Kamis, 21 September 2017

Nge-pantai

Pantai Drini, Gunung Kidul



Harusnya hari in jadi relawan di salah satu candi untuk kegiatan anak-anak Bali. Tapi ajakan teman kelas untuk nge-pantai ternyata lebih menggiurkan, bukan karena Pantainya, tapi karena momentum banget bisa berkumpul dengan teman-teman kelas baru dan bisa saling kenal.

Tempat yang kami kunjungi sih biasa aja, bahkan lebih indah pantai-pantai yang pernah aku kunjungi sebelumnya, namun yang membuat jauh dari biasa adalah kebersamaan dan orang-orang yang membersamai di tempat yang biasa itu. Momentnya jadi begitu istimewa dan spesial karena kebersamaan dengan "keluarga" baru.

Spesial dengan jam international yang janjian pukul 05:30 dan akhirnya berangkat jam 07.00. Spesial bisa motoran 14 motor dan suka belok tanpa nyalain lampu sein, atau tiba-tiba berenti di tengah jalan yang bukan lampu merah dan dapat klakson dari bis di belakang. Spesial karena bisa main air, mendayung melawan ombak dibawah sinar matahari yang begitu terik, injak bulu ulat laut yang membuat kaki perih, menikmati alam bawah laut yang begitu indah di tengah pantai yang lagi surut, spesial dengan permainan truth and dare  yang menghadirkan kekonyolan, pengakuan serta canda tawa, dan spesial dengan menikmati sunset dan makan malam di bukit bintang. Tak kalah spesialnya gak ada signal jadi kebersamaan kita begitu nyata tanpa hadirnya "kepalsuan" media sosial

Bukan hanya bisa saling mengenal lebih "dekat" melalui perjalanan, namun bisa sejenak "lupa" kalau banyak tugas. Memasuki minggu ketujuh perkuliahan, tugas demi tugas sudah mulai menyapa, dan kami menolak "ingat" dengan tugas dengan berlibur. Hahaha

Kelas A yang memang semuanya masih single dan mayoritas masih muda membuat "main" masih sering menjadi pilihan, disamping serius dalam menjalani kegiatan akademik. Bersama mereka, yang masih memiliki jiwa muda yang serius belajar dan juga hobby "main" membuatku begitu menikmati hari-hariku. Hasrat untuk "main"ku bisa terpenuhi, namun tak juga melupakan prioritas utama untuk belajar.

Tengkyuu hari ini yang begitu menyenangkan. Come back to reality and holiday just a memory ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚.

Selamat istirahat untuk kuliah jam 7 besok pagi, dan selamat berkutat dengan review dan paper ๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†๐Ÿ˜†

Yogyakarta, 210717
22:30

Jumat, 08 September 2017

Ini bukan drama!



Ini bukan drama apalagi sinetron yang penuh settingan
 
Ceritanya datang dari sahabat yang kukenal lebih dari separuh umurku. Kisah yang penuh drama air mata. Dia, sahabat yang kukenal sewaktu memasuki bangku sekolah menengah. Dia yang kukenal begitu tegas dan keras memperjuangkan ketidak adilan, dia yang begitu ideal dengan berjuta mimpi masa depan, dia yang sekarang hanya mampu pasrah dengan keadaan.

Terkadang, idealisme hanya berlaku ketika kita jauh dari rumah, namun saat kembali ke rumah, aturan orang tua adalah aturan yang menjadi harga mati. Sahabatku, dia yang penuh ambisi untuk melanjutkan sekolah dan mewujudkan mimpinya, yang pada akhirnya harus tertunda karena penyakit yang dideritanya. Akhirnya keliling kesana kemari untuk mencari pengobatan alternative, dan bertemulah dengan seseorang yang membuatya “jatuh cinta” yang kemudian membuatnya menunda semua mimpi-mimpi yang telah dirajutnya, demi untuk meringankan jalan lelaki yang dicintainya untuk datang meminangnya. Yah, saya lantas percaya bahwa cinta terkadang membuat orang-orang melakukan hal yang “bodoh”.
 
Ceritanya berlanjut. Alih-alih menunggu lelaki yang dicintainya, di satu hari ada keluarga yang datang dengan niat baik untuk melamarnya. Orang tuanya tanpa meminta persetujuan si anak langsung menerima lamaran keluarga tersebut. Mengetahui hal itu, sahabatku berontak. Untuk kali pertama dia melawan orang tuanya, dan menceritakan perihal lelaki yang dicintai dan ditunggunya datang meminang. Hasilnya? Orang tuanya tak terima, orang tuanya marah besar. Lelaki yang ditunggunya dinilai tak berpendidikan dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Akhirnya dia dikurung dan semua alat komunikasinya disita agar tidak memiliki akses lagi untuk menghubungi lelaki yang dicintainya.

Hari pernikahan pun telah ditentukan, tanpa mempertanyakan kesiapan dan kemauan sahabatku. Orang tuanya dengan pemikiran “pekerjaan dan latar belakang pendidikan” calon suami adalah hal yang menawarkan kebahagiaan masa depan. Sahabatku tak lagi punya hak suara. Meski begitu, dia masih mengusahakan cara agar pernikahan itu batal. Dia memilih langkah untuk menemui calon suami yang telah dijodohkannya, menceritakan perihal kisahnya dan lelaki yang dicintainya, calon suaminya mengerti dan mereka mencoba untuk sama-sama memberontak di keluarga masing-masing. Namun, langkah itu bukannya menghasilkan sesuatu yang lebih baik, malah menghadirkan murka orang tuanya. 

Dengan banyaknya kata-kata ancaman yang dilontarkan orang tuanya, sahabatku pun tak mempunyai lagi pilihan untuk memilih jalan hidupnya sendiri, yang dia punya sisa keharusan menjalani sesuatu yang menurut orang tuanya adalah sesuatu hal yang akan mampu memberinya kebahagiaan. Memilih untuk melarikan diri dari rumah yang sempat difikirkannya pun kembali diurungkan, dia menyadari bahwa kebahagiaan dirinya mungkin lebih baik untuk dipendam dari pada mencoreng nama baik keluarga dan membuat “malu” banyak pihak.

Terkadang, kita harus menjalankan sesuatu bukan karena ingin, tapi karena harus. Terkadang, kebahagiaan kita harus di nomor duakan, bukan karena tak lagi ada jalan untuk memperjuangkan, tapi karena “siri’” adalah sebuah harga mati.

Minggu, 03 September 2017

Swafoto




Sering kita menemukan banyak foto yang berseliweran di sosial media dengan gaya maksimal, muka kinclong dan pemandangan yang tak kalah hitznya. “Instagramable” banget ya, kata yang sering terbersit dalam benak kita acapkali melihat foto-foto yang banyak beredar.

Foto menjadi budaya latah. Tempat yang sebenarnya biasa-biasa saja berubah menjadi terkenal, ngehitz, kotor, banyak sampah, karena adanya budaya latah. Latah untuk berburu tempat-tempat keren untuk sekedar mengabadikan foto-foto yang siap upload di sosial media. Tak peduli panas terik, angin kencang, hujan badai. Dibela-belain untuk bergaya demi sebuah foto yang apik. 

Orang-orang yang tidak suka budaya foto mungkin akan menganggap tempat yang lagi hitz itu tempat yang biasa-biasa aja, tak ada istimewa dan menariknya sama sekali. Yah memang benar, saya pun merasakannya. Saya bukan orang yang gila foto, pun bukan anti foto. Seringkali mendatangi tempat yang banyak terpampang di sosial media, namun ketika sampai ditempat tujuan, tak jarang perasaan menjadi kecewa, karena ekspektasi tidak sesuai dengan realitas.

Karena mengejar foto-foto yang keren, kita lantas menjadi so(k)sialita dan anti sosial. Semua dilakukan demi sebuah pengakuan “keren” di sosial media. Pernahkah kita menyadari kalau bersosialisasi dan hadir secara nyata lebih indah dibandingkan ngehits oleh pengakuan keren yang hanya dilontarkan di sosial media? Sebegitu bangganyakah kita dengan pengakuan selebgram dengan foto banjir like tapi kita anti sosial dan apatis dengan orang-orang sekitar?

Jumat, 01 September 2017

Sebuah mimpi yang terbayar lunas



Bermimpilah setinggi-tingginya, seluas-luasnya, bermimpilah tanpa batas. Karena mimpi itu gratis. Nikmati prosesnya, lakukan yang terbaik. Karena setiap mimpi punya hak yang sama untuk di perjuangkan.

Universitas Gadjah Mada merupakan salah satu impian yang sudah kutabung sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Kala itu, salah satu kakak dari teman kelas menempuh pendidikan di UGM. Waktu itu hanya tau, UGM adalah salah satu kampus terbaik yang ada di Indonesia. Sejak itu, saya mulai memupuk mimpi itu. Intinya ya bermimpi, meski tak tau bagaimana cara untuk menuju mimpi itu. UGM yang notabene berada di pulau Jawa dan saya berdomisili di Sulawesi. Tak ada satupun sanak keluarga yang berada di Jawa. Sempat hopeless, dan pasrah untuk mengubur mimpi itu. Namun saya tetap percaya, setiap mimpi punya caranya sendiri untuk diwujudkan. Setiap niat-niat baik pasti ada jalannya.

12 tahun semenjak saya mulai bermimpi, akhirnya mimpi itu bisa saya wujudkan. Meski dengan begitu banyak drama yang terjadi. Tapi percayalah, tak ada mimpi yang terlalu susah untuk diwujudkan jika ada kemauan. Tak ada yang mustahil jika kita terus berusaha. Dan akhirnya, saya telah berada disini. Di kota ini. Dikampus impian. Saya bahagia telah memupuk dan menuai mimpi ini. Akhirnya sekarang bisa merasakan kuliah dan belajar disini. I love what I do. I do what I love.

Yogyakarta, 01 September 1992

Lebar-an



Untuk kali ketiga, menjalankan ritual lebaran jauh dari kampung halaman.
Pertama lebaran di Solo, saat itu lebaran Idul fitri tahun 2015. Kali pertama lebaran jauh dari keluarga. Tidak ada sanak family.  Kebiasaan makan makanan khas lebaran pun tak ada, baju yang dipakai adalah baju koleksi yang sudah lama dibeli, bukan baju baru yang menjadi ciri khas lebaran di kampung. Waktu itu lagi masa belajar menulis selama satu minggu di Solo.

Lebaran kedua yang jauh dari keluarga adalah lebaran idul Adha tahun 2015. Tepatnya di Bintuni Papua Barat. Saat itu, saya bersama seorang teman dari Jawa, lagi ada tugas ngajar di English Camp. Lebaran kedua yang jauh dari keluarga ini sangat berbeda dari lebaran-lebaran pada biasanya. Tak ada gema takbir saat malam lebaran, suara masjid pun hampir tak kedengaran. Perjalanan dari asrama ke masjid membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Untuk kali pertama, lebaran di satu tempat yang mayoritas nasrani. Namun, soal toleransi tak perlu dipertanyakan lagi. Toleransi mereka sangat tinggi untuk kami para muslim yang sedang menjalankan ibadah sholat idul adha. Sepulang dari masjid kami balik ke asrama dan memasak mie instan. Bahan baku yang tersedia di asrama kala itu. Bu’de yang biasanya masak di asrama hari itu tak datang karena libur. Jadilah kami menikmati hari lebaran dengan santapan ala anak kostan, mie instan dan telur. Sore harinya panggilan makan dari guru-guru muslim yang juga melaksanakan ibadah idul adha silih berganti. Malam harinya kami bersama anak-anak yang beragama nasrani yang masih memilih untuk tidak pulang kerumah, membakar sate di depan asrama. Suasana kehangata pun terjalin. Meski jauh dari keluarga namun suasana kekeluargaan masih terasa, dengan “keluarga” baru tentunya.

Lebaran ketiga, yakni lebaran idul adha 2017. Hari ini baru memasuki minggu ke empat saya berada di kota Jogja. Kota tempat saya melanjutkan pendidikan. Kota impian yang sejak dulu kuimpikan. Minggu keempat yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Tak ada rencana untuk pulang. Selain karena libur yang hanya sehari, keberadaanku di kota ini pun belum cukup sebulan. Memilih untuk berlebaran disini adalah pilihan yang terbaik. Teman kostan yang sebagian besar orang Makassar dan memilih untuk tidak pulang kampung menjadi sebuah hiburan tersendiri. Meskipun tak berada dirumah, tapi suasana lebaran masih rasa Sulawesi. 

Sore harinya rejeki anak kos yang tidak sholeha-sholeha banget dapat daging pembagian dari masjid. Malam harinya ibu kost naik ke lantai dua dan memberikan daging lagi untuk anak kost. Akhirnya kita bisa masak makanan rumahan ala Sulawesi. Lebaran jauh dari keluarga tidaklah mesti di dramatisir dengan perasaan sedih berlebihan. Ada banyak media yang bisa mendekatkan.
Selamat hari raya Idul Adha. Selamat hari jumat. Jangan lupa bahagia.
Yogyakarta, 01 September 1992

Serba Serbi 2024

Siang ini, 30 Desember, menepi dari segala keriuhan dan memilih nongkrong di sebuah kafe favorit di tengah Kota Makassar, mencoba memesan ma...