokasi kostnya tidak terlalu jauh
dari Kafe Aldina. Untungnya dia ada di kostan, jadi bisa numpang sholat dan
istirahat.
Setelah
selesai sholat Utma temanku yang dari Ambon menawariku untuk meminjam pakaiannya,
karena kasian melihatku menggunakan pakaian basah, tapi aku menolak dengan
alasan sebentar lagi juga bakal capcus. Dia berbaik hati membuatkanku segelas
teh hangat ditambah beberapa potong roti. Kami mengobrol banyak hal hingga jam menunjukkan
pukul 7 kurang 10 menit, hujan masih turun tapi kali ini dengan intensitas yang
sudah rendah. Ku cek chat grup pecandu Aksara, belum ada tanda orang-orang yang
sudah ada di lokasi, yang ada hanya orang-orang yang memastikan jadi atau
tidak, chat pribadiku ke kak Fachri pun belum kunjung dibaca. Aku meletakkan hp
dan kembali bercengkrama dengan Utma sambil menyeruput teh yang masih hangat. 5
menit kemudian aku mengecek chat grup dan kak Fachri menginformasikan kalau
acaranya tetap jadi dan sudah ada beberapa teman yang berada di Kafe Aldina.
Buru-buru kuhabiskan teh yang masih tersisa setengah dan meraih jilbab lalu
bersiap ke Kafe Aldina.
Sesampainya
di Kafe Aldina nampak kak Fachri dan beberapa teman Pecandu Aksara lainnya, aku
memarkir motor lalu menuju meja yang kursinya sudah bertuan, nampak ada om
gimbal yang lagi serius menatap layar laptopnya. Kemudian aku berkenalan dengan
Chika dan Kak Dia. Tak berselang berapa lama, kegiatan dimulai meski baru
segelintir orang yang datang. Seiring berjalannya waktu teman-teman Pecandu
Aksara yang lain mulai berdatangan. Hujan diluar kafe yang masih turun dengan
deras tak mengalahkan semangat berbagi om LeBug, om gimbal yang beprawakan agak
besar, berparas serius namun ternyata sangat humoris, om LeBug dengan gaya
santai mulai membahas poin demi poin “How
To Write Creative Content Blog” kepada kami musafir yang “haus”
pengetahuan. Kelas kali ini jauh lebih pantas dinamakan lingkaran diskusi
dibanding kelas, dan seyogyanya memang seperti itu. Jadi tidak ada sekat diantar kita
*tsah.
Banyak pelajaran baru yang kami dapat dari om LeBug, mulai dari bagaimana menuangkan ide, mencari ide, membuat judul yang menarik dan kontroversial sehingga mengundang banyak pembaca dan masih tumpah ruah pelajaran-pelajaran yang lain yang takkan saya dapat jika saya memilih langsung pulang tiduran dirumah dan hanya bergulat dengan gadget. Datang ke Kafe Aldina dalam kondisi kurang fit dan basah kuyup tidak sebanding dengan ilmu yang luar biasa dari om LeBug. Kami pun mendapat pemantik semangat untuk terus menulis, untuk terus berkarya. Bahkan ketika kita menganggap diri kita kehabisan ide sekalipun itu mampu menjadi sebuah ide.
Masih teringat jelas petuah salah seorang guru kala itu “menulislah, kelak kau akan dikenang dalam sejarah”. Raga akan melebur dengan tanah, cerita kebaikan akan menguap ketika kita telah tiada namun tulisan akan tetap abadi.
Banyak pelajaran baru yang kami dapat dari om LeBug, mulai dari bagaimana menuangkan ide, mencari ide, membuat judul yang menarik dan kontroversial sehingga mengundang banyak pembaca dan masih tumpah ruah pelajaran-pelajaran yang lain yang takkan saya dapat jika saya memilih langsung pulang tiduran dirumah dan hanya bergulat dengan gadget. Datang ke Kafe Aldina dalam kondisi kurang fit dan basah kuyup tidak sebanding dengan ilmu yang luar biasa dari om LeBug. Kami pun mendapat pemantik semangat untuk terus menulis, untuk terus berkarya. Bahkan ketika kita menganggap diri kita kehabisan ide sekalipun itu mampu menjadi sebuah ide.
Masih teringat jelas petuah salah seorang guru kala itu “menulislah, kelak kau akan dikenang dalam sejarah”. Raga akan melebur dengan tanah, cerita kebaikan akan menguap ketika kita telah tiada namun tulisan akan tetap abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar