Jumat, 30 Desember 2022

WIsuda

Bagi sebagian orang, wisuda mungkin hanya sebuah euforia sehari, saya pun dulu berpikir seperti itu. Apalagi saat melihat orang-orang banyak yang mencak-mencak saat wisuda luring tahun 2020 pada musim covid tiba-tiba dihilangkan. Saya belum mengerti waktu itu kenapa orang-orang bisa merasa sangat kecewa di saat tidak bisa mengikuti prosesi wisuda yang hanya euforia sesaat. Saya dengan ego seseorang yang sok dewasa berpikir bahwa wisuda hanyalah ritual, yang jauh lebih penting dipikirkan adalah kehidupan setelah wisuda, mencari kerja dan lain lain. Tapi beberapa hari yang lalu saat saya mengikuti wisuda adik, saya akhirnya mengerti, bagi sebagian besar orang wisuda bukan hanya sebuah prosesi sehari, bukan hanya sebuah euforia, tapi wisuda sarat akan makna. Makna perjuangan, air mata, peluh keringat, dan juga rapalan doa.

Saat kami baru memasuki gerbang universitas si adik, saya melihat begitu banyak keluarga yang menunggu para wisudawan keluar dari auditorium. Mereka datang dengan rombongan keluarga, bahkan mungkin ada yang datang sejak pagi. Kami waktu itu datang menjelang duhur. Tak sedikit pula dari mereka mengenakan baju seragam bahkan ada yang membawa bekal seperti orang piknik. Hal ini membuktikan bahwa euforia wisuda bukan hanya milik wisudawan/wisudawati, tapi juga kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Saat para wisudawan/wisudawati keluar dari auditorium dan datang menemui keluarga mereka, nampak jelas raut muka orang tua yang penuh haru sekaligus mata yang berkaca-kaca, menyiratkan sebuah kebanggaan atas kerja kerasnya selama ini menyekolahkan anak-anaknya.

Bagi kebanyakan orang tua di Indonesia, salah satu kesuksesan terbesar adalah saat mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Kalimat yang cukup familiar saya dengar dari orang-orang tua yakni “Tidak apa-apa kita bodoh yang jelas anak kita jangan. Kalau kita hanya mampu sekolah sampai SMA semoga anak kita bisa kuliah. Semoga anak-anak kita nanti bisa lebih sukses dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya”. Kalimat-kalimat ini sangat familiar saya dengar, kalimat yang menjadi sebuah bukti bahwa orang tua akan melakukan berbagai cara agar anak-anaknya bisa mendapat kehidupan yang lebih baik daripada mereka.

Saat adik saya keluar dari ruang auditorium, dia langsung menghampiri mama dan etta (a.k.a bapak, saya memanggil bapak dengan sebutan etta), salim dan berpelukan dengan mereka. Saya tak sanggup melihat mata etta yang tiba-tiba berkaca-kaca. Akhirnya anak bungsunya wisuda juga. Ini menjadi salah satu tanda kesuksesan juga baginya. Bisa mengantarkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Etta yang tidak lulus SD, etta yang sejak kecil sudah ikut bekerja serabutan dengan orang dan hingga kini berprofesi sebagai pandai besi bisa menyekolahkan anak-anaknya. Etta seorang anak sulung yang miskin sejak kecil harus banting tulang untuk mencari uang demi kebutuhan sehari-hari. Hal ini menjadi sebuah tanda keberhasilan baginya saat bisa melihat anak-anaknya di wisuda.

Miskin erat hubungannya dengan ketidak percayaan diri, hal ini pun yang dirasakan oleh etta. Etta yang lahir dari keluarga miskin tidak pernah memiliki kepercayaan diri untuk gabung dengan keluarganya yang kaya, beliau selalu minder karena tidak memiliki pendidikan sebaik keluarganya yang lain, tidak memiliki harta benda sebanyak yang dimiliki oleh keluarganya. Tapi berkat kerja kerasnya menyekolahkan anak-anaknya, kini dia sudah mulai percaya diri karena telah cukup “berhasil” bekerja keras untuk mengubah nasib anak-anaknya menjadi lebih baik.

Saat di perjalanan pulang etta nyeletuk “tugas saya sudah selesai menyekolahkan kalian semua, sekarang terserah kalian mau memilih jalan seperti apa”. Kalimat yang bermakna sangat dalam bagi saya. Terima kasih etta dan mama, semoga Allah senantiasa melindungi kalian, memberikan umur yang panjang, kesehatan, dan ketenangan jiwa raga.

Jadi ya, wisuda bukan hanya sebuah ritual yang menandakan masa studi sudah selesai tapi juga menjadi sebuah kebanggaan bagi orang tua, apalagi bagi keluarga-keluarga menengah ke bawah yang harus berjuang sangat keras agar bisa melihat anak-anaknya mengenakan toga, mereka yang bekerja tak kenal lelah demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya hingga anak-anak mereka berhasil lulus dan menjadi sarjana.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...