Rabu, 26 Oktober 2016

Suara Relawan

Kelas menyanyi di Carakde @SIGiMks

Relawan itu tak dibayar, bukan karena tak bernilai tapi karena tak ternilai (Anies Baswedan)
        Kalau ditanya apa yang membuatmu bahagia? Saya bisa dengan lantang menjawab, berada dilingkungan orang-orang hebat, orang-orang yang mempunyai kepedulian yang besar. Orang yang dengan sepenuh hati mengorbankan waktu liburnya untuk berbagi, mengurangi jatah tidurnya untuk memikirkan kebahagiaan orang lain, orang yang penuh antusias mengerahkan fikiran dan raganya untuk terus berbuat kebaikan.

Ada makna peduli dibalik kata relawan, ada makna ikhlas dibalik kata peduli. Jangan berfikir relawan itu bebas dari sentimentil. Banyak loh yang sering nyinyir gini “kok mau sih jadi relawan,dibayar gak, capek? Iya”. Orang-orang yang sering nyinyir kayak gini mungkin orang-orang yang di otaknya hanya rupiah rupiah dan rupiah. Terkadang untuk bahagia itu sederhana, berbuat kebaikan dan bermanfaat bagi orang lain merupakan kebahagiaan tiada tara yang tak bisa dibandingkan dengan apapun.

Konsep relawan itu membahagiakan orang laian dengan tenaga dan kontribusi. Kalo mengharapkan uang itu mah bukan relawan tapi karyawan! Nah saya kadang mikir, berbuat baik aja banyak yang nyinyir, apalagi berbuat neko-neko ya, hehehe. Terkadang untuk bahagia kita hanya perlu menutup telinga dari komentar miring orang lain dan terus menebar virus kebaikan.

           Kita perlu berbangga, ditengah gempuran teknologi yang semakin keras menghujam, muncul sebuah gaya hidup baru, yah. Relawan! Relawan menjadi gaya hidup baru para pemuda-pemudi Negeri. Negeri ini sangat beruntung masih memiliki banyak sekali orang peduli, masih banjir orang-orang yang mau berbagi manfaat untuk orang lain, tak sedikit orang yang rela menguras tenaga, merogoh kocek, meluangkan fikiran dan waktu untuk terus menebar virus manfaat. Karena berbagi takkan pernah membuatmu rugi @SIGi.

Berbagi adalah cara terbaik menikmati dan mensyukuri hidup.
Mengajar adalah cara belajar terbaik, tanpa akhir, tanpa batas.
Bergerak ketika tergerak, karena berbagi takkan membuatmu rugi @SIGiMks


Kakak-kakak relawan SIGiMks

Bermain bersama adik-adik kelas Carakdek di jl. Adiyaksa



            

Sabtu, 15 Oktober 2016

Organisasi dan Mitos

Masuk kuliah, duduk cantik, kerjakan tugas, dapat nilai bagus, lulus cepat dan  mendapat predikat cumlaude. Hidup ideal yang didambakan oleh kaum akademisi. Gak usah masuk organisasi, nanti akan mengganggu kuliahmu. Yakin dan percaya kalimat ini seringkali mampir di telinga kita calon mahasiswa baru, atau sedang menyandang status mahasiswa baru. Sehingga kebanyakan mahasiswa lebih memilih untuk kuliah lalu pulang istirahat kerumah dan begitu seterusnya bertahun-tahun sampai mendapat gelar sarjana. Toh, tujuan kuliah memang seperti itu bukan? Kuliah, wisuda lalu dapat ijasah dan gelar. 
Terjun dalam organisasi adalah sebuah pilihan, pilihan yang tidak semua orang bisa memilihnya. Hanya orang-orang yang rela kuliahnya “terganggu”, atau mau menjadi penghuni lama dikampus!!!
Lulus dalam kurun waktu 3 tahun 8 bulan dengan IPK 3.50 adalah suatu kebanggan besar bagi saya, bukan mau sombong loh ya tapi pamer hahaha. Hal ini menjadi sebuah pencapaian besar yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, apalagi melihat kegiatan organisasi saat masih kuliah yang lumayan banyak, belum lagi komunitas diluar kampus. Lulus “cepat” dengan IPK yang lumayan setidaknya mampu menjadi senjata untuk melawan keberadaan mitos bahwa organisasi mengganggu kuliah. Yang mengganggu kuliahmu bukan karena gabung di organisasi melainkan karena kemalasanmu sendiri. Jadi jangan suka mencari kambing hitam dari ulah yang kamu buat sendiri. Meskipun lulus bukan dengan predikat cumlaude setidaknya dengan IPK segitu saya sudah bisa mempergunakannya mendaftar kerja dan mendapat beasiswa.
IPK tinggi dan lulus cepat hanya euforia sesaat dan akan menjadi beban moril tersendiri ketika selesai kuliah tidak langsung dapat kerja, atau dapat kerja ecek-ecek, atau daftar beasiswa tapi tidak lulus atau paling kejamnya nganggur. Pasti akan ada bisik-bisik kayak gini “masa si anu lulusan terbaik nganggur atau si anu IPKnya tinggi kok gak lulus beasiswa ya”. Beban moral banget bukan?
Jadi memilih untuk masuk organisasi atau gak nih? Bukan bermaksud mem-provokasi. Tapi saya mau menunjukkan jalan yang benar sebelum semuanya terlambat hahahahaha. Ada banyak hal yang harus kita pelajari tapi tidak di bangku formal. Lalu Bagaimana caranya? Caranya ya gabung di organisasi. Bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang akan menumbuhkan kepekaan sosial, kita akan belajar banyak hal tanpa harus didiktekan, jiwa gotong royong dan suka duka kehidupan yang lain akan kamu dapatkan satu paket ketika berani memilih untuk masuk di organisasi. Pengalaman? Jangan ditanya lagi, tak terhitung jumlahnya.
Kehidupan kerja memang membutuhkan standar IPK tapi itu hanya sebagai sebuah formalitas. Yang akan sangat membantu ketika sudah kerja ya pengalaman, nah gimana mau dapat pengalaman kalau hari-harimu semasa kuliah cuman diisi perjalan rumah-kampus to’ setiap harinya.
Nah, sekarang bagi yang sudah menyandang gelar sarjana, yang dulunya belajar mati-matian untuk bisa berdiri didepan, berjabat tangan dengan rektor karena mendapat predikat lulusan terbaik, apa kabar? Seberapa besar pelajaran yang kamu dapatkan di bangku kuliah berpengaruh dalam profesi yang kamu tekuni sekarang? Seberapa besar pengaruh IPK yang dulu mati-matian kamu kejar itu dengan prestasi kerjamu sekarang?
Gimana? Pilihan ada ditanganmu. Mau percaya mitos atau tidak.

Tawa sumringah saat wisuda, akhirnya masa-masa kuliah telah kami lewati dengan pengalaman berorganisasi.



Makassar, 14 Oktober 2016


Kamis, 13 Oktober 2016

Secuil kisah tentang Mapala


PLISSSS, jangan masuk di Mapala kalau kesehatan (jiwa)mu tidak mau terganggu.

Hidup dalam sebuah lingkaran dengan berbagai stigma negatif itu bukan hal yang mudah, hanya orang-orang tangguh yang mampu untuk bertahan. Selalu mendapat julukan Mahasiswa paling lama, mahasiswa nakal, urakan, “rantasa”, malas, breng**k. Adalah segelintir stigma yang akan kau dapatkan saat berani masuk dalam organisasi Mapala.

Ditambah lagi pendidikan yang terbilang “keras”, keras ya bukan kasar!!! Jangan selalu salah kaprah!!! Kita berkecimpung dialam bebas jadi seyogyanya mendapat pendidikan yang keras, agar bisa selalu survive dalam berbagai kondisi

Kalian mendapat didikan keras supaya lebih kuat menghadapi hidup yang kejam pasca kuliah. Karena kehidupan nyata baru akan dimulai setelah lulus kuliah, kalian akan merasakan sakitnya ditolak oleh masyarakat, pahitnya dipunggungi dunia, kalau tidak punya mental yang kuat, kalian akan tersisih”, itu sepenggal kalimat yang dilontarkan seniorku saat rapat waktu itu.

Ditempat lain persentasi mungkin hal yang biasa, tapi persentasi dan mendapat lemparan laporan bukan hal yang biasa, bahkan sidang skripsi pun yang gak gitu-gitu amat hehehe. Tapi di Mapala, terkhususnya di *Maestro kamu harus siap dengan lemparan laporan ketika kamu tidak mampu mempertanggung jawabkan apa yang kamu tullis di laporan pasca ekspedisi pengambilan nomor.

Belum lagi ketika kamu harus rela menyisihkan uang kuliahmu untuk membeli alat outdoor, harus “berbohong” untuk dapat ijin mendaki, harus bertengkar sama pacar (ini bagi yang punya ya) karena kamu punya lebih banyak teman-teman cowok, karena kamu lebih memilih masuk gua, manjat tebing dibanding diajak nonton di bioskop. Belum lagi ketika kuliahmu harus keteteran karena gak masuk kuliah akibat capek sepulang dari outdoor.

Gimana? Bukan hal yang mudah bukan?

Tapi, masuk dalam organisasi Mapala adalah hal besar yang paling kusyukuri dalam hidup. Di Mapala terkhusus di *Maestro saya menemukan bahwa untuk bersaudara tak mesti sedarah, untuk berteman tak mesti tampil mewah, untuk diterima apa adanya tak mesti harus ada apanya, cukup jadi apa dirinya kamu.

Melalui *Maestro aku belajar banyak hal, kepekaan sosialku di bangun, sifat manjaku terkikis, mentalku tak lagi gampang diremas seperti kerupuk, saya berkesempatan untuk berjalan lebih jauh keluar rumah.

Mungkin saat ini saya belum masuk ke pedalaman Luwu, mungkin saat ini saya belum bisa merasakan bercumbu dengan pasir Semeru, atau belum dapat menginjakkan kaki di puncak sumatera atau mungkin belum bisa menikmati hangatnya kopi di tengah dinginnya udara puncak gunung yang menusuk. Takkan ada makan nasi campur pasir di pinggir tebing, takkan pernah menikmati indahnya oranamen dalam goa. Dan masih banyak hal lagi yang mungkin belum saya lakukan jika saja saya tidak memutuskan untuk masuk di *Maestro saat pertama menyaksikan perkenalan lembaga untuk mahasiswa baru kala itu.

Gimana? Masih mau masuk di Mapala?

Pernah mendapat lemparan laporan membuatku biasa saja ketika telah menghadapi sidang skripsi, toh sekeras apapun di “bantai” saat skripsi tidak mungkin ada laporan yang melayang ke muka, paling banter dapat corat coret. Sudah terbiasa dengan kehidupan alam bebas dan pendidikan yang keras membuatku sangat antusias saat mendapat kesempatan mengajar di Papua, meskipun mendapat berbagai tantangan dan masalah, toh saat di *Maestro pernah mendapat tantangan dan masalah yang jauh lebih besar. Nah yang paling urgent bisa lebih selektif memilih pasangan, karena di *Maestro telah mendapat banyak pelajaran berbagai tipe cowok dari yang baik sampai yang br*****k hahahahaha.

Ditempat lain mungkin saya bisa mendapatkan pujian yang melenakan, bisa cepat berpuas diri dengan sebuah pencapaian. Tapi di Maestro kelebihan apapun akan ditanggapi dengan hal yang berbeda, bukan melalui pujian tapi “callaan”, hal itu yang memacu untuk melakukan hal yang lebih dan lebih lagi.

Jadi gimana? Tak usah masuk Mapala kalo belum siap mendapat candu.

*Maestro adalah salah satu nama mapala Fakultas yang ada di Universitas Negeri Makassar tepatnya Fakultas Bahasa dan Sastra.











Makassar, 13-10-2016

Rabu, 12 Oktober 2016

Akademi Berkebun



Rencana hanyalah rencana, apa daya badan tak punya daya. Runtutan kegiatan yang sudah begitu matang beberapa hari sebelumnya, terpaksa harus di re-schedule. Tubuh tiba-tiba memberikan alarm di waktu yang kurang tepat. 2 hari sebelumnya, sakit aneh menyerang yang membuat anggota badan sebelah kanan ngilu dan sakit ketika bergerak. Mencoba bedrest     sehari setelahnya tapi tak ada perubahan. “Keluar sakit, tinggal dirumah juga tetap sakit, ya mending keluar setidaknya dapat pelajaran baru dan teman baru, dari pada tinggal dirumah makin sakit karena guling-guling dikasur terus”, dialog yang terus-terus terngiang-ngiang dikepalaku.

Datang ke Carakde SIGi di Adhyaksa terpaksa kubatalkan, untuk memulihkan kondisi tubuh yang lagi manja. Setting alarm di hp kuaktifkan tepat pukul 1:30 PM. Ketika alarm berbunyi aku bergegas untuk meraihnya dan mengecek semua notifikasi yang masuk. Aku  hanya membuka dan membalas chat personal, chat beberapa group yang jumlahnya sudah lebih 300 kusimpan untuk kubaca di waktu luang. Aku segera meraih handuk dan menuju ke toilet untuk mandi dan lanjut sholat. Ketika semuanya telah selesai, aku baru sadar kalau jam di hp sudah menunjukkan pukul 2:15, artinya kurang 45 menit lagi jadwal akademi berkebun yang diadakan oleh Makassar Berkebun akan segera dimulai, kunyalakan stater motor dan melajukan motor dengan kecepatan 50-60 menuju RS Haji, lokasi Makassar Berkebun. Saya memilih lewat pinggir tol yang jalannya jauh dari kemacetan dan kesemrawutan jalan, dan bisa ditebak saya bisa sampai di jl veteran kurang dari setengah jam. Saya terus menyusuri jalanan kota Makassar sampai motorku terparkir cantik di RS Haji pukul 03:07, lewat 7 menit fikirku, padahal sudah berusaha on time, nyatanya tetap aja telat. Saya langsung menghubungi Nulo dan Kak Ardhe yang notabene anak SIGi juga anak Makassar Berkebun, 3 menit, 5 menit dan masih no respon. Akhirnya kuputuskan bertanya di pos parkir “om mau tanya, lokasinya Makassar Berkebun dimana ya om”, “ooh dibelakang sekali, lurusmako saja terus belok kanan baru belok kiri” jawab om-om penjaga pos parkir.

Saat menyusuri jalan yang om parkir maksud, adzan untuk sholat ashar telah berkumandang, kuputuskan untuk sholat ashar terlebih dahulu. Setelah sholat kucek hp dan tadaaa ada panggilan whatsapp dari kak Ardhee, pucuk di cinta panggilan pun masuk, “dimanaki” tanya kak Ardhee. “Dimesjidka ka, baruka selesai sholat, dimana ini lokasinya”, “masukmaki di RS saja terus nanti belok kiri, banyakji anak berkebun di dalam” kata kak Ardhe lagi. “oh iye ka, jalanma ini”.

Saya mengikuti instruksi dari kak Ardhe, namun dasar otakku kayaknya lagi error, saya salah masuk ruangan, kalau ndak salah ingat saya masuk ruangan IGD dan penjaga RS sontak mengarahkan padangan menyelidik, tak butuh waktu lama pintu yang sudah kubuka setengah kututup kembali lalu berlari menuju lorong yang disamping ruang IGD. Malu bertanya, ujung-ujungnya nyasar hahaha. Melihat ada 2 orang satpam, aku pun bertanya lagi, setelah diberi petunjuk kuiringi langkahku menuju lokasi yang di maksud. Di ujung jalan sudah ada kak Ardhe yang berdiri dan menengok kearahku, kupercepat langkahku sampai tiba didekat kak Ardhe dan berjalanlah kami beriringan menuju kebun.

Keren banget!!! Mata langsung di manjakan oleh beberapa tanaman yang ada di kebun dan grafiti yang apik di dinding belakang kebun. Nampak sudah ada beberapa peserta, meski acara belum dimulai. Kurang lebih 15 menit menunggu, baru kami dapat panggilan untuk masuk ke ruangan untuk mendapat materi seputar berkebun, setelah dua materi dibawakan kami bersama-sama menuju ke kebun untuk praktek.

Setelah mendengar cuap-cuap dari kakak Makassar berkebun, satu persatu peserta Akademi Berkebun mendapat pot, dan benih. Beberapa teman peserta sedang mencampur tanah dan pupuk yang kemudian kami isi di pot masing-masing. Kami membawa oleh-oleh berupa pot dan benihnya yang harus kami rawat. Weits ada lombanya juga loh. Jadi setiap peserta wajib untuk melaporkan perkembangan benih yang ditanamnya sampai 3 minggu kedepan, siapa yang paling bagus nanti dapat hadiah. Yeyeyeiii dari SD sampe setua ini hadiah memang selalu menyenangkan. Dan kegiatan hari ini ditutup dengan sesi foto bersama. 

Langit sore pun semakin gelap, kami bergegas untuk segera balik ke rumah masing-masing, sebelum tetesan cantik dari langit menyapa bumi.

Terima kasih untuk pelajaran dan pengalamannya hari ini kakak-kakak dari Makassar berkebun.

Makassar, 09 Oktober 2016

Senin, 10 Oktober 2016

Kelas Blogging


Langit boleh mendung, hatimu jangan. Cuaca kota Makassar beberapa hari ini memang sedang gundah gulana, entah gundah karena melihat gedung yang semakin berlomba untuk mencakar langit atau mungkin gulana karena kesemrawutan jalan atau ketimpangan sosial yang tak terbendung. Langit sore ini seolah turut berduka melihat sahabatnya “bumi” yang di eksploitasi tanpa ampun.

Ah tiba-tiba rintik hujan membuyarkan lamunanku. Talk less do more, slogan populer salah satu rokok ternama. Tak ada gunanya mencaci lebih baik mencari solusi. Tak ada gunanya mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan cahaya.

Kususuri jalan veteran menuju jalan urip dan selanjutnya ke Perintis sambil terus menimbang untuk datang atau tidak ke kegiatan Pecandu Aksara. Hujan yang tadi hanya rintik kini semakin deras. Meskipun menggunakan jas hujan, pakaian dan sepatu tetap saja basah. Laju motor berlomba dengan pikiran yang terus bertengkar untuk mendominasi, datang gak datang gak datang gak. Sampai di jalan perintis hujan masih terus mengguyur, seolah-olah kolong langit lagi bocor. Tepat di depan UIM kuputuskan untuk datang, kubelokkan motorku menuju kostan salah seorang teman di Hartaco Jaya, teman dari Ambon yang kukenal ketika kursus di Kampung Inggris, yang kemudian sama-sama daftar LPDP, kebetulan dia mendapat pengayaan bahasa di Makassar dan lokasi kostnya tidak terlalu jauh dari Kafe Aldina. Untungnya dia ada di kostan, jadi bisa numpang sholat dan istirahat.

Setelah selesai sholat Utma temanku yang dari Ambon menawariku untuk meminjam pakaiannya, karena kasian melihatku menggunakan pakaian basah, tapi aku menolak dengan alasan sebentar lagi juga bakal capcus. Dia berbaik hati membuatkanku segelas teh hangat ditambah beberapa potong roti. Kami mengobrol banyak hal hingga jam menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit, hujan masih turun tapi kali ini dengan intensitas yang sudah rendah. Ku cek chat grup pecandu Aksara, belum ada tanda orang-orang yang sudah ada di lokasi, yang ada hanya orang-orang yang memastikan jadi atau tidak, chat pribadiku ke kak Fachri pun belum kunjung dibaca. Aku meletakkan hp dan kembali bercengkrama dengan Utma sambil menyeruput teh yang masih hangat. 5 menit kemudian aku mengecek chat grup dan kak Fachri menginformasikan kalau acaranya tetap jadi dan sudah ada beberapa teman yang berada di Kafe Aldina. Buru-buru kuhabiskan teh yang masih tersisa setengah dan meraih jilbab lalu bersiap ke Kafe Aldina.

Sesampainya di Kafe Aldina nampak kak Fachri dan beberapa teman Pecandu Aksara lainnya, aku memarkir motor lalu menuju meja yang kursinya sudah bertuan, nampak ada om gimbal yang lagi serius menatap layar laptopnya. Kemudian aku berkenalan dengan Chika dan Kak Dia. Tak berselang berapa lama, kegiatan dimulai meski baru segelintir orang yang datang. Seiring berjalannya waktu teman-teman Pecandu Aksara yang lain mulai berdatangan. Hujan diluar kafe yang masih turun dengan deras tak mengalahkan semangat berbagi om LeBug, om gimbal yang beprawakan agak besar, berparas serius namun ternyata sangat humoris, om LeBug dengan gaya santai mulai membahas poin demi poin “How To Write Creative Content Blog” kepada kami musafir yang “haus” pengetahuan. Kelas kali ini jauh lebih pantas dinamakan lingkaran diskusi dibanding kelas, dan seyogyanya memang seperti itu. Jadi tidak ada sekat diantar kita *tsah. 

Banyak pelajaran baru yang kami dapat dari om LeBug, mulai dari bagaimana menuangkan ide, mencari ide, membuat judul yang menarik dan kontroversial sehingga mengundang banyak pembaca dan masih tumpah ruah pelajaran-pelajaran yang lain yang takkan saya dapat jika saya memilih langsung pulang tiduran dirumah dan hanya bergulat dengan gadget. Datang ke Kafe Aldina dalam kondisi kurang fit dan basah kuyup tidak sebanding dengan ilmu yang luar biasa dari om LeBug. Kami pun mendapat pemantik semangat untuk terus menulis, untuk terus berkarya. Bahkan ketika kita menganggap diri kita kehabisan ide sekalipun itu mampu menjadi sebuah ide. 

Masih teringat jelas petuah salah seorang guru kala itu “menulislah, kelak kau akan dikenang dalam sejarah”. Raga akan melebur dengan tanah, cerita kebaikan akan menguap ketika kita telah tiada namun tulisan akan tetap abadi.

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...