Bagi
sebagian orang, wisuda mungkin hanya sebuah euforia sehari, saya pun dulu berpikir
seperti itu. Apalagi saat melihat orang-orang banyak yang mencak-mencak saat
wisuda luring tahun 2020 pada musim covid tiba-tiba dihilangkan. Saya belum
mengerti waktu itu kenapa orang-orang bisa merasa sangat kecewa di saat
tidak bisa mengikuti prosesi wisuda yang hanya euforia sesaat. Saya dengan ego
seseorang yang sok dewasa berpikir bahwa wisuda hanyalah ritual, yang jauh
lebih penting dipikirkan adalah kehidupan setelah wisuda, mencari kerja dan
lain lain. Tapi beberapa hari yang lalu saat saya mengikuti wisuda adik, saya akhirnya
mengerti, bagi sebagian besar orang wisuda bukan hanya sebuah prosesi sehari,
bukan hanya sebuah euforia, tapi wisuda sarat akan makna. Makna perjuangan, air
mata, peluh keringat, dan juga rapalan doa.
Saat
kami baru memasuki gerbang universitas si adik, saya melihat begitu banyak
keluarga yang menunggu para wisudawan keluar dari auditorium. Mereka datang
dengan rombongan keluarga, bahkan mungkin ada yang datang sejak pagi. Kami waktu
itu datang menjelang duhur. Tak sedikit pula dari mereka mengenakan baju
seragam bahkan ada yang membawa bekal seperti orang piknik. Hal ini membuktikan
bahwa euforia wisuda bukan hanya milik wisudawan/wisudawati, tapi juga
kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Saat para wisudawan/wisudawati
keluar dari auditorium dan datang menemui keluarga mereka, nampak jelas raut muka
orang tua yang penuh haru sekaligus mata yang berkaca-kaca, menyiratkan sebuah
kebanggaan atas kerja kerasnya selama ini menyekolahkan anak-anaknya.
Bagi
kebanyakan orang tua di Indonesia, salah satu kesuksesan terbesar adalah saat
mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Kalimat yang
cukup familiar saya dengar dari orang-orang tua yakni “Tidak apa-apa kita bodoh
yang jelas anak kita jangan. Kalau kita hanya mampu sekolah sampai SMA semoga
anak kita bisa kuliah. Semoga anak-anak kita nanti bisa lebih sukses dan mendapat
pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya”. Kalimat-kalimat ini sangat
familiar saya dengar, kalimat yang menjadi sebuah bukti bahwa orang tua akan melakukan
berbagai cara agar anak-anaknya bisa mendapat kehidupan yang lebih baik
daripada mereka.
Saat
adik saya keluar dari ruang auditorium, dia langsung menghampiri mama dan etta
(a.k.a bapak, saya memanggil bapak dengan sebutan etta), salim dan berpelukan
dengan mereka. Saya tak sanggup melihat mata etta yang tiba-tiba berkaca-kaca. Akhirnya
anak bungsunya wisuda juga. Ini menjadi salah satu tanda kesuksesan juga baginya.
Bisa mengantarkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan hingga ke perguruan
tinggi. Etta yang tidak lulus SD, etta yang sejak kecil sudah ikut bekerja
serabutan dengan orang dan hingga kini berprofesi sebagai pandai besi bisa
menyekolahkan anak-anaknya. Etta seorang anak sulung yang miskin sejak kecil
harus banting tulang untuk mencari uang demi kebutuhan sehari-hari. Hal ini
menjadi sebuah tanda keberhasilan baginya saat bisa melihat anak-anaknya di
wisuda.
Miskin
erat hubungannya dengan ketidak percayaan diri, hal ini pun yang dirasakan oleh
etta. Etta yang lahir dari keluarga miskin tidak pernah memiliki kepercayaan
diri untuk gabung dengan keluarganya yang kaya, beliau selalu minder karena
tidak memiliki pendidikan sebaik keluarganya yang lain, tidak memiliki harta
benda sebanyak yang dimiliki oleh keluarganya. Tapi berkat kerja kerasnya
menyekolahkan anak-anaknya, kini dia sudah mulai percaya diri karena telah cukup
“berhasil” bekerja keras untuk mengubah nasib anak-anaknya menjadi lebih baik.
Saat
di perjalanan pulang etta nyeletuk “tugas saya sudah selesai menyekolahkan
kalian semua, sekarang terserah kalian mau memilih jalan seperti apa”. Kalimat yang
bermakna sangat dalam bagi saya. Terima kasih etta dan mama, semoga Allah
senantiasa melindungi kalian, memberikan umur yang panjang, kesehatan, dan
ketenangan jiwa raga.
Jadi
ya, wisuda bukan hanya sebuah ritual yang menandakan masa studi sudah selesai
tapi juga menjadi sebuah kebanggaan bagi orang tua, apalagi bagi keluarga-keluarga
menengah ke bawah yang harus berjuang sangat keras agar bisa melihat anak-anaknya
mengenakan toga, mereka yang bekerja tak kenal lelah demi untuk memenuhi
kebutuhan anak-anaknya hingga anak-anak mereka berhasil lulus dan menjadi
sarjana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar